Sabtu, 12 Desember 2020
Hak Keadilan Reproduksi untuk Cegah Kekerasan Seksual
Kamis, 26 November 2020
ARV dan Pandemi
Sekolah Damai Indonesia,
Sabtu 24 Oktober 2020
ARV dan Pandemi
Pandemi Covid-19 berdampak pada
pengobatan orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Virus corona menyulitkan ribuan pasien
HIV/AIDS untuk mendapatkan obat antiretroviral (ARV).
Obat antiretroviral harus diminum setiap
hari untuk menekan laju virus dalam tubuh dan menjaga daya tahan tubuh orang
yang terinfeksi HIV/AIDS. Menurut Kang Adit selaku narasumber dalam diskusi
mengenai ARV dan Pandemi menyatakan
bahwa Jawa barat merupakan wilayah nomor 3 kasus HIV+ terbanyak di Indonesia dan
Kota Bandung merupakan peringkat nomor 1 kasus terbanyak HIV di Jawa Barat.
Mengkonsumsi dan terapi ARV secara
teratur dan tepat waktu harus dilaksanakan oleh ODHA hal tersebut akan
berfungsi untuk menekan replikasi virus HIV dalam darah sampai level tidak
terdeteksi, target ODHIV dalam terapi ARV adalah mencapai level tidak
terdeteksi, ada istilah U=U: Undetectable = Untransmittable, maksud dari tidak
terdeteksi yakni virus yang ada dalam tubuh tidak bisa berkembang biak dan
tidak menularkan secara seksual, sehingga ODHA dengan terapi ARV bisa memiliki
keturunan. Selama menjalani terapi tersebut ODHA mempunyai harapan hidup yang
sama dengan orang tanpa HIV dan dapat menekan menularan HIV+ kepada orang lain.
Ketersediaan ARV selama pandemi Covid-19
sempat mengalami kekosongan dan kesulitan bagi ODHA untuk mendapatkan akses mengkonsumsi
ARV, yang menjadi penyebab terhambatnya ARV di Indonesia karena kebanyakan ARV
merupakan impor dari India yang saat itu sempat lockdown. Bahkan ada beberapa
layanan yang memberikan ARV tidak full satu bulan, jadi di ecer ada yang per 14
hari, 7 hari, dan sempet ada layanan yang hanya bisa memberikan per 3 hari ARV
jenis tertentu.
“Sejauh
ini Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung telah tersedia untuk dua ribu pasien
aktif. Kondisi selama pandemi, kami memang agak kekurangan stok untuk jumlah
ODHIV, apa lagi pada saat PSBB di kota Bandung banyak pasien yang kesulitan
mengakses ARV di RSHS, selama PSBB kami mencoba mengirimkan ARV melalui kurir
karena keterbatasan akses ke Kota Bandung, selama pandemi ini di Kota Bandung
mendapat bantuan dari Elton John Foundation (EJAF) yang memberikan subsidi
pengambilan ARV bagi ODHIV yang terdampak COVID-19, yang masih berjalan program
bantuan subsidi EJAF - untuk Akses ARV di 3 Rumah sakit yakni RSHS, BUNGSU, dan
RSUD Kota Bandung. Ada pula bantuan PAP smear di Klinik Mawar. Untuk daerah
lain bantuan dari Global Fund untuk pemeriksaan Viral Load gratis untuk ODHIV
baru minum ARV 6 Bulan, 12 bulan, dan pasien lama 1 tahun terakhir”. Pungkas
Kang Adit dalam diskusi kami.
Biografi
Narasumber
Dian
Aditya atau sering disapa Kang Adit, adalah seorang Pendukung Sebaya dari LSM Female Plus (sejak Januari
2020) wilayah kerja Klinik Teratai RSUP Dr Hasan Sadikin Bandung. Sekilas
Tentang Pendukung Sebaya adalah seseorang yang dapat memberikan infomasi secara
benar, sederhana dan jelas serta dapat memberikan dukungan psikososial
berdasarkan pengalamannya sebagai orang yang hidup dengan HIV. Sebagian besar
dari Pendukung Sebaya merupakan orang yang hidup dengan HIV itu sebabnya dapat
menjadi contoh nyata bagi orang yang hidup dengan HIV lainnya.
(Ditulis oleh Annisa Noor Fadilah, anggota Sekolah Damai Indonesia - Bandung. Kegiatan diskusi mingguan ini merupakan bagian dari Divergents Project, singkatan dari Diversity in Gender and Sexuality. Divergents Project disusun oleh Sekolah Damai Indonesia - Bandung, dan didukung oleh United Network of Young Peacebuilders [UNOY], Asian Youth Peace Network, dan Youthink.)
Rabu, 25 November 2020
Merantau itu Kaya Cerita
Diksi Paisal, STr. Kes
Praktisi Kesehatan, ATLM Nusantara Sehat Team Based XV
& Penggiat Sekolah Damai Indonesia Bandung
Akhir-akhir ini
banyak orang diluaran sanah memilih untuk bekerja, tinggal atau bahkan menetap diluar
daerahnya. Hal ini mendorong saya juga untuk melakukan hal yang sama dengan
orang lain yaitu untuk memilih tinggal disuatu daerah, diluar daerah yang
selama ini saya hidup. Kata merantau mungkin sudah tidak asing lagi disetiap
orang, karena pada dadasarnya merantau itu suatu pilihan hidup, ketika
seseorang untuk memilih untuk tinggal disuatu daerah yang bukan daerah asalnya
itu lumrah adanya. Kesempatan merantau menjadikan cerita sesorang yang nantinya
banyak pengalaman dan kenangan yang dapat diangkat pada setiap perjalanan
hidupnya. Tujuan orang untuk merantau beda-beda, salah satu diantaranya ingin
mendapatkan pengamalan baru dalam hidupnya, yang mungkin ketika merantau orang
tersebut mendapatkan banyak ilmu, pengalaman, kebahagian, mendapatkan pekerjaan
baru, mengenal adat istiadat masyarakat daerah ditempatnya, keindahan alam
serta pariwisata ditempat perantauan, kontribusi, pengabdian untuk membantu
memajukan daerah tersebut dan tidak menutup kemungkinan ketika merantau
mendapat jodoh yang nantinya menjadi pendamping hidupnya.
Penempatan di Kupang Nusa Tenggara Timur
Pertama kali
mendengar Provinsi Nusa Tenggara Timur difikiran saya adalah terbayang keindahan pulau nya yang banyak dihiasi pantai
yang memiliki degradasi warna yang cantik ketika dipandang, pariwisata alam yang
menghiasi kekayaan abadi didalamnya, adat istiadat yang masih kental juga
mengiasi di setiap pulau Nusa Tenggara Timur, keramahan masyarakat serta
banyaknya kain-kain tenun khas dari berbagai suku yang menjadikan aset warisan dari
turun temurun. Rasanya saya sangat antusias ketika mendapatkan penempatan
disini dan ditunjuk oleh Tim Program Nusantara Sehat Kementerian Kesehatan, kala
itu sudah tidak ada petimbangan lagi sehingga saya siap untuk ditempatkan di Puskesmas
Akle Provinsi Nusa Tenggara Timur tepatnya di Pulau Semau Selatan Kab. Kupang.
Awal perjalanan
hidup merantau dipulau orang saya alami baru pertama kali, rasanya campur aduk,
suka cita karena banyak hal-hal pengalaman yang saya gali disinih dan duka juga saya rasakan karena saya
meninggalkan sementara keluarga, sahabat dan kegiatan-kegiatan sosial didaerah
tempat tinggal saya yaitu di Kota Bandung. Terlepas dari semua itu,tentunya
saya harus memiliki tujuan awal ketika saya ada diada diperantauan yaitu saya
dapat membantu pelayanan kesehatan didaerah terpencil, perbatasan dan daerah
tetinggal sesuai dengan tugas dan kompetesi saya sebagai Ahli Teknologi
Laboratorium Medik (ATLM).
Aktivitas di Perantauan
Diluar dari
kegiatan secara basic profesi saya, banyak juga kegiatan yang saya lakukan
disinih. Saya mulai explore tentang potensi alam wisata dan keindahan
pantai-pantai disekitar tempat tinggal saya. Potensi pantai di Pulau Semau ini
banyak menyimpan keindahannya, dari mulai pasir putih, gradasi warna pantai
yang cantik serta pemandangan yang luar biasa indah, beberapa diantaranya saya
berkesempatan mengunjunginya yaitu Pantai Liman, Pantai Hlaen Ana Naikean,
Pantai Otan, Pantai Uinian dan sederet pantai-pantai lainnya, selain pantai yang
banyak tersimpan keindahannya, keramahan warga di Pulau Semau ini membuat saya
semakin betah dan nyaman tinggal disinih, saya belajar sedikit-dikit bahasa
helong sesuai dengan suku helong yang tinggal disinih, mengenal adat istiadat
serta keindahan kain tenun yang dipakai oleh warga pada setiap
kegiatan-kegiatan adat, pernikahan, syukuran dan lainnya. Saya berkesampatan
memakai kain adat khas pulau semau suku helong yang motifnya sangat apik, halus
dan bagus ketika digunakan. Toleransi antar umat beragama tentunya juga saya
rasakan ketika saya diperantauan, meskipun saya muslim dan disinih mayoritas
beragama non muslim yaitu Katolik & Kristen protestan tidak menjadikan
jarak diantara kita, kami disinih selalu berpegang teguh rasa toleransi yang
kuat antar umat beragama.
Jangan Takut Merantau
“Salam hangat
dari orang rantau, mari berjuang sama-sama didaerah perantauan “
PENTINGNYA MEMAHAMI DIRI
FILOSOFI TERAS/FILSAFAT STOICISM
Halo Sahabat Web ku terkasih, puji Tuhan saya memiliki kesempatan ditengah kesibukan pribadi untuk menulis artikel di laman blogger Damai Mudaku yang diadmini oleh saya, so, akhir-akhir ini saya suka sekali belajar dasar ilmu Filsafat, dan saya banyak mengenal beberapa aliran dari ilmu filsafat tersebut, salah satunya aliran filsafat Stoicism/Stoik, yang dikenal di Indonesia dengan nama Filosofi Teras sesuai dengar arti kata Stoa [Greek:Στοά] yang dapat diartikan Beranda.
Madzhab Filsafat Stoik ini adalah salah satu aliran filsafat kuno yang lahir di awal abad ke-3 Sebelum Masehi, di kota Atena oleh seorang filsuf bernama Zeno orang Citium, beberapa menuliskan bahwa Filosofi Stoik ini resmi terbentuk pada abad ke 108 Sebelum Masehi.
Pada masanya aliran ini banyak sekali diikuti dikarenakan tidak bertentangan dengan norma-norma agama dan manusia, juga amat mudah difahami oleh orang awam, terlebih orang-orang yang menderita [kemiskinan] banyak mengikuti aliran ini yang bertujuan memperoleh kebahagiaan sejati ditengah jeratan kehidupan.
Setelah Bapa Zeno orang Citium mendirikan aliran filsafat Stoa ini, kedepannya mulai bermunculan filsuf-filsuf lainnya yang meneruskan aliran filosofi Stiokisem ini, yakni; Chrissipus dari Soli, Cleanthes dari Assos, SEneca MUda, Cicero, Epictetus, dan Marcus Aurelius. Kamus Filsafat Terbitan Cambridge membagi para filsuf-filsuf ini menjadi tida bagian;
Pertama angkatan Stoa awal terdiri dari Zeno orang Citium (334-262SM), Chrisipus (280-206), dan Cleanthes (331-232).
Kedua angkatan Stoa tengah yang terdiri dari Panaetius (185-110 SM) dan Posidonius (135-50 SM) dari Rhodes, yang mempengaruhi Cicero (106 SM -43 M).
Dan Ketiga angkatan Stoa akhir atau Stoa Romawi, yakni
icero (106 SM -43 M), Seneca Muda (1-65M), Epictetus (55-135M), dan Marcus Aurelius (121-180M)
Jujur saya sangat suka dengan filosofi ini, karena bisa dianut oleh semua kalangan baik kalangan konglomerat, menengah bahkan bawah sekalipun, dimana filosofi ini mencoba menggapai kebahagiaan walaupun kita dalam keadaan susah tanpa memikirkan rasa susah tersebut.
Filosofi ini juga lebih menekankan moralitas manusia, yang mengajarkan agar kita selaku penganut Stoa menemima "narimakeun" apa yang ada, dan apa yang sudah mutlak tidak bisa dirubah gak udah dipaksakan untuk diiubah karena itulah salah satu penyebab manusia bersedih hati, filosofi teras ini menuntut kita untuk hidup sesuai hukum alam sebab dan akibat, dimana kita menghindari rasa takut akan segala hal dan menumbuhkan rasa cinta kasih dan persaudaraan sesama manusia.
Contoh apabila kita dihina orang seorang stoa tidak boleh menghina balik justru lebih baik diam saja dan gak usah dipedulikan, karena sudah hukum alam bahwa sifat manusia memang demikian, tetapi sifat seperti itu bukanlah sifat yang baik bagi seorang stoa.
Seorang stoa dituntut untuk tidak menginginkan hal-hal yang diluar kemampuannya, karena dengan keinginan yang luhur melebihi batas kemampuan pribadi dapat mempengaruhi keadaan hati sehingga apabila sudah diusahakan namun tidak berhasil malah akan membuat diri bersedih dan tidak berbahagia, stoikisem lebih menekankan kerendahan hati, menerima apa yang ada, menghilangkan fikiran-fikiran negatif dan jangan mudah terpengaruh dengan hal-hal diluar batas dirinya, selalu berfikir baik dan menghibur diri dengan kebaikan.
Para stoik meyakini bahwa Yang Mutlak memberikan nalar kepada manusia dan hewan , dimana dengan nalar manusia bisa manata kehidupan didunia, so jadi manusia ini salah satu makhluk yang penting dalam tatanan ciptaan Yang Mutlak, untuk mengatur dan mengolah segala ciptaan-Nya ini, yang berarti apabila manusia merusak tatanan alam yang ada berarti itu sama artinya mengancam kelangsungan hidupnya sendiri, dapat dfahami pula bahwa eksistensi manusia ini berkaitan eratnya dengan eksistensi lain disekitarnya.
Seorang sophis yang bijak yang diliputi ide-idenya itu harus hidup sesuai dengan idenya tersebut, para stoik dituntut untuk tidak berangan-angan dengan ide-ide yang tinggi tanpa mencoba mewujudkan ide-idenya tersebut, karena dengan demikian dapat mempengaruhi kebahagiaan diri, menyiksa batin dengan ketidak puasan karena tiada wujudnya hal yang tak dikehendaki.
Seorang Stoik juga jangan merasakan takut akan adanya kematian, hantu, kejahatan, peristiwa-peristiwa buruk yang mengganggu kebahagiaan, karena itu sudah menjadi hukum alam, bukan berarti seorang stoik melepaskan kepercayaan kepada hal-hal tersebut, tetapi mencoba meluruskan nalar kita agar tidak dikendalikan oleh emosi dan nafsu yang muncul karena hal-hal itu, dan dengan meluruskan nalar kita ini dapat mengendalikan perilaku diri dalam menghadapi segala hal tersebut.
Hidup stoik juga tidak lupa selalu melibatkan Tuhan/Sang Theos dalam kehidupan sehari-hari, sebab hidup kita ini merupakan tatanan dan ketetapan Sang Mutlak, dimana manusia juga diberikan-Nya kuasa untuk bertindak sesuai kebaikan-Nya.
Mungkin sekian dari tulisan saya tentang Aliran Filsafat Stoicism ini, kedepannya bakal kita kupas lebih dalam lagui tentang aliran filsafat paling populer ini. Ini sekedar dasarnya saja, dan saya still have to read about it supaya bisa lebih faham dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
So, moga manfaat.
Makasih
Salam Damai!
(sumber: https://damaimudaku.blogspot.com/2020/10/mengenal-filosofi-teras-filosofi.html)
Mystification
of Clothes as Cause of Sexual Violence and Harassment
By Fanny
Syariful Alam
Regional coordinator of Bandung
School of Peace Indonesia, a safe place for the youth to acknowledge social and
human rights issues as well as to express themselves freely for peace and
social justice
fannyplum@gmail.com www.bsopindonesia.org
2018,
in one narrow aisle in Bekasi Timur street, Jatinegara, Jakarta, Indonesia, RA
met a girl, continuing with sexual assault after hitting her head. He claimed
to conduct it spontaneously due to her revealing clothes[1]. The
latest was in July 2020 when a video shows Starbucks’ male employees[2]
who peeped the women’s customers’ breasts through their CCTV in one of the
outlets in Jakarta, Indonesia, making most people on their social media comment
on the women’s clothes, seemingly to be ‘inviting’ the perpetrators to do so.
Furthermore,
there is a tendency that women with revealing clothes are seen to have a
strong potential object for sexual harassment and rape. This statement directly
implies that the ones with more covering clothes are safer. According to one of the protection institutions for women, Rifka Annisa[3]
through their spokesperson, Defirentia Muharomah, in Jogjakarta, Indonesia, the above statement
is according to one of their researches underlying that the actors do the
actions because they deserve to be “the righteous” to see women with such
clothes, and even they never feel guilty to conduct them
Everywhere,
women are vulnerable for sexual harassments and violence with the skyrocketing number
across the world. No matter how many international covenants about human rights
and equal rights for women as well as some improvement of applicable laws to
support and to prevent them from those above-mentioned misconduct have been
signed, they cannot prevent them to be still easily exposed with various undermining
actions, while the societies and authorized officials tend to blame them as
well. The main victimization definitely leads to what they are wearing when the
events emerge. Clothes are one of the visible yet easiest causes to re-accuse
women for encountering sexual
misconduct. Furthermore, it is still effortful to raise public awareness to
see the reality that sexual harassments and violence occur to women merely on
account of perpetrators’ pure crime and negative mindsets, not because of the
victims. This circumstance stirs most people to dismiss the victims’
perspectives despite their condemns against their experience.
Clothes as Moral Standard Time to
Time : Indonesian Religion-Based Perspective
Clothes
usually symbolize certain parts of traditions, or even stories, and have
maintained ancient stories of rituals, values of the countries, the identity of
people. At first in general, identities are constructed through use of
building materials, starting from history, geography, biology, productive and
reproductive institutions, collective memories, personal fantasies, power
apparatuses, and religious revelations (Castells,2010)[4].
Time develops and clothes improve as fashion
ideology. Clothes and fashion appear to be simultaneously inter-exchanged in
terminology, however, in sociology terms, clothes mutates to broader definition
to fashion as the non-cumulative change of cultural features, originating from
a basic tension specifically to the condition of the human being which
underlies the tendency to imitate somebody else or to distinguish ourselves
from others (Simmel, 1904)[5].
Simmel’s statement about fashion assists
to identify clothes as a part of cultural traits, one of them is religion. Specifically,
most the institutionalized religions provide their values as codes for societies
for defining morality standards, even towards the existence of clothes that are
supposed to be worn by societies. By following their conduct, the societies
have an imperative role to maintain their religions’ traditions as well as to
control them symbolically. Gradually, the value alters to be the obligation which
must be accepted everywhere, and soon it will be a new justification for people
to blame those improperly dressed according to it.
Clothes implies main religions’ conducts described through the religion
principles, for example here Islam (Arthur, Linda.B)[6]. When
it comes to Islam, whose followers are referred to as Muslims, and according to
The Koran as their holy book, Muslim women are required to dress
modestly, in this case, to cover their bodies, which actually encompasses the
principle of restricting their behaviors as well as to anticipate disrespectful
actions sexually. Islam itself is segregated
to moderate and conservative groups, which affect the code of clothing for the women
in particular. The conservative requires them to comply with the tradition, as
a way to combat the cultural assimilation from westernization through Islam
societies since the end of World War II.
In Indonesia, the idea of
assimilating religion principle, in this case Islam, as moral standard for
people’s life emerges as an accepted value when later to be an imposed norm
through some of formal provincial and
regional regulations. In contrast, for example, while women in the country
might enjoy openness based on a fair gender perspective to make them equal to men,
yet they have currently been facing conservatism in Islam to shift some values,
one of which relies on how to rule women’s clothes in public. The tendency to
adhere to Islamic values gets to be certain when recently it has been the likely
story to see women in veil in various terms of jobs, mostly in government
instances and other public institutions. For example, on 26 June 2020, The
Regent of Central Lombok, Moh.Suhaili Fadhil Thohir, instructed all Moslem
women civil servants to wear chador[7]
instead of health masks to combat COVID pandemic. All of them, for the first
time on 3 July 2020, participated in the Friday’s routine sport wearing their
chador. The regent himself checked them one by one based on the chador requirement
on behalf of the Islamic value, and started to criticize the ones who were
still wearing long trousers instead of long dress as a part of chador
requirements. Throwing back in 2012, the similar regulation was applied in the
regency area of Bone Bolango in the province of Gorontalo,[8]
explaining that all women civil servants had to wear formal Muslim attire as
instructed by the Regent through his deputy, Hamim Pou. He underlined that it
was a must in a purpose to support the regional principle of Bone Bolango
Bermartabat (the dignified Bone Bolango) as well as to provide the polite
impression in front of public.
The circumstance eventually
segregates Islamic women and non-Islamic ones despite the country’s obligation
to respect both of their rights with no exceptions. As well, it directs women
to comply with the principle when dressing appropriately. Unfortunately, the
conduct tends to be forced to non-Islamic women[9],
particularly students of high schools where the regions adopt the conduct, for
example in Aceh, where the Syariah principle is applied onto the regional law
completely, in Padang, West Sumatera, and some regions in Central Java[10]
as well as other 21 provinces in Indonesia.
“Inappropriate “ Clothes Means
Justification for Sexual Violence and Harassments?
In accordance with the
above-mentioned religion value, clothes become another new moral standard which
particularly applies to women. They
thrive to be a parameter when seeing most cases of sexual violence and
harassment. The principle of women’s wearing any they prefer for their own
comfort is found against the applicable value in public (whether it is accepted
by collaborative consent or forced on behalf of the society’s will), and it is
very usual when religious value is promoted to support moral standardization through
the tools, such as clothes. It is taken as
a must, which actually for some women it is the optional matter because it is a
personal thing other people cannot interfere despite carrying the religion
behind.
What is taken ‘inappropriate’ in
terms of clothes? Inevitably, religions inspire their followers to act, to
behave, and lately, seldom do they treat
them as personal conducts, but more than that, they exactly prefer their peers
or other parts of public to conduct the same principle. This process somehow gains
a politicization, supported by politicians and religious leaders, as a result, not only can
it be another law product, but also a guidance which allows the justification
to victimize women through their clothes when encountering sexual violence and harassments.
In order to contrast the existence of westernization in daily attire, clothes usually
are directed to follow the religion values, imposed to more women to do so.
The tendency to justify the reason
most women are assaulted and harassed sexually as well as to victimize them due
to their clothes shows lack of human right and victim perspectives since they
keep being blamed no matter how bad the experience they have gained. Most people ignore the circumstance of religious environment where the people are
openly prone to sexual violence and harassment, as said by Fathkhurozi, a
director of Legal Resources Centre for Gender and Human Rights [11]that
around the period of 2009-2012 approximately 85 girls and children were
assaulted sexually in the environment of Islamic boarding schools in Central
Java. Not only the assaults such as sodomy, rape, but also other forms of
violence, such as underage and forced marriage took place at most of the
places.
The perspective of attention towards
victims of sexual violence and harassment is on the need to be acknowledged without
focusing on their clothes and it should be properly introduced to all people,
not only the ones who are relevant to anticipate such cases. No women or men
should be facing any undermining practice. The thought to see anyone to get
such experience on account of their inappropriateness of their clothes should
be eliminated distantly from everybody’s mind.
Are we still going to blame the
victims on what they are wearing? Or are we going to start to listen to their
perspectives?
Bibliography :
4. Castells, M.(2010).
The power of identity with
a new preface,
Second edition. Oxford: Blackwell Publishing
5. Benvenuto, Sergio, Book Review of
Georg Simmel ‘Fashion’, Journal of Artificial Societies and Social Simulation
(JAASS), Volume 3-Issue 2, March 2000
6.
Arthur, Linda.B, Religion and Dress, https://fashion-history.lovetoknow.com/fashion-history-eras/religion-dress
7.
https://www.hrw.org/id/news/2020/07/08/375744 Diskriminasi Aturan Berpakaian Di Lombok Tetap Berlaku
Selama Pandemi COVID-19
8. https://republika.co.id/berita/nasional/umum/12/02/08/lz2nuk-di-bone-pns-wanita-wajib-berjilbab
9.
https://independensi.com/2018/08/25/siswi-kristen-wajib-pakai-jilbab-di-riau/
11. https://ecpatindonesia.org/berita/terjadi-pelecehan-seksual-di-pesantren/
[1]
https://www.liputan6.com/news/read/3295673/pelaku-pelecehan-seksual-di-jatinegara-tergiur-pakaian-seksi-korban
[2]
https://news.detik.com/berita/d-5077990/baju-pelanggan-starbucks-yang-diintip-disorot-ini-kata-komnas-perempuan/2
[3]
https://lifestyle.kompas.com/read/2018/11/09/070700020/pakaian-korban-kerap-disalahkan-dalam-kasus-pemerkosaan-pantaskah-?page=all
[4]
Castells, M.(2010).
The power of
identity with a
new preface, Second
edition. Oxford: Blackwell
Publishing
[5]
Benvenuto, Sergio, Book Review
of Georg Simmel ‘Fashion’, Journal of Artificial Societies and Social Simulation
(JAASS), Volume 3-Issue 2, March 2000
[6]
Arthur, Linda.B, Religion and Dress, https://fashion-history.lovetoknow.com/fashion-history-eras/religion-dress
[7] https://www.hrw.org/id/news/2020/07/08/375744 Diskriminasi
Aturan Berpakaian Di Lombok Tetap Berlaku Selama Pandemi COVID-19