Tampilkan postingan dengan label gender dan seksualitas. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label gender dan seksualitas. Tampilkan semua postingan

Rabu, 19 Agustus 2020

Rhaka dan Wina dari Sekodi Bandung Melakukan Orasi Puisi dan Tubuh di Aksi RUU PKS Bandung

oleh Rhaka Katresna, Mahasiswa Departemen Psikologi Universitas Pendidikan Indonesia dari Sekodi Bandung

Saya (Rhaka Katresna) dan Wina Hasna Vania melakukan orasi tubuh dan puisi di kegiatan Aksi Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) di depan Gedung Sate, Bandung pada Selasa, 21 Juli 2020. Kami mewakili Sekolah Damai Indonesia bersama dengan pendukung RUU PKS lainnya dari berbagai wilayah di Bandung Raya.

Metode yang saya lakukan dalam tari adalah Embodied Justice. Itu adalah sebuah metode yang saya pelajari langsung dari Alexia Buono. Metode ini muncul dari presentasi performatif Dr. Buono di International Congress of Qualitative Inquiry Mei 2019 bertajuk "A Restorative Justice for Body in Research Scholarship".

Buono (2020) menjelaskan bahwa keadilan restoratif adalah perbaikan kooperatif atas kerugian yang disebabkan oleh perilaku kriminal yang dapat mengarah pada transformasi diri, relasional, dan komunal. Latihan ini mencakup praktik koreografi penyelidikan, dialog, dan kreativitas multimodal (frase tarian, peta tubuh, dan kata-kata tertulis).

Embodied justice mengundang semua orang yang terlibat (penari, koreografer, penonton) untuk bersama-sama mengakui, mengubah pola, dan memperbaiki kerusakan yang telah terjadi pada tubuh (fisik, emosional, kognitif, sejarah, sosial, dll.) dengan berbagi dalam pertunjukan dan pengalaman koreografi bersama.

Penampilan

Rhaka Katresna sebelum Penampilan

Saya meminta Wina dan Sapitri untuk menyiapkan teks orasi 3 hari sebelum tampil. 

Kemudian malam sebelum penampilan, saya bertanya pada diri saya sendiri mengenai hal-hal berikut:
  1. Apa yang saya rasakan sebagai penyintas kekerasan seksual?
  2. Bagaimana saya memaafkan dan mengakses pengalaman itu?
  3. Apa yang rusak?
  4. Gerakan apa yang berhubungan dengan pengalaman saya?
  5. Apa refleksi saya setelah menjawab 1 - 4?
Saya menyimpulkan bahwa saya dapat menghubungkan diri saya dan tubuh saya dengan pengalaman pelecehan seksual. Proses itu lebih jauh mengingatkan diri saya sendiri tentang pengalaman saya sendiri tentang pelecehan seksual. Mengejutkan karena tubuh benar-benar mengingat apa yang terjadi secara detail.

Rhaka dan Wina melakukan Orasi Tubuh dan Puisi

Pada hari pertunjukan, saya membaca kembali apa yang saya tulis. Saya minta Wina berpidato sambil menari. Kemudian, saya tampil. Saya menemukan bahwa gerakan saya dipengaruhi oleh pidato. Itu membuat gerakan saya menjadi gerakan terpaku saat saya merasa kaki saya tertekan di jalan. Saya mengubah gerakan saya melalui tangan dan kaki saya. Saya malah memikirkan sesuatu yang menyakitkan dan mengalaminya. Pola yang berulang adalah membungkuk ke belakang, tangan meraih bantuan, menghentikan gerakan, dan menarik bagian tubuh lain dengan tangan.

Referensi

Buono, Alexia. (2020). Undergraduate Faculty Mini-Grant Application Project Description: Body Concept. Tidak diterbitkan.

Kamis, 14 Mei 2020

Diskusi Stigma terhadap Transpuan

Pada Sabtu (10/05) pukul 13.00, Sekolah Damai Indonesia mengadakan diskusi daring melalui WhatsApp group mengenai Stigma Terhadap Transpuan. Teh Riri dari Srikandi Pasundan menjadi narasumber dan Hobie menjadi moderator untuk Diskusi.

Tema ini diambil dari kasus prank sembako viral yang dilakukan oleh Ferdian Paleka dan dua orang temannya, yaitu Tubagus Fahddinar Achyar dan M. Aidil Fitrisyah terhadap transpuan di Bandung beberapa pekan sebelumnya. Tentu, ini menjadi pencemaran nama baik bagi korban dan perspektif masyarakat mempunyai respon yang berbeda-beda terhadap kasus ini. Hal ini tentu tidak terlepas dari munculnya stigma dan diskriminasi terhadap transpuan.

Teh Riri berasal dari komunitas transpuan Srikandi Pasundan. Ia hadir dalam diskusi bersama mbak Sofa dari Perwakos -  Persatuan Waria Surabaya, mbak Tata dari Iwayo - Ikatan Waria Yogyakarta, Ayu dari Srikandi Patriot Bekasi, bang Zen dari komunitas transmen DKI Jakarta.

Stigma adalah cap buruk. Agak sulit untuk menghilangkan cap buruk terhadap waria karena warianya sendiri juga masih banyak yang terlibat hal-hal buruk. Mami Riri menambahkan bahwa ia berusaha berkompromi dengan keadaan, cap buruk membuat mami Riri terhindar copet saat sendirian pulang malam di kereta api ekonomi, bisa membantu diri aman dari gangguan.

Diskriminasi sudah cukup berkurang, layanan-layanan terhadap kami sudah baik seperti terhadap masyarakat umum biasa. Waria miskin lebih terdiskriminasi, sementara waria kaya raya malah mendiskriminasi.

Menurut Teh Riri, stigma itu sudah mulai berkurang dengan semakin banyak teman-teman transpuan yg berdaya, baik dari ranah advokasi, sosial dan budaya. Teman-teman sudah banyak yang berkolaborasi dengan penentu kebijakan.

Sore itu, perbincangan semakin meluas mengenai pengalaman beberapa peserta diskusi dengan beberapa waria. Beberapa teman yang hadir dalam diskusi ternyata ada yang berubah persepsinya pada teman-teman waria, karena pengalaman positif yang ia alami, sehingga persepsi yang awalnya negatif pun dikoreksi. 

Stigma yang dirasakan oleh teman-teman waria juga tanpa sadar dilakukan oleh kebanyakan orang mulai dari sebutan-sebutan yang merendahkan. Terdapat berbagai istilah yang cukup dikenal untuk menyebut kelompok transpuan, mulai dari waria, banci, wadam, bencong, dan istilah yang akhir-akhir ini lebih banyak digunakan adalah transpuan. Kemudian muncul pertanyaan, sebutan apa yang paling nyaman untuk teman-teman transpuan sendiri? Seorang teman transpuan menjawab, "Panggil saja mbak, bu, jeng, atau teteh. Itu yang lebih aman bila memanggil kami, karena di luar itu bisa berbeda persepsi. Tapi, kadang intonasi dan kedekatan personal bisa membuat panggilan-panggilan itu berbeda makna."

Gender, identitas gender, ekspresi gender, perilaku seksual, orientasi seksual, dan berbagai aspek lainnya itu berbeda-beda, sehingga disebut spektrum. Semakin kita mengetahui, semakin kita mendalami bahwa setiap manusia itu beragam, apalagi melibatkan konsep gender dan seksual yang sepertinya tidak akan habis dibahas dan bakal selalu menjadi bahasan menarik.

Stigma dan diskriminasi terhadap teman-teman transpuan dapat dihilangkan mulai dari setiap pribadi dari kita. Betapapun kita berbeda satu sama lain, kita perlu menyadari satu hal yang menjadi persamaan dan menyatukan kita: kemanusiaan.


(Rhaka Katresna)

Selasa, 07 Januari 2020

Diskusi Kelompok Terarah dengan SOFI Initiative

Menerima Undangan
Pada 30 Desember 2019, saya menerima surat undangan dari SOFI Institute untuk mengikuti diskusi kelompok terarah mengenai Penguatan Pendidikan Gender dan Seksualitas untuk Pemuda. Dalam suratnya tertera bahwa kegiatan ini akan dilaksanakan di Cirebon pada hari Sabtu, 4 Januari 2020. Tepat setelah pesta tahun baru diadakan.

Perjalanan 4 Januari 2020
Saya pergi ke Cirebon bersama Alaena dari Garut, dan Hobie dari Garut. Alaena mewakili pemuda dari Garut sementara Hobie dan saya mewakili Sekolah Damai Indonesia dan Arjuna Pasundan. Kami berjumpa pada dini hari dari Buah Batu, kemudian berangkat menaiki shuttle bus. Setibanya di Cirebon kita segera memesan angkutan daring menuju lokasi kegiatan di Metland Hotel Cirebon.

SOFI Initiative sedang merencanakan program kerja terkait pendidikan gender dan séksualitas di Ciayumajakuning dan Jawa Barat. Terdiri dari dua sesi yaitu sesi pertama focused group discussion (FGD) untuk ahli dan komunitas dan sesi kedua FGD untuk pemuda umum. FGD ini dibuka oleh MC Teh Iqoh dari SOFI kemudian difasilitasi oleh Ael dari YIFOS.

Pertanyaan yang diajukan untuk FGD mencakup beberapa poin berikut:
1. Apa yang terbayang mengenai Pendidikan Gender dan Seksualitas?
2. Dari mana Anda mendapatkan pelatihan Gender dan Seksualitas?
3. Manfaat dari Pendidikan Gender dan Seksualitas
4. Sejak kapan mendapatkan Pendidikan Gender dan Seksualitas?
5. Persoalan yang muncul mengenai Gender dan Seksualitas
6. Kebijakan daerah mengenai gender dan seksualitas
7. Situasi institusi pendidikan terkait gender dan seksualitas
8. Tantangan di institusi pendidikan terkait gender dan seksualitas
9. Hal baik apa yang dimiliki mengenai Pendidikan Gender dan Seksualitas?
10. Konten rekomendasi untuk Pendidikan Gender dan Seksualitas
11. Layanan sipil mengenai Gender dan Seksualitas

Pertanyaan-pertanyaan tersebut disampaikan di kedua sesi tersebut. Untuk sesi kedua ada satu pertanyaan yang ditambahkan yaitu mengenai situasi terkait gender dan seksualitas di komunitas daring.

Dalam forum tersebut saya menyampaikan pengalaman saya selama di Bandung dan Garut. Mendengarkan cerita dari teman-teman di forum membuat diri saya mengenali situasi dan kondisi pendidikan gender dan seksualitas terutama di daerah Cirebon, Indramayu, Majalengka, Kuningan, dan Jawa Barat. Adalah kesempatan yang menyenangkan untuk dapat berbagi dalam forum ini dan berkenalan dengan berbagai pihak yang memperhatikan gender dan seksualitas. 

Hobie menambahkan pada diskusi dalam grup Sekodi mengenai kegiatan FGD:
Di sana ada sharing mengenai masalah gender dan seksualitas menurut wilayah, pengalaman pribadi, bagaimana fasilitas penunjang dan hukum hukum yang terkait gender dan seksualitas di institusi pendidikan maupun pemerintahan, sempet ngobrol juga sama anak anak muda di Cirebonnya mengenai kondisi gender dan seksualitas di Cirebon seperti apa. 

Hasil FGD yang dilakukan ini akan mejadi bahan pertimbangan mereka untuk pengembangan program SOFI Initiative dan komunitas lain, termasuk Sekodi Bandung.

(Rhaka Katresna)

Senin, 18 November 2019

Bandung School of Peace Indonesia collaboration with Global Interfaith Network

Fanny S. Alam, city coordinator for Bandung School of Peace Indonesia has been chosen to be a scholar for the General Meeting of Global Interfaith Network in Columbia. Unfortunately, he could not come to the conference due to some technical issues. With respect to collaborate with Global Interfaith Network, who cares about gender identity and sexual orientation, this video explains Bandung School of Peace Indonesia's movement related to gender identity and sexual orientation issues. This video represents Bandung School of Peace Indonesia at that conference.



Senin, 07 Oktober 2019

Gender dan Seksualitas: Sebagai Spektrum Dinamis dan Continuum Statis

Membahas isu gender dan seksualitas masih menjadi suatu hal yang tabu di Indonesia. Gender dan seks (jenis kelamin) sering diinterpretasi sebagai suatu kondisi yang sama, sehingga muncul stereotipe maupun stigma terhadap individu dan dianggap melanggar norma sosial, sedangkan secara teori dua kondisi tersebut mempunyai penjelasan yang berbeda.

Gender merupakan kondisi laki-laki, perempuan, maupun spektrum lain yang muncul karena proses identifikasi oleh diri sendiri, lingkungan sosial, budaya, atau adat yang berlaku. Seks atau jenis kelamin merupakan keadaan biologis pada manusia seperti laki-laki mempunyai penis, hormon testosteron, mengeluarkan sperma, mempunyai kromosom XY, sedangkan perempuan mempunyai vagina, hormon estrogen, mempunyai rahim, dan mempunyai kromosom XX.

Di sisi lain, masih terdapat pro dan kontra terhadap identifikasi gender laki-laki maupun perempuan karena memang gender adalah spektrum yang hanya dapat dirasakan oleh individu itu sendiri. Individu mempunyai hak atas identitas gender yang telah dipilih, meskipun norma budaya sosial di Indonesia memegang heteronormatif atau norma bahwa laki-laki memiliki penis dan maskulin serta perempuan memiliki vagina dan feminin.

Bahasan gender dan seksualitas mempunyai ruang lingkup yang luas dan mempunyai definisi yang beragam, tetapi terdapat empat bahasan menarik sebagai dasar pengetahuan topik gender dan seksualitas yang dijelaskan oleh Teh Hani Yulindrasari, M. Gendst., PhD., yaitu identitas gender, orientasi seksual, ekspresi gender, dan perilaku seksual.

Identitas gender merupakan kondisi individu secara sadar bahwa dia memilih sebagai laki-laki atau perempuan atau spektrum gender lainnya. Identitas gender terbagi atas pemberian label laki-laki, perempuan, atau spektrum gender lainnya oleh diri sendiri serta pemberian label oleh masyarakat. Identitas gender tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin biologis, apabila individu mempunyai penis tapi merasa bahwa dia perempuan, hal tersebut merupakan identitas gender yang dirasa oleh individu itu sendiri tanpa ada pengaruh dari masyarakat. Pemberian label laki-laki dan perempuan oleh masyarakat memang tidak terlepas dari norma sosial yang dianut. Norma di Indonesia menekankan bahwa individu dengan penis pasti memiliki identitas gender laki-laki dan vagina pasti perempuan, sedangkan pada beberapa orang ada yang merasa tidak nyaman dengan jenis kelamin mereka karena tidak sesuai dengan identitas gender. Tuntutan norma yang berlaku dapat menekan individu yang mempunyai identitas gender berbeda dengan jenis kelamin sehingga menimbulkan frustrasi atas dirinya sendiri. 

Identitas gender individu ditunjukkan lewat ekspresi gender, ekspresi gender merupakan perilaku untuk mengekspresikan diri dari cara berpakaian, berjalan, berbicara, dan berbagai macam hal lainnya yang menunjukkan ekspresi maskulin, feminin, maupun androgini (diantara maskulin maupun feminin). Ekspresi ini mempunyai norma yang berbeda-beda, ekspresi maskulin sering ditunjukkan sebagai suatu sifat gagah, baku, statis, sedangkan feminin merupakan sifat yang lemah lembut dan dinamis. Individu yang mempunyai penis dengan identitas gender laki-laki serta ekspresi gender maskulin serta individu yang mempunyai vagina dengan identitas gender perempuan serta ekspresi gender feminin merupakan norma yang sangat terpatri di Indonesia yang memang heteronormatif. Sayangnya ekspresi gender hanya menampilkan apa yang ingin dilihat orang tanpa menjadi dirinya sendiri. Apabila sedikit saja ada ekspresi gender yang berbeda dengan norma, pasti dikaitkan dengan perilaku menyimpang. Laki-laki yang menunjukkan ekspresi gender ‘melambai’ layaknya perempuan pasti mendapat label bahwa laki-laki tersebut mempunyai orientasi seksual sejenis. Perempuan yang memotong rambutnya hingga pendek dan memakai pakaian tomboy layaknya pria mendapat label lesbian. 

Padahal, orientasi seksual seseorang tidak bisa ditafsirkan hanya dengan melihat pakaian yang dipakai, cara orang berjalan, warna kesukaan, intonasi suara, dan berbagai macam aspek ekspresi gender lainnya. Individu bebas menentukan kondisi nyaman terhadap orientasi seksual yang dipilihnya, baik heteroseksual (beda jenis) maupun homoseksual (sama jenis).

Pertanyaan yang paling sering muncul adalah, “Apakah orientasi seksual lesbian, gay, biseksual merupakan penyakit?”. Jawabannya: sama sekali bukan, bahkan Asosiasi Psikiatrik Amerika telah menghapus homoseksual dari DSM-V (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder) sebagai gangguan jiwa. Pedoman Penggolongan Gangguan Jiwa – III yang dipakai untuk mendiagnosa gangguan jiwa di Indonesia menunjukkan bahwa orientasi seksual yang berbeda (baik heteroseksual maupun homoseksual) dapat disebut gangguan karena individu tidak nyaman dengan orientasi yang dia pilih, bahkan individu dengan orientasi heteroseksual dapat terkena gangguan apabila dia tidak nyaman saat menyukai beda jenis kelamin.

Muncul stigma bahwa mempunyai orientasi seksual minoritas di Indonesia seringkali dicap sebagai ‘predator sex’ seperti individu dengan orientasi seksual gay. Padahal dalam kenyataan banyak sekali pasangan homoseks yang sulit mencari pasangan dan merasakan patah hati sama halnya dengan pasangan heteroseksual. Perlu digarisbawahi bahwa menjadi homoseksual bukan berarti mereka melakukan hubungan seksual secara terus menerus. Individu homoseksual dapat melakukan aktivitas seksual maupun perilaku seksual pada beda jenis, begitupun sebaliknya. Perilaku seksual dapat dilakukan pada setiap orang tanpa memandang orientasi seksual. Perilaku seksual yang paling sering ditemui adalah menggandeng tangan, mencium kening, memeluk, dan membelai rambut. Perilaku yang ditunjukkan tidak merujuk pada orientasi seksual manapun, perempuan dapat menggandeng tangan perempuan lainnya tanpa stigma, tapi ketika laki-laki menggandeng tangan laki-laki lain akan muncul stigma bahwa pasti mereka merupakan pasangan gay, padahal bisa saja kedua laki-laki itu merupakan adik kakak.

Pengetahuan mengenai gender dan seksualitas sangat beragam, sehingga tidak bisa kita membuat simpulan yang sama. Seperti yang telah dipaparkan bahwa identitas gender, ekspresi gender, orientasi seksual, dan perilaku seksual tidak ada yang berhubungan satu sama lain. Identitas gender perempuan dengan ekspresi anggun bukan berarti heteroseksual, laki-laki yang senang dandan bukan berarti dia homoseksual atau transgender.

Memahami gender dan seksualitas memang tidak mudah, tapi setidaknya kita belajar bahwa setiap individu itu unik dan mempunyai keberagaman masing-masing. Kita tidak mempunyai hak untuk melakukan diskriminasi maupun merugikan orang lain, hidup kita berharga ketika kita tidak menghakimi orang lain. Salam damai!

Hobie Fauzan

Kamis, 03 Oktober 2019

Transwomen Gap in a Formal Work Attainment as a Constrain of Indonesia's SDGS Accomplishment. An Executive Summary for a Panel of Rhethoric Gender in Indonesia


 
By Fanny S Alam 
Bandung School of Peace Indonesia for Euroseas Conference 2019 
Humboltd University, Berlin 

Thank you for your time and attention to our panel. Thank the Euroseas Committee who have already accepted my paper. Therefore, I am open for any objective and constructive criticism both from you and the audience. I would like to introduce myself, my name is Fanny S Alam, working as City Coordinator in Bandung School of Peace which is in line with School of Peace Indonesia National. We organize weekly programs to introduce human rights and social issues for the youth in the city. We set them thematically, starting from religions and beliefs, gender diversity and sexuality, and other minorities as well as politics and environment in purpose to develop the youth's emphaty and willingness to engage with minorities in the city. Discussing about minorities, one of which becomes the highlight in my paper, is about transwomen and their issues, mostly about how to attain formal work. It is definitely a hard issue to talk, mostly due to stigma and discrimination not only from societies but also from the government apparatus. Attaining formal work is important for anybody to secure their daily needs as well as their future saving. It is very common to see people search for a job. It is the world with competition, though. However, when coming to transwomen for their work, it is barely seen that they could work openly in formal sectors. As known that Indonesia has committed to signing platform of SDGs which has inclusion principles. It means this platform secures no one left behind, ensuring that all development interests must cover anyone without exceptions (stated by U.N. statement). It includes vulnerable or marginalized groups including LGBTI. The country has ratified U.N. covenant about human rights to Law of Republic of Indonesia no 12/2005 with Act 1 securing Indonesia human rights regardless the positions of sex, ethnicity, race, religion, and sexual orientation. However, its implementation faces some issues, particularly about transwomen positions. The norms of religion and heteronormative values are adopted in this country, therefore it makes their position harder to be recognized officially. From one of interview sessions with a transwomen activist from Srikandi Pasundan, she underlines how the societies and government apparatus label them social diseases, being arrested by public orders enforcers on the streets to be put in a short term day rehabilitation. Most of their transwomen partners work in informal sectors, such as waitress, spa therapist, hairstylist, and cook in several caterings. On the other side, another transwoman, name Abi says that she used to apply for some formal jobs. She is a university graduate in communication major and she faces some uncomfortable situations mainly in final interviews after revealing her true gender identity and soon after that most of the companies she applied never contact her. The above experiences leave us some questions, particularly about how the country shows their partiality to support anyone as they ratified through the national law. Why it seems difficult for them to appreciate and to recognize transwomen position as humans the same as others. If the government do not respect their rights, one of which is to secure their right for attaining formal work, then their commitment in SDGs is questionable and becomes another constrain because it seems to be reluctant for the country to stand for their rights fully. It might be challenging for the Indonesian government to be open minded to recognize their existence, while it is certain that the societies here will do so. With the rise of more conservatism in religion in Indonesia, it is still a long way to go for transwomen to be secured for their rights, especially for their formal work attainment. They are still struggling while the government has already been attached with some certain human rights ratifications which also address their rights in this country.

Rabu, 03 Juli 2019

Publikasi Dari Sekodi Bandung untuk Semua

















Publikasi itu penting. Mengapa? Karena dari hal itu kita dapat membuktikan bahwa kerja kita, terutama berkarya di satu komunitas yang berhubungan dengan teman-teman muda dan isu sosial dan hak asasi manusia, bisa mendapatkan pengakuan sekaligus memperkenalkan kerja kita semua. Publikasi bisa awet, tahan lama, dan memungkinkan dibaca oleh para penyimaknya. Foto-foto di atas adalah sebagian karya publikasi 2 teman Sekodi Bandung. Sebagian tulisan lengkap pernah dipublikasikan dalam web ini. Untuk yang lain dapat diakses melalui tautan:



Semoga teman-teman Sekodi Bandung lainnya memiliki motivasi kuat untuk mempertajam karya kerja kita semua lewat tulisan dan publikasi apa pun itu. Salam damai.

Kamis, 21 Maret 2019

Gender, Feminisme, dan Berbagai Kaitan Dengan Konstruksi Sosial Bentukan di Masyarakat



 
 “If you want to change the world, pick up your pen and write” – Martin Luther. 

Sebuah tulisan dapat membawa dampak dan perubahan yang besar. Hal ini juga yang terjadi pada Sekolah Damai Indonesia – Bandung. Beberapa hari lalu, bertepatan dengan hari perempuan sedunia, seorang teman Sekodi, membagikan tulisan karyanya yang dimuat di salah satu situs. Ternyata, tulisan itu menimbulkan berbagai interpretasi dan memantik diskusi yang cukup seru di grup WhatsApp, ada pro dan kontra, ada kritik dan saran, ada pujian dan kegelisahan. Akan tetapi karena dirasa diskusi digital kurang memuaskan, maka diputuskan untuk berdiskusi lebih lanjut secara tatap muka, bersama dengan narasumber yakni Dr. Aquarini Priyatna, dosen FIB Unpad, seorang feminis yang sudah sangat ahli dalam isu gender, sosial dan budaya. 

Diskusi diawali dengan pemaparan dari penulis artikel tersebut mengenai maksud dari tulisannya, tujuan ia menulis artikel, serta pemikir-pemikir yang dikutip dan menjadi inspirasi dari tulisan tersebut. Kemudian Bu Aquarini menanggapi artikel yang disampaikan. Secara umum, Bu Aquarini memberi penjelasan mengenai pembuatan sebuah tulisan yang baik, yakni dengan berfokus pada satu topik tertentu, disusun secara runtut untuk membangun argumen yang kuat. Jika tulisan mengacu pada satu atau dua buku atau artikel lain, perlu diberi penjelasan sehingga tidak dianggap sebagai plagiasi. 

Bu Aquarini lalu menjelaskan lebih lanjut tentang maskulinitas dan feminitas. Maskulin dan feminin adalah konstruksi sosial mengenai hal-hal yang dianggap lebih memiliki sifat laki-laki atau perempuan. Maskulin dan feminin adalah sebuah kontinum, dan kita selalu punya sifat-sifat maskulin dan feminin dalam diri kita, dengan level dan kombinasi yang berbeda-beda. Sayangnya, konstruksi feminin dan maskulin ini seringkali diidentikkan dengan jenis kelamin tertentu, menjadi semacam ‘label’ yang tidak bisa dihilangkan. Hal ini pun membawa pengaruh sangat besar dalam kehidupan, disadari atau tidak, disukai atau tidak. Kita terbiasa dengan standar perilaku dan sifat perempuan maupun laki-laki dalam kepala kita, sehingga cara kita mendidik anak, memperlakukan orang lain, serta keputusan-keputusan yang dibuat, bahkan ruang atau bangunan yang dibuat seringkali secara otomatis mengacu pada konstruksi itu. Akan tetapi seiring berjalannya waktu, perempuan dan laki-laki harus menyadari bahwa konstruksi tradisional itu tidak lagi relevan dan laki-laki maupun perempuan harus sama-sama belajar untuk saling melengkapi satu sama lain, misalnya perempuan juga harus belajar untuk berani berkompetisi dan mengambil keputusan, laki-laki perlu cukup berani untuk menampilkan kerentanannya, perempuan juga perlu memperjuangkan pendidikan tinggi dan jenjang karir yang baik, laki-laki juga harus terlibat dalam pengasuhan anak, dan lain sebagainya. Perempuan dan laki-laki itu setara, maka kita adalah partner untuk saling belajar satu sama lain. 

Diskusi dilanjutkan dengan tanya jawab. Cukup banyak teman Sekolah Damai Indonesia – Bandung yang sangat antusias untuk bertanya dan berdiskusi lebih lanjut, misalnya mengaitkan topik gender ini dengan tafsir ajaran agama tertentu, serta dengan kebijakan politik tertentu. Bu Aquarini mengingatkan bahwa agama itu adalah juga konstruksi sosial budaya. Agama turun dalam bentuk teks dan dapat ditafsirkan dengan cara yang berbeda-beda. Ketika kita berbicara tentang peran gender, dikaitkan dengan agama dan politik, yang perlu disadari adalah bahwa perempuan maupun laki-laki memang memiliki potensi tertentu secara biologis, namun secara sosial, perempuan maupun laki-laki dapat saling belajar dan bekerja sama. Diskusi ini menjadi menarik karena berangkat dari suatu artikel yang memancing beragam interpretasi. Dari sisi pembaca, kita perlu kritis ketika membaca, jangan terlalu cepat percaya pada apa yang tertulis, namun pertanyakan kembali apa yang tertulis itu. Sebaliknya, dari sisi penulis artikel, penulis perlu sangat hati-hati dalam menyusun artikel, perlu referensi yang cukup, logika berpikir dan logika menulis yang runtut serta argumen yang jelas, sehingga meminimalisir munculnya interpretasi yang kurang sesuai dengan maksud tulisan itu sendiri.

* Foto-foto diambil di pertemuan sekodi Bandung, tanggal 16 Maret 2018 hari Sabtu, dimoderasi oleh Hani Yulindrasari dan narasumber Aquarini Priyatna. Tulisan oleh Stella Vania Puspitasari 

Selasa, 05 Maret 2019

LGBT dan Pusaran Diskriminasi di Tahun Politik 2019



 
Tahun politik 2019 yang selalu disebut tahun panas, terutama karena semua mata tertuju krpada dua kandidat presiden dan calon wakilnya. Keduanya saling mempromosikan indonesia yang lebih baik, lebih bermartabat, lebih dapat menyejahterakan warganya. Tahun politik ini juga sebenarnya merupakan kampanye tidak langsung bagaimana calon presiden mampu memetakan suara masyarakat pada masa-masa awal kampanye sekarang ini. Dukungan kelompok politik tertentu hingga kelompok agama merupakan hal signifikan bagi kedua kandidat. Dibantu oleh tim ahli dan tim sukses, kedua kandidat diharapkan mampu memetakan masalah masyarakat hingga tatanan ideal sosial politik ekonomi budaya masyarakat. Tidak dapat dipungkiri bahwa demi kepentingan politik yang bersifat menarik suara dari masyarakat, maka sangat penting bagi kedua kandidat memperhatikan aspirasi dari masyarakat dan tokoh-tokoh penting serta tim ahli. Salah satunya adalah ketika bagaimana tiap kandidat memperlihatkan keberpihakan terhadap kelompok masyarakat rentan,salah satunya LGBT. 16 Februari 2019 minggu ke 3 pertemuan sekodi Bandung dimoderasi oleh salah satu fasilitatornya, Nailil Muna, mahasisiwi UIN, kami membahas bagaimana LGBT mungkin dapat terjebak dalam pusaran diskriminasi akibat panasnya tahun politik 2019 ini. Bagaimana teman-teman LGBT dapat melalui pusaran ini di Indonesia semenjak ramai-ramai banyak kelompok politik menyatakan penolakannya,bahkan dalam ranah praktek politik sudah terdapat pengesahan perda anti LGBT dan penangannya, seperti di sumatera barat yang akan memberlakukan praktek rukyah terhadap siapapun yang terindikasi terlibat dalam 'praktik' LGBT. Pemilu 2019 untuk memilih presiden, wakil presiden, serta wakil rakyat memperlihatkan bagaimana setiap warga negara dapat terwakilkan suaranya, termasuk suara-suara kelompok rentan, salah satunya LGBT agar dapat terhindar dari diskriminasi mereka sebagai warga negara indonesia yang hak dan kewajibannya sama saja dengan warga negara Indonesia lainnya.