Rabu, 19 Agustus 2020

Rhaka dan Wina dari Sekodi Bandung Melakukan Orasi Puisi dan Tubuh di Aksi RUU PKS Bandung

oleh Rhaka Katresna, Mahasiswa Departemen Psikologi Universitas Pendidikan Indonesia dari Sekodi Bandung

Saya (Rhaka Katresna) dan Wina Hasna Vania melakukan orasi tubuh dan puisi di kegiatan Aksi Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) di depan Gedung Sate, Bandung pada Selasa, 21 Juli 2020. Kami mewakili Sekolah Damai Indonesia bersama dengan pendukung RUU PKS lainnya dari berbagai wilayah di Bandung Raya.

Metode yang saya lakukan dalam tari adalah Embodied Justice. Itu adalah sebuah metode yang saya pelajari langsung dari Alexia Buono. Metode ini muncul dari presentasi performatif Dr. Buono di International Congress of Qualitative Inquiry Mei 2019 bertajuk "A Restorative Justice for Body in Research Scholarship".

Buono (2020) menjelaskan bahwa keadilan restoratif adalah perbaikan kooperatif atas kerugian yang disebabkan oleh perilaku kriminal yang dapat mengarah pada transformasi diri, relasional, dan komunal. Latihan ini mencakup praktik koreografi penyelidikan, dialog, dan kreativitas multimodal (frase tarian, peta tubuh, dan kata-kata tertulis).

Embodied justice mengundang semua orang yang terlibat (penari, koreografer, penonton) untuk bersama-sama mengakui, mengubah pola, dan memperbaiki kerusakan yang telah terjadi pada tubuh (fisik, emosional, kognitif, sejarah, sosial, dll.) dengan berbagi dalam pertunjukan dan pengalaman koreografi bersama.

Penampilan

Rhaka Katresna sebelum Penampilan

Saya meminta Wina dan Sapitri untuk menyiapkan teks orasi 3 hari sebelum tampil. 

Kemudian malam sebelum penampilan, saya bertanya pada diri saya sendiri mengenai hal-hal berikut:
  1. Apa yang saya rasakan sebagai penyintas kekerasan seksual?
  2. Bagaimana saya memaafkan dan mengakses pengalaman itu?
  3. Apa yang rusak?
  4. Gerakan apa yang berhubungan dengan pengalaman saya?
  5. Apa refleksi saya setelah menjawab 1 - 4?
Saya menyimpulkan bahwa saya dapat menghubungkan diri saya dan tubuh saya dengan pengalaman pelecehan seksual. Proses itu lebih jauh mengingatkan diri saya sendiri tentang pengalaman saya sendiri tentang pelecehan seksual. Mengejutkan karena tubuh benar-benar mengingat apa yang terjadi secara detail.

Rhaka dan Wina melakukan Orasi Tubuh dan Puisi

Pada hari pertunjukan, saya membaca kembali apa yang saya tulis. Saya minta Wina berpidato sambil menari. Kemudian, saya tampil. Saya menemukan bahwa gerakan saya dipengaruhi oleh pidato. Itu membuat gerakan saya menjadi gerakan terpaku saat saya merasa kaki saya tertekan di jalan. Saya mengubah gerakan saya melalui tangan dan kaki saya. Saya malah memikirkan sesuatu yang menyakitkan dan mengalaminya. Pola yang berulang adalah membungkuk ke belakang, tangan meraih bantuan, menghentikan gerakan, dan menarik bagian tubuh lain dengan tangan.

Referensi

Buono, Alexia. (2020). Undergraduate Faculty Mini-Grant Application Project Description: Body Concept. Tidak diterbitkan.

Obrolan Ringan Seputar Kejawen

oleh Aries Hardianto, mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati dari Sekodi Bandung

Bhinneka tunggal ika adalah semboyan “resmi” bangsa Indonesia yang merangkum sekaligus memotret kondisi sosiokultural rakyat Indonesia sejak dahulu kala yaitu keberagaman masyarakatnya atau dalam istilah lain masyarakat majemuk. Kemajemukan yang dimaksud ialah dalam aspek sosial dimana begitu banyak suku, ras dan adat tradisi yang mewarnai kehidupan sehari-hari. Diantara begitu banyak suku bangsa yang ada suku jawa cukup menarik untuk saya sorot dalam tulisan kali ini.

Bukan tanpa sebab karena setidaknya ada 2 hal yang melatar belakangi keinginan diatas. Yang pertama karena suku jawa adalah suku bangsa dengan jumlah yang sangat besar dan tersebar ke berbagai penjuru daerah lain. Yang kedua karena saya sendiri merupakan keturunan suku jawa tapi lama menetap diluar jawa. Sehingga tak mengherankan saya tidak mengetahui kebiasaan atau tradisi lain yang berkenaan dengan suku jawa. Semua yang saya tau hanyalah berdasar pengamatan terhadap orang tua dan berkunjung ke kampung halaman saat mudik tiba.

Ada satu pengalaman yang unik ketika saya mudik ke daerah madiun saat salah satu saudara menyebut saya dengan sebutan “wong bandung” atau “orang bandung”, akan tetapi disini (Bandung, Jawa Barat) saya disebut sebagai orang jawa karena orang tua saya yang berasal dari jawa. Memang kata “Jawa” disini agak bias karena penggunaannya bisa merujuk pada kelompok suku bangsa, Bahasa daerah atau bahkan pulau tergantung konteks. terlepas dari konteks yang saudara saya pakai tadi terkadang saya pun bertanya pada diri sendiri apakah saya orang Jawa atau orang Bandung (Sunda)?

Berangkat dari pertanyaan “aneh” tersebut saya menghadiri diskusi rutinan komunitas Sekolah Damai Indonesia pada Sabtu, 15 Agustus 2020. Narasumber diskusi ini ialah mas Anto W. Nugrahanto, seorang dosen sejarah salah satu universitas terkemuka di kota Kembang. Tema yang diusung ialah kejawen. Namun tulisan ini tidak akan membahas kejawen secara mendalam namun berupa pengenalan singkat saja sebagai ajang menambah wawasan nasional.

Berbicara perihal kejawen biasanya yang terlintas di benak orang awam ialah ritual-ritual yang kental dengan nuansa spiritual atau bahkan Supranatural. Pandangan tersebut bisa jadi karena prasangka sepintas yang ditunjang oleh kurangnya akses informasi terkait kejawen secara kredibel. Lantas apa yang dimaksud oleh kejawen itu sendiri ?

Secara sederhana kejawen adalah sebuah ajaran hidup, aliran kepercayaan dan prinsip  yang dianut dan dilestarikan oleh suku Jawa yang (masih) mempercayainya. kejawen amat dekat dengan kehidupan orang jawa (dahulu/leluhur) dalam membangun tata karma, pola pikir dan ketenangan jiwa dengan cara mematuhi sosok “yang maha kuasa”. Meski tampak seperti agama namun penganut ajaran kejawen biasanya tak mengartikan kejawen sebagai sesuatu yang “mirip” dengan agama pada umumnya (islam, Kristen, buddha, dll.).

Hal ini terjadi oleh sebab kejawen lebih tepat dipahami sebagai world view atau weltanschauung alias cara pandang yang membuahkan seperangkat nilai-nilai bertabur kearifan lokal masyarakat tradisional jawa tempo dulu yang bersifat abstrak. Berdasarkan kumpulan naskah kuno peninggalan para tokoh masyur tanah jawa seperti Rangga Warsita (ronggo warsito) tergambar bahwa kejawen termanifestasikan sebagai seni, filsafat, moral, etika dan kebiasaan yang dikomando oleh ide dan local belief atau kepercayaan lokal. Oleh karena penekanan terhadap aspek keseimbangan itulah kejawen biasanya dapat bersanding dengan agama-agama yang ada seperti Islam, Kristen atau Hindu. Artinya seseorang bisa memeluk Kejawen disamping agama lain dalam perjalanan spiritual nya. Namun terkadang ada pihak-pihak tertentu yang menuduh kejawen sebagai ajaran  sesat atau bid’ah. Apapun alasan yang dipakai tak pernah dibenarkan untuk mendiskreditkan sampai mendiskriminasi suku, agama dan antar golongan (SARA).

Saya sempat bertanya “apakah pemeluk ajaran kejawen diharuskan memiliki keturunan darah secara langsung atau tidak dengan suku jawa seperti Yudaisme (agama bangsa yahudi)?”. Mas Anto pun menjawab bahwa tidaklah harus. Walau begitu akan mengherankan kalau ada orang Israel menjadi penganut Kejawen dibarengi dengan gelak tawa saya beserta yang lainnya. Dari situ mas Anto pun menambahkan bahwa tujuan akhir dari ajaran kejawen ialah menyatu dengan tuhan ketika ajal menjemput (manunggal).

Bila memang ajaran tersebut telah ada sejak dahulu lalu mengapa nama kejawen sendiri terasa asing di telinga masyarakat kebanyakan ? hal tersebut berkaitan dengan legalitas dari kejawen itu sendiri yang belum “diakui” oleh pemerintah. Meskipun angin segar mulai berembus tatkala pemerintah mulai mengakui kepercayaan lain diluar “agama resmi” yang ada. Mas Anto pun menjelaskan bahwa proses “legalisasi” itu pun tidaklah mudah. Salah satunya harus diorganisir telebih dahulu baik secara struktur organisatoris maupun secara “konseptual” (apa yang disembah?, tempat ibadah, hari raya, dll.).

Memang kolom agama pada KTP kerap menuai polemik karena terkesan “mengkotak-kotakkan” manusia berdasarkan kepercayaan yang sejatinya ranah pribadi. Padahal kolom agama pada KTP hanya berfungsi untuk mengidentifikasi data diri seseorang secara administratif. Oleh karena kemelut yang ada penganut kejawen tak leluasa dalam mengekspresikan dirinya. Mas Anto menyebut bahwa banyak orang tua yang menutupi jati diri mereka dan memeluk agama yang telah diakui. Sontak anak-anak mereka pun tak pernah tahu tentang inti ajaran kejawen karena persoalan yang menurut saya amat politis.

Diskusi berlanjut sampai merembet ke banyak topik seperti perang Padri dan sejarah agama kuno di Mesir (dewa Seth). Tak terasa hampir 2 jam diskusi telah berlangsung dibarengi dengan rintik hujan yang menahan kami untuk tak cepat-cepat pergi. Banyak hal yang saya bisa petik dari seluruh alur diskusi mulai dari sejarah, konflik, agama sampai perdamaian sebagai puncak toleransi antar umat manusia.

Penulis: Aries Hardianto