Tampilkan postingan dengan label publikasi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label publikasi. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 25 April 2020

Rasisme dan Xenofobia di Balik Covid-19

TIMESINDONESIA, BANDUNG – Sejak virus Corona atau Covid-19 merebak pertama kalinya di Wuhan, Cina, dunia seakan tidak berhenti memberitakan negara mana lagi yang terkena dampak infeksi virus ini. Banyak negara  memberlakukan sistem penguncian negara atau lockdown karena tingkat kematian para penduduknya karena infeksi Covid-19.

Demikian pula Indonesia, yang hingga April  2020 ini sudah membukukan angka di angka lebih dari 5000 orang positif. Angka ini diprediksikan dapat meningkat jika penanganan secara medis tidak dikutsertai dengan penanganan yang bersifat sosial, seperti pelarangan sementara kegiatan berkumpul yang melibatkan sejumlah banyak masyarakat, bahkan kegiatan peribadatan pun mengalami perubahan untuk dilakukan di dalam rumah saja, hingga kegiatan pendidikan di semua jenjang dihentikan sementara untuk mengurangi kerentanan penularan virus. 

Dampak negatif sosial budaya pun muncul.  Ketika masyarakat seluruh dunia sedang berjuang mati-matian mempertahankan diri secara ekonomi dan kesehatan agar dapat keluar dari krisis virus, beberapa hal yang mencederai budaya dan sosial masyarakat terjadi. Jonathan Mok, dari Singapore salah satunya yang mengalami ini menceritakan bagaimana ia diserang oleh 4 orang pria yang berujar 'kami tidak ingin virus coronamu di negara kami' ketika berjalan di Oxford Street. London 24 Februari 2020. 11 Maret 2020, sekelompok siswa sekolah menengah di Belgia, Sint Paulus school, membuat foto tahunan dengan mengenakan pakaian tradisional Asia mengarah ke pakaian ala Cina membawa kertas yang bertuliskan “Corona time” dan salah satu siswanya terlihat menyipitkan matanya. 

Rasisme dan Xenofobia, Pasangan Maut 
Berasal dari kata Xenos, Bahasa Yunani, yang berarti ‘asing’ atau ‘orang asing’ serta Phobos yang berarti ketakutan. Xenofobia dapat menjadikan orang asing dari negara-negara lain menjadi bahan ketakutan sekaligus kebencian. Terkait dengan rasisme, di mana paham ini merupakan gejala melihat suatu kelompok masyarakat yang dianggap minoritas lebih rendah daripada mayoritas, maka dampaknya adalah terjadinya segregasi serta perbedaan perlakuan berdasar superioritas ras etnis pula yang menganggap diri mereka lebih baik. 
Steindhardt, Max. F peneliti dari Freie Universitat Berlin menggarisbawahi bahwa kekerasan berbasis Xenofobia memiliki dampak berdimensi sosial ekonomi, khususnya yang dialami dalam proses integrasi para pendatang di negara tujuan.
Dampak lainnya adalah penghindaran  terhadap warga etnis Cina jika dihubungkan dengan merebaknya virus Covid-19  Suatu peristiwa di mana seorang petugas sosial asal Malaysia beretnis Cina mengalami penghindaran ketika ia sedang berada dalam transportasi umum di London. Lalu bagaimana seorang perempuan Singapura mengalami tindakan rasisme di satu mall di New Zealand, serta bahkan di Jepang sendiri terjadi tindakan rasisme di beberapa restauran yang memasang tanda "No Chinese" hingga seminggu. Di Indonesia sendiri berita mengenai tenaga kerja asli Cina yang masuk ke Indonesia sempat menjadi sasaran mengapa Covid-19 bisa menginfeksi Indonesia walau pun saat virus ini masuk ke Indonesia telah terjadi status pandemik.
Tersembunyi, Berpotensi Muncul
Penandatanganan Konvensi Internasional Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial dilakukan berbasis Piagam Hak Asasi Manusia dengan tujuan Perserikatan Bangsa Bangsa, yaitu memajukan dan mendorong penghormatan dan pematuhan hak-hak asasi manusia dan kebebasan mendasar bagi semua tanpa membedakan ras, jenis kelamin, bahasa atau agama.
Dalam kondisi Corona/Covid-19 telah menjadi pandemik global yang memerlukan perhatian ekstra demi kesembuhan warga seluruh dunia, ternyata potensi xenofobia dan rasisme berbasis asal virus ini datang tiba-tiba muncul dan mensegregasi etnis tertentu yang dimunculkan seolah-olah menjadi penyebab munculnya virus dan menjadi wajar untuk dilakukan tindak penghindaran hingga perendahan di luar prinsip HAM.
Kita sendiri sebagai bagian dari warga global dunia seharusnya sepakat untuk berkonsentrasi terhadap upaya penyembuhan tanpa melihat sekat ras dan etnis. Ini adalah masalah kita bersama dan jika dibiarkan, maka potensi rasisme dan Xenofobia akan dapat muncul menunggu waktu yang tepat saja, tergantung akan peristiwa dunia apa yang sedang terjadi. 
***
*)Oleh: Fanny S. Alam, Regional Coordinator of Bhinneka Nusantara Foundation/Regional Coordinator and Program Director of Sekolah Damai Indonesia Bandung.
*) Tulisan yang sama juga dimuat di Times Indonesia
x

Rabu, 25 Maret 2020

Kami (Tenaga Medis) Tetap Kerja, Kalian Tetap di Rumah

AYOBANDUNG.COM -- Akhir-akhir ini banyak masyarakat di Indonesia mulai ketakutan terhadap virus covid 19. Setiap harinya adanya peningkatan jumlah masyarakat tercatat positif covid 19. Pembaharuan data setiap harinya tentang virus covid 19 biasanya dilakukan pemerintah serta pihak Kementerian Kesehatan yang bisa dipercaya dan diakses oleh seluruh masyarakat. 

Penanganan untuk virus covid 19 ini harus dilakukan secara bersama, mulai dari kesadaran setiap masyarakat terhadap pentingnya pola hidup bersih dan sehat, menjaga imunitas kuat dan mengurangi aktivitas-aktivitas sosial masyarakat dengan salah satunya bekerja di rumah, menjaga jarak 1 meter dengan orang lain, dan belajar mengajar juga dilakukan di rumah sampai ibadah pun dilakukan di rumah. 

Menurut data Kementerian Kesehatan terbaru per tanggal 24 Maret 2020 sudah ada 686 Jiwa dari 24 Provinsi di Indonesia yang positif Covid 19,  30 jiwa sembuh dan 55 jiwa meninggal. Melihat banyaknya jiwa yang positif covid 19 dan beberapa tenaga kesehatan di antaranya ada yang meninggal, saya merasa sedih dan prihatin atas kejadian tersebut. Di sisi lain, saya merasakan sedikit tenang dan bahagia karena di antara pasien yang sudah dinyatakan positif covid 19 sekarang menjadi negatif dan dinyatakan sembuh kembali sehat seperti sediakala. 

Tenaga Kesehatan Tetap Bekerja 
Mewabahnya pandemi virus covid 19 ini menjadikan tenaga kesehatan harus tetap bekerja dan menangani pasien agar dapat ditangani segera. Tim kesatuan medis ini meliputi tenaga kesehatan, seperti Dokter Umum dan Spesialis, Perawat, Ahli Teknologi Laboratorium Medik, Sanitarian, Radiografer, Apoteker dan Asisten Apoteker, Ahli Gizi, Bidan, Survelians Epidemiologi dan lain-lain. Mereka berjuang setiap harinya menangani pasien yang terpapar dan terjangkit virus covid 19 ini. Mereka bekerja tanpa mengenal lelah, melayani pasien dengan sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab ditengah wabah pandemi virus covid 19 ini. 

Tenaga kesehatan saat ini menjadi pemegang peran penting terhadap penanggulangan virus covid 19 ini. Mereka terjun langsung menangani pasien yang terinfeksi virus covid 19, dimulai pada saat pengambilan spesimen pasien melalui nasofaring, swab tenggorokan, darah, pemeriksaan laboratorium yang dapat mengeluarkan hasil pasien positif atau negatif, perawatan di ruangan, pemberian obat serta pemeriksaan penunjang lainnya. Semuanya  dilakukan oleh tenaga kesehatan sesuai dengan profesi tugas dan kewenangannya. 

Ada beberapa hal yang sekarang ini dibutuhkan oleh para tenaga kesehatan yang sedang bekerja menangani virus covid 19 ini, yaitu  pasokan masker bedah, masker N95, handscoon/sarung tangan kesehatan nitril/free powder, kacamata google laboratorium untuk pelindung mata, sepatu lark/sepatu karet boot, helm penutup wajah, asupan supplement vitamin untuk mempeekuat imunitas tubuh, hand sainitaizer dan berbagai cairan alkohol. 

Di antara kebutuhan yang dibutuhkan oleh tenaga medis, yaitu Alat Pelindung Diri (APD)  justru saat ini ketersediannya sangat minim, di antaranya masker dan handscoon/sarung tangan kesehatan. Padahal Alat Pelindung Diri (APD) wajib digunakan oleh seorang tenaga medis ketika menangani pasien, namun pada kenyataannya justru sekarang ketersediaanya sangat minim dan banyak disalahgunakan oleh orang-orang non medis. Banyak di antara masyarakat sekarang yang sudah menerapkan Alat Pelindung Diri (APD) medis yang salah, salah satunya sekarang banyak orang yang memakai handscoon/sarung tangan kesehatan di setiap aktivitas seharinya yaitu digunakan saat memegang uang, dipakai saat berkendara motor bahkan sekarang ada sebagian orang menggunakan alkohol swab untuk membersihkan ponsel selulernya. Hal-hal demikian seharusnya tidak dilakukan oleh masyarakat di luar medis. 

Sebagai tenaga kesehatan, saya memohon untuk masyarakat tidak bepergian terlebih dahulu keluar rumah, menaati aturan–aturan yang diterapkan pemerintah dengan melakukan social distancing. 

Aktivitas di Rumah 
Aktivitas di rumah untuk saat ini adalah hal signifikan untuk dilakukan. Banyak surat edaran yang dikeluarkan oleh pemerintah setempat yang mewajibkan warga diam di rumah selama 14 hari. Tujuannya sangatlah baik, yaitu bisa membantu memutuskan rantai penularan virus covid 19 ini. Semakin banyak orang yang melakukan aktivitas di rumah, semakin cepat kita bisa beraktivitas seperti biasa. 

Banyak hal yang menarik saat kita berada di rumah, kita bisa lakukan dengan hal-hal yang baik, seperti membaca buku sesuai dengan kesukaanya, belajar menulis artikel dengan hal-hal yang menarik, mendengarkan musik yang dapat membuat jiwa menjadi senang, menonton film kesukaan sesuai dengan jenis dan klasifikasi umur tepat yang dapat ditonton, berolahraga  secukupnya, membersihkan area rumah dengan leluasa, mulai dari kamar tempat tidur, halaman rumah dan ruangan lainnya, sehingga dapat beristirahat dengan nyaman,  berkumpul bersama keluarga, mengakses informasi seluas-luasnya dengan mudah dan nyaman menggunakan gawai masing-masing dan terakhir kita juga di rumah dapat  memanfaatkan waktu yang banyak untuk beribadah. 

Selama di rumah, kita harus tetap menjaga kesehatan setiap harinya. Menerapkan pola hidup bersih dan sehat (PHBS) dapat  kita mulai dengan seringnya mencuci tangan dengan menggunakan sabun dan air mengalir, minum air putih serta mengkonsumsi  buah, sayur dan makanan dengan gizi seimbang agar imunitas menjadi kuat. 

*** 

Diksi Paisal, STr.Kes, Praktisi Kesehatan dan Penggiat Sekolah Damai Indonesia Bandung.


---------
Artikel ini sudah Terbit di AyoBandung.com pada Rabu, 25 Maret 2020, dengan Judul Kami (Tenaga Medis) Tetap Kerja, Kalian Tetap di Rumah, pada URL https://www.ayobandung.com/read/2020/03/25/83833/kami-tenaga-medis-tetap-kerja-kalian-tetap-di-rumah

Penulis: Redaksi AyoBandung.Com
Editor : Redaksi AyoBandung.Com

Minggu, 22 Maret 2020

Serba-serbi Social Distancing


AYOBANDUNG.COM -- Hari-hari ini ramai dibicarakan tentang social distancing sebagai upaya pencegahan penyebaran wabah virus corona. Seperti kita tahu, social distancing adalah perilaku menjaga jarak fisik dengan orang lain, terutama orang asing, sejauh minimal 1 meter. Beberapa implikasi social distancing yang dilakukan secara massal adalah gerakan bekerja, belajar, dan beribadah di rumah yang diserukan oleh Presiden Jokowi dan didukung oleh berbagai pihak. Hal ini mungkin lebih tepat disebut sebagai physical social distancing. 

Akan tetapi, pembatasan jarak dan perjumpaan tatap muka dengan orang lain dapat berdampak negatif bagi sebagian orang. Perasaan kesendirian dan kesepian menjadi ancaman nyata yang kita hadapi. Celakanya, perasaan ini dapat berkembang menjadi perasaan depresif, bahkan mungkin pula berkembang menjadi gangguan depresi atau masalah kesehatan mental yang lain. 

Emotional distancing 
Secara logika, orang dengan kecenderungan ekstrover cenderung lebih riskan mengalami perasaan tidak nyaman akibat kebijakan-kebijakan dalam upaya social distancing. Orang-orang ekstrover adalah mereka yang mendapatkan energi dari luar dirinya, dalam interaksi dengan banyak orang. Hari-hari ini, karena interaksi tatap muka dikurangi bahkan dinihilkan, kesempatan para ekstrover untuk “mengisi energi” mereka pun semakin sedikit. 

Meski demikian, mereka yang introver pun dapat mengalami perasaan tidak nyaman akibat social distancing ini. Walaupun mereka cenderung mendapatkan energi dari waktu menyendiri, namun informasi yang bertubi-tubi, dan situasi yang terjadi akhir-akhir ini dapat menimbulkan perasaan mencekam, tidak aman, bahkan terancam. 

Perasaan tidak aman, kecemasan, dan perasaan terancam dapat dikatakan wajar dialami oleh setiap orang di tengah pandemi seperti ini. Ada yang cemas karena tetap harus bekerja di luar rumah demi sesuap nasi, ada yang cemas karena tetangganya sakit dan dikhawatirnya sudah terinfeksi virus, ada yang cemas karena orang terkasihnya tenaga kesehatan yang bisa sewaktu-waktu terinfeksi dan kekurangan alat perlindungan diri. Ada yang cemas karena orang tuanya memiliki penyakit bawaan sehingga lebih rentan terinfeksi virus ini, ada yang cemas karena penghasilannya berkurang, ada yang cemas karena terlalu lama berada di rumah sendirian, ada yang cemas tidak memiliki bahan pokok untuk kebutuhan hidupnya. Semua orang cemas, semua orang khawatir, semua orang panik, meski dengan berbagai alasan yang berbeda. Satu hal yang perlu diingat: bukan hanya Anda yang cemas. Saya juga, dan banyak orang lain demikian. 

Salah satu hal yang bisa dilakukan untuk membantu mengurangi perasaan tidak nyaman di tengah pandemi ini adalah dengan tidak melakukan emotional distancing. Jika (physical) social distancing diartikan sebagai menjaga jarak fisik, maka bolehlah kita mengartikan emotional distancing sebagai jarak emosional antara satu orang dengan orang yang lain. Kita disarankan untuk menjaga jarak sosial secara fisik dengan orang lain sejauh minimal 1 meter, namun sebaliknya, kita perlu mendekatkan jarak emosional kita dengan orang lain. 

Kita bisa menyapa, menanyakan kabar, bahkan berbagi kecemasan dengan keluarga, sahabat, teman, kolega, atau kenalan. Jika dengan pesan teks dirasa kurang, kita bisa menelepon atau melakukan panggilan video sehingga kehadiran orang lain terasa lebih nyata bagi kita. Hal sederhana semacam ini membuat kita dan orang yang kita sapa merasa tidak sendiri. Setidaknya kita merasa punya teman dalam menghadapi masa sulit ini. Lebih lagi, kita merasa punya teman senasib sepenanggungan yang juga merasa tidak aman dan cemas. Perasaan lega karena tahu bahwa tidak sendiri ini dapat menimbulkan ketenangan. 

Social media distancing 
Bagi sebagian orang, informasi yang riuh dan bertubi-tubi di media sosial adalah salah satu faktor yang memicu kecemasan dan kelelahan mental. Untuk itu, konsep social distance perlu juga kita terapkan ketika menggunakan media sosial. Dengan kata lain, kita perlu melakukan social media distance. 

Salah satu cara yang paling efektif adalah dengan berusaha menyaring informasi apa saja yang ingin kita ketahui. Kita juga bisa membatasi waktu-waktu tertentu yang ingin kita gunakan untuk mengakses media sosial. Selain itu, kita bisa mencari alternatif media atau kegiatan lain yang bisa memberikan hiburan sekaligus ketenangan, misalnya membaca buku, menonton film, mendengarkan musik, memasak, membersihkan rumah, berolahraga, atau melakukan hobi. Ada banyak hal yang masih bisa kita lakukan di tengah imbauan untuk social distance. 

Perlebar jarak sosial secara fisik. Perlebar jarak dengan sosial media. Persempit jarak emosional dengan orang lain, khususnya orang-orang terkasih. Mari memperlebar empati dan belarasa. Semoga akal budi dan hati nurani kita tetap jernih dan tidak terinfeksi. 


Stella Vania Puspitasari, Seorang calon psikolog klinis anak dan remaja yang masih belajar untuk menjadi pembelajar, dan menjadi sahabat bagi sesama.

---------
Artikel ini sudah Terbit di AyoBandung.com pada Minggu, 22 Maret 2020, dengan Judul Serba-serbi Social Distancing, pada URL https://www.ayobandung.com/read/2020/03/22/83418/serba-serbi-social-distancing

Penulis: Redaksi AyoBandung.Com
Editor : Redaksi AyoBandung.Com


Jumat, 13 Maret 2020

Masyarakat Indonesia Menghadapi Corona



AYOBANDUNG.COM -- Masuknya virus korona ke wilayah Indonesia akhir-akhir ini suka atau tidak membuat kegemparan sendiri pada masyarakat Indonesia. Hal ini juga merupakan bagian dampak dari berita-berita yang secara simpang siur beredar di berbagai media. Sebenarnya, tujuan pemberitaan itu masih ingin memberitakan tentang virus tersebut dengan jelas, namun perkembangan berita selanjutnya tampak memperlihatkan kepanikan yang makin meluas mengenai virus tersebut di Indonesia.    

Baru-baru ini, juru bicara Kementerian Kesehatan RI menginformasikan melalui sebaran media bahwa sudah ada 6 Warga Negara Indonesia yang dinyatakan positif Covid-19. Pemeriksaan suspect pasien virus corona dilakukan dengan serangkaian pemeriksaan laboratorium dengan menggunakan teknik metode Polymerase Chain Reaction (PCR) dan Genom Sekuensing sehingga dapat dinyatakan positif Covid-19. 

Juru bicara Kementerian Kesehatan RI pun menyatakan bahwa 2 di antaranya Warga Negara Indonesia yang positif Covid-19 itu mempunyai riwayat kegiatan sebelumnya kontak langsung dengan penderita Warga Negara Jepang. Setelah kita mengetahui adanya warga negara Indonesia yang dinyatakan positif Covid-19, masyarakat semakin banyak membicarakan virus ini serta menambah perasaan khawatir mengenai dampak dari perkembangan virus ini semakin banyak virus ini dibicarakan oleh setiap orang. 

Mekanisme Virus Corona
Kementerian Kesehatan RI mengemukakan bahwa Novel Coronavirus (2019-nCoV) merupakan kategori virus baru yang dapat menyebabkan penyakit pada pernapasan manusia. Novel Coronavirus ini masih 1 keluarga dengan virus penyebab SARS dan MERS, dan seperti kita ketahui virus ini berasal dari Wuhan, Cina. Pada umumnya, pasien yang terpapar Novel Coronavirus memilki gejala klinis, seperti demam disertai batuk dan pilek bahkan mengalami kesulitan bernapas, sakit tenggorokan, hingga keadaan badan terasa letih dan lesu. 

Berbagai cara penularan virus corona bisa melalui ketidaksengajaan menghirup percikan ludah dari bersin atau batuk pasien, bersentuhan atau berjabat tangan dengan mereka, menyentuh benda yang terkena cairan air liur pasien sehingga setelahnya kita tidak sadar memegang mulut atau hidung sendiri tanpa sebelumnya mencuci tangan terlebih dulu. 

Dengan berbagai cara penularan di atas, sebenarnya virus corona dapat dicegah melalui upaya pencegahan yang tentunya sangat mudah dilakukan sehari-hari dan dapat diterapkan pada diri kita sendiri, keluarga dan lingkungan sekitar. Cara ini sangat baik dilakukan karena dapat meningkatkan dan mempertahankan imunitas yang kuat dalam tubuh kita. 

Mempertahankan Imunitas 
Pada dasarnya mempertahankan imunitas tubuh dapat berdampak terhadap kondisi tubuh yang setiap saat dapat melawan segala virus dan penyakit didalam tubuh. Pencegahan masuknya virus corona ke tubuh kita juga relatif mudah untuk dilakukan, yaitu dengan sering mencuci tangan menggunakan sabun dan bilas dengan air mengalir, pergunakanlah masker bila batuk atau pilek, mengonsumsi makanan gizi seimbang dengan memperbanyak asupan buah dan sayur, berhati-hati kontak langsung dengan hewan, rajin teratur berolahraga dan tentunya istirahat yang cukup. Juga perlu diperhatikan agar tidak mengonsumsi daging yang masih mentah yang tidak dimasak dengan matang dan jika mengalamai batuk, pilek dan sesak napas segeralah ke fasilitas pelayanan kesehatan terdekat. 

Peran Kita Semua 
Penanggulangan virus corona yang sudah masuk ke Indonesia memerlukan antisipasi dari banyak pihak, mulai dari masyarakat umum, pemerintah, dinas terkait, dalam hal ini dinas kesehatan. Data terbaru tentang virus corona di Indonesia sudah seharusnya bersumber pada data valid yang dipublikasikan oleh pihak relevan, dalam hal ini adalah Kementerian Kesehatan Republik Indonesia atau dinas perwakilannya di wilayah masing-masing. 

Selain itu, kita diharapkan tetap tenang, tidak ada halangan untuk beraktivitas sehari-hari, tidak perlu merasa khawatir, merasa cemas, dan ketakutan secara berlebihan serta jangan menyalahgunakan serta menyalahartikan tentang virus corona ini dengan upaya-upaya yang berlebihan. Upaya tersebut di atas dilakukan oleh segelintir orang dengan tujuan tertentu. Sangat disayangkan melihat masih banyak oknum yang memanfaatkan celah peristiwa merebaknya virus corona di Indonesia untuk mengambil keuntungan bagi mereka. Hal ini menimbulkan banyak masalah baru, seperti panic buying memborong banyak barang, contohnya masker dan pembersih tangan praktis, sehingga menjadikan ladang bisnis baru dengan  meraup keuntungan tinggi, lalu memasok persediaan bahan pokok makanan sehari-hari dalam jumlah banyak seolah-olah mereka nanti akan dikarantina karena tidak bisa melakukan aktivitas di luar. Hal tersebut sangatlah tidak tepat untuk dilakukan, karena virus corona ini bukan menjadi ajang untuk memenuhi untuk kepentingan diri sendiri tanpa memikirkan orang lain. 

Pada akhirnya, dalam perspektif tenaga kesehatan, masyarakat perlu diingatkan untuk   tidak melakukan kegiatan yang berlebihan, tidak perlu merasakan panik dan ketakutan yang berlebihan sehingga menganggu aktivitas sehari-hari. Selanjutnya, masyarakat diharapkan untuk selalu menerapkan pola hidup yang sehat sebagai upaya pencegahan terhadap virus corona dengan cara yang telah ditentukan. 

“Sehat itu milik kita bersama, berawal dari pencegahan, dan mudah dilakukan.” 

Diksi Paisal,  STr. Kes, Praktisi Kesehatan dan Penggiat Komunitas Sekolah Damai Indonesia Bandung.



---------

Artikel ini sudah Terbit di AyoBandung.com pada Jumat, 13 Maret 2020, dengan Judul Masyarakat Indonesia Menghadapi Corona, pada URL https://www.ayobandung.com/read/2020/03/13/82433/masyarakat-indonesia-menghadapi-corona



Penulis: Redaksi AyoBandung.Com

Editor : Redaksi AyoBandung.Com

Rabu, 19 Februari 2020

Keterlibatan Muda dalam Politik

"Beri aku 1000 orang tua niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda niscaya akan kuguncangkan dunia" 

Seluruh masyarakat Indonesia pasti sudah mengenal kutipan terkenal di atas oleh proklamator kemerdekaan negara kita, Ir. Soekarno. Betapa beliau ingin melibatkan generasi muda dalam proses kemerdekaan. Betapa mereka mendapat porsi penting dalam pembangunan ke depannya. 

Mantan Sekretaris jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, Ban Ki-Moon, juga menggarisbawahi peran generasi muda dalam menciptakan dunia yang lebih baik dan aman, lalu penggalangan kekuatan mereka dalam pengambilan keputusan, program pembangunan serta kebijakan yang menguntungkan kelompok mereka, masyarakat secara umumnya, serta masa depan negara. 

Presiden Joko Widodo menyadari pentingnya peran generasi muda yang selanjutnya disebut milenial dalam tatanan pembangunan Indonesia, sehingga merefleksikan pada sumpah pemuda tahun 1928 silam, beliau menekankan bahwa persatuan generasi muda dalam melihat negara di bingkai negara kesatuan republik Indonesia merupakan kunci pelaksanaan pembangunan negara dan keterlibatan krusial mereka, sehingga dalam tatanan praktisnya beliau mengangkat beberapa dari generasi milenial berprestasi sebagai bagian staf ahlinya. Ini merupakan kunci penting keterlibatan dan pemberdayaan kelompok milenial muda untuk berkontribusi dalam pembangunan, baik dari level akar rumput hingga negara. 

Keterlibatan muda untuk dapat berperan penting dalam pembangunan salah satunya dimulai dengan politik. Masih banyak generasi muda, terutama dari kelompok usia milenial,yang menunjukkan sifat antipati terhadap hal-hal.yang berhubungan dengan politik. Keengganan mereka dalam memilih pun jelas memberikan dampak krusial bagi masa depan perpolitikan di Indonesia,sehingga jujur hal ini akan memberikan ekses terhadap keberlanjutan politik dalam hal pengambilan keputusan, penyusunan kebijakan politik bagi masyarakat. 

Namun, kondisi ketidakpedulian generasi milenial terhadap politik pun bahkan diperlihatkan oleh salah satu negara terbesar dalam peran demokrasi, yaitu Amerika Serikat, karena mereka mengalami masa di mana hanya 10 persen dari kelompok usia 18 hingga 24 tahun yang memperlihatkan kecenderungan tidak memenuhi syarat keterlibatan penuh dalam pemungutan suara presiden 2012. Dilansir selanjutnya oleh Centre for information and research on civic learning and engagement (CIRCLE). Selain itu, masih banyak orang tua yang menganggap pendidikan kewarganegaraan yang berkaitan dengan politik adalah tabu. Juga, iklim politik nasional turut serta mengalienasi anak-anak muda dalam kehidupan masyarakat publik secara politik.  


Kelompok Muda dalam Politik 

Kehadiran kelompok muda dalam berpolitik di Indonesia tentu merupakan langkah positif untuk mengimbangi kekuatan politik yang selama ini dilaksanakan oleh para politisi berusia senior dengan segala pengalamannya. Keberadaan kelompok muda ini diharapkan akan membawa dampak positif, terutama dalam dinamisnya pengambilan keputusan yang dinilai akan jauh lebih cepat dan energik. Hal ini dikemukakan oleh Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) ketika menganalisa daftar caleg sementara Pemilu Legislatif 2019 silam. Kesimpulannya, menurut peneliti forum ini Lucius Karus, adalah secara jumlah mayoritas calon legislatif adalah berusia 36-59 tahun dengan total 68% serta sekitar 21% berusia 21-35 tahun. Sisanya 11% adalah berusia 60 tahun ke atas.  

Menjadi bagian legislatif pun pasti didasari oleh kepentingan masing-masing individu yang sudah mempersiapkan dirinya secara matang. Latar belakang mereka pun bermacam-macam, seperti ada yang sudah bekerja atau menjadi pengusaha, lalu memutuskan turun ke dunia politik. Di dalam sisi lain, ada juga mereka yang turun ke politik dan berharap akan terus melaju ke legislatif untuk meneruskan jejak keluarga yang sejak awal sudah berkecimpung dalam dunia politik.  Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Amalinda Savarini, dosen fakultas ilmu politik Universitas Gadjah Mada. Dikutip dari wawancaranya Bersama BBC, Amalinda menekankan adanya kehadiran politikus muda dalam setiap pemilihan anggota legislatif, namun sebagian mereka bersaing dalam dunia politik untuk mempertahankan pengaruh politik keluarga, atau bahkan yang hanya sekedar mengadu nasib. kampanye atau membeli suara, itu yang banyak berhasil," ujar dosen ilmu politik Universitas Gadjah Mada, Amalinda Savarani. 

Kondisi yang mungkin berlawanan akan ditemukan di New Hamsphire, salah satu negara bagian di Amerika Serikat, di mana seluruh anggota legislatifnya setingkat DPRD dibayar rendah untuk masa jabatan 2 tahun sejak tahun 1889. Hal ini dikarenakan undang-undang untuk legislatifnya yang menuntut bahwa pekerjaan wakil rakyat adalah merupakan komitmen dedikasi dan kontribusional. Kondisi ini juga membuat mereka tidak berkantor di gedung perwakilan rakyat, tidak memiliki staf ahli atau staf khusus untuk membantu pekerjaan mereka. Hal ini memperlihatkan kenyataan bahwa kebanyakan yang menduduki jabatan wakil rakyat adalah masyarakat dengan dana berlebih atau sudah pensiun. Namun, sejak dua tahun lalu kecenderungan ini agak berubah sejak bertambahnya jumlah kelompok muda bahkan milenial berpartisipasi menjadi bagian legislatif dengan memperhatikan realita pendapatan yang rendah. Salah satunya adalah Joe Alexander, yang berasal dari partai Republik. Lulus kuliah, ia langsung menyatakan minatnya untuk menjadi bagian dari wakil rakyat dan didukung oleh partai Republik yang juga langsung memperlihatkan dukungannya dengan membantu proses kampanye hingga masa pemilihan datang. Isu-isu yang dikemukan Joe sangat berkorelasi dengan situasi yang sangat mengakar kepada kepedulian dan kekhawatiran masyarakat akan regulasi mengenai kepemilikan senjata pribadi, transparansi anggaran, isu keluarga dan remaja, serta perubahan ikllim. Rekan muda lainnya yang juga wakil rakyat, Cam Kenney juga memperlihatkan kekhawatiran mendalam terhadap situasi utang pinjaman kuliah yang semakin meningkat dan kerusakan lingkungan serta dampak negatifnya bagi masyarakat New Hamsphire, khususnya. Dengan penghasilan terbatas tersebut, Cam bahkan tidak ragu untuk bekerja paruh waktu di sebuah kafe dan sering bertemu dengan pelanggan sekaligus konstituen pemilihnya.  

bersama anggota dewan legislasi muda New Hampshire
dan sesama anggota IVLP
ditulis oleh Fanny S. Alam, Koordinator Sekodi Bandung dan Koodinator Bhinneka Nusantara Foundation Region Bandung. tulisan yang sama juga dimuat di AyoBandung.com.

Selasa, 07 Januari 2020

Dilema Kebijakan Publik untuk Masyarakat

AYOBANDUNG.COM -- Munculnya rencana Pemerintah Kota Bandung untuk mengesahkan rancangan peraturan daerah (perda) Pencegahan dan Peningkatan Kualitas Permukiman Kumuh Perkotaan, lalu dalam skala nasional rancangan undang-undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual yang pembicaraannya serta pengesahannya masih tertunda merupakan dua contoh inisiasi rencana kebijakan publik yang diajukan untuk memenuhi target kerja legislasi. Target ini tentunya diusahakan agar bersifat adaptif dengan kebutuhan masyarakat secara ideal. Di satu sisi lain, banyak yang masih mempertanyakan efektivitas kebijakan publik yang akan disahkan maupun yang telah disahkan. Kebijakan publik lahir dari suatu keputusan politik yang menjadi suatu konsensus bersama para pengambil keputusan berdasarkan hasil observasi kepada masyarakat mengenai apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh mereka. Keputusan politik ini akan bergerak lurus dengan pelaksanaan serta bagaimana kinerja kebijakan politik dievaluasi untuk melihat skala keberhasilan atau bahkan kegagalan kebijakan publik yang telah dihasilkan.

Bagaimana sebenarnya kebijakan publik direncanakan agar tepat sasaran bagi masyarakat serta manfaatnya dapat dirasakan itulah yang menjadi tantangan berikutnya. Tidak jarang kebijakan publik terlihat sempurna ketika berada dalam tahap perencanaan hingga tahap rilis, namun menjadi lemah dalam implementasinya (Hill and Hupe, 2015), serta bagaimana kebijakan publik hanya menjadi pemuas target kerja politik saja. Ketidaklinieran, kesulitan prediksi, serta ketidakmampuan untuk adaptasi (Braithwaite, 2018) menimbulkan jurang lebar antara tahap perencanaan dan formasi kebijakan publik dan pelaksanaannya di waktu mendatang. Dengan begitu, hal ini jelas menimbulkan pemborosan anggaran serta gagalnya penerimaan manfaat kebijakan publik bagi masyarakat secara luas. Formasi Kebijakan Publik Tentunya politik kebijakan dimulai dari model masyarakat secara politis sudah ada dan mempertahankan elemen penting dari sisi politik itu sendiri (Stone, Deborah, 2002).

Masyarakat memiliki kekuatan serta keinginan politik yang ingin diwujudkan dalam bentuk regulasi yang bisa mengakomodasi kepentingan-kepentingannya. Memang tidak akan seluruh kepentingan masyarakat akan dapat dijangkau kebijakan publik karena ada intervensi pemerintah sebagai perpanjangan tangan masyarakat untuk merangkum semua kepentingan personal menjadi kepentingan kolektif. Peran kuasa pemerintah dalam memilah kepentingan-kepentingan tersebut, menurut John Stuart Mill dalam esainya "On Liberty", akan mengurangi tarikan personal dalam pengambilan keputusan untuk kebijakan publik dan akan mencegah "risiko bahaya politis" demi pemenuhan tujuan kepuasan publik. Resiko bahaya politis merupakan dampak dari proses formasi kebijakan publik. Di Indonesia dengan iklim keterbukaaan politik yang besar melibatkan jumlah partai politik yang akhirnya menyempit menjadi koalisi, tidak dapat disanggah bahwa kebijakan publik yang dihasilkan dapat berupa hal, yaitu mengakomodasi kepentingan masyarakat atau justru berpihak kepada kepentingan partai yang membawa nama masyarakat. Untuk mencegah hal tersebut, dibutuhkan mobilisasi isu yang akan diangkat dalam kebijakan publik, yang akan mempertimbangkan bagaimana perwakilan masyakarat dalam koalisi partai politik dalam legislatif terlibat dan mengembangkannya.

Bahkan, dalam bukunya Political Organization, James Q Wilson, menekankan bahwa dampak baik dan buruk dari proses formasi kebijakan publik yang didistribusikan di antara masyarakat sebagai konsensus bersama perwakilan masyakarat akan memperlihatkan apakah peran sebenarnya yang dilakukan perwakilan tersebut untuk membentuk dan aktif mengawal isu untuk formasi kebijakan publik. Realita Dilema Kebijakan Publik Contoh dua kebijakan publik di Indonesia, yaitu rancangan perda Pencegahan dan Peningkatan Kualitas Permukiman Kumuh Perkotaan di Bandung dan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, merupakan hal krusial yang mendapatkan perhatian publik secara intens. Rancangan perda yang pertama merupakan dasar hukum yang muncul untuk mendukung skema pembangunan Kotaku atau kota tanpa kumuh, sedangkan ironisnya walaupun rancangan perda ini muncul sejak tahun 2015 dan belum selesai hingga sekarang, tetapi proses penanganan sementara dan relokasi terhadap daerah yang dianggap kumuh, contohnya Tamansari Bandung RW 11. Hal ini sempat mencuri perhatian banyak karena proses relokasi dan penggusuran justru dilakukan saat status tanah bersifat tanah sengketa, serta Badan Pertanahan Nasional hingga sekarang belum menerbitkan sertifikat atas nama siapa pun, termasuk atas nama Pemerintah Kota Bandung. RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sempat mandek sejak 2016 pengesahannya, dan sekarang kembali masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional DPR untuk kedua kalinya. Penundaan proses pengesahannya pada 2019 ini bukannya tanpa alasan pula. Tantangan terletak pada protes dari beberapa kelompok partai tertentu yang menganggap RUU ini lebih mendukung sekularisasi dan nilai-nilai liberalisme tanpa memperhatikan bahwa RUU ini disusun secara komprehensif melibatkan tokoh-tokoh lintas agama, akademisi, dan pakar-pakar hukum dan gender dan kekerasan seksual serta tokoh-tokoh publik, dan elemen masyarakat. Dua contoh tadi jelas-jelas mengabaikan prinsip akomodasi bagi masyarakat karena dalam skema rancangan perda Pencegahan dan Peningkatan Kualitas Permukiman Kumuh Perkotaan perlu dipertanyakan apakah masyarakat pernah dilibatkan dalam penyusunannya, serta mempertanyakan kepada mereka apakah sebenarnya yang dibutuhkan masyarakat dalam penataan kawasan yang dianggap kumuh. Standar apakah yang dikenakan sehingga kumuh menjadi patokan untuk dilakukan relokasi dan penataan. 

Dikutip dari PR FM news, anggota Komisi C DPRD Kota Bandung dari Fraksi PDIP, Folmer Silalahi menitikberatkan tidak integratifnya pemerintah daerah dan kota dalam melakukan penanganan kawasan kumuh sehingga terkesan jalan terpisah berbasis anggaran yang dimiliki dan wewenangnya, serta keraguan atas status hukum tanah. Sementara itu, yang terjadi pada RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ketika semua elemen sudah lengkap dalam prosedur dan kajian akademik serta riset, kepentingan politiklah yang menjegal pengesahannya. Akibatnya, hingga sekarang kasus-kasus kekerasan seksual terhadap masih ditangani dengan KUHP tanpa adanya usaha-usaha yang lebih komprehensif karena belum adanya payung hukum yang lebih signifikan. Inilah dilema yang sangat jelas terlihat terhadap rencana kebijakan publik yang justru kebijakan tersebut seharusnya berpihak kepada kepentingan masyarakat dengan dukungan politik yang lebih dari sekedar niat baik mencapai target kerja legislatif.

---------

Ditulis oleh Fanny S Alam, koordinator Sekodi Bandung.

Artikel ini sudah Terbit di AyoBandung.com, dengan Judul Dilema Kebijakan Publik untuk Masyarakat, pada URL https://www.ayobandung.com/read/2020/01/06/75511/dilema-kebijakan-publik-untuk-masyarakat#.XhMPPTOe9Cc.whatsapp 

Penulis: Redaksi AyoBandung.Com
Editor : Redaksi AyoBandung.Com

Rabu, 03 Juli 2019

Publikasi Dari Sekodi Bandung untuk Semua

















Publikasi itu penting. Mengapa? Karena dari hal itu kita dapat membuktikan bahwa kerja kita, terutama berkarya di satu komunitas yang berhubungan dengan teman-teman muda dan isu sosial dan hak asasi manusia, bisa mendapatkan pengakuan sekaligus memperkenalkan kerja kita semua. Publikasi bisa awet, tahan lama, dan memungkinkan dibaca oleh para penyimaknya. Foto-foto di atas adalah sebagian karya publikasi 2 teman Sekodi Bandung. Sebagian tulisan lengkap pernah dipublikasikan dalam web ini. Untuk yang lain dapat diakses melalui tautan:



Semoga teman-teman Sekodi Bandung lainnya memiliki motivasi kuat untuk mempertajam karya kerja kita semua lewat tulisan dan publikasi apa pun itu. Salam damai.

Selasa, 07 Mei 2019

Spektrum Kekerasan Kita



Oleh Fanny S Alam
Sekolah Damai Indonesia Bandung

Kata kekerasan seakan telah menjadi akrab dengan ingatan kita. Kata tersebut telah menjadi tindakan yang menjelma secara nyata dan dialami oleh seluruh lapisan masyarakat, terutama masyarakat yang dianggap kelas bawah dari strata sosial. Johan Galtung menggarisbawahi kekerasan terjadi bila manusia dipengaruhi sedemikian rupa sehingga realisasi jasmani dan mental aktualnya berada di bawah realisasi potensialnya. Soyomukti Nurani menjelaskan kekerasan merupakan tindakan yang dilakukan individu terhadap yang lainnya sehingga berpotensi menyebabkan gangguan fisik dan mental. Penjabaran istilah yang lebih komprehensif dikemukakan Henry Campbell Black (1951) yaitu bahwa kekerasan adalah penggunaan kekuatan yang tidak adil, tidak dibenarkan biasanya disalahgunakan terhadap hak umum serta pelanggaaran terhadap aturan hukum dan kebebasan umum.   
Struktur kekerasan yang paling mudah terlihat di Indonesia adalah kekerasan yang berbasis politik identitas, yaitu perilaku diskriminasi dan intoleransi terhadap kelompok agama dan ras atau etnis yang dianggap minoritas hingga orientasi seksual berbeda. Terlebih, jika dikaitkan dengan kondisi jelang pemilu. Maka tak pelak kekerasan dengan struktur tadi menjadi lebih dominan terjadi. Sebut saja kejadian provokasi pihak luar desa yang akhirnya membuat Roni Dwi Nugroho yang akhirnya membuatnya memindahkan makam orang tuanya, Nunuk di Pemakaman Islam Ngaresngidul, Mojekerto yang awalnya justru sudah disepakati boleh. Kutipan dari kumparan juga menyatakan yang dialami oleh Sukma Dewi Nawang Wulan, perwakilan dari penghayat keercayaan wedal urip yang mengeluhkan komitmen Pemerintah Kabupaten Brebes lamban dalam merespon aspirasi dari para penghayat kepercayaan karena hingga saat ini para penghayat kepercayaan masih terkendala terkait pemakaman yang bahkan masih mendapat penolakan dari pihak tertentu. Masih ingat juga hampir setiap tahunnya teman-teman Syiah di Bandung yang ingin merayakan Asyura selalu mengalami penolakan hingga pembubaran walaupun sebenarnya sudah ada aparat kepolisian. Dari periode 2013 hingga 2018 tirto.id melansir terjadi penutupan 5 masjid ahmadiyah dan 32 gereja. Jangan lupakan juga vonis 1, 5 tahun yang didapat oleh Meliana, yang dihukum karena dianggap melakukan penistaan agama karena meminta volume pengeras suara adzan diturunkan, namun kembali merefleksi kasus yang sama di Aceh tahun 2013 ketika seorang warga bernama Sayed Hassan mengajukan tuntutan ke pengadilan Banda Aceh karena merasa terganggu dengan suara rekaman pembacaan Quran yang berlarut-larut dari pengeras suara, ia menghadapi protes keras dari masyarakat. Namun, setelah dia mencabut tuntutannya, justru volume diturunkan dan tidak mendapat sanksi apa pun (S. Alam, Fanny, 2018). 
Terlebih lagi, jangan tanya bentuk-bentuk kekerasan yang dialami oleh teman-teman dengan orientasi seksual berbeda. Masih teringat bahwa dua universitas negeri di padang dan bahkan bandung pernah menerbitkan surat edaran pelarangan pendaftaran ulang mahasiswa baru bagi yang terindikasi terlibat perilaku LGBT (S. Alam, Fanny, 2017).  Apa yang perlu dicermati sebenarnya dari struktur kekerasan yang demikian? Bagaimana sebenarnya kekerasan tersebut bisa bermula? 

Spiral Kekerasan Menurut Camara  
Ancaman terhadap kemanusiaan yang dicermati pada dasarnya bermula dari sistem pembagian kelas yang justru dimulai dari negara. Kita tentu mengenal kelas negara dunia pertama, kedua, dan ketiga, istilah yang pada akhirnya "diperhalus" menjadi negara maju, berkembang (arah maju), dan ekonomi berkembang (kurang maju) (IMF dan PBB). Ketimpangan yang dialami oleh negara dunia ketiga (negara berkembang, bisa jadi kurang maju) beserta relasinya dengan negara maju terletak dalam masalah ketidakadilan. Ketidakadilan dalam perumusan kebijakan hubungan dagang yang misalnya lebih menguntungkan pihak negara maju serasa pendiktean terselubung. Atau pun, bentuk-bentuk ketidakadilan yang berasal dari sistem pemerintahan yang lebih berpihak kepada kelompok priviledged (hak istimewa) sehingga menggiring masyarakat yang secara ekonomi tidak berdaya kedalam ketidakpastian dan hilang harapan bahkan. Hal inilah yang ditekankan oleh Dom Helder Camara, seorang tokoh gereja, sekaligus pekerja sosial, dan pejuang perdamaian. Bermula dari seminari hingga keuskupan agung Olinda dan Recife di Brazil, menjadi sekjen sidang kepala-kepala gereja selama 12 tahun dan CELAM, konsili Uskup Amerika Latin, dimana dia menjalani perjuangannya meretas ketidakadilan terhadap masyarakat secara sendirian lewat jalur gereja. Ini dilakukan agar gereja mampu membuka mata atas realita masalah dalam masyarakat dan negerinya serta dapat bertindak sebagai satu kesatuan. Posisi strategisnya membuat keberpihakan kepada para petani yang rata-rata buta huruf yang diperbudak oleh tuan tanah semakin kuat ditambah komitmen untuk menuntaskan masalah sosial bersama dengan tokoh-tokoh politik kiri sekuler. Dialog dimulai dan berjalan semakin intens. Pergerakan Camara menjadi lebih dianggap berbahaya sehingga akhirnya Presiden Brazil baru, Jenderal Garrastazu Medici, mengambil alih hak meralat mandat tanpa perwakilan di parlemen tanpa pengadilan serta mencabut hak politik warga negara. Legislasi ini menyebabkan Gereja sebagai otoritas lembaga keagamaan turut disetir kebijakannya oleh pemerintah. Ini terjadi tahun 1970, dimana pemerintah secara struktural melakukan tindak penyiksaan sebagai bagian instrumen kebijakan bagi siapapun yang tertangkap menentang presiden serta kekuasaannya. Spiral kekerasan yang dicoba retas oleh Camara berasal dari titik ketidakadilan yang berasal dari kelas, bisa kelas relasi antar negara yang menekankan privelese kepada negara maju ketimbang memberlakukan perlakuan setara kepada negara dibawahnya, lalu bagaimana represi dilakukan oleh negara ketika terjadi pertentangan terhadap rezim yang dianggap tidak berpihak kepada warga negara, serta bagaimana legalisasi kekerasan dilakukan oleh institusi keagamaan yang menjadi kepanjangan tangan pemerintah. 

Camara, Kekerasan Kita, dan Resolusi 
Jika dalam paragraf pembuka disebutkan bahwa struktur kekerasan yang paling mudah ditemukan di Indonesia akhir-akhir ini adalah yang berbasis politik identitas dan berkenaan dengan relasi pelembagaan kekerasan lewat legitimasi agama, maka berdasarkan uraian Camara mengenai adanya jaminan privelese dari negara di Indonesia ini terjadi modelnya seperti yang diungkap oleh Coen Husain Pontoh mengenai bagaimana negara pada permulaan orde baru memelihara ini dengan mendirikan lembaga-lembaga kekerasan fisik langsung, mulai dari ABRI, lembaga intelejen yang ada di berbagai departemen, serta organisasi seperti pemuda pancasila, pemuda panca marga. Camara menekankan ketidakadilan yang lebih menguntungkan kelompok-kelompok privilese yang dijamin negara telah memiskinkan masyarakat karena akses ekonomi yang akhirnya dikuasai kelompok-kelompok tersebut dan masyarakat hanya menjadi budak pekerja mereka. Rezim pada orde baru di Indonesia dengan menggabungkan kekuatan rezim dan korporasi permodalan dilakukan untuk menghancurkan keadilan akses melalui proses kekerasan, terutama kekerasan langsung yang berfungsi mendisiplinkan tenaga kerja di sektor industri dan menghancurkan gerakan tani melalui penerapan sistem pertanian modern, seperti yang dikemukakan oleh Pontoh. Action For Justice and Peace, selanjutnya disebut AJP atau aksi untuk keadilan dan perdamaian akhirnya digagas Camara untuk bertindak menegakkan keadilan sebagai prasyarat untuk mencapai perdamaian. Aksi yang tidak melulu teori, spekulasi, serta kontemplasi melainkan tindak nyata yang berani. Target AJP ini adalah berfokus kepada masyarakat tertindas dari negara kurang berkembang dan masyarakat dari lapisan terbelakang negara maju. Tidak mudah ketika kita sebagai masyarakat melakukan upaya-upaya mengentaskan ketidakadilan sebagai bagian warisan orde terdahulu yang masih ada hingga sekarang karena tekanan politik yang besar dan banyaknya kepentingan-kepentingan yang dijaga oleh negara sebagai pemegang struktur kekuasaan. Akan tetapi, Camara dapat menjadi model bagaimana seharusnya tokoh-tokoh agama di Indonesia bergerak secara progresif melihat bahwa masalah di negara kita bukan semata-mata masalah moral memperbaiki diri lalu dibawa secara komunal, namun bagaimana berkontribusi secara luas melihat masalah yang dialami negara dan masyarakat yang berkaitan dengan ketidakadilan yang dapat memiskinkan dan membentuk bentuk kekerasan baru. Kerja sama bersama pihak pemerintah dapat berbuah kontribusi strategis untuk mengurangi ketidakadilan secara umum bagi masyarakat.  

"Apapun agamamu cobalah berusaha agar agama membantu menyatukan umat manusia, bukan untuk memecah belah" (Camara)