Tampilkan postingan dengan label tools for peace. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label tools for peace. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 25 April 2020

Rasisme dan Xenofobia di Balik Covid-19

TIMESINDONESIA, BANDUNG – Sejak virus Corona atau Covid-19 merebak pertama kalinya di Wuhan, Cina, dunia seakan tidak berhenti memberitakan negara mana lagi yang terkena dampak infeksi virus ini. Banyak negara  memberlakukan sistem penguncian negara atau lockdown karena tingkat kematian para penduduknya karena infeksi Covid-19.

Demikian pula Indonesia, yang hingga April  2020 ini sudah membukukan angka di angka lebih dari 5000 orang positif. Angka ini diprediksikan dapat meningkat jika penanganan secara medis tidak dikutsertai dengan penanganan yang bersifat sosial, seperti pelarangan sementara kegiatan berkumpul yang melibatkan sejumlah banyak masyarakat, bahkan kegiatan peribadatan pun mengalami perubahan untuk dilakukan di dalam rumah saja, hingga kegiatan pendidikan di semua jenjang dihentikan sementara untuk mengurangi kerentanan penularan virus. 

Dampak negatif sosial budaya pun muncul.  Ketika masyarakat seluruh dunia sedang berjuang mati-matian mempertahankan diri secara ekonomi dan kesehatan agar dapat keluar dari krisis virus, beberapa hal yang mencederai budaya dan sosial masyarakat terjadi. Jonathan Mok, dari Singapore salah satunya yang mengalami ini menceritakan bagaimana ia diserang oleh 4 orang pria yang berujar 'kami tidak ingin virus coronamu di negara kami' ketika berjalan di Oxford Street. London 24 Februari 2020. 11 Maret 2020, sekelompok siswa sekolah menengah di Belgia, Sint Paulus school, membuat foto tahunan dengan mengenakan pakaian tradisional Asia mengarah ke pakaian ala Cina membawa kertas yang bertuliskan “Corona time” dan salah satu siswanya terlihat menyipitkan matanya. 

Rasisme dan Xenofobia, Pasangan Maut 
Berasal dari kata Xenos, Bahasa Yunani, yang berarti ‘asing’ atau ‘orang asing’ serta Phobos yang berarti ketakutan. Xenofobia dapat menjadikan orang asing dari negara-negara lain menjadi bahan ketakutan sekaligus kebencian. Terkait dengan rasisme, di mana paham ini merupakan gejala melihat suatu kelompok masyarakat yang dianggap minoritas lebih rendah daripada mayoritas, maka dampaknya adalah terjadinya segregasi serta perbedaan perlakuan berdasar superioritas ras etnis pula yang menganggap diri mereka lebih baik. 
Steindhardt, Max. F peneliti dari Freie Universitat Berlin menggarisbawahi bahwa kekerasan berbasis Xenofobia memiliki dampak berdimensi sosial ekonomi, khususnya yang dialami dalam proses integrasi para pendatang di negara tujuan.
Dampak lainnya adalah penghindaran  terhadap warga etnis Cina jika dihubungkan dengan merebaknya virus Covid-19  Suatu peristiwa di mana seorang petugas sosial asal Malaysia beretnis Cina mengalami penghindaran ketika ia sedang berada dalam transportasi umum di London. Lalu bagaimana seorang perempuan Singapura mengalami tindakan rasisme di satu mall di New Zealand, serta bahkan di Jepang sendiri terjadi tindakan rasisme di beberapa restauran yang memasang tanda "No Chinese" hingga seminggu. Di Indonesia sendiri berita mengenai tenaga kerja asli Cina yang masuk ke Indonesia sempat menjadi sasaran mengapa Covid-19 bisa menginfeksi Indonesia walau pun saat virus ini masuk ke Indonesia telah terjadi status pandemik.
Tersembunyi, Berpotensi Muncul
Penandatanganan Konvensi Internasional Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial dilakukan berbasis Piagam Hak Asasi Manusia dengan tujuan Perserikatan Bangsa Bangsa, yaitu memajukan dan mendorong penghormatan dan pematuhan hak-hak asasi manusia dan kebebasan mendasar bagi semua tanpa membedakan ras, jenis kelamin, bahasa atau agama.
Dalam kondisi Corona/Covid-19 telah menjadi pandemik global yang memerlukan perhatian ekstra demi kesembuhan warga seluruh dunia, ternyata potensi xenofobia dan rasisme berbasis asal virus ini datang tiba-tiba muncul dan mensegregasi etnis tertentu yang dimunculkan seolah-olah menjadi penyebab munculnya virus dan menjadi wajar untuk dilakukan tindak penghindaran hingga perendahan di luar prinsip HAM.
Kita sendiri sebagai bagian dari warga global dunia seharusnya sepakat untuk berkonsentrasi terhadap upaya penyembuhan tanpa melihat sekat ras dan etnis. Ini adalah masalah kita bersama dan jika dibiarkan, maka potensi rasisme dan Xenofobia akan dapat muncul menunggu waktu yang tepat saja, tergantung akan peristiwa dunia apa yang sedang terjadi. 
***
*)Oleh: Fanny S. Alam, Regional Coordinator of Bhinneka Nusantara Foundation/Regional Coordinator and Program Director of Sekolah Damai Indonesia Bandung.
*) Tulisan yang sama juga dimuat di Times Indonesia
x

Minggu, 08 Maret 2020

Yuk Menulis!


Setelah rangkaian kelas critical thinking selama bulan Februari 2020, Sekodi Bandung melanjutkan rangkaian kelas tools for peace dengan membicarakan mengenai tulisan. Bersama Rinda Aunillah, seorang dosen jurnalistik yang juga penulis, serta Fanny S. Alam, koordinator regional Sekodi Bandung yang juga aktif menulis beberapa artikel, kami membicarakan tentang kekuatan sebuah tulisan dan bagaimana mengekspresikan ide dalam tulisan.

Diskusi mulai dengan sharing dari salah seorang anggota sekodi, Stella Vania, yang baru-baru ini menulis tentang RUU Ketahanan Keluarga dan dimuat di sebuah media. Kami berdiskusi apa yang melatarbelakangi tulisan itu dibuat dan bagaimana proses yang dilakukan saat menulis. Dua narasumber juga membagikan pengalamannya saat membuat beberapa tulisan, terutama tulisan opini.

Ada beberapa kesamaan di antara beberapa pengalaman yang dibagikan. Sebuah tulisan bisa berangkat dari pertanyaan, kasus, atau emosi tertentu, misalnya kemarahan, kesedihan, kebingungan, kekecewaan, dll. Dari situ, dilakukan riset mengenai topik tersebut. Data dan fakta dapat menjadi penguat argumen atau opini kita. Riset menjadi kunci. Ketika sebuah tulisan itu dimuat, tulisan itu menjadi milik publik sehingga pembaca dapat mempercayai ataupun mengkritisi tulisan tersebut. Riset, data, dan fakta juga membuat tulisan opini menjadi lebih objektif. Selain itu, ketika kita membuat tulisan, kita perlu memikirkan apa pesan yang ingin disampaikan dari tulisan itu, kepada siapa pesan itu ditujukan, dan apa harapan kita terhadap pembaca, apakah ingin meningkatkan kesadaran, atau mengajak orang ikut mendukung, atau hal lain. 

Dalam menulis, kita juga bisa menyiapkan outline atau kerangka tulisan, namun bisa juga mengalir sesuai dengan apa yang ingin kita ungkapan. Akan tetapi, tulisan sebaiknya terdiri dari empat bagian ini: judul, pembuka, tubuh tulisan, dan penutup. Judul sebaiknya dibuat singkat dan menarik, maksimal 8 kata. Bagian pembuka biasanya terdiri dari tiga paragraf awal. Bagian pembuka ini menjadi penting bagi penulis untuk menarik perhatian pembaca agar pembaca mau terus bertahan hingga akhir tulisan, maka bagian pembuka dapat diisi dengan kasus, syair, konteks masalah atau pertanyaan. Selanjutnya, pada bagian tubuh tulisan, penulus mengungkapkan gagasan atau pesan utama dari tulisan. Data dan fakta yang mendukung argumen dapat disampaikan pada bagian ini. Dua alinea terakhir adalah bagian penutup, di mana penulis dapat menegaskan kembali pesan yang ingin disampaikan dari tulisan. Penutup dapat berapa kesimpulan, pertanyaan, maupun persuasi, tergantung apa yang ingin penulis ajak pada pembaca.

Pada kesempatan itu, didiskusikan juga lewat media apa tulisan dapat dipublikasikan atau disebarluaskan. Tulisan kita adalah sarana untuk menyampaikan pemikiran, ide, atau pendapat kita mengenai suatu hal. Menulis juga adalah sebuah bentuk pergerakan. Jadi, yuk menulis!




(Stella Vania)