Dalam rangka menyemarakkan World Intefaith Harmony Week (WIHW) yang biasa diperingati sepanjang pekan pertama bulan Februari, Sekolah Damai Bandung (Sekodi) mengundang Kang Asep, Teh Rela, dan Kang Dian, yang tiada lain adalah para penganut ajaran Kepercayaan. Bertempat di sekitar Balai Kota Bandung, kegiatan dilakukan dengan cara tadarus teks yang isinya berupa tanya-jawab seputar ajaran Kepercayaan.
Ada sekitar tujuh buah pertanyaan yang dibahas, di antara ialah mengenai Tuhan. Sama halnya dengan agama-agama besar lainnya, mereka meyakini adanya Tuhan Yang Maha Esa yang telah menciptakan bumi, langit, beserta isinya. Hanya saja untuk penamaan, mereka mengembalikan penyebutan Tuhan sesuai dengan bahasa dan kultur masing-masing penghayat, sebab perbedaan dalam menyebut nama Tuhan sama sekali tidak berpengaruh terhadap inti dari Tuhan itu sendiri.
Tetapi mengenai kitab suci, berbeda dengan agama-agama arus utama, para penghayat kepercayaan tidak memiliki kitab suci yang diyakini berupa firman Tuhan, yang ada hanyalah tulisan-tulisan karangan manusia yang berisi tentang tuntunan hidup menuju jalan keselarasan dan keselamatan. Ini karena bagi mereka apa yang disebut dengan pedoman Tuhan sebenarnya telah ada secara jelas, baik dari alam maupun dalam diri manusia itu sendiri. Semua elemen ini jika dikaji dan dihayati secara serius, menurutnya, dapat dijadikan pegangan pedoman umat manusia di dunia. Tidak adanya kitab suci berarti juga tidak ada konsep mengenai seseorang yang diutus oleh Tuhan sebagai penyebar agama (nabi).
Mengenai moral, para penghayat kepercayaan tidak memiliki konsep yang muluk-muluk, cukup dengan pepatah “barangsiapa yang menanam maka dia akan memetik hasilnya”. Betapapun fleksibelnya, menurut Kang Asep biasanya setiap organisasi ajaran Kepercayaan memiliki semacam pedoman moral, misalnya mengenai tujuh perbuatan yang terlarang. Uniknya, mereka juga tidak terlalu memiliki fokus pada hal-hal eskatologis, oleh karenanya tidak memiliki konsep dosa-pahala sehingga juga tidak ada konsep surga-neraka. Bagi mereka manusia yang telah meninggal maka jasmaninya akan kembali ke saripati bumi (tanah, air, udara, dan api) sedang inti dari diri akan kembali ke sisi Tuhan.
Kang Asep juga membahas persoalan yang sering disalahpahami oleh masyarakat umum yang mengidentikkan ajaran kepercayaan dengan hal-hal yang berbau mistis atau klenik. Ini salah, meskipun tidak menutup kemungkinan akan selalu ada orang yang memiliki kemampuan supranatural sebagaimana yang terjadi pula pada sebagian penganut agama-agama lain. Bagi Kang Asep, ini dikarenakan orang tersebut gemar melakukan penyucian batin sehingga Tuhan memberikan semacam hadiah kepadanya untuk memiliki daya sensitivitas yang lebih tinggi dibanding manusia pada umumnya.
Persoalan lain yang juga kerap disalahpahami ialah mengenai upacara sesajen. Berasal dari kata ajen yang berarti penghormatan atau penghargaan, upacara sesajen secara substansi ialah sebuah bentuk penghormatan yang dilakukan oleh para penghayat terhadap alam. Bukan hanya karena alam adalah rekan yang perlu dihormati tetapi juga sangat ampuh dijadikan sebagai sarana untuk merasakan kehadiran Tuhan. Adapun pernak-pernik yang sering hadir seperti kembang tujuh rupa dan yang lainnya, semuanya sebenanya hanyalah simbol-simbol yang memiliki nilai filosofis untuk menggambarkan keseluruhan alam.[]
Jiva Agung W