Tampilkan postingan dengan label kunjungan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kunjungan. Tampilkan semua postingan

Rabu, 19 Februari 2020

Keterlibatan Muda dalam Politik

"Beri aku 1000 orang tua niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda niscaya akan kuguncangkan dunia" 

Seluruh masyarakat Indonesia pasti sudah mengenal kutipan terkenal di atas oleh proklamator kemerdekaan negara kita, Ir. Soekarno. Betapa beliau ingin melibatkan generasi muda dalam proses kemerdekaan. Betapa mereka mendapat porsi penting dalam pembangunan ke depannya. 

Mantan Sekretaris jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, Ban Ki-Moon, juga menggarisbawahi peran generasi muda dalam menciptakan dunia yang lebih baik dan aman, lalu penggalangan kekuatan mereka dalam pengambilan keputusan, program pembangunan serta kebijakan yang menguntungkan kelompok mereka, masyarakat secara umumnya, serta masa depan negara. 

Presiden Joko Widodo menyadari pentingnya peran generasi muda yang selanjutnya disebut milenial dalam tatanan pembangunan Indonesia, sehingga merefleksikan pada sumpah pemuda tahun 1928 silam, beliau menekankan bahwa persatuan generasi muda dalam melihat negara di bingkai negara kesatuan republik Indonesia merupakan kunci pelaksanaan pembangunan negara dan keterlibatan krusial mereka, sehingga dalam tatanan praktisnya beliau mengangkat beberapa dari generasi milenial berprestasi sebagai bagian staf ahlinya. Ini merupakan kunci penting keterlibatan dan pemberdayaan kelompok milenial muda untuk berkontribusi dalam pembangunan, baik dari level akar rumput hingga negara. 

Keterlibatan muda untuk dapat berperan penting dalam pembangunan salah satunya dimulai dengan politik. Masih banyak generasi muda, terutama dari kelompok usia milenial,yang menunjukkan sifat antipati terhadap hal-hal.yang berhubungan dengan politik. Keengganan mereka dalam memilih pun jelas memberikan dampak krusial bagi masa depan perpolitikan di Indonesia,sehingga jujur hal ini akan memberikan ekses terhadap keberlanjutan politik dalam hal pengambilan keputusan, penyusunan kebijakan politik bagi masyarakat. 

Namun, kondisi ketidakpedulian generasi milenial terhadap politik pun bahkan diperlihatkan oleh salah satu negara terbesar dalam peran demokrasi, yaitu Amerika Serikat, karena mereka mengalami masa di mana hanya 10 persen dari kelompok usia 18 hingga 24 tahun yang memperlihatkan kecenderungan tidak memenuhi syarat keterlibatan penuh dalam pemungutan suara presiden 2012. Dilansir selanjutnya oleh Centre for information and research on civic learning and engagement (CIRCLE). Selain itu, masih banyak orang tua yang menganggap pendidikan kewarganegaraan yang berkaitan dengan politik adalah tabu. Juga, iklim politik nasional turut serta mengalienasi anak-anak muda dalam kehidupan masyarakat publik secara politik.  


Kelompok Muda dalam Politik 

Kehadiran kelompok muda dalam berpolitik di Indonesia tentu merupakan langkah positif untuk mengimbangi kekuatan politik yang selama ini dilaksanakan oleh para politisi berusia senior dengan segala pengalamannya. Keberadaan kelompok muda ini diharapkan akan membawa dampak positif, terutama dalam dinamisnya pengambilan keputusan yang dinilai akan jauh lebih cepat dan energik. Hal ini dikemukakan oleh Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) ketika menganalisa daftar caleg sementara Pemilu Legislatif 2019 silam. Kesimpulannya, menurut peneliti forum ini Lucius Karus, adalah secara jumlah mayoritas calon legislatif adalah berusia 36-59 tahun dengan total 68% serta sekitar 21% berusia 21-35 tahun. Sisanya 11% adalah berusia 60 tahun ke atas.  

Menjadi bagian legislatif pun pasti didasari oleh kepentingan masing-masing individu yang sudah mempersiapkan dirinya secara matang. Latar belakang mereka pun bermacam-macam, seperti ada yang sudah bekerja atau menjadi pengusaha, lalu memutuskan turun ke dunia politik. Di dalam sisi lain, ada juga mereka yang turun ke politik dan berharap akan terus melaju ke legislatif untuk meneruskan jejak keluarga yang sejak awal sudah berkecimpung dalam dunia politik.  Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Amalinda Savarini, dosen fakultas ilmu politik Universitas Gadjah Mada. Dikutip dari wawancaranya Bersama BBC, Amalinda menekankan adanya kehadiran politikus muda dalam setiap pemilihan anggota legislatif, namun sebagian mereka bersaing dalam dunia politik untuk mempertahankan pengaruh politik keluarga, atau bahkan yang hanya sekedar mengadu nasib. kampanye atau membeli suara, itu yang banyak berhasil," ujar dosen ilmu politik Universitas Gadjah Mada, Amalinda Savarani. 

Kondisi yang mungkin berlawanan akan ditemukan di New Hamsphire, salah satu negara bagian di Amerika Serikat, di mana seluruh anggota legislatifnya setingkat DPRD dibayar rendah untuk masa jabatan 2 tahun sejak tahun 1889. Hal ini dikarenakan undang-undang untuk legislatifnya yang menuntut bahwa pekerjaan wakil rakyat adalah merupakan komitmen dedikasi dan kontribusional. Kondisi ini juga membuat mereka tidak berkantor di gedung perwakilan rakyat, tidak memiliki staf ahli atau staf khusus untuk membantu pekerjaan mereka. Hal ini memperlihatkan kenyataan bahwa kebanyakan yang menduduki jabatan wakil rakyat adalah masyarakat dengan dana berlebih atau sudah pensiun. Namun, sejak dua tahun lalu kecenderungan ini agak berubah sejak bertambahnya jumlah kelompok muda bahkan milenial berpartisipasi menjadi bagian legislatif dengan memperhatikan realita pendapatan yang rendah. Salah satunya adalah Joe Alexander, yang berasal dari partai Republik. Lulus kuliah, ia langsung menyatakan minatnya untuk menjadi bagian dari wakil rakyat dan didukung oleh partai Republik yang juga langsung memperlihatkan dukungannya dengan membantu proses kampanye hingga masa pemilihan datang. Isu-isu yang dikemukan Joe sangat berkorelasi dengan situasi yang sangat mengakar kepada kepedulian dan kekhawatiran masyarakat akan regulasi mengenai kepemilikan senjata pribadi, transparansi anggaran, isu keluarga dan remaja, serta perubahan ikllim. Rekan muda lainnya yang juga wakil rakyat, Cam Kenney juga memperlihatkan kekhawatiran mendalam terhadap situasi utang pinjaman kuliah yang semakin meningkat dan kerusakan lingkungan serta dampak negatifnya bagi masyarakat New Hamsphire, khususnya. Dengan penghasilan terbatas tersebut, Cam bahkan tidak ragu untuk bekerja paruh waktu di sebuah kafe dan sering bertemu dengan pelanggan sekaligus konstituen pemilihnya.  

bersama anggota dewan legislasi muda New Hampshire
dan sesama anggota IVLP
ditulis oleh Fanny S. Alam, Koordinator Sekodi Bandung dan Koodinator Bhinneka Nusantara Foundation Region Bandung. tulisan yang sama juga dimuat di AyoBandung.com.

Kamis, 30 Januari 2020

Halaqah Damai XXVI: Akar Kekerasan dalam Perspektif Women Studies

Sekolah Damai Indonesia - Bandung (Sekodi Bandung) terus berupaya membangun kerja sama dengan berbagai komunitas yang berada di Bandung. Salah satu kegiatan yang secara rutin didukung oleh Sekodi Bandung adalah Halaqah Damai, sebuah forum diskusi bulanan yang membahas tentang berbagai isu sosial dari berbagai perspektif. Pada hari Rabu, 29 Januari 2020 diadakan diskusi bulanan Halaqah Damai ke XXVI. Topik yang dibahas pada Halaqah Damai bulan ini adalah Akar Kekerasan dalam Perspektif Women Studies, dengan narasumber Dr. Yeni Huriani, M.Hum. Berikut adalah tulisan dari seorang teman Sekodi Bandung, Ridwan, yang mengikuti diskusi Halaqah Damai tersebut. 

AGAMA SEBAGAI AKAR KEKERASAN
(Dalam Perspektif Studi Wanita)

Dalam pandangan Agama, khususnya agama Islam dan umumnya Agama lainnya, wanita itu cenderung lebih dibedakan dengan laki-laki, dan bahkan dalam konstruk Teologis untuk perempuan itu contoh dalam Kisah Penciptaan Pertama dan Penciptaan Kedua, laki-laki (Adam) itu lebih awal diciptakan daripada Wanita (Hawa), bahkan Wanita sendiri disebutkan diciptakan dari Tulang Rusuk Laki-laki dan  ini memang dipandang benar oleh Abrahamic Religion (Islam,Yahudi, dan Kristen), jadi seakan-akan wanita ini drajatnya lebih rendah daripada laki-laki menurut padangan agama. Begitujuga dalam Kisah (pandangan) Drama Kosmis tentang dosa asal yang menyebabkan manusia terlempar dari Surga (Taman Eden), dalam kisah Abrahamic Religion wania itu adalah penyebab terlemparnya manusia dari surga, karena wanita bersekutu dengan Setan/Iblis dan mudah sekali digoda oleh Iblis untuk memakan Buah dari Pohon Terlarang, sehingga seakan-akan wanita ini adalah temannya Setan, sebagaimana Setan menggoda manusia begitu juga wanita sering menggoda laki-laki.

Lalu Bagaimana Agama Melihat Perempuan?
Dalam citra tentang Tuhan yang laki-laki, dalam agama Yahudi Tuhan itu disebut "Yehovah" atau "YAHWEH", dalam agama Kristen Tuhan itu disebut Bapa, Bapa Sorgawi, Allah Bapa. Dalam Islam, Al-Qur'an menyebut Allah itu "Huwa" yang kalau diartikan Dia (Maskulin) dan bukan "Hiya" yang bersifat Feminim, bahkan di agama lainpun sama dalam memandang kemaskulinan Tuhan.

Dan agama juga mengucilkan perempuan dari wilayah publik, zaman dulu perempuan itu dilarang untul ikut beribadah di gereja, yanh diperbolehkan itu hanya laki-laki saja, jadi kalau seorang istri menunggu di rumah dan ketika suaminya pulang dari gereja,si istri ini akan menanyakan apa saya yang dikhotbahkan oleh pemimpin agama di Gereja, begitu juga dengan Yahudi, dan dalam pandangan Islam, perempuan ini dilarang keluar, dan ini masih menjadi perdebatan dikalangan ulama-ulama Islam, ada yang memperbolehkan asalkan ada pendamping yang "Muhrim" ada juga yang melarangnya, bahkan dalam islam kalau seorang istri keluar rumah tanpa sepengetahuan suaminya, maka sang istri tersebut dicap berdosa.

Arab Saudi saja baru mengeluarkan izin bahwa seorang perempuan itu boleh keluar dan mengemudikan mobil sendiri itu baru setahun kebelakang, sehingga dalam pemahaman ini islam cenderubg lebih ketinggalan dalam menafsirkan penyetaraan kedudukan wanita, tapi di agama lainpun selain Abrahamic Religion juga ada yang demikian.

Dalam Kepemimpinan, agama memandang bahwa laki-laki itu lebih pantas dalam memimpin, karena memang citra laki-laki yang dari awal itu lebih berkuasa daripada perempuan, bahkan dalam keluarga sekalipun laki-laki (suami) yang berhak memimpin keluarganya.

Dalam Hukum Keluarga, wanita pun hanya jadi pengikut apa yang dikatakan suaminya, dan suami menjadi sang pemimpin bagi anak dan istrinya, sang istri hanya harus berdiam di rumah mengurus segala urusan rumah tangga, sedangkan suami mencari nafkah dan memberikan kepada istrinya seberapapun nafkah yang dikehendaki suaminya, dan seorang istri harus mau menerimanya, mau besar ataupun kecil tak ada kuasa untuk meminta lebih, bahkan dalam islam, Istri yang tidak mau diajak "main di ranjang" maka suami punya hak untuk memukul istrinya, hukum islam ini disebut "Nuzuz", ini diperbolehkan bagi suami untuk memukul istri yang tidak mau menuruti kehendak suaminya.

Dalam Perkawinan, agama memandang laki-laki itu lebih bebas, laki-laki bebas mau menikah di usia berapapun, mau dia usianya 15, 17, 19, 25, bahkan 40 sekalipun laki-laki tidak ada kendala atau halangan apapun kalau dia mau menikah, tapi kalau perempuan banyak sekali kendalanya, kalau wanita belum menikah dalam usia 30 tahunan saja sudah ribut keluarga besarnya, dan ada istilah "Perawan Tua" bagi wanita yang belum menikah melewati usia 25 sampai 30 tahun.

Dalam hak Kepemilikan, itu wanita tidak punya hak dalam memiliki seauatu pasti hanya suaminya saja yang disebut memiliki hak dalam kepunyaanya, rumah, mobil, motor itu pasti disebut milik suaminya, bahkan dalam hukum warisan Laki-lakilah yang berhak mendapat banyak dari warisan yang diwariskan kepadanya, sedangkan wanita itu mendapat setengah dari apa yang diperoleh laki-laki.

Dan agama juga menanamkan konsep istri patuh kepada suami, namun tidak ada konsep suami patuh kepada istri, dalam Abrahamic Religion, ini memang diakui, bahkan istri yang tidak mau menurut kepada suaminya itu dicap sebagai istri yang durhaka atau istri pembangkang, dan dalam budaya Minang, apabila seorang istri menyuruh suaminya itu adalah sebuah pelecehan, dan sang suami memiliki hak apapun untuk dilakukan kepada istrinya.

Perempuan dan Kekerasan
Wanita sering menjadi mengalami berbagai kekerasan, di antaranya sebagai berikut: 
  • Kekerasan Fisik, seorang istri sering menjadi baku hantaman pukulan dari suaminya, dan iniemang sering terjadi, bukan hanya di satu agama tapi disemua agama demikian, istri yang tidak mau nurut kepada suami, maka sang suami punya hak dalam memukul istrinya.
  • Dalam kekerasan Psikis, wanita sering menjadi bahan olok-olokan dari suaminya bahkan dari pihak umum, dan wanita itu sering ditekan oleh suaminya atau keluarganya siapapun itu, di Indonesia, wanita yang bertubuh gemuk, atau berkulit hitam, atau berambut kriting, itu dipandang sudah bukan seperti wanita lagi, padahal kriteria kecantikan setiap negara itu berbeda-beda.
  • Wanita juga sering mendapat perlakuan kekerasan seksual, bahkan lebih sering daripada laki-laki, banyak sekali beredar berita pemerkosaan, dan yang menjadi korbannya adalah wanita.
  • Wanita juga sering mendapat kekerasan ekonomi, wanita sering ditelantarkan, dan sang suami yang mencari nafkah lalu memberikan nafkah kepada istrinya itu dengan anggapan "cukup tidak cukup ya terserah, asalkan suami sudah kerja dan mampunya hanya segitu", istri juga sering dijadikan kuda, suami diam dirumah, dan istri bekerja keluar, lalu kalau si istri mendapat uang, maka uang itu juga dikasihkan kepada suami, dan ini yang menjadi problem masyarakat sekarang.

Jadi bagaimana kita harus menanggapi hal-hal ini?
Kita harus membaca kembali Teks Suci, dan menafsirkannya bukan secara harafiyyah, tapi secara maknawiyyah, sehingga makna asli dari ayat-ayat dari Teks Suci itu dapat kita fahami, khususnya bagi wanita yang religion.
Kita juga butuh penafsiran baru terhadap Teks Suci, karena memang penafsiran itu harus menyesuaikan dengan apa yang ada dilingkungan kita, khusunya mengenai pandangan terhadap wanita, sehingga tidak ada lagi anggapan "agama mendeskriminasi wanita", kita harus menjadikan agama ini menjadi kereligiusan pada diti wanita dengan penafsiran baru akan Teks Suci tersebut, sebagaimana Agama membutuhkan Wanita, begitu pula wanita membutuhkan Agama.
Kalau kita lihat dalam sejarah, wanita juga berperan penting dalam penyebaran agama, begitu juga agama sangat berpengaruh pada diri wanita.


Sabtu, 25 Januari 2020

Tur Malam Imlek: Semakin Mengenal Budaya Tionghoa

Setiap tahun pada malam imlek, Jaringan Kerja Antar Umat Beragama (JAKATARUB) mengadakan kegiatan Tur Malam Imlek. Kegiatan ini berisi kunjungan ke beberapa tempat ibadah di sekitar Jalan Cibadak dan Jalan Klenteng, Bandung. Pada tahun ini, beberapa teman Sekodi Bandung kembali bergabung dalam kegiatan Tur Malam Imlek. 

 

Kami berkumpul bersama lebih dari 80 orang dari lintas komunitas dan lintas agama di Klenteng Besar yang juga dikenal dengan Vihara Satya Budhi. Di situ, kami diberi kesempatan untuk melakukan tanya jawab dengan Bapak Sugiri, salah satu pengurus klenteng dan tokoh Tionghoa di Bandung. Pak Sugiri menjelaskan mengenai bagaimana imlek dimaknai oleh warga Tionghoa, termasuk sejarah dan kisah-kisah seputar imlek, shio, dan beberapa budaya Tionghoa yang lain. Pak Sugiri juga menceritakan sejarah Klenteng Besar yang merupakan klenteng tertua di Bandung. Setelah berdiskusi, kami diberi kesempatan untuk melihat klenteng secara lebih dekat dan diberi penjelasan tentang filosofi bentuk serta makna simbol-simbol yang ada di klenteng. 


 Tempat kedua yang kami kunjungi adalah Vihara Tanda Bhakti, tidak jauh dari Klenteng Besar. Di sini, kami kembali diberi penjelasan mengenai bagian-bagian vihara serta sejarah vihara tersebut. Meski namanya vihara, namun Vihara Tanda Bhakti dan juga Vihara Satya Budhi merupakan Tempat Ibadah Tri Dharma, yang berarti bahwa vihara atau klenteng itu bisa dipakai untuk ibadah umat Buddha, Khonghucu, dan Tao. Di Vihara Tanda Bhakti, kami juga diberi suguhan berupa mie. Konon katanya, bagi orang Tionghoa, mie adalah hidangan wajib saat malam imlek, agar panjang umur.




Dari Vihara Tanda Bhakti, kami berjalan kaki menuju Klenteng Dharma Ramzi yang merupakan klenteng tertua kedua di Bandung. Di depan klenteng, ada beberapa anak yang memainkan barongsai dengan bebunyian yang meriah. Dibandingkan dua klenteng sebelumnya, Dharma Ramzi tampak lebih ramai dan meriah. Selain barongsai, di dalam klenteng yang tidak terlalu besar itu, terdapat banyak sekali patung beberapa dewa dewi. Beberapa relawan dan pengurus klenteng pun dengan ramah menjelaskan beberapa kisah dewa dewi tersebut. Salah satu hal yang menarik adalah ketika seorang bapak menjelaskan tentang Dewa Jodoh, lalu seorang peserta yang beragama Islam berkata pada temannya bahwa dia sudah berdoa pada Dewa Jodoh. Ketika ditanya bagaimana doanya, ia menyebutkan doa secara Islam. Saya tersentuh dengan pengalaman itu, dan saya diingatkan bahwa patung, hio, dan berbagai persembahan, bahkan bahasa yang kita gunakan saat berdoa hanyalah sarana untuk melakukan kontak dengan Tuhan Yang Maha Esa. 


Tempat terakhir yang kami kunjungi adalah Kong Miao, yaitu tempat ibadah umat Khonghucu. Meski kesannya Khonghucu adalah agama baru di Indonesia, namun ternyata agama Khonghucu sudah ada sejak tahun 60an, demikian penjelasan salah satu pengurus Majelis Agama Khonghucu Indonesia (MAKIN). Beliau juga bercerita bagaimana jasa Gus Dur, presiden ke empat Indonesia, bagi diakuinya agama Khonghucu. Begitu besar jasa Gus Dur, sampai umat Khonghucu menganggap Gus Dur adalah malaikatnya orang-orang Khonghucu. Beliau juga menjelaskan bahwa bagi umat Khonghucu secara khusus, imlek adalah hari raya keagamaan, bukan hanya perayaan budaya dan tradisi. 


Kegiatan Tur Malam Imlek ini sangat menyenangkan dan berkesan bagi saya. Sekitar 90 orang dari berbagai latar belakang budaya, agama, suku, dan komunitas berkumpul dan berkunjung ke tempat-tempat yang mungkin belum pernah dikunjungi sebelumnya. Kegiatan semacam ini sangat baik dilakukan dan bermanfaat untuk memperoleh informasi yang akurat, mengklarifikasi isu dan asumsi yang sesat, serta membangun persepsi yang lebih tepat. Yuk, tahun depan ikut Tur Malam Imlek! Selamat menyambut tahun baru, semoga dianugerahi keberkahan senantiasa!

(Stella Vania Puspitasari)


Selasa, 03 Desember 2019

Fahdi Hasan, Pengajar Pertunjukan Seni Buat Anak-anak Spesial

Bandung - TemanBaik pernah terbayang enggak bagaimana sih rasanya jadi seorang pelatih atau pengajar anak-anak berkebutuhan khusus? BeritaBaik berkesempatan berjumpa dan berbincang dengan seorang pelatih bagi anak-anak spesial nih, namanya Fahdi Hasan atau yang akrab disapa Kak Adi.

Tidak hanya sekadar menjadi pelatih loh. Kak Adi juga hadir sebagai teman bagi sahabat-sahabat-sahabat spesial ini bermain. Sindromnya pun beragam, ada celebral palsy, ADHD, low/high function hingga hyperactive. Bagaimana ya cara bermain dan berlatih ala Kak Adi?

Kak Adi

kunjungan teman-teman Sekodi Bandung ke KPAS 
salah satu orang tua dalam KPAS menunjukkan hasil karya anaknya



Kak Adi menjelaskan kalau dalam mengajar dan melatih anak-anak spesial ini diperlukan metode khusus dan kreatifitas. "Metodenya pakai komunikasi audio, visual, dan gerak. Misalnya merespons ruang dengan memainkan jimbe atau piano lalu membentuk pola-pola yang diinginkan," jelas Kak Adi kepada BeritaBaik, Minggu (20/10/2019).

Pria yang mengajar kelas Seni Pertunjukan di Komunitas Anak Spesial (KPAS) ini juga memberikan kebebasan kepada anak-anak dalam berekspresi. "Memberi kebebasan mereka dalam berekspresi dan juga difasilitasi," ujar pria kelahiran Susupu, Halmahera Barat, 21 April 1983 ini.

Selama mengajar, Kak Adi juga pernah tidak sependapat dengan orangtua anak-anak yang ia ajar loh. Tapi, tenang semua itu didiskusikan atas dasar kekeluargaan.

"Suka berantem dengan orangtua hahaha. Tapi barentem gagasan, ide yang dilakukan atas dasar kekeluargaan dan itu menurut saya romantis yang humanis," papar pria yang sudah mengajar sejak tahun 2013 ini.

Kak Adi juga bercerita tantangan terbesarnya dalam mengajar. Menurutnya, paling sulit adalah menghadapi stigma masyarakat soal keterbelakangan fisik.
"Kesulitan terbesar yang dihadapi adalah menghadapi para akademisi, orangtua dan pemerhati anak yang masih menganggap mereka adalah orang yang tidak mampu, atau keterbelakangan fisik dan lain-lain. Pehamanan dasar soal mereka terlalu ambigu, akhirnya menetapkan anak-anak autis sebagai disabilitas," jelas pria lulusan Musik Bambu di Institute Seni Budaya Indonesia ini.

Kak Adi berharap, kita semua dapat menerima dan tidak mendiskriminasikan anak-anak spesial (berkebutuhan khusus). "Saya berdoa agar kita semua 'cepat sembuh' untuk tidak lagi mendeskriminasi mereka, karena jika anda menyebut mereka orang gila berarti anda bagian dari kegilaan itu," pungkasnya.


(ditulis oleh Nita Hidayati. tulisan serupa juga dimuat di BeritaBaik)

Senin, 02 Desember 2019

Mengunjungi Panti Sosial Tresna Werdha Senjarawi

Pada tanggal 26 Oktober 2019, SEKODI Bandung mengadakan refleksi dengan mengunjungi panti sosial Tresna Werdha Senjarawi yang beralamatkan di Jalan Jeruk, Cihapit, Bandung. Dalam refleksi ini kami mendapatkan banyak sekali hikmah yang kami dapatkan dengan melihat dan mendengar serta berbicara langsung dengan para penghuni panti. Di panti sosial ini terdapat 58 Lansia yang dirawat dan dijaga dengan penuh kasih oleh para suster. Selama ini stigma negatif mengenai panti sosial atau panti jompo dalam benak kita tidak dapat dihindari, seperti halnya yang diungkapkan Ferey Herman dalam jurnalnya, kesan muram dan kusam sampai anggapan membuang orang tua bagi anak yang menitipkan orangtuanya biasa terjadi. Stigma itu pula yang saya bawa sebelum memasuki panti sosial tresna werdha.

Namun kenyataannya setelah berkunjung ke sana dan bertemu langsung bersama para penghuni panti, stigma yang sebelumnya melekat dalam benak saya hilang begitu saja. Pandangan baru tentang panti sosial atau panti jompo menjadi lebih terbuka, mengapa demikian? Setelah berbincang bersama mereka, jelas bahwa stigma itu tidak “selamanya benar”. Nyatanya panti jompo malah menjadi solusi bagi sebagian orang untuk memberikan perawatan terbaik bagi para lansia. Sebab di sana mereka memiliki banyak kawan untuk berinteraksi dan meluapkan kekesalannya dengan bercengkrama bersama. Di usia tua, tubuh kita sudah tidak memiliki kekuatan seperti layaknya di usia muda dulu sehingga kegiatan atau aktivitas yang biasa dilakukan menjadi terhambat dan mereka cenderung lebih banyak berdiam diri, beristirahat karena sudah tidak bisa untuk melakukan banyak atau aktivitas yang berlebihan. Hal itulah yang membuat para lansia memerlukan teman untuk mengisi waktu luangnya.

Kenyataannya kita terkadang melupakan bahwa para lansia tersebut hanya butuh “didengar” namun kebanyakan dari kita tidak menyadari itu, bahkan sulit meluangkan waktu bersama para lansia di sekitar kita akibat kesibukan-kesibukan dalam keseharian kita sendiri. Padahal mereka sangat membutuhkan uluran tangan kita dan menyediakan telinga kita untuk mendengarkan keluh kesahnya. Hal itu juga yang saya dapatkan ketika mencoba untuk mendengarkan mereka, saya jadi banyak mendapat nilai-nilai kehidupan melalui perbincangan bersama oma opa, di mana kisah perjalanan hidup mereka menjadi pembelajaran yang berharga juga untuk kita, dan dengan adanya kita bersama mereka memberikan aura positif, adanya kita membuat mereka bahagia karena merasa mendapat wadah untuk menuangkan kisahnya, dan bertemunya bersama oma opa mengajarkan nilai-nilai kehidupan kepada kita.












Melihat mereka membuat kita sadar bahwa kelak kitapun akan menua dan terus menua, namun hal itu seharusnya menjadi cambukan kepada kita untuk tetap sadar dan terus berjuang melakukan yang terbaik dalam masa muda kita sehingga kita dapat memberikan kontribusi dalam kehidupan ini dengan sebaik-baiknya. Melihat mereka menyadarkan kita juga untuk senantiasa menghormati dan mengasihi serta menyayangi orang-orang lanjut usia di sekitar kita. Intinya kita harus selalu memaknai kehidupan kita dan terus mencoba untuk lebih peduli terhadap hal-hal yang ada di sekitar kita.

(ditulis oleh Rizkiyah Fitri Awaliyah)

Minggu, 03 November 2019

Mengenal Agama Hindu

Sabtu, 28 September 2019, Sekodi Bandung kembali berkumpul dan berdiskusi. Hari itu, kami berkunjung ke Pura Vira Chandra Dharma di dalam kompleks Secapa AD untuk mengenal lebih dalam tentang agama Hindu. Kami disambut oleh Bapak Ketut Wiguna selaku ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia - Kota Bandung, bersama dengan teman-teman muda. Pak Ketut memberikan penjelasan tentang agama Hindu, sekaligus menjawab beberapa mitos dan pertanyaan yang disampaikan oleh teman-teman Sekodi. 

Selama ini beredar anggapan bahwa dalam ajaran Hindu dikenal ada banyak Tuhan, sebenarnya hal ini keliru. Ajaran Hindu hanha mengenal satu Tuhan, yang disebut sebagai Brahman dan memiliki tiga sifat dasar yakni keindahan, kesucian, dan keindahan. Karena kemahaan Tuhan dan karena terbatasnya pengetahuan dan kemampuan manusia untuk memahami-Nya, maka manusia berusaha menggunakan berbagai cara untuk menyembah Tuhan, salah satunya dengan perantaraan para dewa, dan dengan menggunakan benda-benda di sekitar mereka. Pada praktiknya, ritual dan ibadah agama Hindu banyak dipengaruhi dan disesuaikan dengan budaya setempat. Seni dan budaya memberi bentuk pada agama, sehingga setiap simbol yang digunakan sebenarnya memiliki makna mendalam yang membantu kita untuk bertemu dengan Tuhan sendiri.

Perjumpaan dengan Pak Ketut dan teman-teman Hindu hari itu membuat hati saya tergetar karena tersadar bahwa setiap agama memiliki ajaran yang baik dan indah. Esensi dari ajaran tiap agama itu sama, yakni untuk memuji dan memuliakan Tuhan, hanya caranya yang beragam. Ketidaktahuan kita akan cara yang digunakan orang lain seringkali menimbulkan asumsi dan stigma. Dibutuhkan kerendahan hati untuk membuka diri mengenal mereka yang berbeda, dan menemukan kebenaran, kesucian, serta keindahan dari sudut pandang mereka.




(Stella Vania Puspitasari)

Selasa, 12 Maret 2019

Sekelumit Tantangan Teman teman Berkebutuhan Khusus


 

Sabtu 9 Maret 2019, Sekolah Damai Indonesia (Sekodi) Bandung berkunjung ke Pusat Terapi Tumbuh Kembang Anak Dan Remaja berkebutuhan khusus Our Dream Indonesia, yang terletak di Jl Sinom, Turangga, Bandung. Kunjungan kali ini dalam rangka diskusi mingguan yang bertema Permasahan kaum difabel dan fasilitas publik serta penerimaan masyarakat baik dalam dunia pendidikan, pekerjaan dan sosial. Dalam diskusi dengan pemimpin Our Dream Indonesia, Bapak Hendra Rades Puluma, kami menyimak dan mendapat beberapa wawasan, pengetahuan praktis juga berkenalan dengan beberapa teman berkebutuhan khusus yang kebetulan sedang tinggal di Asrama Our Dream Indonesia. Salah satu wawasan baru yang kami dapat adalah tantangan untuk teman teman Berkebutuhan Khusus yang Tuna Grahita (gangguan mental) seperti Autism, dalam menghadapi kehidupan. Autism adalah gangguan mental yang disebabkan oleh kerusakan otak. Berbeda dengan teman berkebutuhan khusus lainnya yang fungsi otaknya masih berjalan normal. Namun beberapa penyandang Autism jika diarahkan dengan baik dan terarah mempunyai bakat jenius di berbagai bidang, yang jika diasah dengan baik akan membantu mereka untuk hidup mandiri hingga usia tua dengan keahlian mereka. Yang menjadi tantangan untuk penyandang Tuna Grahita khususnya Autism, Ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan untuk mencapai tujuan kehidupan mandiri mereka kelak. Yang pertama adalah perlunya sistim pendidikan yang tepat untuk menangani keunikan mereka. Meski kini sudah digaungkan Sekolah Inklusi, yaitu Sekolah Umum yang menerima murid murid berkebutuhan khusus, namun di lapangan masih banyak tenaga pengajar yg awam dalam menangani mereka, sehingga belum tercapai mengoptimalkan potensi mereka di sekolah umum. Yang kedua meski bisa disiasati dengan mendidik anak ke Pusat latihan, pendidikan dan terapi, namun sering belum ada konsistensi kerjasama antara lembaga pendidikan dengan orangtua. Sejatinya apa yang diajarkan terapis atau guru diterapkan pula dirumah oleh orangtua Dan keluarganya. Masalah ketiga, mendidik masyarakat untuk terbiasa dan menerima keunikan perilaku mereka, dan bisa menghargai potensi mereka dengan penyediaan lapangan kerja dan penerimaan yang wajar di masyarakat (No Bullying) Mereka adalah bagian dari kita. Bisa dibayangkan, apa jadinya jika penyandang Autism yang belum menata hidupnya kelak hidup di masa tua nya. Karena mereka kelak ditinggalkan orangtua yg sudah meninggal dan tidak bisa mengandalkan saudara saudaranya sepenuhnya. Perlu penerimaan dari masyarakat, pengoptimalan sistem pendidikan dan konsistensi untuk menyiapkan hidup mereka mandiri dan tidak terpinggirkan. Tugas kita bersama.


 Oleh Nursasongko Soegijatno. S