Tampilkan postingan dengan label Bandung School of Peace. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Bandung School of Peace. Tampilkan semua postingan

Kamis, 26 November 2020

ARV dan Pandemi

Sekolah Damai Indonesia,

Sabtu 24 Oktober 2020

 

ARV dan Pandemi

      Pandemi Covid-19 berdampak pada pengobatan orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Virus corona menyulitkan ribuan pasien HIV/AIDS untuk mendapatkan obat antiretroviral (ARV).

      Obat antiretroviral harus diminum setiap hari untuk menekan laju virus dalam tubuh dan menjaga daya tahan tubuh orang yang terinfeksi HIV/AIDS. Menurut Kang Adit selaku narasumber dalam diskusi mengenai ARV dan Pandemi menyatakan bahwa Jawa barat merupakan wilayah nomor 3 kasus HIV+ terbanyak di Indonesia dan Kota Bandung merupakan peringkat nomor 1 kasus terbanyak HIV di Jawa Barat.

       Mengkonsumsi dan terapi ARV secara teratur dan tepat waktu harus dilaksanakan oleh ODHA hal tersebut akan berfungsi untuk menekan replikasi virus HIV dalam darah sampai level tidak terdeteksi, target ODHIV dalam terapi ARV adalah mencapai level tidak terdeteksi, ada istilah U=U: Undetectable = Untransmittable, maksud dari tidak terdeteksi yakni virus yang ada dalam tubuh tidak bisa berkembang biak dan tidak menularkan secara seksual, sehingga ODHA dengan terapi ARV bisa memiliki keturunan. Selama menjalani terapi tersebut ODHA mempunyai harapan hidup yang sama dengan orang tanpa HIV dan dapat menekan menularan HIV+ kepada orang lain.

       Ketersediaan ARV selama pandemi Covid-19 sempat mengalami kekosongan dan kesulitan bagi ODHA untuk mendapatkan akses mengkonsumsi ARV, yang menjadi penyebab terhambatnya ARV di Indonesia karena kebanyakan ARV merupakan impor dari India yang saat itu sempat lockdown. Bahkan ada beberapa layanan yang memberikan ARV tidak full satu bulan, jadi di ecer ada yang per 14 hari, 7 hari, dan sempet ada layanan yang hanya bisa memberikan per 3 hari ARV jenis tertentu.

“Sejauh ini Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung telah tersedia untuk dua ribu pasien aktif. Kondisi selama pandemi, kami memang agak kekurangan stok untuk jumlah ODHIV, apa lagi pada saat PSBB di kota Bandung banyak pasien yang kesulitan mengakses ARV di RSHS, selama PSBB kami mencoba mengirimkan ARV melalui kurir karena keterbatasan akses ke Kota Bandung, selama pandemi ini di Kota Bandung mendapat bantuan dari Elton John Foundation (EJAF) yang memberikan subsidi pengambilan ARV bagi ODHIV yang terdampak COVID-19, yang masih berjalan program bantuan subsidi EJAF - untuk Akses ARV di 3 Rumah sakit yakni RSHS, BUNGSU, dan RSUD Kota Bandung. Ada pula bantuan PAP smear di Klinik Mawar. Untuk daerah lain bantuan dari Global Fund untuk pemeriksaan Viral Load gratis untuk ODHIV baru minum ARV 6 Bulan, 12 bulan, dan pasien lama 1 tahun terakhir”. Pungkas Kang Adit dalam diskusi kami.

 

Biografi Narasumber

Dian Aditya atau sering disapa Kang Adit, adalah seorang Pendukung Sebaya dari LSM Female Plus (sejak Januari 2020) wilayah kerja Klinik Teratai RSUP Dr Hasan Sadikin Bandung. Sekilas Tentang Pendukung Sebaya adalah seseorang yang dapat memberikan infomasi secara benar, sederhana dan jelas serta dapat memberikan dukungan psikososial berdasarkan pengalamannya sebagai orang yang hidup dengan HIV. Sebagian besar dari Pendukung Sebaya merupakan orang yang hidup dengan HIV itu sebabnya dapat menjadi contoh nyata bagi orang yang hidup dengan HIV lainnya.


(Ditulis oleh Annisa Noor Fadilah, anggota Sekolah Damai Indonesia - Bandung. Kegiatan diskusi mingguan ini merupakan bagian dari Divergents Project, singkatan dari Diversity in Gender and Sexuality. Divergents Project disusun oleh Sekolah Damai Indonesia - Bandung, dan didukung oleh United Network of Young Peacebuilders [UNOY], Asian Youth Peace Network, dan Youthink.)

Rabu, 19 Agustus 2020

Rhaka dan Wina dari Sekodi Bandung Melakukan Orasi Puisi dan Tubuh di Aksi RUU PKS Bandung

oleh Rhaka Katresna, Mahasiswa Departemen Psikologi Universitas Pendidikan Indonesia dari Sekodi Bandung

Saya (Rhaka Katresna) dan Wina Hasna Vania melakukan orasi tubuh dan puisi di kegiatan Aksi Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) di depan Gedung Sate, Bandung pada Selasa, 21 Juli 2020. Kami mewakili Sekolah Damai Indonesia bersama dengan pendukung RUU PKS lainnya dari berbagai wilayah di Bandung Raya.

Metode yang saya lakukan dalam tari adalah Embodied Justice. Itu adalah sebuah metode yang saya pelajari langsung dari Alexia Buono. Metode ini muncul dari presentasi performatif Dr. Buono di International Congress of Qualitative Inquiry Mei 2019 bertajuk "A Restorative Justice for Body in Research Scholarship".

Buono (2020) menjelaskan bahwa keadilan restoratif adalah perbaikan kooperatif atas kerugian yang disebabkan oleh perilaku kriminal yang dapat mengarah pada transformasi diri, relasional, dan komunal. Latihan ini mencakup praktik koreografi penyelidikan, dialog, dan kreativitas multimodal (frase tarian, peta tubuh, dan kata-kata tertulis).

Embodied justice mengundang semua orang yang terlibat (penari, koreografer, penonton) untuk bersama-sama mengakui, mengubah pola, dan memperbaiki kerusakan yang telah terjadi pada tubuh (fisik, emosional, kognitif, sejarah, sosial, dll.) dengan berbagi dalam pertunjukan dan pengalaman koreografi bersama.

Penampilan

Rhaka Katresna sebelum Penampilan

Saya meminta Wina dan Sapitri untuk menyiapkan teks orasi 3 hari sebelum tampil. 

Kemudian malam sebelum penampilan, saya bertanya pada diri saya sendiri mengenai hal-hal berikut:
  1. Apa yang saya rasakan sebagai penyintas kekerasan seksual?
  2. Bagaimana saya memaafkan dan mengakses pengalaman itu?
  3. Apa yang rusak?
  4. Gerakan apa yang berhubungan dengan pengalaman saya?
  5. Apa refleksi saya setelah menjawab 1 - 4?
Saya menyimpulkan bahwa saya dapat menghubungkan diri saya dan tubuh saya dengan pengalaman pelecehan seksual. Proses itu lebih jauh mengingatkan diri saya sendiri tentang pengalaman saya sendiri tentang pelecehan seksual. Mengejutkan karena tubuh benar-benar mengingat apa yang terjadi secara detail.

Rhaka dan Wina melakukan Orasi Tubuh dan Puisi

Pada hari pertunjukan, saya membaca kembali apa yang saya tulis. Saya minta Wina berpidato sambil menari. Kemudian, saya tampil. Saya menemukan bahwa gerakan saya dipengaruhi oleh pidato. Itu membuat gerakan saya menjadi gerakan terpaku saat saya merasa kaki saya tertekan di jalan. Saya mengubah gerakan saya melalui tangan dan kaki saya. Saya malah memikirkan sesuatu yang menyakitkan dan mengalaminya. Pola yang berulang adalah membungkuk ke belakang, tangan meraih bantuan, menghentikan gerakan, dan menarik bagian tubuh lain dengan tangan.

Referensi

Buono, Alexia. (2020). Undergraduate Faculty Mini-Grant Application Project Description: Body Concept. Tidak diterbitkan.

Obrolan Ringan Seputar Kejawen

oleh Aries Hardianto, mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati dari Sekodi Bandung

Bhinneka tunggal ika adalah semboyan “resmi” bangsa Indonesia yang merangkum sekaligus memotret kondisi sosiokultural rakyat Indonesia sejak dahulu kala yaitu keberagaman masyarakatnya atau dalam istilah lain masyarakat majemuk. Kemajemukan yang dimaksud ialah dalam aspek sosial dimana begitu banyak suku, ras dan adat tradisi yang mewarnai kehidupan sehari-hari. Diantara begitu banyak suku bangsa yang ada suku jawa cukup menarik untuk saya sorot dalam tulisan kali ini.

Bukan tanpa sebab karena setidaknya ada 2 hal yang melatar belakangi keinginan diatas. Yang pertama karena suku jawa adalah suku bangsa dengan jumlah yang sangat besar dan tersebar ke berbagai penjuru daerah lain. Yang kedua karena saya sendiri merupakan keturunan suku jawa tapi lama menetap diluar jawa. Sehingga tak mengherankan saya tidak mengetahui kebiasaan atau tradisi lain yang berkenaan dengan suku jawa. Semua yang saya tau hanyalah berdasar pengamatan terhadap orang tua dan berkunjung ke kampung halaman saat mudik tiba.

Ada satu pengalaman yang unik ketika saya mudik ke daerah madiun saat salah satu saudara menyebut saya dengan sebutan “wong bandung” atau “orang bandung”, akan tetapi disini (Bandung, Jawa Barat) saya disebut sebagai orang jawa karena orang tua saya yang berasal dari jawa. Memang kata “Jawa” disini agak bias karena penggunaannya bisa merujuk pada kelompok suku bangsa, Bahasa daerah atau bahkan pulau tergantung konteks. terlepas dari konteks yang saudara saya pakai tadi terkadang saya pun bertanya pada diri sendiri apakah saya orang Jawa atau orang Bandung (Sunda)?

Berangkat dari pertanyaan “aneh” tersebut saya menghadiri diskusi rutinan komunitas Sekolah Damai Indonesia pada Sabtu, 15 Agustus 2020. Narasumber diskusi ini ialah mas Anto W. Nugrahanto, seorang dosen sejarah salah satu universitas terkemuka di kota Kembang. Tema yang diusung ialah kejawen. Namun tulisan ini tidak akan membahas kejawen secara mendalam namun berupa pengenalan singkat saja sebagai ajang menambah wawasan nasional.

Berbicara perihal kejawen biasanya yang terlintas di benak orang awam ialah ritual-ritual yang kental dengan nuansa spiritual atau bahkan Supranatural. Pandangan tersebut bisa jadi karena prasangka sepintas yang ditunjang oleh kurangnya akses informasi terkait kejawen secara kredibel. Lantas apa yang dimaksud oleh kejawen itu sendiri ?

Secara sederhana kejawen adalah sebuah ajaran hidup, aliran kepercayaan dan prinsip  yang dianut dan dilestarikan oleh suku Jawa yang (masih) mempercayainya. kejawen amat dekat dengan kehidupan orang jawa (dahulu/leluhur) dalam membangun tata karma, pola pikir dan ketenangan jiwa dengan cara mematuhi sosok “yang maha kuasa”. Meski tampak seperti agama namun penganut ajaran kejawen biasanya tak mengartikan kejawen sebagai sesuatu yang “mirip” dengan agama pada umumnya (islam, Kristen, buddha, dll.).

Hal ini terjadi oleh sebab kejawen lebih tepat dipahami sebagai world view atau weltanschauung alias cara pandang yang membuahkan seperangkat nilai-nilai bertabur kearifan lokal masyarakat tradisional jawa tempo dulu yang bersifat abstrak. Berdasarkan kumpulan naskah kuno peninggalan para tokoh masyur tanah jawa seperti Rangga Warsita (ronggo warsito) tergambar bahwa kejawen termanifestasikan sebagai seni, filsafat, moral, etika dan kebiasaan yang dikomando oleh ide dan local belief atau kepercayaan lokal. Oleh karena penekanan terhadap aspek keseimbangan itulah kejawen biasanya dapat bersanding dengan agama-agama yang ada seperti Islam, Kristen atau Hindu. Artinya seseorang bisa memeluk Kejawen disamping agama lain dalam perjalanan spiritual nya. Namun terkadang ada pihak-pihak tertentu yang menuduh kejawen sebagai ajaran  sesat atau bid’ah. Apapun alasan yang dipakai tak pernah dibenarkan untuk mendiskreditkan sampai mendiskriminasi suku, agama dan antar golongan (SARA).

Saya sempat bertanya “apakah pemeluk ajaran kejawen diharuskan memiliki keturunan darah secara langsung atau tidak dengan suku jawa seperti Yudaisme (agama bangsa yahudi)?”. Mas Anto pun menjawab bahwa tidaklah harus. Walau begitu akan mengherankan kalau ada orang Israel menjadi penganut Kejawen dibarengi dengan gelak tawa saya beserta yang lainnya. Dari situ mas Anto pun menambahkan bahwa tujuan akhir dari ajaran kejawen ialah menyatu dengan tuhan ketika ajal menjemput (manunggal).

Bila memang ajaran tersebut telah ada sejak dahulu lalu mengapa nama kejawen sendiri terasa asing di telinga masyarakat kebanyakan ? hal tersebut berkaitan dengan legalitas dari kejawen itu sendiri yang belum “diakui” oleh pemerintah. Meskipun angin segar mulai berembus tatkala pemerintah mulai mengakui kepercayaan lain diluar “agama resmi” yang ada. Mas Anto pun menjelaskan bahwa proses “legalisasi” itu pun tidaklah mudah. Salah satunya harus diorganisir telebih dahulu baik secara struktur organisatoris maupun secara “konseptual” (apa yang disembah?, tempat ibadah, hari raya, dll.).

Memang kolom agama pada KTP kerap menuai polemik karena terkesan “mengkotak-kotakkan” manusia berdasarkan kepercayaan yang sejatinya ranah pribadi. Padahal kolom agama pada KTP hanya berfungsi untuk mengidentifikasi data diri seseorang secara administratif. Oleh karena kemelut yang ada penganut kejawen tak leluasa dalam mengekspresikan dirinya. Mas Anto menyebut bahwa banyak orang tua yang menutupi jati diri mereka dan memeluk agama yang telah diakui. Sontak anak-anak mereka pun tak pernah tahu tentang inti ajaran kejawen karena persoalan yang menurut saya amat politis.

Diskusi berlanjut sampai merembet ke banyak topik seperti perang Padri dan sejarah agama kuno di Mesir (dewa Seth). Tak terasa hampir 2 jam diskusi telah berlangsung dibarengi dengan rintik hujan yang menahan kami untuk tak cepat-cepat pergi. Banyak hal yang saya bisa petik dari seluruh alur diskusi mulai dari sejarah, konflik, agama sampai perdamaian sebagai puncak toleransi antar umat manusia.

Penulis: Aries Hardianto

Sabtu, 20 Juni 2020

Anak Muda & Perubahan


Masa muda (bahasa Inggris : youth) merujuk pada suatu tahap kehidupan ketika seseorang masih muda, lebih tepatnya suatu tahap kehidupan setelah masa kanak-kanak (childhood) namun sebelum memasuki masa dewasa (adulthood). Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) sendiri mengatakan sebenarnya tidak terdapat definisi yang diakui secara internasional untuk masa muda, atau kapan seseorang dikatakan muda. Demi kepentingan pengolahan data statistik kependudukan, PBB mendefinisikan anak muda sebagai seseorang yang berada di antara usia 15-24 tahun [1]. Di sisi lain, berbagai entitas di dalam PBB memiliki definisinya masing-masing. UN Habitat mendefinsikan anak muda dalam rentang usia 15-32 tahun [2], African Youth Charter 15-35 tahun [2], sedangkan World Health Organization / WHO (badan kesehatan sedunia di bawah PBB) menyetujui rentang 15-24 tahun sebagai youth tetapi menambahkan bahwa definisi orang muda (young people) mencakup rentang usia 10-24 tahun [3].
Terlepas dari hal definisi, peran anak muda dalam berbagai bidang kehidupan tidak dapat diabaikan. Masih menurut laman PBB, saat ini terdapat 1,2 miliar anak muda atau setara dengan 16% dari populasi global (dengan asumsi penduduk dunia berjumlah 7,5 miliar orang) [1]. Pembangunan aspek-aspek kehidupan sedunia tidak mungkin meninggalkan 16% populasi global. Selain itu berbagai isu dan permasalahan juga mendera atau terkait kalangan muda, misalnya isu pendidikan, pengadilan anak, tentara anak di daerah konflik, kesetaraan gender, dan lain sebagainya. Maka pada tahun 2015 PBB mencetuskan sebuah agenda pembangunan yang bernama Millennium Development Goals atau MDGs (Tujuan Pembangunan Milenium) dan berjalan sejak tahun 2000 – 2015 [4]. Namun karena MDGs yang terdiri atas delapan poin belum tercapai pada tahun 2015, maka dicanangkanlah program kedua sebagai kelanjutan dari MDGs yang dinamakan Sustainable Development Goals atau SDGs (Tujuan Pembangunan Berkelanjutan) untuk diharapkan tercapai pada tahun 2030.
SDGs bertujuan untuk menyeimbangkan tiga aspek pembangunan secara bersamaan yaitu aspek ekonomi, aspek sosial, dan aspek pembangunan sekaligus memastikan dipenuhinya hak-hak asasi manusia (HAM) selama proses pembangunan tersebut berlangsung. Dalam tataran yang lebih praktikal, SDGs pada dasarnya dirancang untuk mengurangi kemiskinan & kelaparan, memperjuangkan kesetaraan atau keadilan sosial bagi seluruh masyarakat dunia, serta meningkatkan kualitas lingkungan. Delapan (8) tujuan pembangunan dalam MDGs diperluas menjadi tujuhbelas (17) tujuan pembangunan dalam SDGs yang mencakup [5] :
1.             Tanpa kemiskinan (No poverty)
2.             Tanpa kelaparan (Zero hunger)
3.             Kehidupan sehat & sejahtera (Good health & well-being)
4.             Pendidikan berkualitas (Qualiy education)
5.             Kesetaraan gender (Gender equality)
6.             Air bersih & sanitasi layak (Clean water & sanitation)
7.             Energi bersih & terjangkau (Affordable & clean energy)
8.             Pekerjaan yang layak & pertumbuhan ekonomi (Decent work & economic growth)
9.             Industri, inovasi, & infrastruktur (Industry, innovation, & infrastructure)
10.         Pengurangan kesenjangan (Reduced inequalities)
11.         Kota & komunitas yang berkelanjutan (Sustainable cities & communities)
12.         Produksi & konsumsi yang bertanggungjawab (Responsible consumption & production)
13.         Penanganan perubahan iklim (Climate action)
14.         Ekosistem laut (Life below water)
15.         Ekosistem darat (Life on land)
16.         Perdamaian, keadilan, & kelembagaan yang tangguh (Peace, justice, & strong institutions)
17.         Kemitraan untuk mencapai tujuan (Partnership)

Indonesia sebagai salah satu anggota PBB juga turut serta dalam MDGs dan SDGs. Di level pemerintahan Indonesia, koordinator pelaksana program SDGs berada di tangan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Selain pemerintah, saat ini terdapat belasan bahkan puluhan organisasi non-pemerintah (Non-Governmental Organzation atau NGO) yang fokus kerangka kerjanya berada di bidang SDGs. Juga banyak pula NGO yang mengaitkan program-programnya dengan tujuan-tujuan yang ada di dalam SDGs. Salah satu NGO yang fokus kerangka kerjanya berpedoman pada tujuan-tujuan SDGs adalah World Merit, yaitu sebuah gerakan anak muda internasional yang bekerjasama secara langsung dengan PBB untuk mencapai 17 tujuan SDGs. World Merit mendorong anak muda mengambil tindakan (beraksi) serta membuat perbedaan yang positif baik secara lokal maupun global [6].

World Merit Indonesia merupakan dewan nasional (national council) dari World Merit global yang bermarkas di Liverpool, Inggris [6]. Di bawah World Merit Indonesia terdapat beberapa dewan lokal atau dewan kota (local councils / city councils), salah satunya adalah World Merit Indonesia chapter Bandung (WMB) yang aktif sejak akhir tahun 2017 sampai dengan pertengahan tahun 2019. WMB memfokuskan diri untuk membuat proyek-proyek sosial berskala kecil menengah yang menyangkut tujuan SDG nomor 2 (Zero hunger), nomor 10 (Reduced inequalities), nomor 12 (Responsible consumption & production), serta nomor 17 (Partnership). Visi misi WMB secara ringkas adalah memperkenalkan apa itu SDGs dan bagaimana cara pengimplementasiannya, khususnya kepada kalangan muda kota Bandung. Mayoritas anggota WMB adalah mahasiswa dan beberapa pekerja muda. Kegiatan WMB bersifat “youth empowerment” atau sebagai ajang pemberdayaan anak muda dimana anggotanya dibebaskan untuk melakukan kegiatan sosial apapun asalkan masih berada di koridor SDGs.
Walaupun fokus utama WMB adalah pada 4 tujuan SDGs, namun tidak menutup kemungkinan WMB mengadakan berbagai kegiatan atau proyek sosial yang berkaitan dengan tujuan-tujuan SDGs yang lain. Misalnya WMB pernah mengadakan diskusi kesetaraan gender (terkait isu SDGs nomor 5) atau diskusi mengenai perdamaian dan keadilan (terkait isu SDGs nomor 16). Kemitraan dengan pihak lain pun pernah dijalani WMB dalam acara Bon Appetit dimana bahan makanan yang masih layak konsumsi atau uang dikumpulkan lalu diolah bersama Dapur Ikhlas untuk dibagikan kepada anak-anak jalanan (terkait isu SDGs nomor 2 dan 17). Pemanfaatan media-media sosial seperti misalnya Instagram juga tak luput dilakukan untuk menumbuhkan kesadaran pada masyarakat terutama anak muda tentang SDGs.
SDGs pada dasarnya tidak berbeda dengan kegiatan sosial karena tujuan-tujuan dalam SDGs sebenarnya bersifat universal serta mencakup banyak isu dan atau permasalahan yang berkembang di dalam masyarakat. Dengan kata lain untuk ikut serta dalam menyukseskan SDGs tidak harus dengan mengikuti organisasi-organisasi SDGs semata, namun mengikuti organisasi dan proyek-proyek sosial lain pun sudah dapat ikut menyukseskan SDGs. Pergunakanlah organisasi atau saluran-saluran yang telah ada. Peran anak muda disini lebih bertitik berat kepada turut serta dalam mensosialisasikan SDGs kepada masyarakat luas serta ikut meramaikan implementasi tujuan-tujuan SDGs melalui kegiatan-kegiatan sosial yang dapat dilakukan di level komunitas-komunitas anak muda. Dari penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa membangun atau memiliki organisasi yang berfokus pada SDGs tentu akan lebih baik karena pelaksanaan SDGs akan menjadi lebih terorganisir, namun jangan sampai hal ini menjadi fokus usaha yang justru akan meninggalkan tujuan dari SDGs itu sendiri : membuat perubahan.
Membuat perubahan selalu diawali dari diri sendiri. Kalimat ini mungkin sudah sering kita dengar, namun betul adanya. Lihat saja sifat kegiatan organisasi WMB di atas, yang bergerak dari konsep “youth empowerment atau sebagai ajang pemberdayaan (diri sendiri)” menjadi “sosialisasi serta penumbuhan kesadaran dalam masyarakat”. Dari menumbuhkan kesadaran (growing awareness) menjadi menyebarkan kesadaran (spreading awareness). Kesadaran, bahwa masih banyak isu dan permasalahan yang mendera masyarakat sedunia, entah itu isu keadilan sosial, isu ekologis, dan lain-lain. Kesadaran, bahwa orang muda sebagai agen perubahan harus melakukan sesuatu bagi dunia ini. Kesadaran, bahwa tidak bersuara atau melakukan apapun sama saja dengan membiarkan bahkan mendukung ketidakadilan dan kerusakan tersebut. Dan akhirnya kesadaran, bahwa jika ketidakadilan dan kerusakan tersebut terus berjalan tanpa ditentang, diubah, atau dihapuskan, maka ide bahwa di masa depan bumi ini menjadi tidak layak lagi ditinggali atau masyarakat berkonflik sampai pada titik hari kiamat diwujudkan dengan perang nuklir, bukan lagi menjadi ide yang asing dan mengawang-awang.
Apa yang dapat dilakukan ? 17 tujuan SDGs yang dicanangkan PBB dapat dianggap sebagai agenda ambisius yang transformatif, namun bukan berarti mustahil dicapai. Tiap tujuan SDGs saling berkaitan dan sebenarnya sangat mudah dipraktikkan. Mulailah dari diri sendiri dan lingkungan sekitar. Misalnya untuk mengurangi food waste / sampah makanan (lihat tujuan SDGs nomor 2) cukup dimulai dengan kita bertanggungjawab menghabiskan makanan yang telah kita ambil. Kultur buruk di Indonesia ialah tiap orang cenderung mengambil makanan sebanyak-banyaknya tanpa mempertimbangkan kapasitas perut mereka. Akibatnya makanan menjadi terbuang percuma, padahal di sekitar kita masih banyak orang-orang yang kelaparan, yang tiap hari harus berjuang keras mendapatkan sesuap nasi (benar-benar sesuap secara harafiah). Tidak aneh jika Indonesia dinobatkan sebagai negara kedua sedunia sebagai pembuang makanan terbanyak setelah Arab Saudi, dengan tiap orang Indonesia membuang sebanyak 300 kg makanan setiap tahunnya [7]. Apakah kita orang Indonesia akan terus membanggakan prestasi hebat ini ?
Habiskan makanan kita, atau donasikan jika masih layak konsumsi. Hal yang sama berlaku pula untuk pakaian. Perilaku konsumerisme kita menjadikan kita membeli pakaian sebanyak-banyaknya, walaupun sebenarnya pakaian yang layak pakai masih banyak tersedia di rumah, bahkan menumpuk belum terpakai. Selain pengurangan kuantitas pembelian pakaian, terdapat beberapa merk pakaian yang belum memenuhi standar, seperti misalnya tidak ramah lingkungan atau mempekerjakan pekerja anak (di bawah umur). Ambil contoh merk H&M (dari Swedia) yang pernah dikecam karena mempekerjakan anak berumur 14 tahun selama 12 jam sehari [8], atau merk Zara (dari Spanyol) yang pernah dituntut atas 52 pelanggaran oleh Kementerian Ketenagakerjaan Brazil karena para pekerjanya dari dua pabrik di Sao Paulo (Brazil) bekerja di lingkungan kerja yang tidak sehat, dikontrak kerja secara ilegal, mempekerjakan anak di bawah umur (terdapat seorang gadis berusia 14 tahun), jam kerja yang tidak manusiawi (16 jam sehari), upah di bawah standar, dan pelanggaran-pelanggaran lainnya [9].
Fakta-fakta di atas bukanlah merupakan suatu ajakan boikot suatu merk dagang tertentu, namun mengajarkan kepada kita bahwa sebagai konsumen akhir kita memegang peranan penting atas keberlangsungan atau terhapusnya ketidakadilan (terkait tujuan SDGs nomor 8). Selain itu, kebijaksanaan kita dalam membeli barang konsumsi terkait dengan tujuan SDGs nomor 12, yaitu produksi dan konsumsi yang berkelanjutan. Ingatlah hukum ekonomi bahwa penawaran terjadi karena adanya permintaan. Jika konsumen akhir bijak dalam membeli, maka produsen mau tak mau akan ‘terpaksa’ bijak dalam memproduksi. Otomatis hal ini akan mengurangi sumber daya yang dipakai, bahkan mengurangi sumber daya yang terbuang sia-sia karena hanya digunakan untuk memproduksi barang-barang yang menjadi sampah, entah sampah makanan atau pakaian. Bayangkan seberapa besar dampak sosial yang dapat kita buat dalam mencegah anarki produksi hanya dengan tindakan ‘kecil’ kita yang secara selektif memilih dan membeli produk yang kita butuhkan, bukan yang kita inginkan.
Kegiatan-kegiatan lainnya yang berhubungan dengan isu ekologis (tujuan SDGs nomor 13, 14, atau 15) juga terbilang banyak. Yang paling sederhana adalah tidak membuang sampah sembarangan. Terdengar klise, tapi mari bersama mengakui, sudah berhasilkah kita melakukannya ? Pada tahun 2016 saja, jumlah sampah di muka Bumi sudah mencapai 2,01 miliar ton dan diprediksi akan bertambah 70% pada tahun 2050 (setara 3,4 miliar ton) kecuali jika suatu tindakan bersama segera diambil [10]. Bahkan sekedar menggunakan peralatan makan-minum yang dapat digunakan berulang kali (reusable) akan sangat berdampak mengurangi kuantitas polusi plastik di dunia. Bersama kita bisa mencegah kasus seperti hidung penyu di Kosta Rika yang tertusuk sedotan plastik [11] atau seekor paus pilot yang harus mati kesakitan di Thailand selatan karena menelan lebih dari 80 tas plastik seberat 8 kilogram [12]. Komunitas-komunitas anak muda diharapkan berperan besar dalam isu-isu seperti di atas karena mereka-lah gerbong lokomotif perubahan tidak hanya di Indonesia, namun juga dunia.
Komunitas-komunitas anak muda akan jauh lebih terbantu apabila pemerintah juga turut serta membuat kebijakan kebijakan publik yang selaras atau mendukung SDGs. Misalnya pemerintah dapat lebih menggalakkan kurikulum keadilan sosial atau kelestarian lingkungan hidup yang kemudian dibarengi praktik nyata, bukan hanya teori. Pemerintah pun sebenarnya ikut terbantu dengan adanya komunitas-komunitas anak muda ini dalam mengampanyekan SDGs. Ditambah lagi, youth communities dan masyarakat juga dapat menjadi pengawas pemerintah dalam mencanangkan program-program pembangunan yang berkelanjutan. Kritik yang membangun wajib (bukan ‘dapat’) diberikan apabila pemerintah mencanangkan program atau membuat kebijakan yang tidak berpihak pada 17 tujuan SDGs.
Di sisi lain, komunitas-komunitas anak muda juga tak seyogianya alergi pada otokritik. Dewasa ini secara umum terdapat tiga (3) kelemahan pada komunitas-komunitas anak muda yaitu kurangnya Sumber Daya Manusia (SDM) / anggota yang berkomitmen, kurangnya dana, dan kurangnya kemampuan menjangkau grassroot / kalangan akar rumput.
Pertama-tama patut diperhatikan bahwa karena keanggotaan komunitas anak muda bersifat sukarela (voluntary), maka kegiatannya pun berbasis sukarela. Untuk beberapa anak muda yang peduli pada isu tertentu, ia dengan sendirinya akan vokal menyuarakan keresahannya & akan ikut memberikan solusi dalam isu terkait tujuan SDGs nomer kesekian. Tetapi mereka yang tak terlalu berminat dengan proyek tersebut akan menyumbang partisipasinya saja alias menjadi pengikut pasif. Selain itu terdapat pula anak muda atau mahasiswa yang mengikuti komunitas hanya untuk mempercantik riwayat hidupnya (CV) saja, dimana terlihat ‘barisan’ organisasi yang pernah dimasukinya (catatan : penulis sengaja tidak menggunakan diksidiikuti”). Individu-individu yang demikian tidak terlalu peduli dengan kegiatan sosial, dan bahkan berdampak negatif kepada anggota-anggota lainnya yang ikut-ikutan ‘lenyap’. Kinerja komunitas secara keseluruhan pun akan turut menurun seiring lingkaran setan yang terus berputar ini.
Kelemahan kedua ialah kurangnya pendanaan. Tak dapat dipungkiri lemahnya finansial akan membuat para anak muda tidak dapat membuat kegiatan sosial berdaya jangkau luas. Ketika pendonor dana didapatkan pun, adakalanya youth community justru dimanfaatkan untuk kepentingan si pemberi donor (ditunggangi oleh pemilik modal) sehingga kegiatan sosial yang diadakan pun hanya terkesan berfungsi sebagai pencitraan atau usaha membangun imaji (branding) saja. Walaupun demikian, sisi positif yang dapat diambil dari kondisi buruk tersebut adalah komunitas tetap terbantu dalam mempertahankan eksistensinya atau melaksanakan kegiatannya. Maka sekalipun Tan Malaka pernah berkata bahwa idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki oleh para pemuda, semua itu kembali pada pertanyaan manakah yang akan dipilih, apakah idealisme atau kepentingan taktis. Menggadaikan idealisme seringkali bergerak bersamaan dengan mengabdi kepada modal (uang).
Yang terakhir ialah kurang sesuainya pendekatan-pendekatan yang digunakan oleh komunitas anak muda. Misalnya saat akan menyuarakan keadilan / kesetaraan yang tujuannya menjangkau ke kalangan akar rumput, seringkali komunikasi / pola bahasa yang digunakan masih eksklusif. Narasi yang digunakan pun masih memakai kata-kata yang sulit dimengerti kalangan umum. Pemilihan tema dan isu-nya pun seringkali juga eksklusif. Pemakaian bahasa asing pun (umumnya bahasa Inggris) tidak memperhatikan kondisi subjek yang dituju. Contohnya kalangan ibu rumah tangga (IRT) akan kesulitan mencerna istilah "gender equality" (kesetaraan gender) atau "gender equity" (keadilan gender), begitu pula anak jalanan akan sulit memahami istilah "gaya hidup berkelanjutan" atau "go green". Hal ini mengakibatkan pesan yang hendak disampaikan juga tak akan tercapai oleh subjek yang dituju karena telah berbeda frekuensi.
Akhir kata, walaupun terdapat berbagai kendala, komunitas anak muda tetap berperan sebagai agen perubahan masyarakat bahkan dunia. Keberanian, energi masa muda, dan ide-ide kreatif mereka sangat memungkinkan 17 tujuan SDGs tercapai pada tahun 2030. Mengubah kebiasaan buruk suatu masyarakat, menghapus ketidakadilan dalam berbagai bentuknya, bahkan ‘memaksakan’ perubahan positif demi pembangunan dan kehidupan yang lebih baik serta adil bukanlah hal yang mustahil. Mengubah suatu negara atau bahkan dunia bukanlah ide yang abstrak. Ia sangat mungkin dicapai, tentunya dengan melibatkan anak muda sebagai motor penggerak perubahan. Sebagaimana yang telah dikatakan Bapak Pendiri Bangsa, Bung Karno :
“Beri aku 1.000 orang tua,
niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya.
Beri aku 10 pemuda,
niscaya akan kuguncangkan dunia !

Jadi mari pemuda-pemudi, kita membangun sebuah dunia baru !

Referensi :
[1]          United Nations. Youth. Diakses dari https://www.un.org/en/sections/issues-depth/youth-0/index.html. Diakses pada 14 Juni 2020.
[2]          Wikipedia. Youth. Diakses dari https://en.m.wikipedia.org/wiki/Youth#:~:text=The%20United%20Nations%20defines%20youth,states%20such%20as%2018-30. Diakses pada 14 Juni 2020.
[3]          World Health Organization. Adolescent Health. Diakses dari https://www.who.int/southeastasia/health-topics/adolescent-health. Diakses pada 14 Juni 2020.
[4]          United Nations. Millennium Development Goals and Beyond 2015. Diakses dari https://www.un.org/millenniumgoals/. Diakses pada 14 Juni 2020.
[5]          United Nations. About the Sustainable Development Goals. Diakses dari https://www.un.org/sustainabledevelopment/ sustainable-development-goals /. Diakses pada 14 Juni 2020.
[6]          World Merit. Diakses dari https://worldmerit.org/. Diakses pada 14 Juni 2020.
[7]          Barilla Center for Food and Nutrition. Food Sustainability Index. Diakses dari https://foodsustainability.eiu.com/food-loss-and-waste /. Diakses pada 14 Juni 2020.
[8]          The Guardian. H&M Factories in Myanmar employed 14-yeard-old workers. Diakses dari https://amp.theguardian.com/business/2016/aug/21/hm-factories-myanmar-employed-14-year-old-workers. Diakses pada 14 Juni 2020.
[9]          Daily Mail. Zara accused of employing children as young as 14 in ‘slave labour’ factories in Brazil. Diakses dari https://www.dailymail.co.uk/femail/article-2028041/amp/Zara accused-employing-children-young-14-slave-labour-factories-Brazil.html. Diakses pada 14 Juni 2020.
[10]      The World Bank. Global Waste to Grow by 70 Percent by 2050 Unless Urgent Action is Taken: World Bank Report. Diakses dari https://www.worldbank.org/en/news/press-release/2018/09/20/global-waste-to-grow-by-70-percent-by-2050-unless-urgent-action-is-taken-world-bank-report. Diakses pada 14 Juni 2020.
[11]      National Geographic. How Did Sea Turtle Get a Straw up its Nose ?. Diakses dari https://www.nationalgeographic.com.au/animals/how-did-sea-turtle-get-a-straw-up-its-nose.aspx. Diakses pada 14 Juni 2020.
[12]      National Geographic. How Did Sea Turtle Get a Straw up its Nose ?. Diakses dari https://www.nationalgeographic.com.au/animals/how-did-sea-turtle-get-a-straw-up-its-nose.aspx. Diakses pada 14 Juni 2020.
[13]      The Guardian. Whale dies from eating more than 80 plastic bags. Diakses dari https://www.theguardian.com/environment/2018/jun/03/whale-dies-from-eating-more-than-80-plastic-bags. Diakses pada 14 Juni 2020.



Tulisan oleh Yohanes, anggota Sekolah Damai Indonesia Bandung

Minggu, 07 Juni 2020

Ular: Kepedulian Lingkungan Hidup dalam COVID-19

Setiap tanggal 5 Juni diperingati sebagai hari Lingkungan Hidup Sedunia. Pada tahun 2020 kini, hari tersebut dilalui bersamaan dengan masa pandemi yang sudah barang tentu terkait dengan persoalan lingkungan hidup. Sejujurnya isu lingkungan hidup memiliki banyak masalah-masalah yang spesifik di dalamnya. Misalnya problem perubahan iklim, polusi, sampah, taman nasional, cagar alam, bentang alam, hingga merambah mengenai masalah keanekaragaman hayati dan ekosistemnya. Salah satu alasan yang mendorong manusia untuk selalu peduli terhadap lingkungan ialah karena jika suatu lingkungan sakit, maka dapat dimungkinkan manusia di dalamnya juga sakit.

Pada masa pandemi ini, muncul isu yang menyatakan bahwa salah satu penyebar virus Covid-19 yaitu satwa liar. Kelelawar dan ular kerap disebut-sebut sebagai biangnya. Ular selalu menarik untuk diperbincangkan dalam isu pelestarian lingkungan hidup sebagai satwa yang sering mendapatkan label buruk.

Indonesia memiliki 350 spesies ular, fakta ini menjadikan Indonesia sebagai negara yang paling kaya dalam keanekaragamannya akan ular. Bandingkan dengan UK yang hanya memiliki 12 spesies ular saja, tidak ada ular yang berbisa dan tidak ada ular yang membelit. Dari 350 spesies tersebut, ular dalam kategori high venom dijumpai 76 spesies. Ada 33 spesies high venom yang hidup di darat, sedangkan 43 spesies lagi hidup di laut.

Beberapa jenis ular sudah tak asing lagi dalam keseharian. Misalnya saja ular albolabri sebagai jenis yang paling banyak menggigit petani. Kemudian ular kobra yang jika dalam posisi menyerang, kepalanya akan tegak dan lehernya akan mengembang. Ular welang dan ular weling yang berkerabat namun berbeda perilaku dan jenis bisanya. Lalu ada ular king kobra yang menghasilkan cairan paling mahal di dunia.

Mendengar kata ular, banyak orang yang lekas menghindar. Ia diidentikkan dengan sifat-sifat buruk, terkesan menyeramkan, dan dekat dengan kejahatan. Bahkan lebih jauh lagi, ular dianggap sebagai hewan berbahaya yang mampu membunuh manusia dengan sekali gigit atau membunuh manusia dengan membelit. Anggapan tersebut ada benernya, namun tak bisa dijadikan alasan untuk mengeneralisasi. Nyatanya ada ular yang memiliki bisa tinggi dan mampu membunuh manusia dalam hitungan menit seperti ular laut. Beberapa orang bahkan menyebutnya dengan julukan ular dua langkah. JIka digigit olehnya, dua langkah kemudian dia yang tergigit akan meninggal. Begitupun dengan ular piton dengan belitannya yang kuat dapat membunuh manusia.

Ketakutan terhadap ular seakan-akan mengizinkan manusia untuk bertindak sesukanya. Banyak ular yang dibunuh karena alasan jijik atau mengganggu. Misalnya saja kasus ular yang masuk ke dalam rumah, yang sering diburu untuk sekedar dimusnahkan. Sebetulnya ular tersebut adalah ular yang tersesat. Ia sedang mencari mangsa atau tempat nyaman untuk menghindar dari habitat yang rusak atau terganggu. Dengan demikian, cara terbaik agar ular tidak masuk ke dalam rumah ialah membuat rumah yang tidak dihuni oleh satwa-satwa santapan ular. Ingat, ular merupakan bagian dari lingkungan yang memiliki peran yang tak kalah penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem.

Kegagalan masyarakat dalam memahami ular tercermin juga dalam perilaku orang-orang yang banyak menjadikan ular sebagai hewan peliharaan. Padahal ular merupakan hewan liar dan tidak pernah dapat menjadi hewan jinak. Kekecauan pemahaman ini bercampur dengan anggapan-anggapan yang tidak berangkat dari pengetahuan ilmiah. Misalnya mengenai ular yang takut dengan garam dan injuk atau empedu ular sebagai sumber vitalitas tubuh. Lalu anggapan tentang ular yang dapat menemukan jalan pulangnya, sehingga jika menemukan ular biasanya langsung dibunuh. Semestinya sikap yang diutamakan yaitu sikap tenang, sebab jika kepanikan yang didahulukan dapat memprovokasi ular sehingga ia akan menyerang.

Secara sederhana ciri-ciri ular yang berbisa dapat diperhatikan lewat bentuk kepalanya, walaupun tidak semua ular berkepala segitiga berbisa. Kemudian perhatikan warnanya, terutama jika ada ular yang berwarna merah, meskipun belum tentu setiap ular yang memiliki warna merah itu berbisa. Terakhir perhatikan juga coraknya, walaupun tidak semua ular belang-belang itu berbisa juga.

Selain masalah di atas, pemerintah juga belum secara maksimal menyokong venom center yang berkualitas baik. Padahal apabila memerhatikan data kasus orang yang terkena gigitan ular cukup banyak. Korban tewas karena gigitan ular per Januari sampai hari ini yang terdaftar oleh Yayasan Sioux Indonesia sekitar 17 orang. Khusus Jawa Barat merupakan provinsi terbanyak dengan korban meninggal karena gigitan ular ini.

Hewan yang banyak dijadikan simbol pengobatan ini malah dijadikan ladang berbisnis tanpa perimbangan konservasi alam, begitupun bahasan tentang ular hanya menyoal hobi semata. Memang berbicara tentang hidup damai bersama ular masih butuh waktu yang panjang. Semestinya Indonesia punya pendidikan khusus tentang ekologi, karena keanekaragaman hayati Indonesia begitu banyak termasuk ular. Pendidikan lingkungan hidup lagi tidak sekedar menggumuli teori, namun melibatkan aksi nyata. Sebab manusia tidak pernah berdiri sendiri, ia merupakan bagian dari sistem ekologi yang kompleks.

Ayo bekali diri dengan pengetahuan, bukan dengan ketakutan!

Penulis: Arfi Pandu Dinata

Kamis, 14 Mei 2020

Diskusi Stigma terhadap Transpuan

Pada Sabtu (10/05) pukul 13.00, Sekolah Damai Indonesia mengadakan diskusi daring melalui WhatsApp group mengenai Stigma Terhadap Transpuan. Teh Riri dari Srikandi Pasundan menjadi narasumber dan Hobie menjadi moderator untuk Diskusi.

Tema ini diambil dari kasus prank sembako viral yang dilakukan oleh Ferdian Paleka dan dua orang temannya, yaitu Tubagus Fahddinar Achyar dan M. Aidil Fitrisyah terhadap transpuan di Bandung beberapa pekan sebelumnya. Tentu, ini menjadi pencemaran nama baik bagi korban dan perspektif masyarakat mempunyai respon yang berbeda-beda terhadap kasus ini. Hal ini tentu tidak terlepas dari munculnya stigma dan diskriminasi terhadap transpuan.

Teh Riri berasal dari komunitas transpuan Srikandi Pasundan. Ia hadir dalam diskusi bersama mbak Sofa dari Perwakos -  Persatuan Waria Surabaya, mbak Tata dari Iwayo - Ikatan Waria Yogyakarta, Ayu dari Srikandi Patriot Bekasi, bang Zen dari komunitas transmen DKI Jakarta.

Stigma adalah cap buruk. Agak sulit untuk menghilangkan cap buruk terhadap waria karena warianya sendiri juga masih banyak yang terlibat hal-hal buruk. Mami Riri menambahkan bahwa ia berusaha berkompromi dengan keadaan, cap buruk membuat mami Riri terhindar copet saat sendirian pulang malam di kereta api ekonomi, bisa membantu diri aman dari gangguan.

Diskriminasi sudah cukup berkurang, layanan-layanan terhadap kami sudah baik seperti terhadap masyarakat umum biasa. Waria miskin lebih terdiskriminasi, sementara waria kaya raya malah mendiskriminasi.

Menurut Teh Riri, stigma itu sudah mulai berkurang dengan semakin banyak teman-teman transpuan yg berdaya, baik dari ranah advokasi, sosial dan budaya. Teman-teman sudah banyak yang berkolaborasi dengan penentu kebijakan.

Sore itu, perbincangan semakin meluas mengenai pengalaman beberapa peserta diskusi dengan beberapa waria. Beberapa teman yang hadir dalam diskusi ternyata ada yang berubah persepsinya pada teman-teman waria, karena pengalaman positif yang ia alami, sehingga persepsi yang awalnya negatif pun dikoreksi. 

Stigma yang dirasakan oleh teman-teman waria juga tanpa sadar dilakukan oleh kebanyakan orang mulai dari sebutan-sebutan yang merendahkan. Terdapat berbagai istilah yang cukup dikenal untuk menyebut kelompok transpuan, mulai dari waria, banci, wadam, bencong, dan istilah yang akhir-akhir ini lebih banyak digunakan adalah transpuan. Kemudian muncul pertanyaan, sebutan apa yang paling nyaman untuk teman-teman transpuan sendiri? Seorang teman transpuan menjawab, "Panggil saja mbak, bu, jeng, atau teteh. Itu yang lebih aman bila memanggil kami, karena di luar itu bisa berbeda persepsi. Tapi, kadang intonasi dan kedekatan personal bisa membuat panggilan-panggilan itu berbeda makna."

Gender, identitas gender, ekspresi gender, perilaku seksual, orientasi seksual, dan berbagai aspek lainnya itu berbeda-beda, sehingga disebut spektrum. Semakin kita mengetahui, semakin kita mendalami bahwa setiap manusia itu beragam, apalagi melibatkan konsep gender dan seksual yang sepertinya tidak akan habis dibahas dan bakal selalu menjadi bahasan menarik.

Stigma dan diskriminasi terhadap teman-teman transpuan dapat dihilangkan mulai dari setiap pribadi dari kita. Betapapun kita berbeda satu sama lain, kita perlu menyadari satu hal yang menjadi persamaan dan menyatukan kita: kemanusiaan.


(Rhaka Katresna)

Sabtu, 25 April 2020

Rasisme dan Xenofobia di Balik Covid-19

TIMESINDONESIA, BANDUNG – Sejak virus Corona atau Covid-19 merebak pertama kalinya di Wuhan, Cina, dunia seakan tidak berhenti memberitakan negara mana lagi yang terkena dampak infeksi virus ini. Banyak negara  memberlakukan sistem penguncian negara atau lockdown karena tingkat kematian para penduduknya karena infeksi Covid-19.

Demikian pula Indonesia, yang hingga April  2020 ini sudah membukukan angka di angka lebih dari 5000 orang positif. Angka ini diprediksikan dapat meningkat jika penanganan secara medis tidak dikutsertai dengan penanganan yang bersifat sosial, seperti pelarangan sementara kegiatan berkumpul yang melibatkan sejumlah banyak masyarakat, bahkan kegiatan peribadatan pun mengalami perubahan untuk dilakukan di dalam rumah saja, hingga kegiatan pendidikan di semua jenjang dihentikan sementara untuk mengurangi kerentanan penularan virus. 

Dampak negatif sosial budaya pun muncul.  Ketika masyarakat seluruh dunia sedang berjuang mati-matian mempertahankan diri secara ekonomi dan kesehatan agar dapat keluar dari krisis virus, beberapa hal yang mencederai budaya dan sosial masyarakat terjadi. Jonathan Mok, dari Singapore salah satunya yang mengalami ini menceritakan bagaimana ia diserang oleh 4 orang pria yang berujar 'kami tidak ingin virus coronamu di negara kami' ketika berjalan di Oxford Street. London 24 Februari 2020. 11 Maret 2020, sekelompok siswa sekolah menengah di Belgia, Sint Paulus school, membuat foto tahunan dengan mengenakan pakaian tradisional Asia mengarah ke pakaian ala Cina membawa kertas yang bertuliskan “Corona time” dan salah satu siswanya terlihat menyipitkan matanya. 

Rasisme dan Xenofobia, Pasangan Maut 
Berasal dari kata Xenos, Bahasa Yunani, yang berarti ‘asing’ atau ‘orang asing’ serta Phobos yang berarti ketakutan. Xenofobia dapat menjadikan orang asing dari negara-negara lain menjadi bahan ketakutan sekaligus kebencian. Terkait dengan rasisme, di mana paham ini merupakan gejala melihat suatu kelompok masyarakat yang dianggap minoritas lebih rendah daripada mayoritas, maka dampaknya adalah terjadinya segregasi serta perbedaan perlakuan berdasar superioritas ras etnis pula yang menganggap diri mereka lebih baik. 
Steindhardt, Max. F peneliti dari Freie Universitat Berlin menggarisbawahi bahwa kekerasan berbasis Xenofobia memiliki dampak berdimensi sosial ekonomi, khususnya yang dialami dalam proses integrasi para pendatang di negara tujuan.
Dampak lainnya adalah penghindaran  terhadap warga etnis Cina jika dihubungkan dengan merebaknya virus Covid-19  Suatu peristiwa di mana seorang petugas sosial asal Malaysia beretnis Cina mengalami penghindaran ketika ia sedang berada dalam transportasi umum di London. Lalu bagaimana seorang perempuan Singapura mengalami tindakan rasisme di satu mall di New Zealand, serta bahkan di Jepang sendiri terjadi tindakan rasisme di beberapa restauran yang memasang tanda "No Chinese" hingga seminggu. Di Indonesia sendiri berita mengenai tenaga kerja asli Cina yang masuk ke Indonesia sempat menjadi sasaran mengapa Covid-19 bisa menginfeksi Indonesia walau pun saat virus ini masuk ke Indonesia telah terjadi status pandemik.
Tersembunyi, Berpotensi Muncul
Penandatanganan Konvensi Internasional Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial dilakukan berbasis Piagam Hak Asasi Manusia dengan tujuan Perserikatan Bangsa Bangsa, yaitu memajukan dan mendorong penghormatan dan pematuhan hak-hak asasi manusia dan kebebasan mendasar bagi semua tanpa membedakan ras, jenis kelamin, bahasa atau agama.
Dalam kondisi Corona/Covid-19 telah menjadi pandemik global yang memerlukan perhatian ekstra demi kesembuhan warga seluruh dunia, ternyata potensi xenofobia dan rasisme berbasis asal virus ini datang tiba-tiba muncul dan mensegregasi etnis tertentu yang dimunculkan seolah-olah menjadi penyebab munculnya virus dan menjadi wajar untuk dilakukan tindak penghindaran hingga perendahan di luar prinsip HAM.
Kita sendiri sebagai bagian dari warga global dunia seharusnya sepakat untuk berkonsentrasi terhadap upaya penyembuhan tanpa melihat sekat ras dan etnis. Ini adalah masalah kita bersama dan jika dibiarkan, maka potensi rasisme dan Xenofobia akan dapat muncul menunggu waktu yang tepat saja, tergantung akan peristiwa dunia apa yang sedang terjadi. 
***
*)Oleh: Fanny S. Alam, Regional Coordinator of Bhinneka Nusantara Foundation/Regional Coordinator and Program Director of Sekolah Damai Indonesia Bandung.
*) Tulisan yang sama juga dimuat di Times Indonesia
x

Refleksi 9 Bulanan di Sekolah Damai Indonesia Bandung


Setelah mengikuti kegiatan Sekolah Damai Indonesia selama 9 bulan lebih lamanya, saya meluangkan waktu bagi diri saya merefleksikan partisipasi saya selama di Sekolah Damai Indonesia. Kegiatan yang menyenangkan, lokal, informatif, dan penuh tilikan adalah ciri khas yang dimiliki oleh Sekolah Damai Indonesia Bandung.

Saya datang dengan sebuah pertanyaan mengenai “apakah saya layak untuk mendapatkan kekerasan?” Mengingat pengalaman kekerasan yang menetap dalam kenangan saya dan cukup mengganggu produktivitas saya. Proses itu dilalui dengan pertanyaan mengenai perdamaian, menjangkau orang-orang dari berbagai latar belakang, terlibat dalam kegiatan bersama orang yang bermacam-macam, hingga baru saja terjadi kemarin mempertanyakan mengenai makna keadilan itu seperti apa.

Proses yang saya lalui di Sekodi Bandung melibatkan refleksi yang melibatkan pengalaman personal dengan masalah yang muncul di lingkungan sekitar. Pertanyaan dan pemahaman yang sudah terproses selama beberapa bulan memberikan pemahaman baru bagi saya terhadap peristiwa kekerasan dan pejuangan perdamaian yang ternyata pernah saya lakukan di beberapa kesempatan dalam hidup saya.

Pemahaman soal peristiwa dulu yang kini sudah terbaca baik mendorong saya pada pertanyaan berikutnya, yaitu “apa yang akan saya lakukan berikutnya setelah saya beres dengan diri saya sendiri?” Jawaban untuk itu adalah mulai melangkah pada sesuatu yang lebih besar, kegiatan dan lingkungan. Proses pemulihan personal yang saya lalui telah mengantar saya untuk kembali produktif dan mudah bagi saya kini untuk terlibat atau mengerjakan kegiatan-kegiatan dengan mudah dan bergembira. Kemudian bersama lingkungan, mendorong diri saya untuk memulai proyek di lingkungan sekitar saya dengan cara saya sendiri.

Pada saat ini, saya sedang dalam pelatihan intensif Tari Somatik bersama Alexia Buono dari Bufallo, Amerika Serikat. Dari beliau saya mempelajari Restorative Justice of Body, yaitu perbaikan yang kooperatif atas kerugian yang disebabkan oleh perilaku kriminal yang dapat menyebabkan transformasi diri, relasional, dan komunal. Proses itu berorientasi pada keadilan dan terlibat dalam praktik koreografi penyelidikan, dialog, dan kreativitas multimodal. Pelatihan ini berlangsung hingga akhir Mei 2020. Selain itu, saya akan mengikuti Liberated Body Intensive Study yang diberikan oleh Monika Volkmar untuk saya bisa mempelajari dan memaknai kebebasan dalam gerak.

Latihan-latihan yang saya lalui dari Embodied Peace Training dari Paul Linden, Restorative Justice of Body dari Alexia Buono, dan pelatihan Liberated Body dari Monika Volkmar akan menjadi landasan saya untuk proyek Sekolah Damai Indonesia berikutnya pada tahun 2021. Saya akan berkolaborasi dengan berbagai komunitas untuk menciptakan pembangunan perdamaian melalui seni pertunjukan. Dukungan dari teman-teman Sekolah Damai Indonesia sangat bermakna bagi saya.

Di situasi COVID-19 saat ini, tak banyak yang bisa saya lakukan selain secara aktif mengikuti pembelajaran dan kegiatan di Sekolah Damai Indonesia. Momen ini tepat digunakan bagi saya untuk belajar, berlatih, dan merefleksikan peristiwa dalam hidup saya.














(Rhaka Katresna)

Rabu, 25 Maret 2020

Kami (Tenaga Medis) Tetap Kerja, Kalian Tetap di Rumah

AYOBANDUNG.COM -- Akhir-akhir ini banyak masyarakat di Indonesia mulai ketakutan terhadap virus covid 19. Setiap harinya adanya peningkatan jumlah masyarakat tercatat positif covid 19. Pembaharuan data setiap harinya tentang virus covid 19 biasanya dilakukan pemerintah serta pihak Kementerian Kesehatan yang bisa dipercaya dan diakses oleh seluruh masyarakat. 

Penanganan untuk virus covid 19 ini harus dilakukan secara bersama, mulai dari kesadaran setiap masyarakat terhadap pentingnya pola hidup bersih dan sehat, menjaga imunitas kuat dan mengurangi aktivitas-aktivitas sosial masyarakat dengan salah satunya bekerja di rumah, menjaga jarak 1 meter dengan orang lain, dan belajar mengajar juga dilakukan di rumah sampai ibadah pun dilakukan di rumah. 

Menurut data Kementerian Kesehatan terbaru per tanggal 24 Maret 2020 sudah ada 686 Jiwa dari 24 Provinsi di Indonesia yang positif Covid 19,  30 jiwa sembuh dan 55 jiwa meninggal. Melihat banyaknya jiwa yang positif covid 19 dan beberapa tenaga kesehatan di antaranya ada yang meninggal, saya merasa sedih dan prihatin atas kejadian tersebut. Di sisi lain, saya merasakan sedikit tenang dan bahagia karena di antara pasien yang sudah dinyatakan positif covid 19 sekarang menjadi negatif dan dinyatakan sembuh kembali sehat seperti sediakala. 

Tenaga Kesehatan Tetap Bekerja 
Mewabahnya pandemi virus covid 19 ini menjadikan tenaga kesehatan harus tetap bekerja dan menangani pasien agar dapat ditangani segera. Tim kesatuan medis ini meliputi tenaga kesehatan, seperti Dokter Umum dan Spesialis, Perawat, Ahli Teknologi Laboratorium Medik, Sanitarian, Radiografer, Apoteker dan Asisten Apoteker, Ahli Gizi, Bidan, Survelians Epidemiologi dan lain-lain. Mereka berjuang setiap harinya menangani pasien yang terpapar dan terjangkit virus covid 19 ini. Mereka bekerja tanpa mengenal lelah, melayani pasien dengan sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab ditengah wabah pandemi virus covid 19 ini. 

Tenaga kesehatan saat ini menjadi pemegang peran penting terhadap penanggulangan virus covid 19 ini. Mereka terjun langsung menangani pasien yang terinfeksi virus covid 19, dimulai pada saat pengambilan spesimen pasien melalui nasofaring, swab tenggorokan, darah, pemeriksaan laboratorium yang dapat mengeluarkan hasil pasien positif atau negatif, perawatan di ruangan, pemberian obat serta pemeriksaan penunjang lainnya. Semuanya  dilakukan oleh tenaga kesehatan sesuai dengan profesi tugas dan kewenangannya. 

Ada beberapa hal yang sekarang ini dibutuhkan oleh para tenaga kesehatan yang sedang bekerja menangani virus covid 19 ini, yaitu  pasokan masker bedah, masker N95, handscoon/sarung tangan kesehatan nitril/free powder, kacamata google laboratorium untuk pelindung mata, sepatu lark/sepatu karet boot, helm penutup wajah, asupan supplement vitamin untuk mempeekuat imunitas tubuh, hand sainitaizer dan berbagai cairan alkohol. 

Di antara kebutuhan yang dibutuhkan oleh tenaga medis, yaitu Alat Pelindung Diri (APD)  justru saat ini ketersediannya sangat minim, di antaranya masker dan handscoon/sarung tangan kesehatan. Padahal Alat Pelindung Diri (APD) wajib digunakan oleh seorang tenaga medis ketika menangani pasien, namun pada kenyataannya justru sekarang ketersediaanya sangat minim dan banyak disalahgunakan oleh orang-orang non medis. Banyak di antara masyarakat sekarang yang sudah menerapkan Alat Pelindung Diri (APD) medis yang salah, salah satunya sekarang banyak orang yang memakai handscoon/sarung tangan kesehatan di setiap aktivitas seharinya yaitu digunakan saat memegang uang, dipakai saat berkendara motor bahkan sekarang ada sebagian orang menggunakan alkohol swab untuk membersihkan ponsel selulernya. Hal-hal demikian seharusnya tidak dilakukan oleh masyarakat di luar medis. 

Sebagai tenaga kesehatan, saya memohon untuk masyarakat tidak bepergian terlebih dahulu keluar rumah, menaati aturan–aturan yang diterapkan pemerintah dengan melakukan social distancing. 

Aktivitas di Rumah 
Aktivitas di rumah untuk saat ini adalah hal signifikan untuk dilakukan. Banyak surat edaran yang dikeluarkan oleh pemerintah setempat yang mewajibkan warga diam di rumah selama 14 hari. Tujuannya sangatlah baik, yaitu bisa membantu memutuskan rantai penularan virus covid 19 ini. Semakin banyak orang yang melakukan aktivitas di rumah, semakin cepat kita bisa beraktivitas seperti biasa. 

Banyak hal yang menarik saat kita berada di rumah, kita bisa lakukan dengan hal-hal yang baik, seperti membaca buku sesuai dengan kesukaanya, belajar menulis artikel dengan hal-hal yang menarik, mendengarkan musik yang dapat membuat jiwa menjadi senang, menonton film kesukaan sesuai dengan jenis dan klasifikasi umur tepat yang dapat ditonton, berolahraga  secukupnya, membersihkan area rumah dengan leluasa, mulai dari kamar tempat tidur, halaman rumah dan ruangan lainnya, sehingga dapat beristirahat dengan nyaman,  berkumpul bersama keluarga, mengakses informasi seluas-luasnya dengan mudah dan nyaman menggunakan gawai masing-masing dan terakhir kita juga di rumah dapat  memanfaatkan waktu yang banyak untuk beribadah. 

Selama di rumah, kita harus tetap menjaga kesehatan setiap harinya. Menerapkan pola hidup bersih dan sehat (PHBS) dapat  kita mulai dengan seringnya mencuci tangan dengan menggunakan sabun dan air mengalir, minum air putih serta mengkonsumsi  buah, sayur dan makanan dengan gizi seimbang agar imunitas menjadi kuat. 

*** 

Diksi Paisal, STr.Kes, Praktisi Kesehatan dan Penggiat Sekolah Damai Indonesia Bandung.


---------
Artikel ini sudah Terbit di AyoBandung.com pada Rabu, 25 Maret 2020, dengan Judul Kami (Tenaga Medis) Tetap Kerja, Kalian Tetap di Rumah, pada URL https://www.ayobandung.com/read/2020/03/25/83833/kami-tenaga-medis-tetap-kerja-kalian-tetap-di-rumah

Penulis: Redaksi AyoBandung.Com
Editor : Redaksi AyoBandung.Com