“If you want to change the world, pick up your pen and write” – Martin Luther.
Sebuah tulisan dapat membawa dampak dan perubahan yang besar. Hal ini juga yang terjadi pada Sekolah Damai Indonesia – Bandung. Beberapa hari lalu, bertepatan dengan hari perempuan sedunia, seorang teman Sekodi, membagikan tulisan karyanya yang dimuat di salah satu situs. Ternyata, tulisan itu menimbulkan berbagai interpretasi dan memantik diskusi yang cukup seru di grup WhatsApp, ada pro dan kontra, ada kritik dan saran, ada pujian dan kegelisahan. Akan tetapi karena dirasa diskusi digital kurang memuaskan, maka diputuskan untuk berdiskusi lebih lanjut secara tatap muka, bersama dengan narasumber yakni Dr. Aquarini Priyatna, dosen FIB Unpad, seorang feminis yang sudah sangat ahli dalam isu gender, sosial dan budaya.
Diskusi diawali dengan pemaparan dari penulis artikel tersebut mengenai maksud dari tulisannya, tujuan ia menulis artikel, serta pemikir-pemikir yang dikutip dan menjadi inspirasi dari tulisan tersebut. Kemudian Bu Aquarini menanggapi artikel yang disampaikan. Secara umum, Bu Aquarini memberi penjelasan mengenai pembuatan sebuah tulisan yang baik, yakni dengan berfokus pada satu topik tertentu, disusun secara runtut untuk membangun argumen yang kuat. Jika tulisan mengacu pada satu atau dua buku atau artikel lain, perlu diberi penjelasan sehingga tidak dianggap sebagai plagiasi.
Bu Aquarini lalu menjelaskan lebih lanjut tentang maskulinitas dan feminitas. Maskulin dan feminin adalah konstruksi sosial mengenai hal-hal yang dianggap lebih memiliki sifat laki-laki atau perempuan. Maskulin dan feminin adalah sebuah kontinum, dan kita selalu punya sifat-sifat maskulin dan feminin dalam diri kita, dengan level dan kombinasi yang berbeda-beda.
Sayangnya, konstruksi feminin dan maskulin ini seringkali diidentikkan dengan jenis kelamin tertentu, menjadi semacam ‘label’ yang tidak bisa dihilangkan. Hal ini pun membawa pengaruh sangat besar dalam kehidupan, disadari atau tidak, disukai atau tidak. Kita terbiasa dengan standar perilaku dan sifat perempuan maupun laki-laki dalam kepala kita, sehingga cara kita mendidik anak, memperlakukan orang lain, serta keputusan-keputusan yang dibuat, bahkan ruang atau bangunan yang dibuat seringkali secara otomatis mengacu pada konstruksi itu. Akan tetapi seiring berjalannya waktu, perempuan dan laki-laki harus menyadari bahwa konstruksi tradisional itu tidak lagi relevan dan laki-laki maupun perempuan harus sama-sama belajar untuk saling melengkapi satu sama lain, misalnya perempuan juga harus belajar untuk berani berkompetisi dan mengambil keputusan, laki-laki perlu cukup berani untuk menampilkan kerentanannya, perempuan juga perlu memperjuangkan pendidikan tinggi dan jenjang karir yang baik, laki-laki juga harus terlibat dalam pengasuhan anak, dan lain sebagainya. Perempuan dan laki-laki itu setara, maka kita adalah partner untuk saling belajar satu sama lain.
Diskusi dilanjutkan dengan tanya jawab. Cukup banyak teman Sekolah Damai Indonesia – Bandung yang sangat antusias untuk bertanya dan berdiskusi lebih lanjut, misalnya mengaitkan topik gender ini dengan tafsir ajaran agama tertentu, serta dengan kebijakan politik tertentu. Bu Aquarini mengingatkan bahwa agama itu adalah juga konstruksi sosial budaya. Agama turun dalam bentuk teks dan dapat ditafsirkan dengan cara yang berbeda-beda. Ketika kita berbicara tentang peran gender, dikaitkan dengan agama dan politik, yang perlu disadari adalah bahwa perempuan maupun laki-laki memang memiliki potensi tertentu secara biologis, namun secara sosial, perempuan maupun laki-laki dapat saling belajar dan bekerja sama.
Diskusi ini menjadi menarik karena berangkat dari suatu artikel yang memancing beragam interpretasi. Dari sisi pembaca, kita perlu kritis ketika membaca, jangan terlalu cepat percaya pada apa yang tertulis, namun pertanyakan kembali apa yang tertulis itu. Sebaliknya, dari sisi penulis artikel, penulis perlu sangat hati-hati dalam menyusun artikel, perlu referensi yang cukup, logika berpikir dan logika menulis yang runtut serta argumen yang jelas, sehingga meminimalisir munculnya interpretasi yang kurang sesuai dengan maksud tulisan itu sendiri.
* Foto-foto diambil di pertemuan sekodi Bandung, tanggal 16 Maret 2018 hari Sabtu, dimoderasi oleh Hani Yulindrasari dan narasumber Aquarini Priyatna. Tulisan oleh Stella Vania Puspitasari