Kamis, 21 Maret 2019

Gender, Feminisme, dan Berbagai Kaitan Dengan Konstruksi Sosial Bentukan di Masyarakat



 
 “If you want to change the world, pick up your pen and write” – Martin Luther. 

Sebuah tulisan dapat membawa dampak dan perubahan yang besar. Hal ini juga yang terjadi pada Sekolah Damai Indonesia – Bandung. Beberapa hari lalu, bertepatan dengan hari perempuan sedunia, seorang teman Sekodi, membagikan tulisan karyanya yang dimuat di salah satu situs. Ternyata, tulisan itu menimbulkan berbagai interpretasi dan memantik diskusi yang cukup seru di grup WhatsApp, ada pro dan kontra, ada kritik dan saran, ada pujian dan kegelisahan. Akan tetapi karena dirasa diskusi digital kurang memuaskan, maka diputuskan untuk berdiskusi lebih lanjut secara tatap muka, bersama dengan narasumber yakni Dr. Aquarini Priyatna, dosen FIB Unpad, seorang feminis yang sudah sangat ahli dalam isu gender, sosial dan budaya. 

Diskusi diawali dengan pemaparan dari penulis artikel tersebut mengenai maksud dari tulisannya, tujuan ia menulis artikel, serta pemikir-pemikir yang dikutip dan menjadi inspirasi dari tulisan tersebut. Kemudian Bu Aquarini menanggapi artikel yang disampaikan. Secara umum, Bu Aquarini memberi penjelasan mengenai pembuatan sebuah tulisan yang baik, yakni dengan berfokus pada satu topik tertentu, disusun secara runtut untuk membangun argumen yang kuat. Jika tulisan mengacu pada satu atau dua buku atau artikel lain, perlu diberi penjelasan sehingga tidak dianggap sebagai plagiasi. 

Bu Aquarini lalu menjelaskan lebih lanjut tentang maskulinitas dan feminitas. Maskulin dan feminin adalah konstruksi sosial mengenai hal-hal yang dianggap lebih memiliki sifat laki-laki atau perempuan. Maskulin dan feminin adalah sebuah kontinum, dan kita selalu punya sifat-sifat maskulin dan feminin dalam diri kita, dengan level dan kombinasi yang berbeda-beda. Sayangnya, konstruksi feminin dan maskulin ini seringkali diidentikkan dengan jenis kelamin tertentu, menjadi semacam ‘label’ yang tidak bisa dihilangkan. Hal ini pun membawa pengaruh sangat besar dalam kehidupan, disadari atau tidak, disukai atau tidak. Kita terbiasa dengan standar perilaku dan sifat perempuan maupun laki-laki dalam kepala kita, sehingga cara kita mendidik anak, memperlakukan orang lain, serta keputusan-keputusan yang dibuat, bahkan ruang atau bangunan yang dibuat seringkali secara otomatis mengacu pada konstruksi itu. Akan tetapi seiring berjalannya waktu, perempuan dan laki-laki harus menyadari bahwa konstruksi tradisional itu tidak lagi relevan dan laki-laki maupun perempuan harus sama-sama belajar untuk saling melengkapi satu sama lain, misalnya perempuan juga harus belajar untuk berani berkompetisi dan mengambil keputusan, laki-laki perlu cukup berani untuk menampilkan kerentanannya, perempuan juga perlu memperjuangkan pendidikan tinggi dan jenjang karir yang baik, laki-laki juga harus terlibat dalam pengasuhan anak, dan lain sebagainya. Perempuan dan laki-laki itu setara, maka kita adalah partner untuk saling belajar satu sama lain. 

Diskusi dilanjutkan dengan tanya jawab. Cukup banyak teman Sekolah Damai Indonesia – Bandung yang sangat antusias untuk bertanya dan berdiskusi lebih lanjut, misalnya mengaitkan topik gender ini dengan tafsir ajaran agama tertentu, serta dengan kebijakan politik tertentu. Bu Aquarini mengingatkan bahwa agama itu adalah juga konstruksi sosial budaya. Agama turun dalam bentuk teks dan dapat ditafsirkan dengan cara yang berbeda-beda. Ketika kita berbicara tentang peran gender, dikaitkan dengan agama dan politik, yang perlu disadari adalah bahwa perempuan maupun laki-laki memang memiliki potensi tertentu secara biologis, namun secara sosial, perempuan maupun laki-laki dapat saling belajar dan bekerja sama. Diskusi ini menjadi menarik karena berangkat dari suatu artikel yang memancing beragam interpretasi. Dari sisi pembaca, kita perlu kritis ketika membaca, jangan terlalu cepat percaya pada apa yang tertulis, namun pertanyakan kembali apa yang tertulis itu. Sebaliknya, dari sisi penulis artikel, penulis perlu sangat hati-hati dalam menyusun artikel, perlu referensi yang cukup, logika berpikir dan logika menulis yang runtut serta argumen yang jelas, sehingga meminimalisir munculnya interpretasi yang kurang sesuai dengan maksud tulisan itu sendiri.

* Foto-foto diambil di pertemuan sekodi Bandung, tanggal 16 Maret 2018 hari Sabtu, dimoderasi oleh Hani Yulindrasari dan narasumber Aquarini Priyatna. Tulisan oleh Stella Vania Puspitasari 

Selasa, 12 Maret 2019

Sekelumit Tantangan Teman teman Berkebutuhan Khusus


 

Sabtu 9 Maret 2019, Sekolah Damai Indonesia (Sekodi) Bandung berkunjung ke Pusat Terapi Tumbuh Kembang Anak Dan Remaja berkebutuhan khusus Our Dream Indonesia, yang terletak di Jl Sinom, Turangga, Bandung. Kunjungan kali ini dalam rangka diskusi mingguan yang bertema Permasahan kaum difabel dan fasilitas publik serta penerimaan masyarakat baik dalam dunia pendidikan, pekerjaan dan sosial. Dalam diskusi dengan pemimpin Our Dream Indonesia, Bapak Hendra Rades Puluma, kami menyimak dan mendapat beberapa wawasan, pengetahuan praktis juga berkenalan dengan beberapa teman berkebutuhan khusus yang kebetulan sedang tinggal di Asrama Our Dream Indonesia. Salah satu wawasan baru yang kami dapat adalah tantangan untuk teman teman Berkebutuhan Khusus yang Tuna Grahita (gangguan mental) seperti Autism, dalam menghadapi kehidupan. Autism adalah gangguan mental yang disebabkan oleh kerusakan otak. Berbeda dengan teman berkebutuhan khusus lainnya yang fungsi otaknya masih berjalan normal. Namun beberapa penyandang Autism jika diarahkan dengan baik dan terarah mempunyai bakat jenius di berbagai bidang, yang jika diasah dengan baik akan membantu mereka untuk hidup mandiri hingga usia tua dengan keahlian mereka. Yang menjadi tantangan untuk penyandang Tuna Grahita khususnya Autism, Ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan untuk mencapai tujuan kehidupan mandiri mereka kelak. Yang pertama adalah perlunya sistim pendidikan yang tepat untuk menangani keunikan mereka. Meski kini sudah digaungkan Sekolah Inklusi, yaitu Sekolah Umum yang menerima murid murid berkebutuhan khusus, namun di lapangan masih banyak tenaga pengajar yg awam dalam menangani mereka, sehingga belum tercapai mengoptimalkan potensi mereka di sekolah umum. Yang kedua meski bisa disiasati dengan mendidik anak ke Pusat latihan, pendidikan dan terapi, namun sering belum ada konsistensi kerjasama antara lembaga pendidikan dengan orangtua. Sejatinya apa yang diajarkan terapis atau guru diterapkan pula dirumah oleh orangtua Dan keluarganya. Masalah ketiga, mendidik masyarakat untuk terbiasa dan menerima keunikan perilaku mereka, dan bisa menghargai potensi mereka dengan penyediaan lapangan kerja dan penerimaan yang wajar di masyarakat (No Bullying) Mereka adalah bagian dari kita. Bisa dibayangkan, apa jadinya jika penyandang Autism yang belum menata hidupnya kelak hidup di masa tua nya. Karena mereka kelak ditinggalkan orangtua yg sudah meninggal dan tidak bisa mengandalkan saudara saudaranya sepenuhnya. Perlu penerimaan dari masyarakat, pengoptimalan sistem pendidikan dan konsistensi untuk menyiapkan hidup mereka mandiri dan tidak terpinggirkan. Tugas kita bersama.


 Oleh Nursasongko Soegijatno. S 

Rabu, 06 Maret 2019

Hak Politik Masyarakat Pra dan Paska Pemilu

 
Ada apa ya dengan tahun politik? 2019 kita akan memilih presiden dan wakilnya sekaligus wakil rakyat. 'Kompetisi' telah dimulai, 'perseteruan' di berbagai media telah menarik banyak perhatian publik. Belakangan, debat terbuka antar kedua kandidat capres cawapres sudah dilakukan. Lalu, dimanakah posisi kita sebagai warga negara melihat ramainya persaingan ini? Kita diramaikan dengan hingar bingar berita politik yang mungkin dianggap sebagai bagian dari demokrasi terbuka, namun tidak sedikit yang menganggap hal tersebut memuakkan karena tidak sedikit penyebaran hoaks serta hal-hal yang dapat mencederai tahapan menuju pemilu tersebut viral sedemikian rupa. Tentunya, hak masyarakat sebagai warga negara untuk memilih siapa pun yang dianggap kredibel sudah dijamin oleh negara. Pendataan dilakukan untuk menjamin identitas pemilih hingga waktunya. Akan tetapi, jauh selain itu apakah hak kita selaku warga negara setelah pemilu? Sudah nyoblos lalu pulang begitu saja? Dimoderasi oleh Fanny S Alam selaku koordinator kota Sekodi Bandung, pertemuan pada tanggal 24 Februari 2019 berlokasi di Taman Balaikota mempertemukan narasumber, seorang peneliti SDGs Research Universitas Padjadjaran, Ben Satriatna dengan anggota Sekodi membahas bagaimana kita sebagai warga negara seharusnya tidak abai untuk mengawal hasil pemilu yang akan datang dengan cara berpartisipasi mengawasi kebijakan publik serta mengkritisi pelaksanaan kebijakan tersebut ketika ada satu atau beberapa hal yang tampak janggal dalam aplikasinya. Peran aktif ini yang seharusnya lebih tampil karena signifikansinya jelas untuk kepentingan masyarakat serta menjadi alat kontrol bagi pemerintah dan wakil rakyat yang sudah terpilih nantinya.

Selasa, 05 Maret 2019

LGBT dan Pusaran Diskriminasi di Tahun Politik 2019



 
Tahun politik 2019 yang selalu disebut tahun panas, terutama karena semua mata tertuju krpada dua kandidat presiden dan calon wakilnya. Keduanya saling mempromosikan indonesia yang lebih baik, lebih bermartabat, lebih dapat menyejahterakan warganya. Tahun politik ini juga sebenarnya merupakan kampanye tidak langsung bagaimana calon presiden mampu memetakan suara masyarakat pada masa-masa awal kampanye sekarang ini. Dukungan kelompok politik tertentu hingga kelompok agama merupakan hal signifikan bagi kedua kandidat. Dibantu oleh tim ahli dan tim sukses, kedua kandidat diharapkan mampu memetakan masalah masyarakat hingga tatanan ideal sosial politik ekonomi budaya masyarakat. Tidak dapat dipungkiri bahwa demi kepentingan politik yang bersifat menarik suara dari masyarakat, maka sangat penting bagi kedua kandidat memperhatikan aspirasi dari masyarakat dan tokoh-tokoh penting serta tim ahli. Salah satunya adalah ketika bagaimana tiap kandidat memperlihatkan keberpihakan terhadap kelompok masyarakat rentan,salah satunya LGBT. 16 Februari 2019 minggu ke 3 pertemuan sekodi Bandung dimoderasi oleh salah satu fasilitatornya, Nailil Muna, mahasisiwi UIN, kami membahas bagaimana LGBT mungkin dapat terjebak dalam pusaran diskriminasi akibat panasnya tahun politik 2019 ini. Bagaimana teman-teman LGBT dapat melalui pusaran ini di Indonesia semenjak ramai-ramai banyak kelompok politik menyatakan penolakannya,bahkan dalam ranah praktek politik sudah terdapat pengesahan perda anti LGBT dan penangannya, seperti di sumatera barat yang akan memberlakukan praktek rukyah terhadap siapapun yang terindikasi terlibat dalam 'praktik' LGBT. Pemilu 2019 untuk memilih presiden, wakil presiden, serta wakil rakyat memperlihatkan bagaimana setiap warga negara dapat terwakilkan suaranya, termasuk suara-suara kelompok rentan, salah satunya LGBT agar dapat terhindar dari diskriminasi mereka sebagai warga negara indonesia yang hak dan kewajibannya sama saja dengan warga negara Indonesia lainnya.