Senin, 07 November 2022

 


Foto : free resource. Tulisan diterbitkan oleh Geotimes 27 January 2022, tautan : 

                               https://geotimes.id/opini/tantangan-moderasi-beragama-tahun-2022/


Tantangan Moderasi Beragama

oleh : Fanny Syariful Alam, Koordinator Regional Bandung School of Peace Indonesia, Fellows of IVLP the US. Dept of State 2020, Australia Awards for Indonesia STA 2020


Beberapa hari lalu tersiar kabar mengenai seorang pria yang menendang sesajen di kawasan Desa Supiturang, Kecamatan Pronojiwo, Lumajang. Lokasi yang dimaksud adalah lokasi terdampak erupsi Gunung Semeru. Sontak hal tersebut memancing reaksi negatif dari warga net karena hal tersebut memperlihatkan suatu bentuk hilangnya rasa hormat terhadap penganut kepercayaan serta memicu sentimen intoleransi.

Sementara, di Twitter, akun @Fahmiherbal sempat viral dengan muncul cuitan yang menggambarkan ucapan kebencian yang mengarah kepada kelompok etnis tertentu serta bertendensi mendiskreditkan kepercayaan yang dianut kelompok masyarakat lainnya. Akun ini sudah ditutup oleh pemiliknya.

Sementara itu, kasus pengadilan untuk perusakan Masjid Miftahul Huda milik komunitas muslim Ahmadiyah di Sintang, Kalimantan Barat ditenggarai mengalami penyimpangan. Tim Advokasi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan melalui juru bicaranya, Fitria Sumarni melihat majelis hakim justru tidak mendalami tindak pidana perusakan dan penghasutan kekerasan, melainkan berfokus mempertanyakan identitas agama dan keyakinan para korban (Tirto, 2021).

Sebagai tambahan, kasus pembangunan Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin di Bogor masih terkatung-katung walau pun sudah mengantongi ijin pembangunan serta rekomendasi Mahkamah Agung (MA) untuk berjalannya pembangunan gereja di lahan sendiri tersebut sejak tahun 2011. Dan kejadian pembongkaran terjadi kembali ketika jemaat mengajukan pengaduan terhadap proses relokasi dan hibah tanah yang dilakukan oleh Pemerintah kota Bogor (Kabar Sejuk, 2021)

2022 sudah sama sama dilewati beberapa minggu, namun kasus-kasus terkait dengan relasi antar agama semakin hari semakin meruncing seakan-akan tidak ada solusi terintegrasi yang dilakukan atau bahkan terpikirkan oleh pemerintah daerah dari level atas hingga level masyarakat.

Sementara itu, teringat bagaimana Pemerintah, melalui Kementerian Agama Republik Indonesia, telah memiliki program Moderasi Beragama. Ini menggarisbawahi cara pandang, sikap, dan praktik beragama dalam kehidupan bersama, dengan cara mengejawantahkan esensi ajaran agama yang melindungi martabat kemanusiaan  dan membangun kemaslahatan umum, berlandaskan prinsip adil, berimbang, dan menaati konstitusi sebagai kesepakatan berbangsa (Kemenag, 2021). Bagaimanakah hal ini berjalan ketika masih banyak tindak intoleransi dalam lapisan masyarakat masih terjadi begitu saja?

Tantangan Moderasi Beragama

Toleransi menjadi dasar harmoni hubungan masyarakat dengan perbedaan agama, etnis, suku, warna kulit, serta menjadi fitrah yang berdasar dari firman Allah dalam QS. Al-Hujurat ayat 13 yang menggambarkan bagaimana manusia diciptakan dari seorang laki-laki dan perempuan, berbangsa-bangsa supaya saling mengenal (Mukzizatin, Siti, 2019).

Sementara itu, dalam iman Kristen pun dijabarkan bagaiman kerukunan hidup masyarakat antar agama dan perbedaan dijalankan dengan dasar kasih, yang nantinya akan menumbuhkan kesejahteraan dan berdoa. Hal ini merupakan tindakan aktif dalam membangun kebersamaan serta mengupayakan kerukunan  (Yeremia 29:7; Galatia 6:10, Arifianto, Alex, 2021).

Dalam suatu negara, kehidupan suatu komunitas masyarakat harus mendapatkan jaminan hidup tanpa diabaikan nilai kemanusiaannya. Ini merujuk kepada bagaimana pemerintahan suatu negara juga berperan dalam membangun toleransi antar masyarakat berbeda agama, tercermin dalam undang-undang yang melindungi warga negaranya tanpa terkecuali.

Program Moderasi Beragama diluncurkan oleh Menteri Agama sebelumnya H. Lukman Hakim Saifuddin dan dilanjutkan Menteri berikutnya. Tujuannya adalah menjadikan proses pendalaman nilai agama dan kebangsaan menjadi bentuk kebiasaan dan perilaku bagi bangsa Indonesia.

Merujuk peristiwa-peristiwa di atas mengenai sesajen yang ditendang lalu ucapan kebencian di Twitter, serta pembongkaran gedung gereja Yasmin menandakan bagaimana masyarakat dan aparat pemerintah belum memiliki perspektif moderasi beragama yang justru bertendensi memaksakan cara pandang beragama yang paling benar serta memaksakan pahamnya dengan cara kekerasan dan kebencian. Hal ini juga mengarah kepada cara memahami agama dan kepercayaan yang berlebihan sehingga melupakan hak beragama dan kepercayaan masyarakat lainnya dan nilai hak asasi manusia secara umumnya.

Belum Terlambat untuk Perbaikan 

Sebelum adanya program moderasi beragama, Konstitusi UUD 1945 sejak lama telah menjamin hak beragama serta pelaksanaannya. Pasal 29 UUD 1945 ayat 2 menyatakan Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. Hak ini diperjelas ulang dalam ratifikasi Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR) ke dalam UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan ICCPR yang mengakui hak sipil dan politik setiap orang, termasuk di dalamnya hak kebebasan beragama.

Ketika langkah moderasi beragama akhirnya dilakukan Kementerian Agama, hal ini menandakan upaya serius Negara untuk hadir dalam kasus-kasus bermuatan nilai-nilai agama yang berpotensi memecah belah harmoni keberagaman beragama dan kepercayaan di Indonesia.

Langkah yang dapat dilakukan unsur aparat pemerintah adalah menjadikan program moderasi beragama ini untuk disosialisasikan ke seluruh jenjang pemerintahan dan memperkuat kurikulum pendidikan di lembaga pendidikan, baik formal dan non formal keagamaan. Program ini tidak seharusnya berhenti di level pemerintahan, namun harus turun ke seluruh lapisan masyarakat tanpa terkecuali. Belum terlambat untuk kembali melakukan program ini sesuai dengan kebutuhan dan melihat sisi-sisi kemanusiaan dalam masyarakat secara umumnya.

 


Bias KDRT dalam Media


Foto diambil dari free resource. Tulisan dimuat di Harian Rakyat Merdeka On-line Edisi 26 Oktober 2022

Bias KDRT dalam Media

Fanny S. Alam, Regional Coordinator of Bandung School of Peace Indonesia, Fellows of Australia Awards STA 2021 and IVLP Dept. of State USA 2020, and Nuffic OKP Netherlands 2022

Apa yang Terjadi?

Beberapa hari ini masyarakat dan jurnalis warga tampak disibukkan dengan berita Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang dialami oleh selebriti Lesti Kejora yang dilakukan oleh suaminya, Rizki Billar. Dalam pengakuannya. Lesti menyatakan bahwa dirinya mengalami kekerasan, seperti dibanting dan mengalami kondisi fisik yang tidak normal setelahnya. Sontak, masyarakat serta jurnalis warga memberikan simpati terhadap Lesti serta hujatan terhadap Rizki. Setelah Lesti melakukan pelaporan resmi ke Kepolisian, tiba-tiba saja ia mencabut laporan resmi tersebut dan seluruh upaya berakhir dengan damai. Hal ini pun menimbulkan kekecewaan terhadap masyarakat dan jurnalis warga yang sudah mendukung Lesti dan keputusan awalnya.

Di satu sisi lain, masyarakat dan jurnalis warga pun dikejutkan dengan berita kejahilan dalam konten video Youtube yang dilakukan selebriti Baim Wong dan istrinya, Paula Verhoven, ketika Paula disorot sedang melaporkan kasus KDRT yang dialaminya. Setelah beberapa saat, Baim datang dengan tertawa lalu menginformasikan kepada polisi yang sedang menangani laporan istrinya bahwa ia sedang melakukan kejahilan dan disorot dalam konten videonya. Puncaknya adalah keduanya harus menjalani proses hukum karena dianggap melakukan pelaporan palsu.

Bingkai Nyata KDRT

Rilis Catatan Tahunan (CATAHU) tahun 2022 Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (KOMNAS Perempuan) menyatakan terjadi lonjakan signifikan jumlah kekerasan berbasis gender (KBG) sebesar 50% terhadap perempuan, sementara itu data pengaduan ke dalam pusat data KOMNAS sendiri meningkat hingga 80% selama tahun 2021. Terkait dengan KDRT, kasus yang masuk ditangani oleh Badan Peradilan Agama (BADILAG) juga meningkat tajam sekitar 52%.

Fenomena KDRT merupakan hal nyata yang dapat terjadi pada siapa pun, masyarakat hingga selebriti atau tokoh publik mana pun. Fenomena ini seperti gunung es yang terus membesar karena banyak yang masih menganggap KDRT sebagai hal yang tidak perlu dilaporkan sebagai hal kriminal, hal yang harus ditutupi karena dianggap aib keluarga. KOMNAS Perempuan dalam Instrumen Monitoring dan Evaluasi UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga melansir korban KDRT menemukan banyak masalah untuk mendapatkan keadilan ketika melaporkan kasusnya, seperti sulit untuk melaporkan kasusnya ataupun tidak mendapat tanggapan positif dari aparat penegak hukum, dan ketentuan hukum acara pidana atau perundang-undangan lainnya sejauh ini terbukti tidak mampu memberikan perlindungan bagi korban kekerasan dalam rumah tangga. Sebagai tambahannya, tidak mudah juga bagi korban KDRT melakukan pelaporan secara terbuka karena banyak yang menganggap urusan rumah tangga sebagai urusan privat, adanya ketergantungan ekonomi terhadap pelaku (suami). Kondisi sosial dalam masyarakat yang menganggap kekerasan terhadap perempuan dalam hal ini istri merupakan hal yang dianggap wajar sebagai bentuk mendidik juga membuat korban KDRT bisa berpikir ulang untuk melaporkan kasusnya karena alih-alih akan menjadi pihak yang dipersalahkan (Sukerti, 2005)

 

Sementara itu, semakin mengherankan ketika beberapa media di Indonesia justru tampak tidak mengedepankan hal-hal di atas dan lebih berusaha menarik kegaduhan dan opini publik masyarakat dan jurnalis warga. Sehingga, masyarakat justru malah tidak mendapatkan esensi apa itu KDRT serta bagaimana caranya bersikap secara bijaksana menghadapinya.

Bagaimana Media Seharusnya Bersikap

Media memiliki peran penting untuk sebaran informasi serta membantu masyrakat serta jurnalis warga mengetahui informasi terkini apa saja yang relevan untuk mereka. Media berperan sebagai penguat atau pelemah konstruksi masyarakat, salah satunya karena berfungsi sebagai alat pembentuk prasangka (Sivani). Di sinilah terjadi proses pemisahan masyarakat dan juga terjadi pada jurnalis warga dengan pendapatnya untuk saling menguatkan atau melemahkan. Ini yang terjadi pada pemberitaan kasus KDRT yang dialami oleh Lesti Kejora dan akhir berita tersebut yang justru membuat gaduh masyarakat dan jurnalis warga, dan secara tidak langsung menghilangkan esensi dari pentingnya mencegah KDRT dan mengurangi fungsi sosial untuk advokasi dan edukasi terhadap mereka. Terlebih lagi, ketika ada konten YouTube Baim Wong dan Paula Verhoven yang melakukan kejahilan dengan berpura-pura melaporkan KDRT, serta ada dalih dari Baim yang menyatakan bahwa konten tersebut merupakan edukasi bagi masyarakat (CNN). Dalam kasus ini, nyaris masyarakat dan jurnalis warga bersepakat bahwa konten tersebut merupakan bentuk tidak adanya empati terhadap korban KDRT.

Terkait KDRT, media berperan signifikan untuk memberikan informasi yang tepat dan tidak bias kepada masyarakat sebagai bagian dari strategi edukasi yang akan memberdayakan masyarakat untuk bersikap dan bertindak bijaksana ketika melihat kasus KDRT di lingkungan mereka sendiri dan di luar lingkarannya. Media dapat berstrategi melibatkan kampanye advokasi terkait KDRT yang akan memajukan inisiatif kebijakan dan pendidikan, sekaligus mengangkat kekuatan media sendiri di mata publik (Selvik). Para jurnalis seharusnya dibekali perspektif jender kuat sehingga dapat memosisikan diri untuk menghasilkan informasi objektif dan memberdayakan masyarakat mengenai KDRT. Sehingga, masyarakat dan juga jurnalis warga dapat menjadi lebih kritis dalam berpikir jernih ketika menerima informasi terkait KDRT melalui konsumsi media publik.

 

 

 

 

 


 

Kepedulian Pemuda Indonesia


Foto : oleh Anton Derawan, 4 November 2022. Tulisan di bawah diterbitkan oleh Harian Umum Pikiran Rakyat (PR) edisi 4 November 2022

Kepedulian Pemuda Indonesia 

Fanny S. Alam. Koordinator Regional Bandung School of Peace Indonesia, Fellows of IVLP the US. Dept. of State 2020, Australia Awards for Indonesia STA 2021, and Nuffic OKP the Netherlands 2022

Sumpah Pemuda 1928 lahir bukan tanpa sebab. Ia lahir atas kepedulian para pemuda yang terhimpun dalam Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) dari seluruh daerah di Indonesia. Mereka menghasilkan Kongres Pemuda Kedua, yang dimulai tanggal 27 Oktober 1928 yang mendiskusikan semangat persatuan dan pemuda, lalu 28 Oktober 1928 membahas masalah pendidikan, terutama kebangsaan dan keseimbangan pendidikan di sekolah dan di rumah, serta pendidikan secara demokratis. Lalu, kongres juga menggarisbawahi pentingnya nasionalisme dan demokrasi selain kepanduan yang sejak dini mendidik anak-anak untuk dispilin secara mandiri. Hal-hal tersebut dibutuhkan untuk mendukung pergerakan nasional yang saat itu sudah menyadari bahwa kemerdekaan di Indonesia merupakan hal yang tidak dapat ditawar.

Kongres ditutup dan lahirnya Sumpah Pemuda dengan ikrarnya yang dapat diperdengarkan hingga saat ini. Sumpah Pemuda ini lahir dari diskusi-diskusi pada kongres, dan pada rapat pertama tanggal 27 Oktober 1928, Moehammad Jamin mengungkapkan lima hal yang dapat memperkuat persatuan Indonesia, yaitu sejarah, bahasa, hukum adat, pendidikan, dan kemauan.

Pada masa sekarang, Indonesia sudah merdeka selama 77 tahun. Berbagai kemajuan telah dicapai oleh Indonesia, baik di mata sendiri dan internasional. Menjadi tuan rumah G-20 menjadi salah satu pencapaian penting bagi Indonesia. Dari Indonesia lah dunia akan berusaha pulih dan bangkit, terutama setelah dihantam pandemi Covid-19 yang ternyata hingga sekarang masih belum berakhir. Indonesia pun sempat dianggap sebagai model negara yang berhasil dalam mengantisipasi pandemi dengan baik. G20 sendiri terdiri dari banyak forum, salah satunya adalah Y20 Indonesia yang merupakan forum dialog resmi kepemudaan seluruh dunia dengan fokus terhadap empat isu utama, yaitu ketenagakerjaan, transformasi digital, planet berkelanjutan dan layak huni, dan keberagaman dan inklusi. Di samping itu, data Badan Pusat Statistik memperkirakan bahwa 2025 adalah puncak dari bonus demografi yang selalu dikaitkan dengan sumber daya dalam suatu negara, dan Indonesia sendiri akan mendapatkannya dengan dominasi pemuda berusia produktif. Hal ini merupakan sesuatu yang dapat berguna bagi Negara, terkait peran pemuda sebagai tulang punggung pembangunan.

Tahukah Pemuda Indonesia ?

Bonus demografi yang memprediksikan bahwa pemuda usia produktif akan lebih mendominasi jumlah penduduk Indonesia secara keseluruhan dapat dimaknai dengan kemungkinan Indonesia akan jauh lebih berdaya dengan sumber daya untuk membangun. Terbayang, kelompok pemuda ini akan mengisi lebih banyak lapangan pekerjaan. Prediksi bonus demografi ini sebenarnya memperlihatkan kontra karena para pemuda baru memasuki masa pemulihan setelah dua tahun bergelut dengan pandemi Covid-19. Secara global, pemuda memasuki masa di mana memperlihatkan resiliensi karena banyaknya tantangan selama pandemi berlangsung. Banyak pemuda, terutama dari kelompok rentan, beresiko terpapar tidak hanya Covid-19 itu sendiri, namun diiringi hal-hal negatif lainnya, seperti kerentanan dipecat dari dunia kerja, tidak dapat melanjutkan pendidikan, terganggunya kesehatan mental (OECD, 2020). Selanjutnya, riset dari International Labour Organization (ILO) yang menyasar pada kelompok muda di Indonesia pada tahun 2021 memperlihatkan kerentanan mereka dalam mendapatkan pekerjaan atau dipecat dari pekerjaan karena ketidaksiapan dalam pekerjaan berbasis digital, ditambah penundaan akses terhadap dunia pendidikan.

Jika kita ingin mengaitkan dengan peristiwa Sumpah Pemuda tahun 1928, di mana pada Kongres Pemuda, para pesertanya mendiskusikan semangat persatuan dan pemuda, pendidikan yang demokratis sehingga menghadirkan pemuda yang paham pentingnya menjaga persatuan untuk Indonesia merdeka dan pembangunan selanjutnya, maka mereka juga  menghadapi kondisi naiknya perilaku radikalisme karena selama masa pandemi kelompok terorisme banyak merekrut kelompok muda secara daring (Amar). Kondisi ini juga memperlihatkan kerentanan mereka dalam bersikap untuk mempertahankan ideologi persatuan di Indonesia dan bagaimana mereka terpapar ideologi yang dapat merusak persatuan tersebut. Di samping itu, Indonesia juga mengalami narasi intoleransi yang signifikan selama masa pandemi. Terdapat beberapa kasus intoleransi sejumlah 422 tindakan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) yang terjadi di 29 provinsi. Hal ini merupakan dampak dari polarisasi dalam masyarakat, politisasi COVID-19, pelipatgandaan marjinalisasi kelompok yang terdiskriminasi terutama perempuan, dan pembatasan/pembatalan kegiatan keagamaan (SETARA, 2020)

Menjadi suatu pertanyaan juga bagaimana pemuda Indonesia melihat hal-hal di atas?

Kepedulian Pemuda Indonesia

Tidak dapat disangkal bahwa ketika pemuda Indonesia akan menjadi bagian bonus demografi dalam kunci populasi Indonesia, mereka tidak hanya ditantang untuk berdaya guna dalam unsur pembangunan, tetapi juga bagaimana mereka peduli dengan isu-isu sosial di hadapan mereka. Tidak hanya isu sosial terkait marjinalisasi secara ekonomi, namun juga terkait dengan kondisi hubungan lintas agama yang berpotensi dapat mengurangi harmoni persatuan Indonesia, yang seharusnya dapat ditingkatkan dengan keterlibatan aktif para pemuda Indonesia.

Pandemi Covid-19 merupakan gerbang yang menunda serta merusak banyak aspek kehidupan, termasuk bagi kelompok muda yang terhambat dalam masalah pendidikan, ketenagakerjaan, serta hubungan sosial yang nantinya keseluruhan terkait dengan kesehatan mental mereka. Transformasi beberapa aspek tersebut berubah menjadi bentuk digitalisasi dan hal tersebut memerlukan banyak bentuk penyesuaian agar mereka dapat bertahan di dalamnya. Untuk mengantisipasi kerentanan tersebut, sebagai salah satu contohnya adalah inisiasi Ruang Ramah Remaja yang terbentuk atas dukungan UNFPA untuk memberdayakan kelompok muda keterlibatan dan pemberdayaan dalam merespon pembangunan jangka panjang serta membentuk resiliensi pada masa tanggap darurat. Selain itu, transformasi digital memunculkan potensi e-commerce yang terus meningkat pelakunya di Indonesia, dan pelakunya didominasi kelompok muda.

Kepedulian kelompok muda dalam merespon isu intoleransi demi menjaga hubungan lintas agama dan harmoni di Indonesia lebih baik banyak muncul, bahkan selama masa pandemi hingga sekarang. Banyak ruang-ruang aman untuk menyuarakan kegelisahan serta melakukan proses advokasi kepada sesama kelompok muda terkait hal ini. Beberapa komunitas, seperti Sobat KBB (Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan), Jaringan kerja Antar Umat Beragama (JAKATARUB), serta Sekolah Damai Indonesia (SEKODI) membuktikan bahwa kerja-kerja advokasi terkait toleransi antar agama dan membentuk wadah kerja sama teman-teman muda untuk mempertahankan harmoni lintas iman terus ada melalui pertemuan-pertemuan secara digital dan berlangsung hingga sekarang.

Sumpah Pemuda adalah nafas pemuda Indonesia untuk terus menginspirasi pemuda dalam persatuan, terutama dalam kondisi yang rentan mengalami perubahan pada masa sekarang. Unsur-unsur pemersatu, seperti Bahasa Indonesia, konsep tanah air satu, serta nilai kebangsaan Indonesia, merupakan perekat bagi keberlangsungan bangsa yang seharusnya terus dihidupkan oleh kelompok muda. Dalam kehidupan ekonomi, pendidikan, serta hubungan lintas agama yang terus bertransformasi saat sekarang, tantangan untuk tetap “mempertahankan” identitas kebangsaan semakin terus muncul. Hal-hal seperti ini yang seharusnya tetap ada dalam konteks pemikiran pemuda Indonesia, apalagi dengan usaha mempertahankan resiliensi selepas pandemi, hubungan lintas agama yang masih mengalami ancaman disharmoni dalam kenyataannya. Seperti disebutkan dalam bagian sebelumnya ketika Kongres Pemuda menyebutkan pentingnya nasionalisme dan demokrasi serta pendidikan secara demokratis, maka pendidikan dalam lingkungan keluarga dan pendidikan sipil formal sekolah merupakan salah kunci penting bagi pemuda Indonesia saat ini. Kalau bukan mereka yang bergerak untuk melakukan dan mempertahankannya, bukan mungkin Sumpah Pemuda hanya akan tinggal simbol yang hanya dirayakan melalui twibbon bingkai foto, seremoni belaka karena wajib tanpa mengetahui makna dalamnya.

 

 

 



 

Our Activities are Sparkling in 2022. Let's Find Them Out!

 


From June to November 2022, our journey is still continuing. 


We do have some limitations in conducting our events, but it does not mean we stop them. 


Collaboration means a lot to us. Intiative of Change Indonesia invited us to work together for some programs 

From religions, gender and sexuality...Later on about politics and democracy and other minorities





Thank you, all the facilitators and our new members to come to learn and process together







Pemberdayaan Transpuan di Bandung, Memungkinkan?



Tulisan disajikan oleh : Anindya Rizka Ayunda, anggota SEKODI Bandung Batch IV, Guru TK Angkasa l, Yayasan Ardhya Garini. 

Perkenalan Singkat 

Pada hari Sabtu, 5 November 2022, kami, mewakili Sekolah Damai Indonesia (SEKODI) Bandung melakukan kunjungan ke Markas Srikandi Pasundan. Srikandi Pasundan itu merupakan suatu komunitas yang terdiri dari perkumpulan wanita pria (waria). Komunitas ini pada mulanya hanya perkumpulan biasa hingga menjelma menjadi yayasan dengan legalitas yang jelas pada tahun 2004.

Adapun ketuanya saat ini adalah Kak Luvhi, dan kami juga berjumpa dengan beberapa anggotanya yaitu Kak Farah, Kak Tata, Kak Ressa dan Kak Azka. Adapun yang dinamakan Dara Pasundan adalah anggotanya yang berisi para remaja. Beberapa anggota srikandi pasundan ini ada juga yang merangkap sebagai satgas lapangan agar bisa menjangkau teman-teman sebaya untuk periksa/tes hiv.

      

Komunitas Srikandi Pasundan melakukan banyak kegiatan, seperti penyuluhan kesehatan, pendataan anggota disertai juga koordinasi dengan pemerintah setempat. Ada banyak cerita menarik mengenai suka-dukanya yaitu, mulai dari datangnya bantuan berupa modal dari dinas pemerintah tertentu. Namun modal yang diberikan tak sesuai dengan yang diajukan. Lalu, dinas tersebut pernah memberikan bantuan dana untuk keperluan membuka usaha salon, padahal tidak semua anggota Srikandi ingin membuka usaha salon. Banyak dari mereka yang ingin berdagang, atau wirausaha lainnya. Masalah juga muncul di kala apa yang diajukan tidak sesuai dengan apa yang diberikan. Seperti di saat mengajukan sisir tulang yang bahannya lebih bagus, kuat dan nyaman dipakai malah dikirim sisir murah yang tentu kualitasnya lebih rendah. Disaat mengajukan shampoo yang sudah disebutkan merknya malah diberi shampoo lain yang lebih murah dan kualitasnya tidak akan sama dengan merk shampoo yang sudah diajukan. Alhasil ini membuat para anggota jadi sungkan untuk menerima bantuan dana dari dinas yang bersangkutan.  Hingga mereka akhirnya memutuskan untuk membuka usaha sendiri.

 

Masalah Datang, Namun Pemberdayaan pun Dilakukan


                                       

                                        (foto oleh Diksi Paisal)

Pada awal mula pandemi Covid, keadaan menjadi cukup darurat dan segala sesuatunya menjadi terbatas. Kak Luvhi sebagai Ketua Srikandi Pasundan berinisiatif untuk membuat program Dapur Umum. Program ini sangat membantu banyak masyarakat yang kekurangan bahan pangan. Dalam sehari bisa memproduksi sekitar 50 porsi makanan untuk dibagikan pada siapa pun yang membutuhkan.

  

Akhir-akhir ini KBBI telah menerbitkan definisi tentang Transpuan dan Transpria. Namun Ketua Srikandi Pasundan dan beberapa anggotanya menyatakan kekurang setujuan terhadap definisi baru yang ada. Mereka merasa lebih nyaman dengan sebutannya yang dulu yaitu waria (wanita-pria) karena lebih familiar ditelinga masyarakat ketimbang transpuan. Selain itu, dikhawatirkan malah akan menimbulkan miskonsepsi dan opini-opini baru di masyarakat.

 

Para anggota Srikandi Pasundan juga mengakui bahwa mereka sangat tidak nyaman jika ada panggilan-panggilan tertentu yang ditujukan pada mereka seperti "bencong", "banci" karena dianggap panggilan yang mengejek. Sebenarnya mereka telah menerima diri mereka sendiri sebagai waria (wanita-pria) mereka bangga dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Memanglah tak mudah menjadi mereka, karena seringkali mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan dan prasangka-prasangka yang tidak baik. 

 

Namun untuk di kehidupan saat ini mereka merasa lebih nyaman. Karena perlakuan aparat dan masyarakat pada mereka sudah lebih baik. Mereka sudah diperlakukan layaknya laki-laki atau perempuan pada umumnya. Layaknya warga negara Indonesia yang memiliki hak dan kewajiban. Di fasilitas umum seperti balai kesehatan juga mereka sudah diperlakukan baik seperti layaknya pasien pada umumnya.

Dalam bidang pendidikan, kebanyakan dari mereka tidak melanjutkan pendidikan ke tahap perguruan tinggi. Ada beberapa alasan pribadi maupun secara sosial. Mereka berharap semoga kedepannya akan ada tirik cerah untuk mereka tetap bisa belajar dan merasa nyaman di bidang pendidikan.

Para anggota Srikandi Pasundan juga selalu menjaga komunikasi dengan para anggota Srikandi lainnya yang berada diluar daerah bandung. Seperti di Indramayu, Cirebon, Makassar, Palembang. Sang Ketua yaitu Kak Luvhi tak pernah bosan untuk memantau kegiatan mereka secara langsung maupun online (untuk yang berbeda daerah). Mereka selalu dianjurkan untuk memiliki kebiasaan yang baik seperti bercocok tanam dimulai dari menyirami tanaman di setiap paginya.

Ada pun hikmah yang dapat diambil dari kunjungan kami ini adalah diharapkan kita semua jangan memberikan prasangka negatif kepada siapa pun, terlebih teman-teman transpuan dan juga kelompok lain yang dianggap marjinal oleh masyarakat dan pemerintah, Karena kita semua sama, yaitu manusia dengan hak hidup sama dan dilindungi oleh Negara.