Tantangan Moderasi Beragama
oleh : Fanny Syariful Alam, Koordinator Regional Bandung School of Peace Indonesia, Fellows of IVLP the US. Dept of State 2020, Australia Awards for Indonesia STA 2020
Beberapa hari lalu tersiar kabar mengenai seorang pria yang menendang sesajen di kawasan Desa Supiturang, Kecamatan Pronojiwo, Lumajang. Lokasi yang dimaksud adalah lokasi terdampak erupsi Gunung Semeru. Sontak hal tersebut memancing reaksi negatif dari warga net karena hal tersebut memperlihatkan suatu bentuk hilangnya rasa hormat terhadap penganut kepercayaan serta memicu sentimen intoleransi.
Sementara, di Twitter, akun @Fahmiherbal sempat viral dengan muncul cuitan yang menggambarkan ucapan kebencian yang mengarah kepada kelompok etnis tertentu serta bertendensi mendiskreditkan kepercayaan yang dianut kelompok masyarakat lainnya. Akun ini sudah ditutup oleh pemiliknya.
Sementara itu, kasus pengadilan untuk perusakan Masjid Miftahul Huda milik komunitas muslim Ahmadiyah di Sintang, Kalimantan Barat ditenggarai mengalami penyimpangan. Tim Advokasi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan melalui juru bicaranya, Fitria Sumarni melihat majelis hakim justru tidak mendalami tindak pidana perusakan dan penghasutan kekerasan, melainkan berfokus mempertanyakan identitas agama dan keyakinan para korban (Tirto, 2021).
Sebagai tambahan, kasus pembangunan Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin di Bogor masih terkatung-katung walau pun sudah mengantongi ijin pembangunan serta rekomendasi Mahkamah Agung (MA) untuk berjalannya pembangunan gereja di lahan sendiri tersebut sejak tahun 2011. Dan kejadian pembongkaran terjadi kembali ketika jemaat mengajukan pengaduan terhadap proses relokasi dan hibah tanah yang dilakukan oleh Pemerintah kota Bogor (Kabar Sejuk, 2021)
2022 sudah sama sama dilewati beberapa minggu, namun kasus-kasus terkait dengan relasi antar agama semakin hari semakin meruncing seakan-akan tidak ada solusi terintegrasi yang dilakukan atau bahkan terpikirkan oleh pemerintah daerah dari level atas hingga level masyarakat.
Sementara itu, teringat bagaimana Pemerintah, melalui Kementerian Agama Republik Indonesia, telah memiliki program Moderasi Beragama. Ini menggarisbawahi cara pandang, sikap, dan praktik beragama dalam kehidupan bersama, dengan cara mengejawantahkan esensi ajaran agama yang melindungi martabat kemanusiaan dan membangun kemaslahatan umum, berlandaskan prinsip adil, berimbang, dan menaati konstitusi sebagai kesepakatan berbangsa (Kemenag, 2021). Bagaimanakah hal ini berjalan ketika masih banyak tindak intoleransi dalam lapisan masyarakat masih terjadi begitu saja?
Tantangan Moderasi Beragama
Toleransi menjadi dasar harmoni hubungan masyarakat dengan perbedaan agama, etnis, suku, warna kulit, serta menjadi fitrah yang berdasar dari firman Allah dalam QS. Al-Hujurat ayat 13 yang menggambarkan bagaimana manusia diciptakan dari seorang laki-laki dan perempuan, berbangsa-bangsa supaya saling mengenal (Mukzizatin, Siti, 2019).
Sementara itu, dalam iman Kristen pun dijabarkan bagaiman kerukunan hidup masyarakat antar agama dan perbedaan dijalankan dengan dasar kasih, yang nantinya akan menumbuhkan kesejahteraan dan berdoa. Hal ini merupakan tindakan aktif dalam membangun kebersamaan serta mengupayakan kerukunan (Yeremia 29:7; Galatia 6:10, Arifianto, Alex, 2021).
Dalam suatu negara, kehidupan suatu komunitas masyarakat harus mendapatkan jaminan hidup tanpa diabaikan nilai kemanusiaannya. Ini merujuk kepada bagaimana pemerintahan suatu negara juga berperan dalam membangun toleransi antar masyarakat berbeda agama, tercermin dalam undang-undang yang melindungi warga negaranya tanpa terkecuali.
Program Moderasi Beragama diluncurkan oleh Menteri Agama sebelumnya H. Lukman Hakim Saifuddin dan dilanjutkan Menteri berikutnya. Tujuannya adalah menjadikan proses pendalaman nilai agama dan kebangsaan menjadi bentuk kebiasaan dan perilaku bagi bangsa Indonesia.
Merujuk peristiwa-peristiwa di atas mengenai sesajen yang ditendang lalu ucapan kebencian di Twitter, serta pembongkaran gedung gereja Yasmin menandakan bagaimana masyarakat dan aparat pemerintah belum memiliki perspektif moderasi beragama yang justru bertendensi memaksakan cara pandang beragama yang paling benar serta memaksakan pahamnya dengan cara kekerasan dan kebencian. Hal ini juga mengarah kepada cara memahami agama dan kepercayaan yang berlebihan sehingga melupakan hak beragama dan kepercayaan masyarakat lainnya dan nilai hak asasi manusia secara umumnya.
Belum Terlambat untuk Perbaikan
Sebelum adanya program moderasi beragama, Konstitusi UUD 1945 sejak lama telah menjamin hak beragama serta pelaksanaannya. Pasal 29 UUD 1945 ayat 2 menyatakan Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. Hak ini diperjelas ulang dalam ratifikasi Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR) ke dalam UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan ICCPR yang mengakui hak sipil dan politik setiap orang, termasuk di dalamnya hak kebebasan beragama.
Ketika langkah moderasi beragama akhirnya dilakukan Kementerian Agama, hal ini menandakan upaya serius Negara untuk hadir dalam kasus-kasus bermuatan nilai-nilai agama yang berpotensi memecah belah harmoni keberagaman beragama dan kepercayaan di Indonesia.
Langkah yang dapat dilakukan unsur aparat pemerintah adalah menjadikan program moderasi beragama ini untuk disosialisasikan ke seluruh jenjang pemerintahan dan memperkuat kurikulum pendidikan di lembaga pendidikan, baik formal dan non formal keagamaan. Program ini tidak seharusnya berhenti di level pemerintahan, namun harus turun ke seluruh lapisan masyarakat tanpa terkecuali. Belum terlambat untuk kembali melakukan program ini sesuai dengan kebutuhan dan melihat sisi-sisi kemanusiaan dalam masyarakat secara umumnya.