Bias KDRT dalam Media
Fanny S. Alam, Regional Coordinator of Bandung School of Peace
Indonesia, Fellows of Australia Awards STA 2021 and IVLP Dept. of State USA
2020, and Nuffic OKP Netherlands 2022
Apa yang Terjadi?
Beberapa hari ini masyarakat dan jurnalis
warga tampak disibukkan dengan berita Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang
dialami oleh selebriti Lesti Kejora yang dilakukan oleh suaminya, Rizki Billar.
Dalam pengakuannya. Lesti menyatakan bahwa dirinya mengalami kekerasan, seperti
dibanting dan mengalami kondisi fisik yang tidak normal setelahnya. Sontak,
masyarakat serta jurnalis warga memberikan simpati terhadap Lesti serta hujatan
terhadap Rizki. Setelah Lesti melakukan pelaporan resmi ke Kepolisian,
tiba-tiba saja ia mencabut laporan resmi tersebut dan seluruh upaya berakhir
dengan damai. Hal ini pun menimbulkan kekecewaan terhadap masyarakat dan
jurnalis warga yang sudah mendukung Lesti dan keputusan awalnya.
Di satu sisi lain, masyarakat dan
jurnalis warga pun dikejutkan dengan berita kejahilan dalam konten video
Youtube yang dilakukan selebriti Baim Wong dan istrinya, Paula Verhoven, ketika
Paula disorot sedang melaporkan kasus KDRT yang dialaminya. Setelah beberapa
saat, Baim datang dengan tertawa lalu menginformasikan kepada polisi yang
sedang menangani laporan istrinya bahwa ia sedang melakukan kejahilan dan
disorot dalam konten videonya. Puncaknya adalah keduanya harus menjalani proses
hukum karena dianggap melakukan pelaporan palsu.
Bingkai Nyata KDRT
Rilis Catatan Tahunan (CATAHU)
tahun 2022 Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (KOMNAS Perempuan)
menyatakan terjadi lonjakan signifikan jumlah kekerasan berbasis gender (KBG)
sebesar 50% terhadap perempuan, sementara itu data pengaduan ke dalam pusat
data KOMNAS sendiri meningkat hingga 80% selama tahun 2021. Terkait dengan
KDRT, kasus yang masuk ditangani oleh Badan Peradilan Agama (BADILAG) juga
meningkat tajam sekitar 52%.
Fenomena KDRT merupakan hal nyata
yang dapat terjadi pada siapa pun, masyarakat hingga selebriti atau tokoh
publik mana pun. Fenomena ini seperti gunung es yang terus membesar karena
banyak yang masih menganggap KDRT sebagai hal yang tidak perlu dilaporkan
sebagai hal kriminal, hal yang harus ditutupi karena dianggap aib keluarga.
KOMNAS Perempuan dalam Instrumen Monitoring dan Evaluasi UU No. 23 Tahun 2004
tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga melansir korban KDRT menemukan
banyak masalah untuk mendapatkan keadilan ketika melaporkan kasusnya, seperti
sulit untuk melaporkan kasusnya ataupun tidak mendapat tanggapan positif dari
aparat penegak hukum, dan ketentuan hukum acara pidana atau perundang-undangan
lainnya sejauh ini terbukti tidak mampu memberikan perlindungan bagi korban
kekerasan dalam rumah tangga. Sebagai tambahannya, tidak mudah juga bagi korban
KDRT melakukan pelaporan secara terbuka karena banyak yang menganggap urusan
rumah tangga sebagai urusan privat, adanya ketergantungan ekonomi terhadap
pelaku (suami). Kondisi sosial dalam masyarakat yang menganggap kekerasan
terhadap perempuan dalam hal ini istri merupakan hal yang dianggap wajar
sebagai bentuk mendidik juga membuat korban KDRT bisa berpikir ulang untuk
melaporkan kasusnya karena alih-alih akan menjadi pihak yang dipersalahkan
(Sukerti, 2005)
Sementara itu, semakin mengherankan
ketika beberapa media di Indonesia justru tampak tidak mengedepankan hal-hal di
atas dan lebih berusaha menarik kegaduhan dan opini publik masyarakat dan
jurnalis warga. Sehingga, masyarakat justru malah tidak mendapatkan esensi apa
itu KDRT serta bagaimana caranya bersikap secara bijaksana menghadapinya.
Bagaimana Media Seharusnya Bersikap
Media memiliki peran penting
untuk sebaran informasi serta membantu masyrakat serta jurnalis warga
mengetahui informasi terkini apa saja yang relevan untuk mereka. Media berperan
sebagai penguat atau pelemah konstruksi masyarakat, salah satunya karena
berfungsi sebagai alat pembentuk prasangka (Sivani). Di sinilah terjadi proses
pemisahan masyarakat dan juga terjadi pada jurnalis warga dengan pendapatnya
untuk saling menguatkan atau melemahkan. Ini yang terjadi pada pemberitaan
kasus KDRT yang dialami oleh Lesti Kejora dan akhir berita tersebut yang justru
membuat gaduh masyarakat dan jurnalis warga, dan secara tidak langsung
menghilangkan esensi dari pentingnya mencegah KDRT dan mengurangi fungsi sosial
untuk advokasi dan edukasi terhadap mereka. Terlebih lagi, ketika ada konten
YouTube Baim Wong dan Paula Verhoven yang melakukan kejahilan dengan
berpura-pura melaporkan KDRT, serta ada dalih dari Baim yang menyatakan bahwa
konten tersebut merupakan edukasi bagi masyarakat (CNN). Dalam kasus ini,
nyaris masyarakat dan jurnalis warga bersepakat bahwa konten tersebut merupakan
bentuk tidak adanya empati terhadap korban KDRT.
Terkait KDRT, media berperan
signifikan untuk memberikan informasi yang tepat dan tidak bias kepada
masyarakat sebagai bagian dari strategi edukasi yang akan memberdayakan
masyarakat untuk bersikap dan bertindak bijaksana ketika melihat kasus KDRT di
lingkungan mereka sendiri dan di luar lingkarannya. Media dapat berstrategi
melibatkan kampanye advokasi terkait KDRT yang akan memajukan inisiatif
kebijakan dan pendidikan, sekaligus mengangkat kekuatan media sendiri di mata
publik (Selvik). Para jurnalis seharusnya dibekali perspektif jender kuat
sehingga dapat memosisikan diri untuk menghasilkan informasi objektif dan
memberdayakan masyarakat mengenai KDRT. Sehingga, masyarakat dan juga jurnalis
warga dapat menjadi lebih kritis dalam berpikir jernih ketika menerima
informasi terkait KDRT melalui konsumsi media publik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.