Senin, 07 November 2022

Bias KDRT dalam Media


Foto diambil dari free resource. Tulisan dimuat di Harian Rakyat Merdeka On-line Edisi 26 Oktober 2022

Bias KDRT dalam Media

Fanny S. Alam, Regional Coordinator of Bandung School of Peace Indonesia, Fellows of Australia Awards STA 2021 and IVLP Dept. of State USA 2020, and Nuffic OKP Netherlands 2022

Apa yang Terjadi?

Beberapa hari ini masyarakat dan jurnalis warga tampak disibukkan dengan berita Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang dialami oleh selebriti Lesti Kejora yang dilakukan oleh suaminya, Rizki Billar. Dalam pengakuannya. Lesti menyatakan bahwa dirinya mengalami kekerasan, seperti dibanting dan mengalami kondisi fisik yang tidak normal setelahnya. Sontak, masyarakat serta jurnalis warga memberikan simpati terhadap Lesti serta hujatan terhadap Rizki. Setelah Lesti melakukan pelaporan resmi ke Kepolisian, tiba-tiba saja ia mencabut laporan resmi tersebut dan seluruh upaya berakhir dengan damai. Hal ini pun menimbulkan kekecewaan terhadap masyarakat dan jurnalis warga yang sudah mendukung Lesti dan keputusan awalnya.

Di satu sisi lain, masyarakat dan jurnalis warga pun dikejutkan dengan berita kejahilan dalam konten video Youtube yang dilakukan selebriti Baim Wong dan istrinya, Paula Verhoven, ketika Paula disorot sedang melaporkan kasus KDRT yang dialaminya. Setelah beberapa saat, Baim datang dengan tertawa lalu menginformasikan kepada polisi yang sedang menangani laporan istrinya bahwa ia sedang melakukan kejahilan dan disorot dalam konten videonya. Puncaknya adalah keduanya harus menjalani proses hukum karena dianggap melakukan pelaporan palsu.

Bingkai Nyata KDRT

Rilis Catatan Tahunan (CATAHU) tahun 2022 Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (KOMNAS Perempuan) menyatakan terjadi lonjakan signifikan jumlah kekerasan berbasis gender (KBG) sebesar 50% terhadap perempuan, sementara itu data pengaduan ke dalam pusat data KOMNAS sendiri meningkat hingga 80% selama tahun 2021. Terkait dengan KDRT, kasus yang masuk ditangani oleh Badan Peradilan Agama (BADILAG) juga meningkat tajam sekitar 52%.

Fenomena KDRT merupakan hal nyata yang dapat terjadi pada siapa pun, masyarakat hingga selebriti atau tokoh publik mana pun. Fenomena ini seperti gunung es yang terus membesar karena banyak yang masih menganggap KDRT sebagai hal yang tidak perlu dilaporkan sebagai hal kriminal, hal yang harus ditutupi karena dianggap aib keluarga. KOMNAS Perempuan dalam Instrumen Monitoring dan Evaluasi UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga melansir korban KDRT menemukan banyak masalah untuk mendapatkan keadilan ketika melaporkan kasusnya, seperti sulit untuk melaporkan kasusnya ataupun tidak mendapat tanggapan positif dari aparat penegak hukum, dan ketentuan hukum acara pidana atau perundang-undangan lainnya sejauh ini terbukti tidak mampu memberikan perlindungan bagi korban kekerasan dalam rumah tangga. Sebagai tambahannya, tidak mudah juga bagi korban KDRT melakukan pelaporan secara terbuka karena banyak yang menganggap urusan rumah tangga sebagai urusan privat, adanya ketergantungan ekonomi terhadap pelaku (suami). Kondisi sosial dalam masyarakat yang menganggap kekerasan terhadap perempuan dalam hal ini istri merupakan hal yang dianggap wajar sebagai bentuk mendidik juga membuat korban KDRT bisa berpikir ulang untuk melaporkan kasusnya karena alih-alih akan menjadi pihak yang dipersalahkan (Sukerti, 2005)

 

Sementara itu, semakin mengherankan ketika beberapa media di Indonesia justru tampak tidak mengedepankan hal-hal di atas dan lebih berusaha menarik kegaduhan dan opini publik masyarakat dan jurnalis warga. Sehingga, masyarakat justru malah tidak mendapatkan esensi apa itu KDRT serta bagaimana caranya bersikap secara bijaksana menghadapinya.

Bagaimana Media Seharusnya Bersikap

Media memiliki peran penting untuk sebaran informasi serta membantu masyrakat serta jurnalis warga mengetahui informasi terkini apa saja yang relevan untuk mereka. Media berperan sebagai penguat atau pelemah konstruksi masyarakat, salah satunya karena berfungsi sebagai alat pembentuk prasangka (Sivani). Di sinilah terjadi proses pemisahan masyarakat dan juga terjadi pada jurnalis warga dengan pendapatnya untuk saling menguatkan atau melemahkan. Ini yang terjadi pada pemberitaan kasus KDRT yang dialami oleh Lesti Kejora dan akhir berita tersebut yang justru membuat gaduh masyarakat dan jurnalis warga, dan secara tidak langsung menghilangkan esensi dari pentingnya mencegah KDRT dan mengurangi fungsi sosial untuk advokasi dan edukasi terhadap mereka. Terlebih lagi, ketika ada konten YouTube Baim Wong dan Paula Verhoven yang melakukan kejahilan dengan berpura-pura melaporkan KDRT, serta ada dalih dari Baim yang menyatakan bahwa konten tersebut merupakan edukasi bagi masyarakat (CNN). Dalam kasus ini, nyaris masyarakat dan jurnalis warga bersepakat bahwa konten tersebut merupakan bentuk tidak adanya empati terhadap korban KDRT.

Terkait KDRT, media berperan signifikan untuk memberikan informasi yang tepat dan tidak bias kepada masyarakat sebagai bagian dari strategi edukasi yang akan memberdayakan masyarakat untuk bersikap dan bertindak bijaksana ketika melihat kasus KDRT di lingkungan mereka sendiri dan di luar lingkarannya. Media dapat berstrategi melibatkan kampanye advokasi terkait KDRT yang akan memajukan inisiatif kebijakan dan pendidikan, sekaligus mengangkat kekuatan media sendiri di mata publik (Selvik). Para jurnalis seharusnya dibekali perspektif jender kuat sehingga dapat memosisikan diri untuk menghasilkan informasi objektif dan memberdayakan masyarakat mengenai KDRT. Sehingga, masyarakat dan juga jurnalis warga dapat menjadi lebih kritis dalam berpikir jernih ketika menerima informasi terkait KDRT melalui konsumsi media publik.

 

 

 

 

 


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.