https://youtu.be/S3i2DpTdy2U
Tampilkan postingan dengan label peace. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label peace. Tampilkan semua postingan
Selasa, 27 Oktober 2020
Envisioning Peace
Rhaka Katresna menceritakan partisipasi dirinya di Sekolah Damai Indonesia dalam kampanye yang diadakan oleh Envisioning Peace.
Selasa, 11 Februari 2020
Perbedaan Bukan Berarti Perpecahan
Perbedaan adalah salah satu anugerah yang diberikan oleh Tuhan, yang memang itu semestinya kita terima dengan kelapangan hati dan keterbukaan tangan, jangan sampai dengan adanya perbedaan di antara kita menjadikan permusuhan dan perpecahan dalam persatuan dan kerukunan bermasyarakat, karena suatu bangsa yang maju adalah yang mau saling menerima satu sama lain.
Di dalam Abrahamic Religion khususnya Islam, memandang perbedaan sebagai suatu hak dan kemestian di dalam cara berpola pikir yang berbeda, dan memang ini wajar terjadi di antara manusia, karena salah satu hak yang diberikan oleh Tuhan kepada Manusia adalah berpikir dan berpendapat juga bertindak, sejauh tidak melenceng dari aturan masyarakat umum dan norma moral dan agama.
Pada awal penciptaan Tuhan sudah menciptakan secara berbeda dari beragam makhluk ciptaan-Nya, contohnya manusia pertama, Tuhan ciptakan berbeda antara laki-laki dan perempuan, tapi pada hakikatnya derajat mereka sama di mata Tuhan. Begitu juga dengan kita, yang berbeda paham, agama, golongan, suku, ras, dan bangsa, pada hakikatnya semuanya sama di mata Tuhan.
Lalu mengapa orang luaran sana tidak mau menerima perbedaan, sehingga menjadi fanatik dan menolak akan yang namanya perbedaan?
-pertama: mereka tidak mau memandang persamaannya di antara manusia
-kedua: salah penafsiran akan Teks Suci
-ketiga: sifat egois yang merasuki diri
Merasa paling benar satu sama lain dan menyalahkan golongan lainnya, mencap kafir, bidah kepada sesama agama maupun yang berbeda agama, dan itu yang harus kita hilangkan di dalam diri dan hati kita. Cobalah berfikir terbuka, dan tanamkan rasa cinta akan sesama, karena kita ini sama pada hakikatnya, hanya pemahaman dan pemikiran yang berbeda.
Damai akan tercipta di kala kita memulai saling menerima satu sama lain, saling memperkuat dan mempererat jalinan silaturahmi antar umat beragama, hidup di dalam kerukunan bermasyarakat, tidak bersikap fanatisme dan tidak merasa paling benar.
(ditulis oleh Ridwan, kawan Sekodi Bandung)
Mengikuti Pelatihan Menciptakan Budaya Damai di Pati, Jawa Tengah
Beberapa waktu lalu, Sekolah Damai Indonesia mendapatkan undangan untuk terlibat dalam International Peace Training. Sekodi mengirimkan dua orang wakilnya, yakni Rhaka dari Sekodi Bandung dan Jati dari Sekodi Jogja. Rhaka membagikan pengalamannya mengikuti kegiatan tersebut dalam tulisan ini.
Jati (Sekodi Jogja) dan Rhaka (Sekodi Bandung) |
11 Januari 2020 - 21 Januari 2020 adalah tanggal
dilaksanakannya International Peace Training yang diadakan di Peace Place Pati,
Kabupaten Pati, Provinsi Jawa Tengah, Indonesia. Saya hadir mewakili Sekolah
Damai Indonesia Bandung. Pelatihan ini diikuti oleh 45 peserta dari 9 negara
termasuk Indonesia, Amerika Serikat, Nepal, Kenya, Inggris, Korea Selatan,
Rusia, Selandia Baru, dan Filipina; dan latar belakang juga komunitas yang
beragam. Usia peserta yang mengikuti pelatihan ini adalah 13 – 80 tahun.
Setibanya di Peace Place Pati, saya bertemu dan berkenalan
dengan orang-orang baru dari berbagai negara dan juga berjumpa dengan kawan
dari Sekodi (Sekolah Damai Indonesia) Yogya, namanya Jati. Saya kemudian
mengambil makan siang dan tak lama setelah itu, saya mendapatkan tempat tidur
dan untuk menyimpan barang-barang ku. Saya menyaksikan bagaimana teman-teman
fasilitator mempersiapkan kegiatan. Lalu saya membantu untuk mengepel lantai di
sana. Malamnya, peserta yang hadir berkumpul di tempat pelatihan dan memperkenalkan
diri. Bagi saya, ini adalah menyenangkan untuk dapat kenal satu sama lain. Kami
pula berbagi tugas sukarela sehingga bisa bekerjasama dengan panitia kegiatan.
Pelatihan yang diberikan adalah mengenai Creating Cultures
of Peace, Menciptakan Budaya Damai. Setiap harinya ada kegiatan pelatihan dan
malamnya ada kegiatan malam budaya. Pelatihan mengenai Transformasi Diri
dilaksanakan pada hari 1 – hari 4 pelatihan, kunjungan komunitas di Tondo Mulyo
pada hari 5, Pelatihan Transformasi diri pada hari 6 – 9, dan topik-topik
khusus pada hari 9 – 11.
Pelatihan transformasi diri dimulai pada hari ini |
Saya mau berbagi hal-hal yang jadi sorotan saya selama
mengikuti Pelatihan Perdamaian Internasional di Pati.
Makanan
Makanan
Makanan yang disediakan di pelatihan ini semuanya adalah
organik. Karena kami peduli soal pembakaran lahan untuk minyak sawit yang
terjadi di Indonesia maka kami memutuskan untuk menggunakan minyak kelapa.
Menu-menu lokal yang disajikan sangat enak dan menggugah.
Bermain
Bermain menjadi hal yang sentral di pelatihan ini. Bermain
membuat pikiran jadi lebih segar dan kreatif. Kami bermain di PAUD Joglo.
Terdapat lima sentra bermain yang ada di sana dengan mainan yang mengasyikkan
bagi saya sendiri.
Transformasi
Pelatihan ini menekankan bahwa untuk mencapai perubahan
sosial maka dimulai dari perubahan diri. Proses ini dilalui secara sistematis dari
diri hingga bisa bicara untuk menyampaikan kebenaran. Bagi saya, ini adalah
personal dan dapat dibagikan pada semua orang.
Di pelatihan transformasi diri, kami dikenalkan pada peta
perdamaian yakni:
1. Persaudaraan & Kesepakatan
2. Memunculkan yang Baik & Kenyamanan
3. Komunikasi & Ingat Kembali
4. Kerjasama & Terhubung Kembali
Di pelatihan transformasi sosial, peta itu bertambah hingga 8 poin, yaitu:
5. Keyakinan & Kesetaraan
6. Kepercayaan & Kesederhanaan
7. Perubahan & Ketajaman
8. Arahan & Penyelesaian Sengketa
Prinsipnya, pembacaan bisa dibalik
dari 8 ke 1. Misalkan arahan tidak tercapai maka lakukan perubahan, jika tidak
ada perubahan maka bangun kepercayaan, dan seterusnya.
Malam Budaya
Di malam budaya kami berbagi pertunjukan dan nyanyian
budaya. Ini semua diawali dari presentasi dari peserta mengenai gerakan dan
komunitas yang mereka kembangkan. Saya mulai memahami bagaimana situasi dan
kondisi di Negara lain. Hal yang bagi saya krusial adalah ketika memahami
situasi pulau Jeju di Korea Selatan. Itu mengubah pandangan saya mengenai Korea
Selatan seutuhnya.
Ketika malam budaya Indonesia, saya melakukan tari Merak
Sunda.
Fasilitator
Fasilitator di sini sangat baik dan menyenangkan. Alur
kegiatan mengalir dengan lancar sehingga seringkali saya merasa hari cepat
berlalu begitu saja. Dedikasi dan komitmen yang sangat baik ditunjukan oleh
mereka. Saya ucapkan terima kasih kepada seluruh fasilitator yang bekerja dengan
sangat baik.
Akhir, Langkah ke Depan
Dengan langkah yang telah dibuat di akhir pelatihan, saya
menemukan pengarahan kembali hidup saya. Secara personal, ini memberikan makna
tujuan hidup. Dan juga beberapa pemuda yang terlibat di pelatihan ini akhirnya
menyadari bahwa penting untuk memulai inisiasi supaya lingkungan sekitar
menjadi tempat yang baik untuk hidup.
Peserta diberikan panduan mengenai langkah-langkah
berikutnya yang dapat dilakukan setelah mengikuti pelatihan. Hal penting yang
saya catat adalah terus berlatih, buat inisiasi, dan kader fasilitator untuk
CCP.
Setelah disampaikan langkah-langkahnya, perumusan langkah
berikutnya ini dilanjutkan setelah penutupan pelatihan transformasi sosial.
Tim Indonesia
Kami merencanakan untuk membuat jejaring untuk berlatih CCP
di Indonesia yang kini ada di Pati, Solo, Yogyakarta, dan Bandung. Berlatih
dengan mengundang orang yang berpengalaman dalam CCP untuk bantu buatkan
pelatihan bersama.
Proyek Saya
Saya merencanakan untuk melakukan kolaborasi lintas komunitas
untuk menerapkan CCP menjadi bentuk karya seni pertunjukan tari yang dapat
menjadi media pembangunan perdamaian di masyarakat. Oleh karena itu, saya
sampaikan kepada Ibu Nadine ketertarikan saya untuk mengembangkan karya seni
yang demikian. Permintaan saya disetujui. Melalui Sekolah Damai Indonesia saya
membentuk kolaborasi tersebut.
Sekian kisah saya ketika mengikuti Pelatihan
Perdamaian Internasional yang diadakan di Pati pada 10 Januari 2020 – 22
Januari 2020.
Selasa, 07 Januari 2020
Mari Bicara Kesehatan Mental
Gangguan Jiwa. Kalau muncul dua kata itu, hal pertama yang terlintas di pikiran kebanyakan orang adalah seseorang pakai baju compang-camping, rambut gimbal berantakan, dan tertawa tanpa sebab. Kemudian, bayangan berikutnya adalah seseorang berseragam dan ditempatkan di ruang isolasi karena mengamuk tak karuan. Dua gambaran tersebut memang tidak salah, tapi kurang lengkap. Komunitas Sekolah Damai Indonesia berkesempatan melakukan diskusi santai bersama Ayu Regina Yolandasari, alumni Psikologi UI dan Women’s Studies dari Ewha Womans University, serta penyintas gangguan jiwa.
Gangguan jiwa menurut Ayu banyak
macamnya, mulai dari gangguan yang gejalanya mudah disadari hingga sulit
disadari penderita. Kedua bayangan orang di atas bisa jadi hanya salah satu
jenis gangguan jiwa bernama Skizofrenia. Skizofrenia pun memiliki tingkat
keparahan yang berbeda-beda. Penderita skizofrenia ada yang perlu dirawat di
rumah sakit secara intensif. Namun, banyak pula penderita yang masih dapat menjalankan
fungsi kesehariannya walaupun pada lingkup yang terbatas. Jenis gangguan jiwa
lainnya tercantum dalam daftar panjang DSM-V, sebuah buku panduan bagi para
psikolog dan psikiater di seluruh dunia. Stigma masyarakat tentang gambaran
kesehatan mental yang kurang lengkap menjadi tembok besar penanganan penderita
untuk mengakses dan memperoleh perawatan yang tepat.
Ayu menceritakan pengalamannya
memperoleh diagnosis gangguan jiwa ketika berada di Amerika Serikat. Ayu sempat
melakukan upaya bunuh diri lebih dari sekali. Atas dorongan teman, Ayu kemudian
dapat mengakses bantuan profesional di salah satu rumah sakit. Dia pun
didiagnosis dengan dua jenis gangguan depresi, Major Depression dan PMDD (Pre-menstrual
Dysphoric Disorder). Jenis gangguan depresi kedua mungkin belum banyak
diketahui oleh tenaga profesional di Indonesia. PMDD adalah salah satu jenis
gangguan depresi yang terkait dengan hormon perempuan. Bagi yang memiliki
gangguan ini, PMDD dialami saat memasuki masa menstruasi dengan gejala terutama
psikologis yang lebih parah dibandingkan PMS biasa. Proses pemulihan dengan
konseling dan terapi rutin hingga saat ini masih dijalani Ayu. Adapun
penggunaan obat juga sempat dilakukan dalam supervisi psikiater hingga
dinyatakan boleh terputus. Dari tampilan atau perilaku secara sekilas, hal-hal
yang umum dipahami oleh masyarakat tentang gangguan jiwa tidak berlaku padanya.
Gejala-gejala yang dianggap remeh
bisa menjadi indikasi awal kehadiran gangguan jiwa, misalnya cemas berlebihan,
kekurangan atau kelebihan tidur ekstrem, tidak bisa fokus, atau kehilangan
nafsu makan. Ayu memperkenalkan suatu metode evaluasi sebagai langkah mengenali
kondisi diri bernama “Check In” yang ia peroleh saat menjalani proses pemulihan
di Amerika Serikat. Metode ini secara sederhana adalah dialog kepada diri
sendiri dengan mempertanyakan beberapa hal berikut dan mencatat atau merekamnya
di jurnal harian.
- Mood. Dari skala 1-10, bagaimana mood kamu hari ini? 1 berarti
sangat buruk sedangkan 10 berarti sangat baik
- Feeling. Apa perasaan yang kamu
rasakan saat ini? Berapa persen intensitasnya? Perasaan yang dirasakan
tidak harus sejalan dan presentasenya pun tidak perlu akumulasi nilai 100.
Misalnya, kamu bisa mengatakan kecewa 70% dan senang 80%
- Nafsu makan. Apakah kamu punya
keinginan makan? Bagaimana
berat badanmu? Apakah kenaikan atau penurunannya drastis? Apakah disengaja atau tidak disengaja?
- Tidur. Seperti apa kuantitas dan
kualitas tidurmu? Apakah mimpimu baik atau tidak? Bagaimana perasaanmu
setelah bangun tidur?
- Jika kamu sedang mengonsumsi obat,
bagaimana penggunaannya? Masihkah konsisten dan sesuai dosis?
- Coping.
Bagaimana kamu menangani perasaan yang membuatmu tidak nyaman?
- Goal. Apa yang kamu targetkan hari
ini? Bagaimana perkembangannya?
Daftar tersebut akan membantu
memahami kondisi psikis kita. Kita pun dapat memodifikasi daftar dengan
menambahkan atau menguranginya sesuai kebutuhan. Ayu sendiri menambahkan poin
terakhir berupa daftar kebersyukuran. Metode dialognya pun tidak harus terbatas
dengan menulis. Ayu menceritakan bagaimana dia melibatkan temannya untuk
mengaplikasikan metode tersebut dengan bercerita kepada satu sama lain.
Jika kita merasakan ada perubahan
yang tidak biasa dan sudah tidak dapat kita atasi, jangan ragu untuk menemui
tenaga profesional. Hindari self-diagnosis
dengan mencari tahu dan mencocokan gejala yang dirasakan sekalipun berasal
dari web yang nampak terpercaya. Self-diagnosis
hanya akan mengarahkan kita pada penanganan yang tidak tepat dan bisa jadi
memperburuk kondisi. Selain itu, jika kita sudah mendatangi pihak profesional
dan merasa tidak cocok dengan psikolog atau psikiaternya, jangan ragu untuk
pindah konsultasi. Idealnya, menurut Ayu, pihak yang sedang mengakses layanan
psikiater juga perlu melakukan konseling dengan psikolog.
Lalu bagaimana jika bukan kita
yang mengalami tetapi orang terdekat kita? Menurut Ayu dua kunci yang utama
adalah kenali dulu kondisi diri dan jangan menghakimi. Sebelum siap mendengar
dan membantu orang lain, kita perlu memastikan diri kita dalam keadaan
baik-baik saja. Sekecil apapun emosi yang kita rasakan akan memengaruhi respon
kita. Jika kita merasa belum siap, jangan ragu untuk menunda percakapan dan
ajukan waktu pengganti.
Setelah kita siap mendengarkan,
apapun yang dia ceritakan, respon dengan penuh empati. Ucapkan terima kasih
karena telah bercerita. Butuh keberanian bagi seseorang untuk menceritakan hal
berat yang sedang dialami. Respon berikutnya yang dapat dilakukan adalah
tanyakan apa yang bisa kita bantu. Hindari langsung memberi saran karena bisa
jadi dia hanya ingin didengar atau saran yang kita berikan tidak tepat.
Kemudian, bagaimana jika orang
terdekat kita menyatakan keinginannya untuk mengakhiri hidup? Apakah dia serius
atau tidak? Respon yang disarankan Ayu adalah anggap hal tersebut bukan
candaan. Kita dapat mengatakan “Apakah kamu baik-baik saja?”, “Aku khawatir
sama kamu”, “Kamu mau cerita sesuatu?” Tidak ada orang cukup perhatian yang
akan mencoba menarik perhatian orang lain. Tidak ada pula orang yang tidak
butuh pertolongan akan meminta pertolongan.
Manusia memiliki cara yang unik
dalam mempersepsikan fenomena yang terjadi dalam hidupnya. Menjadi pribadi yang
paham kondisi diri sendiri akan membantu kita tetap terkoneksi dengan diri
sendiri dan orang lain. Salah satu masalah kesehatan mental adalah terputusnya
koneksi dengan diri. Perlakuan buruk yang dilakukan kepada orang lain juga
tidak jarang bersumber dari pribadi yang tidak mindful dengan dirinya sendiri. Jadi, jangan ragu dan malu untuk
berbicara jika kita sedang tidak baik-baik saja.
(Lindawati Sumpena)
Kamis, 05 Desember 2019
Penerapan Praktis dari Sekolah Damai Indonesia
Tulisan dari Rhaka Katresna, teman Sekodi Bandung.
Sudah tiga bulan lebih lamanya saya mengikuti kegiatan Sekolah Damai Indonesia Bandung. Di sini, saya belajar sesuatu yang penting untuk diterapkan dalam kegiatan sehari-hari yaitu toleransi, penerimaan, dan keterlibatan. Untuk mewujudkan Kedamaian artinya seseorang berkoeksistensi bersama manusia yang lainnya terlepas dari identitas yang dimilikinya.
Saya mencoba menerapkan prinsip tersebut untuk menyelesaikan sebuah masalah praktis di sebuah komunitas seni berbasis sekolah di kabupaten Garut. Masalahnya begini, seseorang dari komunitas tersebut terlibat dalam sebuah proyek tari modern kemudian ia tiba-tiba melepaskan kelompok seni tersebut dan mengafiliasikan kelompok tersebut dengan komunitas luar sekolah. Ketika saya tanya dia jawab, "Saya lupa," begitu. Kemudian setelah peristiwa itu saya jadi berkonflik dengan komunitas luar sekolah tersebut, menutup program seni yang berhubungan dengan genre tari yang mereka dalami, dan menemukan bahwa mereka berusaha merekrut calon anggota lewat komunitas sekolah.
Bagi saya pribadi ini sudah melewati batas sehingga saya membatasi gerak si X dalam komunitas sekolah (dia masih terlibat dalam komunitas sekolah sekaligus komunitas yang membawa kelompok tari yang awalnya milik sekolah) dengan tidak mengizinkan anak buahnya masuk. Hingga pada puncaknya, anak itu dikeluarkan oleh pengurus yang lainnya.
Bagaimana proses kedamaian terjadi pada kasus ini?
Saya berusaha untuk menjalin komunikasi dengan ketua komunitas luar sekolah tersebut. Dari situlah ditemukan bahwa si X itu melepaskan afiliasi sekehendak dirinya bukan atas kemauan si ketua komunitas. Kemudian diketahui pada saat itu bahwa si komunitas luar itu sedang menghadapi konflik dengan si X karena ternyata dia membentuk manajemen sendiri terlepas dari komunitas luar sekolah tersebut. Dari situ kami menyadari masalahnya sehingga masing-masing kami mengeluarkan si X Dan kawanannya dari komunitas.
Ketika suatu kelompok punya tujuan sendiri yang hanya menguntungkan dirinya maka ia akan melakukan berbagai manipulasi supaya orang mengikuti tujuannya. Dalam kasus ini kelompok si X telah merugikan saya maupun komunitas luar sekolah tersebut.
Keterlibatan demikian saya latih untuk menyelesaikan konflik-konflik yang terjadi pada komunitas tersebut. Makin ke sini, saya semakin sadar bahwa adanya konflik mengarah pada diketahuinya kegagalan teknis yang terjadi pada organisasi sehingga berujung pada kegagalan manajemen organisasi. Sehingga strategi pengembangan organisasinya dapat lebih dalam dan terstruktur. Terbenturnya kepentingan, saya temukan, menjadi akar permasalahan dari hampir semua konflik yang saya hadapi di komunitas saya di Garut. Dari situ seseorang melupakan tanggung jawab yang sebenarnya bisa dikelola untuk mencapai kepentingan tersebut.
Senin, 02 Desember 2019
Mengunjungi Panti Sosial Tresna Werdha Senjarawi
Pada tanggal 26 Oktober 2019, SEKODI Bandung mengadakan refleksi dengan mengunjungi panti sosial Tresna Werdha Senjarawi yang beralamatkan di Jalan Jeruk, Cihapit, Bandung. Dalam refleksi ini kami mendapatkan banyak sekali hikmah yang kami dapatkan dengan melihat dan mendengar serta berbicara langsung dengan para penghuni panti. Di panti sosial ini terdapat 58 Lansia yang dirawat dan dijaga dengan penuh kasih oleh para suster. Selama ini stigma negatif mengenai panti sosial atau panti jompo dalam benak kita tidak dapat dihindari, seperti halnya yang diungkapkan Ferey Herman dalam jurnalnya, kesan muram dan kusam sampai anggapan membuang orang tua bagi anak yang menitipkan orangtuanya biasa terjadi. Stigma itu pula yang saya bawa sebelum memasuki panti sosial tresna werdha.
Namun kenyataannya setelah berkunjung ke sana dan bertemu langsung bersama para penghuni panti, stigma yang sebelumnya melekat dalam benak saya hilang begitu saja. Pandangan baru tentang panti sosial atau panti jompo menjadi lebih terbuka, mengapa demikian? Setelah berbincang bersama mereka, jelas bahwa stigma itu tidak “selamanya benar”. Nyatanya panti jompo malah menjadi solusi bagi sebagian orang untuk memberikan perawatan terbaik bagi para lansia. Sebab di sana mereka memiliki banyak kawan untuk berinteraksi dan meluapkan kekesalannya dengan bercengkrama bersama. Di usia tua, tubuh kita sudah tidak memiliki kekuatan seperti layaknya di usia muda dulu sehingga kegiatan atau aktivitas yang biasa dilakukan menjadi terhambat dan mereka cenderung lebih banyak berdiam diri, beristirahat karena sudah tidak bisa untuk melakukan banyak atau aktivitas yang berlebihan. Hal itulah yang membuat para lansia memerlukan teman untuk mengisi waktu luangnya.
Kenyataannya kita terkadang melupakan bahwa para lansia tersebut hanya butuh “didengar” namun kebanyakan dari kita tidak menyadari itu, bahkan sulit meluangkan waktu bersama para lansia di sekitar kita akibat kesibukan-kesibukan dalam keseharian kita sendiri. Padahal mereka sangat membutuhkan uluran tangan kita dan menyediakan telinga kita untuk mendengarkan keluh kesahnya. Hal itu juga yang saya dapatkan ketika mencoba untuk mendengarkan mereka, saya jadi banyak mendapat nilai-nilai kehidupan melalui perbincangan bersama oma opa, di mana kisah perjalanan hidup mereka menjadi pembelajaran yang berharga juga untuk kita, dan dengan adanya kita bersama mereka memberikan aura positif, adanya kita membuat mereka bahagia karena merasa mendapat wadah untuk menuangkan kisahnya, dan bertemunya bersama oma opa mengajarkan nilai-nilai kehidupan kepada kita.
Melihat mereka membuat kita sadar bahwa kelak kitapun akan menua dan terus menua, namun hal itu seharusnya menjadi cambukan kepada kita untuk tetap sadar dan terus berjuang melakukan yang terbaik dalam masa muda kita sehingga kita dapat memberikan kontribusi dalam kehidupan ini dengan sebaik-baiknya. Melihat mereka menyadarkan kita juga untuk senantiasa menghormati dan mengasihi serta menyayangi orang-orang lanjut usia di sekitar kita. Intinya kita harus selalu memaknai kehidupan kita dan terus mencoba untuk lebih peduli terhadap hal-hal yang ada di sekitar kita.
(ditulis oleh Rizkiyah Fitri Awaliyah)
Minggu, 12 Mei 2019
Sekodi dalam Halaqah Damai tanggal 8 Mei 2019
8 Mei 2019 lalu di Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan, dua penggiat sekodi Bandung, Fanny S Alam dan Ary Maulana berkolaborasi membawakan topik Dom Helder Camara dan Spiral Kekerasan. Camara, seorang uskup sekaligus tokoh kemanusiaan di Brazil, mengurai simpul kekerasan yang terjadi di negaranya. Kekerasan yang muncul karena dibentuk secara struktural dan selalu biasanya negara ada di sana dalam bentukan peraturan "demi menjaga ketertiban dan keamanan".
Tidak mudah mengurai simpul kekerasan tersebut karena dalam pengalaman Camara, negara juga melibatkan institusi agama, yaitu gereja, dalam melanggengkan proses kekerasan terstruktur tersebut. Memang tidak langsung terlihat akan tetapi keberpihakan yang terjadi antara keduanya memperlihatkan hegemoni untuk melakukan represi terhadap kelompok-kelompok yang dianggap dapat membahayakan keberlangsungan kekuasaan.
Di sini rakyat juga menjadi korbannya.
Inisiasi AJP atau Action for Justice and Peace dimulai Camara sebagai langkah nyata mereduksi kekerasan yang muncul karena ketidakadilan yang tercipta hanya karena melanggengkan pihak yang berkuasa. Di sini, kedua narasumber dari sekodi mempertajam relasi yang dilakukan Camara dengan apa yang terjadi di Indonesia, di mana spektrum kekerasan di sini melibatkan aktor aparat negara serta kuatnya politik identitas, terutama agama, untuk melegalkan kekerasan terjadi.
Sabtu, 11 Mei 2019
Spektrum Kekerasan Kita
Oleh Fanny S Alam
Sekolah Damai Indonesia Bandung
Kata kekerasan seakan telah menjadi akrab dengan ingatan kita. Kata tersebut telah menjadi tindakan yang menjelma secara nyata dan dialami oleh seluruh lapisan masyarakat, terutama masyarakat yang dianggap kelas bawah dari strata sosial. Johan Galtung menggarisbawahi kekerasan terjadi bila manusia dipengaruhi sedemikian rupa sehingga realisasi jasmani dan mental aktualnya berada di bawah realisasi potensialnya.
Soyomukti Nurani menjelaskan kekerasan merupakan tindakan yang dilakukan individu terhadap yang lainnya sehingga berpotensi menyebabkan gangguan fisik dan mental. Penjabaran istilah yang lebih komprehensif dikemukakan Henry Campbell Black (1951) yaitu bahwa kekerasan adalah penggunaan kekuatan yang tidak adil, tidak dibenarkan biasanya disalahgunakan terhadap hak umum serta pelanggaaran terhadap aturan hukum dan kebebasan umum.
Struktur kekerasan yang paling mudah terlihat di Indonesia adalah kekerasan yang berbasis politik identitas, yaitu perilaku diskriminasi dan intoleransi terhadap kelompok agama dan ras atau etnis yang dianggap minoritas hingga orientasi seksual berbeda. Terlebih, jika dikaitkan dengan kondisi jelang pemilu. Maka tak pelak kekerasan dengan struktur tadi menjadi lebih dominan terjadi.
Sebut saja kejadian provokasi pihak luar desa yang akhirnya membuat Roni Dwi Nugroho memindahkan makam orang tuanya, Nunuk dari Pemakaman Islam Ngaresngidul, Mojekerto yang awalnya justru sudah disepakati boleh. Kutipan dari kumparan juga menyatakan yang dialami oleh Sukma Dewi Nawang Wulan, perwakilan dari penghayat keercayaan wedal urip yang mengeluhkan komitmen Pemerintah Kabupaten Brebes lamban dalam merespon aspirasi dari para penghayat kepercayaan karena hingga saat ini para penghayat kepercayaan masih terkendala terkait pemakaman yang bahkan masih mendapat penolakan dari pihak tertentu. Masih ingat juga hampir setiap tahunnya teman-teman Syiah di Bandung yang ingin merayakan Asyura selalu mengalami penolakan hingga pembubaran walaupun sebenarnya sudah ada aparat kepolisian. Dari periode 2013 hingga 2018 tirto.id melansir terjadi penutupan 5 masjid ahmadiyah dan 32 gereja. Jangan lupakan juga vonis 1, 5 tahun yang didapat oleh Meliana, yang dihukum karena dianggap melakukan penistaan agama karena meminta volume pengeras suara adzan diturunkan, namun kembali merefleksi kasus yang sama di Aceh tahun 2013 ketika seorang warga bernama Sayed Hassan mengajukan tuntutan ke pengadilan Banda Aceh karena merasa terganggu dengan suara rekaman pembacaan Quran yang berlarut-larut dari pengeras suara, ia menghadapi protes keras dari masyarakat. Namun, setelah dia mencabut tuntutannya, justru volume diturunkan dan tidak mendapat sanksi apa pun (S. Alam, Fanny, 2018).
Terlebih lagi, jangan tanya bentuk-bentuk kekerasan yang dialami oleh teman-teman dengan orientasi seksual berbeda. Masih teringat bahwa dua universitas negeri di padang dan bahkan bandung pernah menerbitkan surat edaran pelarangan pendaftaran ulang mahasiswa baru bagi yang terindikasi terlibat perilaku lgbt (S. Alam, Fanny, 2017)
Apa yang perlu dicermati sebenarnya dari struktur kekerasan yang demikian? Bagaimana sebenarnya kekerasan tersebut bisa bermula?
Spiral Kekerasan Menurut Camara
Ancaman terhadap kemanusiaan yang dicermati pada dasarnya bermula dari sistem pembagian kelas yang justru dimulai dari negara. Kita tentu mengenal kelas negara dunia pertama, kedua, dan ketiga, istilah yang pada akhirnya "diperhalus" menjadi negara maju, berkembang (arah maju), dan ekonomi berkembang (kurang maju) (IMF dan PBB). Ketimpangan yang dialami oleh negara dunia ketiga (negara berkembang, bisa jadi kurang maju) beserta relasinya dengan negara maju terletak dalam masalah ketidakadilan. Ketidakadilan dalam perumusan kebijakan hubungan dagang yang misalnya lebih menguntungkan pihak negara maju serasa pendiktean terselubung. Atau pun, bentuk-bentuk ketidakadilan yang berasal dari sistem pemerintahan yang lebih berpihak kepada kelompok priviledged (hak istimewa) sehingga menggiring masyarakat yang secara ekonomi tidak berdaya kedalam ketidakpastian dan hilang harapan bahkan.
Hal inilah yang ditekankan oleh Dom Helder Camara, seorang tokoh gereja, sekaligus pekerja sosial, dan pejuang perdamaian.
Bermula dari seminari hingga keuskupan agung Olinda dan Recife di Brazil, menjadi sekjen sidang kepala-kepala gereja selama 12 tahun dan CELAM, konsili Uskup Amerika Latin, di mana dia menjalani perjuangannya meretas ketidakadilan terhadap masyarakat secara sendirian lewat jalur gereja. Ini dilakukan agar gereja mampu membuka mata atas realita masalah dalam masyarakat dan negerinya serta dapat bertindak sebagai satu kesatuan.
Posisi strategisnya membuat keberpihakan kepada para petani yang rata-rata buta huruf yang diperbudak oleh tuan tanah semakin kuat ditambah komitmen untuk menuntaskan masalah sosial bersama dengan tokoh-tokoh politik kiri sekuler. Dialog dimulai dan berjalan semakin intens.
Pergerakan Camara menjadi lebih dianggap berbahaya sehingga akhirnya Presiden Brazil baru, Jenderal Garrastazu Medici, mengambil alih hak meralat mandat tanpa perwakilan di parlemen tanpa pengadilan serta mencabut hak politik warga negara. Legislasi ini menyebabkan Gereja sebagai otoritas lembaga keagamaan turut disetir kebijakannya oleh pemerintah. Ini terjadi tahun 1970, di mana pemerintah secara struktural melakukan tindak penyiksaan sebagai bagian instrumen kebijakan bagi siapapun yang tertangkap menentang presiden serta kekuasaannya.
Spiral kekerasan yang coba diretas oleh Camara berasal dari titik ketidakadilan yang berasal dari kelas, bisa kelas relasi antar negara yang menekankan privelese kepada negara maju ketimbang memberlakukan perlakuan setara kepada negara dibawahnya, lalu bagaimana represi dilakukan oleh negara ketika terjadi pertentangan terhadap rezim yang dianggap tidak berpihak kepada warga negara, serta bagaimana legalisasi kekerasan dilakukan oleh institusi keagamaan yang menjadi kepanjangan tangan pemerintah.
Camara, Kekerasan Kita, dan Resolusi
Jika dalam paragraf pembuka disebutkan bahwa struktur kekerasan yang paling mudah ditemukan di Indonesia akhir-akhir ini adalah yang berbasis politik identitas dan berkenaan dengan relasi pelembagaan kekerasan lewat legitimasi agama, maka berdasarkan uraian Camara mengenai adanya jaminan privelese dari negara di Indonesia ini terjadi modelnya seperti yang diungkap oleh Coen Husain Pontoh mengenai bagaimana negara pada permulaan orde baru memelihara ini dengan mendirikan lembaga-lembaga kekerasan fisik langsung, mulai dari ABRI, lembaga intelejen yang ada di berbagai departemen, serta organisasi seperti pemuda pancasila, pemuda panca marga.
Camara menekankan ketidakadilan yang lebih menguntungkan kelompok-kelompok privilese yang dijamin negara telah memiskinkan masyarakat karena akses ekonomi yang akhirnya dikuasai kelompok-kelompok tersebut dan masyarakat hanya menjadi budak pekerja mereka. Rezim pada orde baru di Indonesia dengan menggabungkan kekuatan rezim dan korporasi permodalan dilakukan untuk menghancurkan keadilan akses melalui proses kekerasan, terutama kekerasan langsung yang berfungsi mendisiplinkan tenaga kerja di sektor industri dan menghancurkan gerakan tani melalui penerapan sistem pertanian modern, seperti yang dikemukakan oleh Pontoh.
Action For Justice and Peace, selanjutnya disebut AJP atau aksi untuk keadilan dan perdamaian akhirnya digagas Camara untuk bertindak menegakkan keadilan sebagai prasyarat untuk mencapai perdamaian. Aksi yang tidak melulu teori, spekulasi, serta kontemplasi melainkan tindak nyata yang berani. Target AJP ini adalah berfokus kepada masyarakat tertindas dari negara kurang berkembang dan masyarakat dari lapisan terbelakang negara maju.
Tidak mudah ketika kita sebagai masyarakat melakukan upaya-upaya mengentaskan ketidakadilan sebagai bagian warisan orde terdahulu yang masih ada hingga sekarang karena tekanan politik yang besar dan banyaknya kepentingan-kepentingan yang dijaga oleh negara sebagai pemegang struktur kekuasaan. Akan tetapi, Camara dapat menjadi model bagaimana seharusnya tokoh-tokoh agama di Indonesia bergerak secara progresif melihat bahwa masalah di negara kita bukan semata-mata masalah moral memperbaiki diri lalu dibawa secara komunal, namun bagaimana berkontribusi secara luas melihat masalah yang dialami negara dan masyarakat yang berkaitan dengan ketidakadilan yang dapat memiskinkan dan membentuk bentuk kekerasan baru. Kerja sama bersama pihak pemerintah dapat berbuah kontribusi strategis untuk mengurangi ketidakadilan secara umum bagi masyarakat.
"Apapun agamamu cobalah berusaha agar agama membantu menyatukan umat manusia, bukan untuk memecah belah" (Camara)
Selasa, 07 Mei 2019
Spektrum Kekerasan Kita
Oleh Fanny S Alam
Sekolah Damai Indonesia Bandung
Kata kekerasan seakan telah menjadi akrab dengan ingatan kita. Kata tersebut telah menjadi tindakan yang menjelma secara nyata dan dialami oleh seluruh lapisan masyarakat, terutama masyarakat yang dianggap kelas bawah dari strata sosial. Johan Galtung menggarisbawahi kekerasan terjadi bila manusia dipengaruhi sedemikian rupa sehingga realisasi jasmani dan mental aktualnya berada di bawah realisasi potensialnya.
Soyomukti Nurani menjelaskan kekerasan merupakan tindakan yang dilakukan individu terhadap yang lainnya sehingga berpotensi menyebabkan gangguan fisik dan mental. Penjabaran istilah yang lebih komprehensif dikemukakan Henry Campbell Black (1951) yaitu bahwa kekerasan adalah penggunaan kekuatan yang tidak adil, tidak dibenarkan biasanya disalahgunakan terhadap hak umum serta pelanggaaran terhadap aturan hukum dan kebebasan umum.
Struktur kekerasan yang paling mudah terlihat di Indonesia adalah kekerasan yang berbasis politik identitas, yaitu perilaku diskriminasi dan intoleransi terhadap kelompok agama dan ras atau etnis yang dianggap minoritas hingga orientasi seksual berbeda. Terlebih, jika dikaitkan dengan kondisi jelang pemilu. Maka tak pelak kekerasan dengan struktur tadi menjadi lebih dominan terjadi. Sebut saja kejadian provokasi pihak luar desa yang akhirnya membuat Roni Dwi Nugroho yang akhirnya membuatnya memindahkan makam orang tuanya, Nunuk di Pemakaman Islam Ngaresngidul, Mojekerto yang awalnya justru sudah disepakati boleh. Kutipan dari kumparan juga menyatakan yang dialami oleh Sukma Dewi Nawang Wulan, perwakilan dari penghayat keercayaan wedal urip yang mengeluhkan komitmen Pemerintah Kabupaten Brebes lamban dalam merespon aspirasi dari para penghayat kepercayaan karena hingga saat ini para penghayat kepercayaan masih terkendala terkait pemakaman yang bahkan masih mendapat penolakan dari pihak tertentu. Masih ingat juga hampir setiap tahunnya teman-teman Syiah di Bandung yang ingin merayakan Asyura selalu mengalami penolakan hingga pembubaran walaupun sebenarnya sudah ada aparat kepolisian. Dari periode 2013 hingga 2018 tirto.id melansir terjadi penutupan 5 masjid ahmadiyah dan 32 gereja. Jangan lupakan juga vonis 1, 5 tahun yang didapat oleh Meliana, yang dihukum karena dianggap melakukan penistaan agama karena meminta volume pengeras suara adzan diturunkan, namun kembali merefleksi kasus yang sama di Aceh tahun 2013 ketika seorang warga bernama Sayed Hassan mengajukan tuntutan ke pengadilan Banda Aceh karena merasa terganggu dengan suara rekaman pembacaan Quran yang berlarut-larut dari pengeras suara, ia menghadapi protes keras dari masyarakat. Namun, setelah dia mencabut tuntutannya, justru volume diturunkan dan tidak mendapat sanksi apa pun (S. Alam, Fanny, 2018).
Terlebih lagi, jangan tanya bentuk-bentuk kekerasan yang dialami oleh teman-teman dengan orientasi seksual berbeda. Masih teringat bahwa dua universitas negeri di padang dan bahkan bandung pernah menerbitkan surat edaran pelarangan pendaftaran ulang mahasiswa baru bagi yang terindikasi terlibat perilaku LGBT (S. Alam, Fanny, 2017). Apa yang perlu dicermati sebenarnya dari struktur kekerasan yang demikian? Bagaimana sebenarnya kekerasan tersebut bisa bermula?
Spiral Kekerasan Menurut Camara
Ancaman terhadap kemanusiaan yang dicermati pada dasarnya bermula dari sistem pembagian kelas yang justru dimulai dari negara. Kita tentu mengenal kelas negara dunia pertama, kedua, dan ketiga, istilah yang pada akhirnya "diperhalus" menjadi negara maju, berkembang (arah maju), dan ekonomi berkembang (kurang maju) (IMF dan PBB). Ketimpangan yang dialami oleh negara dunia ketiga (negara berkembang, bisa jadi kurang maju) beserta relasinya dengan negara maju terletak dalam masalah ketidakadilan. Ketidakadilan dalam perumusan kebijakan hubungan dagang yang misalnya lebih menguntungkan pihak negara maju serasa pendiktean terselubung. Atau pun, bentuk-bentuk ketidakadilan yang berasal dari sistem pemerintahan yang lebih berpihak kepada kelompok priviledged (hak istimewa) sehingga menggiring masyarakat yang secara ekonomi tidak berdaya kedalam ketidakpastian dan hilang harapan bahkan.
Hal inilah yang ditekankan oleh Dom Helder Camara, seorang tokoh gereja, sekaligus pekerja sosial, dan pejuang perdamaian. Bermula dari seminari hingga keuskupan agung Olinda dan Recife di Brazil, menjadi sekjen sidang kepala-kepala gereja selama 12 tahun dan CELAM, konsili Uskup Amerika Latin, dimana dia menjalani perjuangannya meretas ketidakadilan terhadap masyarakat secara sendirian lewat jalur gereja. Ini dilakukan agar gereja mampu membuka mata atas realita masalah dalam masyarakat dan negerinya serta dapat bertindak sebagai satu kesatuan.
Posisi strategisnya membuat keberpihakan kepada para petani yang rata-rata buta huruf yang diperbudak oleh tuan tanah semakin kuat ditambah komitmen untuk menuntaskan masalah sosial bersama dengan tokoh-tokoh politik kiri sekuler. Dialog dimulai dan berjalan semakin intens.
Pergerakan Camara menjadi lebih dianggap berbahaya sehingga akhirnya Presiden Brazil baru, Jenderal Garrastazu Medici, mengambil alih hak meralat mandat tanpa perwakilan di parlemen tanpa pengadilan serta mencabut hak politik warga negara. Legislasi ini menyebabkan Gereja sebagai otoritas lembaga keagamaan turut disetir kebijakannya oleh pemerintah. Ini terjadi tahun 1970, dimana pemerintah secara struktural melakukan tindak penyiksaan sebagai bagian instrumen kebijakan bagi siapapun yang tertangkap menentang presiden serta kekuasaannya.
Spiral kekerasan yang dicoba retas oleh Camara berasal dari titik ketidakadilan yang berasal dari kelas, bisa kelas relasi antar negara yang menekankan privelese kepada negara maju ketimbang memberlakukan perlakuan setara kepada negara dibawahnya, lalu bagaimana represi dilakukan oleh negara ketika terjadi pertentangan terhadap rezim yang dianggap tidak berpihak kepada warga negara, serta bagaimana legalisasi kekerasan dilakukan oleh institusi keagamaan yang menjadi kepanjangan tangan pemerintah.
Camara, Kekerasan Kita, dan Resolusi
Jika dalam paragraf pembuka disebutkan bahwa struktur kekerasan yang paling mudah ditemukan di Indonesia akhir-akhir ini adalah yang berbasis politik identitas dan berkenaan dengan relasi pelembagaan kekerasan lewat legitimasi agama, maka berdasarkan uraian Camara mengenai adanya jaminan privelese dari negara di Indonesia ini terjadi modelnya seperti yang diungkap oleh Coen Husain Pontoh mengenai bagaimana negara pada permulaan orde baru memelihara ini dengan mendirikan lembaga-lembaga kekerasan fisik langsung, mulai dari ABRI, lembaga intelejen yang ada di berbagai departemen, serta organisasi seperti pemuda pancasila, pemuda panca marga.
Camara menekankan ketidakadilan yang lebih menguntungkan kelompok-kelompok privilese yang dijamin negara telah memiskinkan masyarakat karena akses ekonomi yang akhirnya dikuasai kelompok-kelompok tersebut dan masyarakat hanya menjadi budak pekerja mereka. Rezim pada orde baru di Indonesia dengan menggabungkan kekuatan rezim dan korporasi permodalan dilakukan untuk menghancurkan keadilan akses melalui proses kekerasan, terutama kekerasan langsung yang berfungsi mendisiplinkan tenaga kerja di sektor industri dan menghancurkan gerakan tani melalui penerapan sistem pertanian modern, seperti yang dikemukakan oleh Pontoh.
Action For Justice and Peace, selanjutnya disebut AJP atau aksi untuk keadilan dan perdamaian akhirnya digagas Camara untuk bertindak menegakkan keadilan sebagai prasyarat untuk mencapai perdamaian. Aksi yang tidak melulu teori, spekulasi, serta kontemplasi melainkan tindak nyata yang berani. Target AJP ini adalah berfokus kepada masyarakat tertindas dari negara kurang berkembang dan masyarakat dari lapisan terbelakang negara maju.
Tidak mudah ketika kita sebagai masyarakat melakukan upaya-upaya mengentaskan ketidakadilan sebagai bagian warisan orde terdahulu yang masih ada hingga sekarang karena tekanan politik yang besar dan banyaknya kepentingan-kepentingan yang dijaga oleh negara sebagai pemegang struktur kekuasaan. Akan tetapi, Camara dapat menjadi model bagaimana seharusnya tokoh-tokoh agama di Indonesia bergerak secara progresif melihat bahwa masalah di negara kita bukan semata-mata masalah moral memperbaiki diri lalu dibawa secara komunal, namun bagaimana berkontribusi secara luas melihat masalah yang dialami negara dan masyarakat yang berkaitan dengan ketidakadilan yang dapat memiskinkan dan membentuk bentuk kekerasan baru. Kerja sama bersama pihak pemerintah dapat berbuah kontribusi strategis untuk mengurangi ketidakadilan secara umum bagi masyarakat.
"Apapun agamamu cobalah berusaha agar agama membantu menyatukan umat manusia, bukan untuk memecah belah" (Camara)
Langganan:
Postingan (Atom)