Tampilkan postingan dengan label pendidikan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label pendidikan. Tampilkan semua postingan

Selasa, 11 Februari 2020

Mengikuti Pelatihan Menciptakan Budaya Damai di Pati, Jawa Tengah


Beberapa waktu lalu, Sekolah Damai Indonesia mendapatkan undangan untuk terlibat dalam International Peace Training. Sekodi mengirimkan dua orang wakilnya, yakni Rhaka dari Sekodi Bandung dan Jati dari Sekodi Jogja. Rhaka membagikan pengalamannya mengikuti kegiatan tersebut dalam tulisan ini.

Jati (Sekodi Jogja) dan Rhaka (Sekodi Bandung)
11 Januari 2020 - 21 Januari 2020 adalah tanggal dilaksanakannya International Peace Training yang diadakan di Peace Place Pati, Kabupaten Pati, Provinsi Jawa Tengah, Indonesia. Saya hadir mewakili Sekolah Damai Indonesia Bandung. Pelatihan ini diikuti oleh 45 peserta dari 9 negara termasuk Indonesia, Amerika Serikat, Nepal, Kenya, Inggris, Korea Selatan, Rusia, Selandia Baru, dan Filipina; dan latar belakang juga komunitas yang beragam. Usia peserta yang mengikuti pelatihan ini adalah 13 – 80 tahun.

Setibanya di Peace Place Pati, saya bertemu dan berkenalan dengan orang-orang baru dari berbagai negara dan juga berjumpa dengan kawan dari Sekodi (Sekolah Damai Indonesia) Yogya, namanya Jati. Saya kemudian mengambil makan siang dan tak lama setelah itu, saya mendapatkan tempat tidur dan untuk menyimpan barang-barang ku. Saya menyaksikan bagaimana teman-teman fasilitator mempersiapkan kegiatan. Lalu saya membantu untuk mengepel lantai di sana. Malamnya, peserta yang hadir berkumpul di tempat pelatihan dan memperkenalkan diri. Bagi saya, ini adalah menyenangkan untuk dapat kenal satu sama lain. Kami pula berbagi tugas sukarela sehingga bisa bekerjasama dengan panitia kegiatan.

Pelatihan yang diberikan adalah mengenai Creating Cultures of Peace, Menciptakan Budaya Damai. Setiap harinya ada kegiatan pelatihan dan malamnya ada kegiatan malam budaya.  Pelatihan mengenai Transformasi Diri dilaksanakan pada hari 1 – hari 4 pelatihan, kunjungan komunitas di Tondo Mulyo pada hari 5, Pelatihan Transformasi diri pada hari 6 – 9, dan topik-topik khusus pada hari 9 – 11.

Pelatihan transformasi diri dimulai pada hari ini

Saya mau berbagi hal-hal yang jadi sorotan saya selama mengikuti Pelatihan Perdamaian Internasional di Pati.

Makanan
Makanan yang disediakan di pelatihan ini semuanya adalah organik. Karena kami peduli soal pembakaran lahan untuk minyak sawit yang terjadi di Indonesia maka kami memutuskan untuk menggunakan minyak kelapa. Menu-menu lokal yang disajikan sangat enak dan menggugah.

Bermain
Bermain menjadi hal yang sentral di pelatihan ini. Bermain membuat pikiran jadi lebih segar dan kreatif. Kami bermain di PAUD Joglo. Terdapat lima sentra bermain yang ada di sana dengan mainan yang mengasyikkan bagi saya sendiri.

Transformasi
Pelatihan ini menekankan bahwa untuk mencapai perubahan sosial maka dimulai dari perubahan diri. Proses ini dilalui secara sistematis dari diri hingga bisa bicara untuk menyampaikan kebenaran. Bagi saya, ini adalah personal dan dapat dibagikan pada semua orang.
Di pelatihan transformasi diri, kami dikenalkan pada peta perdamaian yakni:
1. Persaudaraan & Kesepakatan
2. Memunculkan yang Baik & Kenyamanan
3. Komunikasi & Ingat Kembali
4. Kerjasama & Terhubung Kembali
Di pelatihan transformasi sosial, peta itu bertambah hingga 8 poin, yaitu:
5. Keyakinan & Kesetaraan
6. Kepercayaan & Kesederhanaan
7.  Perubahan & Ketajaman
8.  Arahan & Penyelesaian Sengketa
Prinsipnya, pembacaan bisa dibalik dari 8 ke 1. Misalkan arahan tidak tercapai maka lakukan perubahan, jika tidak ada perubahan maka bangun kepercayaan, dan seterusnya.

Malam Budaya

Di malam budaya kami berbagi pertunjukan dan nyanyian budaya. Ini semua diawali dari presentasi dari peserta mengenai gerakan dan komunitas yang mereka kembangkan. Saya mulai memahami bagaimana situasi dan kondisi di Negara lain. Hal yang bagi saya krusial adalah ketika memahami situasi pulau Jeju di Korea Selatan. Itu mengubah pandangan saya mengenai Korea Selatan seutuhnya.
Ketika malam budaya Indonesia, saya melakukan tari Merak Sunda.

Fasilitator
Fasilitator di sini sangat baik dan menyenangkan. Alur kegiatan mengalir dengan lancar sehingga seringkali saya merasa hari cepat berlalu begitu saja. Dedikasi dan komitmen yang sangat baik ditunjukan oleh mereka. Saya ucapkan terima kasih kepada seluruh fasilitator yang bekerja dengan sangat baik.

Akhir, Langkah ke Depan
Dengan langkah yang telah dibuat di akhir pelatihan, saya menemukan pengarahan kembali hidup saya. Secara personal, ini memberikan makna tujuan hidup. Dan juga beberapa pemuda yang terlibat di pelatihan ini akhirnya menyadari bahwa penting untuk memulai inisiasi supaya lingkungan sekitar menjadi tempat yang baik untuk hidup.
Peserta diberikan panduan mengenai langkah-langkah berikutnya yang dapat dilakukan setelah mengikuti pelatihan. Hal penting yang saya catat adalah terus berlatih, buat inisiasi, dan kader fasilitator untuk CCP.
Setelah disampaikan langkah-langkahnya, perumusan langkah berikutnya ini dilanjutkan setelah penutupan pelatihan transformasi sosial.

Tim Indonesia
Kami merencanakan untuk membuat jejaring untuk berlatih CCP di Indonesia yang kini ada di Pati, Solo, Yogyakarta, dan Bandung. Berlatih dengan mengundang orang yang berpengalaman dalam CCP untuk bantu buatkan pelatihan bersama.

Proyek Saya
Saya merencanakan untuk melakukan kolaborasi lintas komunitas untuk menerapkan CCP menjadi bentuk karya seni pertunjukan tari yang dapat menjadi media pembangunan perdamaian di masyarakat. Oleh karena itu, saya sampaikan kepada Ibu Nadine ketertarikan saya untuk mengembangkan karya seni yang demikian. Permintaan saya disetujui. Melalui Sekolah Damai Indonesia saya membentuk kolaborasi tersebut.
Sekian kisah saya ketika mengikuti Pelatihan Perdamaian Internasional yang diadakan di Pati pada 10 Januari 2020 – 22 Januari 2020.



Selasa, 07 Januari 2020

Dilema Kebijakan Publik untuk Masyarakat

AYOBANDUNG.COM -- Munculnya rencana Pemerintah Kota Bandung untuk mengesahkan rancangan peraturan daerah (perda) Pencegahan dan Peningkatan Kualitas Permukiman Kumuh Perkotaan, lalu dalam skala nasional rancangan undang-undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual yang pembicaraannya serta pengesahannya masih tertunda merupakan dua contoh inisiasi rencana kebijakan publik yang diajukan untuk memenuhi target kerja legislasi. Target ini tentunya diusahakan agar bersifat adaptif dengan kebutuhan masyarakat secara ideal. Di satu sisi lain, banyak yang masih mempertanyakan efektivitas kebijakan publik yang akan disahkan maupun yang telah disahkan. Kebijakan publik lahir dari suatu keputusan politik yang menjadi suatu konsensus bersama para pengambil keputusan berdasarkan hasil observasi kepada masyarakat mengenai apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh mereka. Keputusan politik ini akan bergerak lurus dengan pelaksanaan serta bagaimana kinerja kebijakan politik dievaluasi untuk melihat skala keberhasilan atau bahkan kegagalan kebijakan publik yang telah dihasilkan.

Bagaimana sebenarnya kebijakan publik direncanakan agar tepat sasaran bagi masyarakat serta manfaatnya dapat dirasakan itulah yang menjadi tantangan berikutnya. Tidak jarang kebijakan publik terlihat sempurna ketika berada dalam tahap perencanaan hingga tahap rilis, namun menjadi lemah dalam implementasinya (Hill and Hupe, 2015), serta bagaimana kebijakan publik hanya menjadi pemuas target kerja politik saja. Ketidaklinieran, kesulitan prediksi, serta ketidakmampuan untuk adaptasi (Braithwaite, 2018) menimbulkan jurang lebar antara tahap perencanaan dan formasi kebijakan publik dan pelaksanaannya di waktu mendatang. Dengan begitu, hal ini jelas menimbulkan pemborosan anggaran serta gagalnya penerimaan manfaat kebijakan publik bagi masyarakat secara luas. Formasi Kebijakan Publik Tentunya politik kebijakan dimulai dari model masyarakat secara politis sudah ada dan mempertahankan elemen penting dari sisi politik itu sendiri (Stone, Deborah, 2002).

Masyarakat memiliki kekuatan serta keinginan politik yang ingin diwujudkan dalam bentuk regulasi yang bisa mengakomodasi kepentingan-kepentingannya. Memang tidak akan seluruh kepentingan masyarakat akan dapat dijangkau kebijakan publik karena ada intervensi pemerintah sebagai perpanjangan tangan masyarakat untuk merangkum semua kepentingan personal menjadi kepentingan kolektif. Peran kuasa pemerintah dalam memilah kepentingan-kepentingan tersebut, menurut John Stuart Mill dalam esainya "On Liberty", akan mengurangi tarikan personal dalam pengambilan keputusan untuk kebijakan publik dan akan mencegah "risiko bahaya politis" demi pemenuhan tujuan kepuasan publik. Resiko bahaya politis merupakan dampak dari proses formasi kebijakan publik. Di Indonesia dengan iklim keterbukaaan politik yang besar melibatkan jumlah partai politik yang akhirnya menyempit menjadi koalisi, tidak dapat disanggah bahwa kebijakan publik yang dihasilkan dapat berupa hal, yaitu mengakomodasi kepentingan masyarakat atau justru berpihak kepada kepentingan partai yang membawa nama masyarakat. Untuk mencegah hal tersebut, dibutuhkan mobilisasi isu yang akan diangkat dalam kebijakan publik, yang akan mempertimbangkan bagaimana perwakilan masyakarat dalam koalisi partai politik dalam legislatif terlibat dan mengembangkannya.

Bahkan, dalam bukunya Political Organization, James Q Wilson, menekankan bahwa dampak baik dan buruk dari proses formasi kebijakan publik yang didistribusikan di antara masyarakat sebagai konsensus bersama perwakilan masyakarat akan memperlihatkan apakah peran sebenarnya yang dilakukan perwakilan tersebut untuk membentuk dan aktif mengawal isu untuk formasi kebijakan publik. Realita Dilema Kebijakan Publik Contoh dua kebijakan publik di Indonesia, yaitu rancangan perda Pencegahan dan Peningkatan Kualitas Permukiman Kumuh Perkotaan di Bandung dan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, merupakan hal krusial yang mendapatkan perhatian publik secara intens. Rancangan perda yang pertama merupakan dasar hukum yang muncul untuk mendukung skema pembangunan Kotaku atau kota tanpa kumuh, sedangkan ironisnya walaupun rancangan perda ini muncul sejak tahun 2015 dan belum selesai hingga sekarang, tetapi proses penanganan sementara dan relokasi terhadap daerah yang dianggap kumuh, contohnya Tamansari Bandung RW 11. Hal ini sempat mencuri perhatian banyak karena proses relokasi dan penggusuran justru dilakukan saat status tanah bersifat tanah sengketa, serta Badan Pertanahan Nasional hingga sekarang belum menerbitkan sertifikat atas nama siapa pun, termasuk atas nama Pemerintah Kota Bandung. RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sempat mandek sejak 2016 pengesahannya, dan sekarang kembali masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional DPR untuk kedua kalinya. Penundaan proses pengesahannya pada 2019 ini bukannya tanpa alasan pula. Tantangan terletak pada protes dari beberapa kelompok partai tertentu yang menganggap RUU ini lebih mendukung sekularisasi dan nilai-nilai liberalisme tanpa memperhatikan bahwa RUU ini disusun secara komprehensif melibatkan tokoh-tokoh lintas agama, akademisi, dan pakar-pakar hukum dan gender dan kekerasan seksual serta tokoh-tokoh publik, dan elemen masyarakat. Dua contoh tadi jelas-jelas mengabaikan prinsip akomodasi bagi masyarakat karena dalam skema rancangan perda Pencegahan dan Peningkatan Kualitas Permukiman Kumuh Perkotaan perlu dipertanyakan apakah masyarakat pernah dilibatkan dalam penyusunannya, serta mempertanyakan kepada mereka apakah sebenarnya yang dibutuhkan masyarakat dalam penataan kawasan yang dianggap kumuh. Standar apakah yang dikenakan sehingga kumuh menjadi patokan untuk dilakukan relokasi dan penataan. 

Dikutip dari PR FM news, anggota Komisi C DPRD Kota Bandung dari Fraksi PDIP, Folmer Silalahi menitikberatkan tidak integratifnya pemerintah daerah dan kota dalam melakukan penanganan kawasan kumuh sehingga terkesan jalan terpisah berbasis anggaran yang dimiliki dan wewenangnya, serta keraguan atas status hukum tanah. Sementara itu, yang terjadi pada RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ketika semua elemen sudah lengkap dalam prosedur dan kajian akademik serta riset, kepentingan politiklah yang menjegal pengesahannya. Akibatnya, hingga sekarang kasus-kasus kekerasan seksual terhadap masih ditangani dengan KUHP tanpa adanya usaha-usaha yang lebih komprehensif karena belum adanya payung hukum yang lebih signifikan. Inilah dilema yang sangat jelas terlihat terhadap rencana kebijakan publik yang justru kebijakan tersebut seharusnya berpihak kepada kepentingan masyarakat dengan dukungan politik yang lebih dari sekedar niat baik mencapai target kerja legislatif.

---------

Ditulis oleh Fanny S Alam, koordinator Sekodi Bandung.

Artikel ini sudah Terbit di AyoBandung.com, dengan Judul Dilema Kebijakan Publik untuk Masyarakat, pada URL https://www.ayobandung.com/read/2020/01/06/75511/dilema-kebijakan-publik-untuk-masyarakat#.XhMPPTOe9Cc.whatsapp 

Penulis: Redaksi AyoBandung.Com
Editor : Redaksi AyoBandung.Com

Kamis, 23 Mei 2019

Urgensi Pendidikan Politik di Indonesia



Tulisan oleh Jiva Agung, guru agama Islam di SMP Negeri 12 Bandung, anggota Sekolah Damai Indonesia Bandung atau Sekodi Bandung dan YIPC. Tulisan dimuat di Forum Guru, harian umum Pikiran Rakyat tanggal 22 Mei 2019. 

Selasa dini hari (21/05/2019) Komisi Pemilihan Umum (KPU) akhirnya mengumumkan hasil real count rekapitulasi Pilpres. Dari data tersebut, terpapar bahwa pasangan calon urut nomor satu, Joko Widodo-Ma’ruf Amin menang atas lawannya, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, dengan perolehan suara sebanyak 85.607.372 atau 55.50%. Jauh mengungguli pasangan calon nomor dua yang hanya memperoleh sebanyak 68.650.239 suara, atau setara dengan 44.50%. Jika tidak ada perubahan, hasil perhitungan ini secara otomatis membuat Jokowi-Ma’ruf akan memimpin Indonesia hingga tahun 2024 nanti. Tetapi, seperti yang diketahui bersama, momentum Pilpres ini telah membuat masyarakat akar rumput begitu terpolarisasi, dengan kefanatikannya terhadap jagoannya masing-masing. Menurut penulis barangkali ini merupakan salah satu dari akibat lemahnya pendidikan politik di Indonesia, baik bagi mereka yang mencalonkan diri maupun si pemilih. Di dunia pendidikan, ilmu tentang kenegaraan dan politik diperkenalkan, sekadar pengantar, di dalam mata pelajaran PKn dan kebanyakan dari kita baru belajar politik secara serius di perguruan tinggi. Padahal masyarakat Indonesia telah memiliki hak suara sejak umur tujuh belas tahun, kira-kira ketika mereka masih berada di bangku kelas dua SMA. Untuk membendung sikap apatis, atau malah sebaliknya (fanatisme yang tidak kritis), sebagaimana yang terlihat dalam fenomena belakangan ini, penulis kira sudah saatnya lembaga pendidikan, khususnya sekolah, memberikan perhatian yang serius terhadap persoalan politik, baik dari segi keilmuwan maupun keterampilannya. Sebenarnya hampir semua mata pelajaran bisa membelajarkan peserta didik mengenai perpolitikan—yang tidak harus selalu berkenaan dengan politik praktis. Dari segi teoretis misalnya, meski PKn sepertinya masih perlu menjadi pusatnya (core) tetapi aspek moralitas politik bisa ditekankan dari ajaran-ajaran agama. Banyaknya tindakan koruptif, menyelewenangan, KKN, dan semacamnya diduga kuat karena kurangnya penerapan dan pengaktualan moralitas dalam berpolitik sehingga merasa berhak melakukan apa pun demi mencapai tujuan. Atau misalnya dalam soal pemilihan ketua, perlu disadarkan bahwa, dalam realita bangsa Indonesia yang multikultural, kita tidak boleh lagi memilih hanya berdasarkan kecenderungan kesukuan, jenis kelamin, agama, apalagi sekadar wajah, tetapi harus bisa memilih karena murni keahlian yang dimilikinya, karena sungguh sesuatu yang dilakukan bukan oleh ahlinya maka akan menghasilkan kebinasaan dan kemudaratan saja. Jika dalam mata pelajaran PKn dan Agama lebih banyak menanamkan nilai-nilai, maka mata pelajaran lain lebih cocok sebagai pengimplementasiannya yang sebenarnya sangat bisa diselaraskan dengan keterampilan yang perlu dimiliki di era abad ke-21, yakni creativity (kreativitas), critical thinking (pemikiran kritis), collaboration (kerjasama), dan communication (komunikasi). Para guru di bidang ini cukup membuat proses pembelajaran yang bisa memberi rangsangan sehingga siswa dapat bertindak tak lepas dari 4C itu. Melempar suatu kasus atau peristiwa yang sedang aktual dengan membagi mereka menjadi dua buah kubu (pro dan konta) tentu akan sangat efisien untuk membentuk keterampilan ini, karena baik secara langsung maupun tidak mereka sebenarnya sedang melakukan tindakan politis. Bahkan bukan hanya kegiatan pembelajaran di dalam kelas, pendidikan tentang politik dan terapan-terapannya perlu disemarakkan di dalam bentuk kegiatan-kegiatan (event) sekolah di mana para siswa diberi tanggung jawab untuk mengatur dan melaksanakan kegiatan tersebut sedangkan guru hanya sebagai pemantaunya saja.