Minggu, 13 Agustus 2023

PERNIKAHAN BEDA AGAMA, HAK DAN HARAPAN



Oleh : Kaana Putra Mahatma 
(Fasilitator SEKODI Bandung/ Mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati, Bandung)

Pernikahan beda agama, fenomena yang akhir-akhir ini sering ramai di Indonesia, negara dengan beragam latar belakang agama dan budaya. Meskipun dianggap sebagai tanda inklusivitas dan toleransi, pernikahan beda agama juga menghadirkan tantangan tersendiri bagi pasangan beda agama di indonesia. Salah satunya adalah masyarakat terkadang masih menilai pernikahan beda agama sebagai langkah yang kurang mendukung nilai-nilai tradisional. Ini bisa menghasilkan tekanan sosial, bahkan diskriminasi, terutama dari lingkungan sekitar atau keluarga.

Selain itu, keluarnya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 2023 tentang Petunjuk bagi Hakim dalam Mengadili Perkara Permohonan Pencatatan Perkawinan Antar- Umat Beragama yang Berbeda Agama dan Kepercayaan yang diterbitkan Mahkamah Agung membuat kian sulit rasanya melangsungkan pernikahan beda agama di negara ini.

Pasalnya, lewat edaran tersebut, MA melarang para hakim untuk mengabulkan permohonan pencatatan pernikahan beda agama. Untuk itulah, dalam kelas agama-agama, Sekolah Damai Indonesia (SEKODI) Bandung, tanggal 6 Agustus 2023, membahas  “Seluk beluk pernikahan beda agama, menghadirkan  narasumber yang secara langsung mengalaminya (Hamal Pangestu dan Amelia Samulo). Mereka menceritakan bagaimana proses dan tantangan yang mereka hadapi dalam memperoleh hak sebagai warga negara.






Menurut cerita narasumber kami, kurangnya dukungan dari keluarga salah satu pasangan terkadang menjadi salah satu tantangan yang harus dilewati bersama dengan keputusan berani. Bagaimana akhirnya membuat komunikasi yang terbuka dan jujur antara pasangan dan keluarga sangat penting. Mereka membahas semua aspek pernikahan, termasuk perbedaan agama, budaya, dan harapan mereka untuk masa depan.

Pernikahan beda agama memerlukan penghargaan yang tinggi terhadap keyakinan agama masing-masing pasangan. Keluarga dan masyarakat sekitar juga perlu mendukung pasangan tersebut dengan memahami bahwa pernikahan ini adalah pilihan pribadi yang harus dihormati. Seperti yang dialami narasumber kami, mereka berkomitmen untuk tetap teguh pada agamanya masing-masing, bahkan ada satu cerita tentang bagaimana pemuka agama dari Amelia yang beragama katolik, mewanti-wanti Hamal untuk tidak berpindah agama yang disebabkan karna hubungan mereka. Pun begitu dengan pendidikan agama yang diberikan Amel dan Hamal pada ketiga anaknya, mereka tidak memaksa anak anaknya untuk mengikuti atau memeluk salah satu agama dari dua agama yang mereka peluk.


                                      
(Suasana diskusi santai terkait pernikahan beda agama oleh Sekodi Bandung dan Hamal beserta Amelia)

Terkait pernikahan beda agama, Undang-Undang Perkawinan di Indonesia memberikan kerangka hukum bagi pasangan untuk melangsungkan pernikahan mereka secara sah. Namun, seringkali terjadi hambatan administratif yang harus diatasi untuk memenuhi persyaratan pernikahan beda agama. Oleh sebab itu pernikahan beda agama di Indonesia melibatkan hak dan harapan yang kompleks. Sementara ada tantangan yang harus diatasi, seperti perbedaan agama dan tekanan sosial, banyak pasangan yang berhasil membangun pernikahan yang harmonis dan bahagia. Dengan penghormatan, keterbukaan, komunikasi yang baik, dan dukungan dari lingkungan sekitar, pasangan beda agama dapat mengatasi hambatan dan membangun ikatan yang kuat yang mencerminkan nilai-nilai keragaman yang kaya di Indonesia.

 

Kamis, 03 Agustus 2023

Seberapa Demokratis Kita di indonesia

 


Sebagai salah satu negara demokrasi terbesar di dunia, Indonesia menjamin kebebasan berpendapat dan hak berpolitik pada umumnya. Namun demikian, kekhawatiran mulai merebak ketika Pemerintah bertendensi menekan kehidupan demokratis masyarakat dengan berbagai sanksi atau tindakan hukum, terutaman untuk mengantisipasi protes atau pendapat masyarakat di ruang publik.

Dunia sedang mengalami penurunan tingkat demokrasi pada tahun 2021, mengacu kepada Laporan Indeks Demokarasi oleh The Economist Intelligence Unit (EIU). Laporan tersebut juga menlansir indeks demokrasi Indonesia yang berada dalam posisi terendah selama 14 tahun terakhir, dengan skor 6.3 tahun 2021 dan 6.71 tahun 2022, peringkat 54 dengan kategori ‘demokrasi dengan kelemahan signifikan’ (flawed democracy). 


Ancaman terhadap Masyarakat Indonesia 

Undang-Undang Dasar (UUD 1945) dan Deklarasi Hak Asasi Manusia menjamin hak kebebasan berpendapat di ruang public sebagai hak asasi manusia. Kebebasan tersebut menandakan realisasi demokrasi bagi masyarakat dan bangsa Indonesia. Lebih jauh lagi, Pemerintah telah menerbitkan Undang-Undang tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum (UU no 9 tahun 1998) serta kemerdekaan tersebut dijamin dalam pasal 5 ayat 1, pasal 20 ayat 1, dan pasal 28 UUD 1945. 

Terkait prinsip demokrasi, yang menyatakan bahwa suatu negara demokrasi harus melindungi dan menegakkan kebebasan berpendendapat, Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internastional untuk Hak Sipil dan Politik (ICCPR) menjadi UU No. 12/2005. Pasal  19 ayat 2 yang menggarisbawahi hak individu untuk mengungkapkan pendapat mereka, termasuk hak untuk mencari, menerima, dan membagikan informasi dan pemikiran, serta menjamin hak untuk menyampaikan pendapat mereka dalam media yang diinginkannya. Sehingga, seharusnya Pemerintah dan aparatnya dapat mematuhi aturan undang-undang terkait hal ini untuk menjamin kehidupan demokrasi. Kebebasan berdemokrasi di Indonesia secara historis tidak terlepas dari kejatuhan rezim otoriter Suharto di tahun 1998 yang mengubah tatanan demokrasi menjadi lebih plural dalam kehidupan politik, tercermin dalam sistem transfer kekuasaan yang lebih damai di antara partai politik yang berkuasa.

Terlepas dari kemajuan demokrasi Indonesia, beberapa tantangan tetap muncul, terutama ketika beberapa kasus terkait kebebasan berpendapat mulai diperkarakan beberapa pihak dengan menggunakan  UU no 11 tahun 2008 terkait Informasi dan Transaksi Elektronik serta UU KUHP yang telah direvisi. Masih teringat dalam benak kita bagaimana Bima Yudho Saputro terkena jerat pasal 28 ayat 2 junto pasal 45A  ayat 2 UU ITE setelah ia menyebarkan video Tiktoknya yang mengkritik Gubernur Lampung terkait buruknya infrastruktur dan lambannya pembangunan di sana.

Kata ‘Dajjal’ yang disematkan Bima membuatnya terseret tuduhan ujaran kebencian yang melibatkan suku, agama, dan golongan di Indonesia. Kasus lainnya menimpa SFA, seorang murid SMP di Jambi, yang menghadapi tuntutan hukum terkait ujaran kebencian terhadap suatu golongan melalui video Tiktoknya berdasarkan pasal 28 UU ITE karena mengkritik walikota Jambi yang dianggap mengancam seorang warga berusia senior dengan cara merusak rumahnya perlahan-lahan.  

Di sisi lain, anggapan represi aparat pemerintah terhadap aktivis terkait kebebasan berpendapat juga meningkat. Pada tanggal 19 Maret 2022, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Fatia Maulidiayanti dan mantan Koordinator Kontras, Haris Azhar, diperkarakan oleh Luhut Binsar Panjatian, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Indonesia terkait tuduhan atas keterlibatannya dalam operasi militer dan hubungan ekonomi dengan Intan Jaya lewat kanal Youtube milik Haris Azhar. 

Masa Depan Demokrasi Indonesia 

Indonesia sebenarnya memainkan peranan penting dalam kehidupan demokrasi baik di dalam dan luar negeri. Setidaknya di lingkup ASEAN, contohnya seperti yang dikutip dari Ted Piccone dan Ashley Miller, Indonesia memainkan peranan demokrasi penting dalam Komisi Hak Asasi Manusia Antar Negara ASEAN (AICHR) dan Forum Demokrasi Bali sebagai cara untuk mengaspirasi kepemimpinan global dan memberdayakan pendekatan multilateral terkait demokrasi dan aturan hukum/undang-undang. 

Namun demikian, fakta-fakta di atas terkait dengan pelanggaran kebebasan berpendapat di Indonesia telah menyebabkan kekacauan dalam kehidupan berdemokrasi negara. Pengenaan tuntutan hukum berdasarkan UU ITE secara agresif terkait pencemaran nama baik terhadap pejabat negara mengindikasikan penyimpangan dari maksud UU tersebut, yaitu menjamin kepastian hukum bagi masyarakat dalam pelaksanaan transaksi elektronik, mendorong pembangunan negara, perlindungan masyarakat dari kejahatan berbasis internet.

Lebih jauh lagi, UU ini mencegah terjadinya pencemaran nama baik serta publikasi konten yang menentang standar moral dan nilai religius di Indonesia. Sayangnya, terjadi peningkatan signifikan bagi para pejabat negara yang mengkategorikan kritik menjadi pencemaran nama baik, dan selanjutnya mengkriminalisasi para pelakunya. Terkait hal ini, Suwarno mewakili Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menyatakan kekhawatiran akan pengkategorian hal tersebut di atas, sehingga akhirnya tindakan para pejabat tersebut akan mencegah kebebasan berpendapat dan berpotensi mengkriminalisasi masyarakat, jurnalis, dan media. 

Untuk inilah, sebaiknya Indonesia dan para pejabat publiknya seharusnya paham bahwa masyarakat, sama halnya dengan media dan jurnalis bukanlah musuh negara ketika mereka mengkritik terkait tugas dan kinerja para pejabat publik, apalagi Negara telah menjamin kehidupan berdemokrasi melallui UUD 1945 dan aturan hukum lainnya.

Pada akhirnya, mari kita lihat apakah ke depannya para pejabat publik ini masih menganggap kritik sebagai cara untuk meningkatkan kinerja mereka atau justru mengkriminalisasi masyarakat atas nama pencemaran nama baik dan ucapan kebencian. 

(tulisan telah ditayangkan Times Indonesia : https://timesindonesia.co.id/kopi-times/463110/seberapa-demokratis-kita-di-indonesia )