Tulisan dari Rhaka Katresna, teman Sekodi Bandung.
Sudah tiga bulan lebih lamanya saya mengikuti kegiatan Sekolah Damai Indonesia Bandung. Di sini, saya belajar sesuatu yang penting untuk diterapkan dalam kegiatan sehari-hari yaitu toleransi, penerimaan, dan keterlibatan. Untuk mewujudkan Kedamaian artinya seseorang berkoeksistensi bersama manusia yang lainnya terlepas dari identitas yang dimilikinya.
Saya mencoba menerapkan prinsip tersebut untuk menyelesaikan sebuah masalah praktis di sebuah komunitas seni berbasis sekolah di kabupaten Garut. Masalahnya begini, seseorang dari komunitas tersebut terlibat dalam sebuah proyek tari modern kemudian ia tiba-tiba melepaskan kelompok seni tersebut dan mengafiliasikan kelompok tersebut dengan komunitas luar sekolah. Ketika saya tanya dia jawab, "Saya lupa," begitu. Kemudian setelah peristiwa itu saya jadi berkonflik dengan komunitas luar sekolah tersebut, menutup program seni yang berhubungan dengan genre tari yang mereka dalami, dan menemukan bahwa mereka berusaha merekrut calon anggota lewat komunitas sekolah.
Bagi saya pribadi ini sudah melewati batas sehingga saya membatasi gerak si X dalam komunitas sekolah (dia masih terlibat dalam komunitas sekolah sekaligus komunitas yang membawa kelompok tari yang awalnya milik sekolah) dengan tidak mengizinkan anak buahnya masuk. Hingga pada puncaknya, anak itu dikeluarkan oleh pengurus yang lainnya.
Bagaimana proses kedamaian terjadi pada kasus ini?
Saya berusaha untuk menjalin komunikasi dengan ketua komunitas luar sekolah tersebut. Dari situlah ditemukan bahwa si X itu melepaskan afiliasi sekehendak dirinya bukan atas kemauan si ketua komunitas. Kemudian diketahui pada saat itu bahwa si komunitas luar itu sedang menghadapi konflik dengan si X karena ternyata dia membentuk manajemen sendiri terlepas dari komunitas luar sekolah tersebut. Dari situ kami menyadari masalahnya sehingga masing-masing kami mengeluarkan si X Dan kawanannya dari komunitas.
Ketika suatu kelompok punya tujuan sendiri yang hanya menguntungkan dirinya maka ia akan melakukan berbagai manipulasi supaya orang mengikuti tujuannya. Dalam kasus ini kelompok si X telah merugikan saya maupun komunitas luar sekolah tersebut.
Keterlibatan demikian saya latih untuk menyelesaikan konflik-konflik yang terjadi pada komunitas tersebut. Makin ke sini, saya semakin sadar bahwa adanya konflik mengarah pada diketahuinya kegagalan teknis yang terjadi pada organisasi sehingga berujung pada kegagalan manajemen organisasi. Sehingga strategi pengembangan organisasinya dapat lebih dalam dan terstruktur. Terbenturnya kepentingan, saya temukan, menjadi akar permasalahan dari hampir semua konflik yang saya hadapi di komunitas saya di Garut. Dari situ seseorang melupakan tanggung jawab yang sebenarnya bisa dikelola untuk mencapai kepentingan tersebut.