Bhinneka tunggal ika adalah semboyan “resmi” bangsa Indonesia yang merangkum sekaligus memotret kondisi sosiokultural rakyat Indonesia sejak dahulu kala yaitu keberagaman masyarakatnya atau dalam istilah lain masyarakat majemuk. Kemajemukan yang dimaksud ialah dalam aspek sosial dimana begitu banyak suku, ras dan adat tradisi yang mewarnai kehidupan sehari-hari. Diantara begitu banyak suku bangsa yang ada suku jawa cukup menarik untuk saya sorot dalam tulisan kali ini.
Bukan tanpa sebab
karena setidaknya ada 2 hal yang melatar belakangi keinginan diatas. Yang
pertama karena suku jawa adalah suku bangsa dengan jumlah yang sangat besar dan
tersebar ke berbagai penjuru daerah lain. Yang kedua karena saya sendiri
merupakan keturunan suku jawa tapi lama menetap diluar jawa. Sehingga tak
mengherankan saya tidak mengetahui kebiasaan atau tradisi lain yang berkenaan
dengan suku jawa. Semua yang saya tau hanyalah berdasar pengamatan terhadap
orang tua dan berkunjung ke kampung halaman saat mudik tiba.
Ada satu pengalaman
yang unik ketika saya mudik ke daerah madiun saat salah satu saudara menyebut
saya dengan sebutan “wong bandung” atau “orang bandung”, akan tetapi disini
(Bandung, Jawa Barat) saya disebut sebagai orang jawa karena orang tua saya yang
berasal dari jawa. Memang kata “Jawa” disini agak bias karena penggunaannya
bisa merujuk pada kelompok suku bangsa, Bahasa daerah atau bahkan pulau
tergantung konteks. terlepas dari konteks yang saudara saya pakai tadi terkadang
saya pun bertanya pada diri sendiri apakah saya orang Jawa atau orang Bandung
(Sunda)?
Berangkat dari
pertanyaan “aneh” tersebut saya menghadiri diskusi rutinan komunitas Sekolah Damai Indonesia pada Sabtu, 15 Agustus 2020. Narasumber diskusi ini ialah mas Anto W.
Nugrahanto, seorang dosen sejarah salah satu universitas terkemuka di kota Kembang. Tema yang diusung ialah kejawen. Namun tulisan ini tidak akan membahas
kejawen secara mendalam namun berupa pengenalan singkat saja sebagai ajang menambah wawasan nasional.
Berbicara perihal
kejawen biasanya yang terlintas di benak orang awam ialah ritual-ritual yang
kental dengan nuansa spiritual atau bahkan Supranatural. Pandangan tersebut
bisa jadi karena prasangka sepintas yang ditunjang oleh kurangnya akses
informasi terkait kejawen secara kredibel. Lantas apa yang dimaksud oleh
kejawen itu sendiri ?
Secara sederhana kejawen
adalah sebuah ajaran hidup, aliran kepercayaan dan prinsip yang dianut dan dilestarikan oleh suku Jawa
yang (masih) mempercayainya. kejawen amat dekat dengan kehidupan orang jawa
(dahulu/leluhur) dalam membangun tata karma, pola pikir dan ketenangan jiwa
dengan cara mematuhi sosok “yang maha kuasa”. Meski tampak seperti agama namun
penganut ajaran kejawen biasanya tak mengartikan kejawen sebagai sesuatu yang
“mirip” dengan agama pada umumnya (islam, Kristen, buddha, dll.).
Hal ini terjadi oleh
sebab kejawen lebih tepat dipahami sebagai world
view atau weltanschauung alias
cara pandang yang membuahkan seperangkat nilai-nilai bertabur kearifan lokal
masyarakat tradisional jawa tempo dulu yang bersifat abstrak. Berdasarkan kumpulan
naskah kuno peninggalan para tokoh masyur tanah jawa seperti Rangga Warsita (ronggo
warsito) tergambar bahwa kejawen termanifestasikan sebagai seni, filsafat,
moral, etika dan kebiasaan yang dikomando oleh ide dan local belief atau kepercayaan lokal. Oleh karena penekanan terhadap
aspek keseimbangan itulah kejawen biasanya dapat bersanding dengan agama-agama
yang ada seperti Islam, Kristen atau Hindu. Artinya seseorang bisa memeluk Kejawen disamping agama lain dalam perjalanan spiritual nya. Namun terkadang ada
pihak-pihak tertentu yang menuduh kejawen sebagai ajaran sesat atau bid’ah. Apapun alasan yang dipakai
tak pernah dibenarkan untuk mendiskreditkan sampai mendiskriminasi suku, agama
dan antar golongan (SARA).
Saya sempat bertanya “apakah
pemeluk ajaran kejawen diharuskan memiliki keturunan darah secara langsung atau
tidak dengan suku jawa seperti Yudaisme (agama bangsa yahudi)?”. Mas Anto pun
menjawab bahwa tidaklah harus. Walau begitu akan mengherankan kalau ada orang Israel menjadi penganut Kejawen dibarengi dengan gelak tawa saya beserta yang
lainnya. Dari situ mas Anto pun menambahkan bahwa tujuan akhir dari ajaran
kejawen ialah menyatu dengan tuhan ketika ajal menjemput (manunggal).
Bila memang ajaran
tersebut telah ada sejak dahulu lalu mengapa nama kejawen sendiri terasa asing
di telinga masyarakat kebanyakan ? hal tersebut berkaitan dengan legalitas dari
kejawen itu sendiri yang belum “diakui” oleh pemerintah. Meskipun angin segar mulai
berembus tatkala pemerintah mulai mengakui kepercayaan lain diluar “agama
resmi” yang ada. Mas Anto pun menjelaskan bahwa proses “legalisasi” itu pun
tidaklah mudah. Salah satunya harus diorganisir telebih dahulu baik
secara struktur organisatoris maupun secara “konseptual” (apa yang disembah?,
tempat ibadah, hari raya, dll.).
Memang kolom agama pada
KTP kerap menuai polemik karena terkesan “mengkotak-kotakkan” manusia
berdasarkan kepercayaan yang sejatinya ranah pribadi. Padahal kolom agama pada
KTP hanya berfungsi untuk mengidentifikasi data diri seseorang secara
administratif. Oleh karena kemelut yang ada penganut kejawen tak leluasa dalam
mengekspresikan dirinya. Mas Anto menyebut bahwa banyak orang tua yang menutupi
jati diri mereka dan memeluk agama yang telah diakui. Sontak anak-anak mereka
pun tak pernah tahu tentang inti ajaran kejawen karena persoalan yang menurut
saya amat politis.
Diskusi berlanjut
sampai merembet ke banyak topik seperti perang Padri dan sejarah agama kuno di
Mesir (dewa Seth). Tak terasa hampir 2 jam diskusi telah berlangsung dibarengi
dengan rintik hujan yang menahan kami untuk tak cepat-cepat pergi. Banyak hal
yang saya bisa petik dari seluruh alur diskusi mulai dari sejarah, konflik,
agama sampai perdamaian sebagai puncak toleransi antar umat manusia.
Penulis: Aries Hardianto |