Tampilkan postingan dengan label agama dan kepercayaan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label agama dan kepercayaan. Tampilkan semua postingan

Rabu, 19 Agustus 2020

Obrolan Ringan Seputar Kejawen

oleh Aries Hardianto, mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati dari Sekodi Bandung

Bhinneka tunggal ika adalah semboyan “resmi” bangsa Indonesia yang merangkum sekaligus memotret kondisi sosiokultural rakyat Indonesia sejak dahulu kala yaitu keberagaman masyarakatnya atau dalam istilah lain masyarakat majemuk. Kemajemukan yang dimaksud ialah dalam aspek sosial dimana begitu banyak suku, ras dan adat tradisi yang mewarnai kehidupan sehari-hari. Diantara begitu banyak suku bangsa yang ada suku jawa cukup menarik untuk saya sorot dalam tulisan kali ini.

Bukan tanpa sebab karena setidaknya ada 2 hal yang melatar belakangi keinginan diatas. Yang pertama karena suku jawa adalah suku bangsa dengan jumlah yang sangat besar dan tersebar ke berbagai penjuru daerah lain. Yang kedua karena saya sendiri merupakan keturunan suku jawa tapi lama menetap diluar jawa. Sehingga tak mengherankan saya tidak mengetahui kebiasaan atau tradisi lain yang berkenaan dengan suku jawa. Semua yang saya tau hanyalah berdasar pengamatan terhadap orang tua dan berkunjung ke kampung halaman saat mudik tiba.

Ada satu pengalaman yang unik ketika saya mudik ke daerah madiun saat salah satu saudara menyebut saya dengan sebutan “wong bandung” atau “orang bandung”, akan tetapi disini (Bandung, Jawa Barat) saya disebut sebagai orang jawa karena orang tua saya yang berasal dari jawa. Memang kata “Jawa” disini agak bias karena penggunaannya bisa merujuk pada kelompok suku bangsa, Bahasa daerah atau bahkan pulau tergantung konteks. terlepas dari konteks yang saudara saya pakai tadi terkadang saya pun bertanya pada diri sendiri apakah saya orang Jawa atau orang Bandung (Sunda)?

Berangkat dari pertanyaan “aneh” tersebut saya menghadiri diskusi rutinan komunitas Sekolah Damai Indonesia pada Sabtu, 15 Agustus 2020. Narasumber diskusi ini ialah mas Anto W. Nugrahanto, seorang dosen sejarah salah satu universitas terkemuka di kota Kembang. Tema yang diusung ialah kejawen. Namun tulisan ini tidak akan membahas kejawen secara mendalam namun berupa pengenalan singkat saja sebagai ajang menambah wawasan nasional.

Berbicara perihal kejawen biasanya yang terlintas di benak orang awam ialah ritual-ritual yang kental dengan nuansa spiritual atau bahkan Supranatural. Pandangan tersebut bisa jadi karena prasangka sepintas yang ditunjang oleh kurangnya akses informasi terkait kejawen secara kredibel. Lantas apa yang dimaksud oleh kejawen itu sendiri ?

Secara sederhana kejawen adalah sebuah ajaran hidup, aliran kepercayaan dan prinsip  yang dianut dan dilestarikan oleh suku Jawa yang (masih) mempercayainya. kejawen amat dekat dengan kehidupan orang jawa (dahulu/leluhur) dalam membangun tata karma, pola pikir dan ketenangan jiwa dengan cara mematuhi sosok “yang maha kuasa”. Meski tampak seperti agama namun penganut ajaran kejawen biasanya tak mengartikan kejawen sebagai sesuatu yang “mirip” dengan agama pada umumnya (islam, Kristen, buddha, dll.).

Hal ini terjadi oleh sebab kejawen lebih tepat dipahami sebagai world view atau weltanschauung alias cara pandang yang membuahkan seperangkat nilai-nilai bertabur kearifan lokal masyarakat tradisional jawa tempo dulu yang bersifat abstrak. Berdasarkan kumpulan naskah kuno peninggalan para tokoh masyur tanah jawa seperti Rangga Warsita (ronggo warsito) tergambar bahwa kejawen termanifestasikan sebagai seni, filsafat, moral, etika dan kebiasaan yang dikomando oleh ide dan local belief atau kepercayaan lokal. Oleh karena penekanan terhadap aspek keseimbangan itulah kejawen biasanya dapat bersanding dengan agama-agama yang ada seperti Islam, Kristen atau Hindu. Artinya seseorang bisa memeluk Kejawen disamping agama lain dalam perjalanan spiritual nya. Namun terkadang ada pihak-pihak tertentu yang menuduh kejawen sebagai ajaran  sesat atau bid’ah. Apapun alasan yang dipakai tak pernah dibenarkan untuk mendiskreditkan sampai mendiskriminasi suku, agama dan antar golongan (SARA).

Saya sempat bertanya “apakah pemeluk ajaran kejawen diharuskan memiliki keturunan darah secara langsung atau tidak dengan suku jawa seperti Yudaisme (agama bangsa yahudi)?”. Mas Anto pun menjawab bahwa tidaklah harus. Walau begitu akan mengherankan kalau ada orang Israel menjadi penganut Kejawen dibarengi dengan gelak tawa saya beserta yang lainnya. Dari situ mas Anto pun menambahkan bahwa tujuan akhir dari ajaran kejawen ialah menyatu dengan tuhan ketika ajal menjemput (manunggal).

Bila memang ajaran tersebut telah ada sejak dahulu lalu mengapa nama kejawen sendiri terasa asing di telinga masyarakat kebanyakan ? hal tersebut berkaitan dengan legalitas dari kejawen itu sendiri yang belum “diakui” oleh pemerintah. Meskipun angin segar mulai berembus tatkala pemerintah mulai mengakui kepercayaan lain diluar “agama resmi” yang ada. Mas Anto pun menjelaskan bahwa proses “legalisasi” itu pun tidaklah mudah. Salah satunya harus diorganisir telebih dahulu baik secara struktur organisatoris maupun secara “konseptual” (apa yang disembah?, tempat ibadah, hari raya, dll.).

Memang kolom agama pada KTP kerap menuai polemik karena terkesan “mengkotak-kotakkan” manusia berdasarkan kepercayaan yang sejatinya ranah pribadi. Padahal kolom agama pada KTP hanya berfungsi untuk mengidentifikasi data diri seseorang secara administratif. Oleh karena kemelut yang ada penganut kejawen tak leluasa dalam mengekspresikan dirinya. Mas Anto menyebut bahwa banyak orang tua yang menutupi jati diri mereka dan memeluk agama yang telah diakui. Sontak anak-anak mereka pun tak pernah tahu tentang inti ajaran kejawen karena persoalan yang menurut saya amat politis.

Diskusi berlanjut sampai merembet ke banyak topik seperti perang Padri dan sejarah agama kuno di Mesir (dewa Seth). Tak terasa hampir 2 jam diskusi telah berlangsung dibarengi dengan rintik hujan yang menahan kami untuk tak cepat-cepat pergi. Banyak hal yang saya bisa petik dari seluruh alur diskusi mulai dari sejarah, konflik, agama sampai perdamaian sebagai puncak toleransi antar umat manusia.

Penulis: Aries Hardianto

Selasa, 11 Februari 2020

Perbedaan Bukan Berarti Perpecahan

Perbedaan adalah salah satu anugerah yang diberikan oleh Tuhan, yang memang itu semestinya kita terima dengan kelapangan hati dan keterbukaan tangan, jangan sampai dengan adanya perbedaan di antara kita menjadikan permusuhan dan perpecahan dalam persatuan dan kerukunan bermasyarakat, karena suatu bangsa yang maju adalah yang mau saling menerima satu sama lain.

Di dalam Abrahamic Religion khususnya Islam, memandang perbedaan sebagai suatu hak dan kemestian di dalam cara berpola pikir yang berbeda, dan memang ini wajar terjadi di antara manusia, karena salah satu hak yang diberikan oleh Tuhan kepada Manusia adalah berpikir dan berpendapat juga bertindak, sejauh tidak melenceng dari aturan masyarakat umum dan norma moral dan agama.

Pada awal penciptaan Tuhan sudah menciptakan secara berbeda dari beragam makhluk ciptaan-Nya, contohnya manusia pertama, Tuhan ciptakan berbeda antara laki-laki dan perempuan, tapi pada hakikatnya derajat mereka sama di mata Tuhan. Begitu juga dengan kita, yang berbeda paham, agama, golongan, suku, ras, dan bangsa, pada hakikatnya semuanya sama di mata Tuhan.

Lalu mengapa orang luaran sana tidak mau menerima perbedaan, sehingga menjadi fanatik dan menolak akan yang namanya perbedaan?
-pertama: mereka tidak mau memandang persamaannya di antara manusia
-kedua: salah penafsiran akan Teks Suci
-ketiga: sifat egois yang merasuki diri

Merasa paling benar satu sama lain dan menyalahkan golongan lainnya, mencap kafir, bidah kepada sesama agama maupun yang berbeda agama, dan itu yang harus kita hilangkan di dalam diri dan hati kita. Cobalah berfikir terbuka, dan tanamkan rasa cinta akan sesama, karena kita ini sama pada hakikatnya, hanya pemahaman dan pemikiran yang berbeda.

Damai akan tercipta di kala kita memulai saling menerima satu sama lain, saling memperkuat dan mempererat jalinan silaturahmi antar umat beragama, hidup di dalam kerukunan bermasyarakat, tidak bersikap fanatisme dan tidak merasa paling benar.

(ditulis oleh Ridwan, kawan Sekodi Bandung)

Kamis, 30 Januari 2020

Halaqah Damai XXVI: Akar Kekerasan dalam Perspektif Women Studies

Sekolah Damai Indonesia - Bandung (Sekodi Bandung) terus berupaya membangun kerja sama dengan berbagai komunitas yang berada di Bandung. Salah satu kegiatan yang secara rutin didukung oleh Sekodi Bandung adalah Halaqah Damai, sebuah forum diskusi bulanan yang membahas tentang berbagai isu sosial dari berbagai perspektif. Pada hari Rabu, 29 Januari 2020 diadakan diskusi bulanan Halaqah Damai ke XXVI. Topik yang dibahas pada Halaqah Damai bulan ini adalah Akar Kekerasan dalam Perspektif Women Studies, dengan narasumber Dr. Yeni Huriani, M.Hum. Berikut adalah tulisan dari seorang teman Sekodi Bandung, Ridwan, yang mengikuti diskusi Halaqah Damai tersebut. 

AGAMA SEBAGAI AKAR KEKERASAN
(Dalam Perspektif Studi Wanita)

Dalam pandangan Agama, khususnya agama Islam dan umumnya Agama lainnya, wanita itu cenderung lebih dibedakan dengan laki-laki, dan bahkan dalam konstruk Teologis untuk perempuan itu contoh dalam Kisah Penciptaan Pertama dan Penciptaan Kedua, laki-laki (Adam) itu lebih awal diciptakan daripada Wanita (Hawa), bahkan Wanita sendiri disebutkan diciptakan dari Tulang Rusuk Laki-laki dan  ini memang dipandang benar oleh Abrahamic Religion (Islam,Yahudi, dan Kristen), jadi seakan-akan wanita ini drajatnya lebih rendah daripada laki-laki menurut padangan agama. Begitujuga dalam Kisah (pandangan) Drama Kosmis tentang dosa asal yang menyebabkan manusia terlempar dari Surga (Taman Eden), dalam kisah Abrahamic Religion wania itu adalah penyebab terlemparnya manusia dari surga, karena wanita bersekutu dengan Setan/Iblis dan mudah sekali digoda oleh Iblis untuk memakan Buah dari Pohon Terlarang, sehingga seakan-akan wanita ini adalah temannya Setan, sebagaimana Setan menggoda manusia begitu juga wanita sering menggoda laki-laki.

Lalu Bagaimana Agama Melihat Perempuan?
Dalam citra tentang Tuhan yang laki-laki, dalam agama Yahudi Tuhan itu disebut "Yehovah" atau "YAHWEH", dalam agama Kristen Tuhan itu disebut Bapa, Bapa Sorgawi, Allah Bapa. Dalam Islam, Al-Qur'an menyebut Allah itu "Huwa" yang kalau diartikan Dia (Maskulin) dan bukan "Hiya" yang bersifat Feminim, bahkan di agama lainpun sama dalam memandang kemaskulinan Tuhan.

Dan agama juga mengucilkan perempuan dari wilayah publik, zaman dulu perempuan itu dilarang untul ikut beribadah di gereja, yanh diperbolehkan itu hanya laki-laki saja, jadi kalau seorang istri menunggu di rumah dan ketika suaminya pulang dari gereja,si istri ini akan menanyakan apa saya yang dikhotbahkan oleh pemimpin agama di Gereja, begitu juga dengan Yahudi, dan dalam pandangan Islam, perempuan ini dilarang keluar, dan ini masih menjadi perdebatan dikalangan ulama-ulama Islam, ada yang memperbolehkan asalkan ada pendamping yang "Muhrim" ada juga yang melarangnya, bahkan dalam islam kalau seorang istri keluar rumah tanpa sepengetahuan suaminya, maka sang istri tersebut dicap berdosa.

Arab Saudi saja baru mengeluarkan izin bahwa seorang perempuan itu boleh keluar dan mengemudikan mobil sendiri itu baru setahun kebelakang, sehingga dalam pemahaman ini islam cenderubg lebih ketinggalan dalam menafsirkan penyetaraan kedudukan wanita, tapi di agama lainpun selain Abrahamic Religion juga ada yang demikian.

Dalam Kepemimpinan, agama memandang bahwa laki-laki itu lebih pantas dalam memimpin, karena memang citra laki-laki yang dari awal itu lebih berkuasa daripada perempuan, bahkan dalam keluarga sekalipun laki-laki (suami) yang berhak memimpin keluarganya.

Dalam Hukum Keluarga, wanita pun hanya jadi pengikut apa yang dikatakan suaminya, dan suami menjadi sang pemimpin bagi anak dan istrinya, sang istri hanya harus berdiam di rumah mengurus segala urusan rumah tangga, sedangkan suami mencari nafkah dan memberikan kepada istrinya seberapapun nafkah yang dikehendaki suaminya, dan seorang istri harus mau menerimanya, mau besar ataupun kecil tak ada kuasa untuk meminta lebih, bahkan dalam islam, Istri yang tidak mau diajak "main di ranjang" maka suami punya hak untuk memukul istrinya, hukum islam ini disebut "Nuzuz", ini diperbolehkan bagi suami untuk memukul istri yang tidak mau menuruti kehendak suaminya.

Dalam Perkawinan, agama memandang laki-laki itu lebih bebas, laki-laki bebas mau menikah di usia berapapun, mau dia usianya 15, 17, 19, 25, bahkan 40 sekalipun laki-laki tidak ada kendala atau halangan apapun kalau dia mau menikah, tapi kalau perempuan banyak sekali kendalanya, kalau wanita belum menikah dalam usia 30 tahunan saja sudah ribut keluarga besarnya, dan ada istilah "Perawan Tua" bagi wanita yang belum menikah melewati usia 25 sampai 30 tahun.

Dalam hak Kepemilikan, itu wanita tidak punya hak dalam memiliki seauatu pasti hanya suaminya saja yang disebut memiliki hak dalam kepunyaanya, rumah, mobil, motor itu pasti disebut milik suaminya, bahkan dalam hukum warisan Laki-lakilah yang berhak mendapat banyak dari warisan yang diwariskan kepadanya, sedangkan wanita itu mendapat setengah dari apa yang diperoleh laki-laki.

Dan agama juga menanamkan konsep istri patuh kepada suami, namun tidak ada konsep suami patuh kepada istri, dalam Abrahamic Religion, ini memang diakui, bahkan istri yang tidak mau menurut kepada suaminya itu dicap sebagai istri yang durhaka atau istri pembangkang, dan dalam budaya Minang, apabila seorang istri menyuruh suaminya itu adalah sebuah pelecehan, dan sang suami memiliki hak apapun untuk dilakukan kepada istrinya.

Perempuan dan Kekerasan
Wanita sering menjadi mengalami berbagai kekerasan, di antaranya sebagai berikut: 
  • Kekerasan Fisik, seorang istri sering menjadi baku hantaman pukulan dari suaminya, dan iniemang sering terjadi, bukan hanya di satu agama tapi disemua agama demikian, istri yang tidak mau nurut kepada suami, maka sang suami punya hak dalam memukul istrinya.
  • Dalam kekerasan Psikis, wanita sering menjadi bahan olok-olokan dari suaminya bahkan dari pihak umum, dan wanita itu sering ditekan oleh suaminya atau keluarganya siapapun itu, di Indonesia, wanita yang bertubuh gemuk, atau berkulit hitam, atau berambut kriting, itu dipandang sudah bukan seperti wanita lagi, padahal kriteria kecantikan setiap negara itu berbeda-beda.
  • Wanita juga sering mendapat perlakuan kekerasan seksual, bahkan lebih sering daripada laki-laki, banyak sekali beredar berita pemerkosaan, dan yang menjadi korbannya adalah wanita.
  • Wanita juga sering mendapat kekerasan ekonomi, wanita sering ditelantarkan, dan sang suami yang mencari nafkah lalu memberikan nafkah kepada istrinya itu dengan anggapan "cukup tidak cukup ya terserah, asalkan suami sudah kerja dan mampunya hanya segitu", istri juga sering dijadikan kuda, suami diam dirumah, dan istri bekerja keluar, lalu kalau si istri mendapat uang, maka uang itu juga dikasihkan kepada suami, dan ini yang menjadi problem masyarakat sekarang.

Jadi bagaimana kita harus menanggapi hal-hal ini?
Kita harus membaca kembali Teks Suci, dan menafsirkannya bukan secara harafiyyah, tapi secara maknawiyyah, sehingga makna asli dari ayat-ayat dari Teks Suci itu dapat kita fahami, khususnya bagi wanita yang religion.
Kita juga butuh penafsiran baru terhadap Teks Suci, karena memang penafsiran itu harus menyesuaikan dengan apa yang ada dilingkungan kita, khusunya mengenai pandangan terhadap wanita, sehingga tidak ada lagi anggapan "agama mendeskriminasi wanita", kita harus menjadikan agama ini menjadi kereligiusan pada diti wanita dengan penafsiran baru akan Teks Suci tersebut, sebagaimana Agama membutuhkan Wanita, begitu pula wanita membutuhkan Agama.
Kalau kita lihat dalam sejarah, wanita juga berperan penting dalam penyebaran agama, begitu juga agama sangat berpengaruh pada diri wanita.


Sabtu, 25 Januari 2020

Tur Malam Imlek: Semakin Mengenal Budaya Tionghoa

Setiap tahun pada malam imlek, Jaringan Kerja Antar Umat Beragama (JAKATARUB) mengadakan kegiatan Tur Malam Imlek. Kegiatan ini berisi kunjungan ke beberapa tempat ibadah di sekitar Jalan Cibadak dan Jalan Klenteng, Bandung. Pada tahun ini, beberapa teman Sekodi Bandung kembali bergabung dalam kegiatan Tur Malam Imlek. 

 

Kami berkumpul bersama lebih dari 80 orang dari lintas komunitas dan lintas agama di Klenteng Besar yang juga dikenal dengan Vihara Satya Budhi. Di situ, kami diberi kesempatan untuk melakukan tanya jawab dengan Bapak Sugiri, salah satu pengurus klenteng dan tokoh Tionghoa di Bandung. Pak Sugiri menjelaskan mengenai bagaimana imlek dimaknai oleh warga Tionghoa, termasuk sejarah dan kisah-kisah seputar imlek, shio, dan beberapa budaya Tionghoa yang lain. Pak Sugiri juga menceritakan sejarah Klenteng Besar yang merupakan klenteng tertua di Bandung. Setelah berdiskusi, kami diberi kesempatan untuk melihat klenteng secara lebih dekat dan diberi penjelasan tentang filosofi bentuk serta makna simbol-simbol yang ada di klenteng. 


 Tempat kedua yang kami kunjungi adalah Vihara Tanda Bhakti, tidak jauh dari Klenteng Besar. Di sini, kami kembali diberi penjelasan mengenai bagian-bagian vihara serta sejarah vihara tersebut. Meski namanya vihara, namun Vihara Tanda Bhakti dan juga Vihara Satya Budhi merupakan Tempat Ibadah Tri Dharma, yang berarti bahwa vihara atau klenteng itu bisa dipakai untuk ibadah umat Buddha, Khonghucu, dan Tao. Di Vihara Tanda Bhakti, kami juga diberi suguhan berupa mie. Konon katanya, bagi orang Tionghoa, mie adalah hidangan wajib saat malam imlek, agar panjang umur.




Dari Vihara Tanda Bhakti, kami berjalan kaki menuju Klenteng Dharma Ramzi yang merupakan klenteng tertua kedua di Bandung. Di depan klenteng, ada beberapa anak yang memainkan barongsai dengan bebunyian yang meriah. Dibandingkan dua klenteng sebelumnya, Dharma Ramzi tampak lebih ramai dan meriah. Selain barongsai, di dalam klenteng yang tidak terlalu besar itu, terdapat banyak sekali patung beberapa dewa dewi. Beberapa relawan dan pengurus klenteng pun dengan ramah menjelaskan beberapa kisah dewa dewi tersebut. Salah satu hal yang menarik adalah ketika seorang bapak menjelaskan tentang Dewa Jodoh, lalu seorang peserta yang beragama Islam berkata pada temannya bahwa dia sudah berdoa pada Dewa Jodoh. Ketika ditanya bagaimana doanya, ia menyebutkan doa secara Islam. Saya tersentuh dengan pengalaman itu, dan saya diingatkan bahwa patung, hio, dan berbagai persembahan, bahkan bahasa yang kita gunakan saat berdoa hanyalah sarana untuk melakukan kontak dengan Tuhan Yang Maha Esa. 


Tempat terakhir yang kami kunjungi adalah Kong Miao, yaitu tempat ibadah umat Khonghucu. Meski kesannya Khonghucu adalah agama baru di Indonesia, namun ternyata agama Khonghucu sudah ada sejak tahun 60an, demikian penjelasan salah satu pengurus Majelis Agama Khonghucu Indonesia (MAKIN). Beliau juga bercerita bagaimana jasa Gus Dur, presiden ke empat Indonesia, bagi diakuinya agama Khonghucu. Begitu besar jasa Gus Dur, sampai umat Khonghucu menganggap Gus Dur adalah malaikatnya orang-orang Khonghucu. Beliau juga menjelaskan bahwa bagi umat Khonghucu secara khusus, imlek adalah hari raya keagamaan, bukan hanya perayaan budaya dan tradisi. 


Kegiatan Tur Malam Imlek ini sangat menyenangkan dan berkesan bagi saya. Sekitar 90 orang dari berbagai latar belakang budaya, agama, suku, dan komunitas berkumpul dan berkunjung ke tempat-tempat yang mungkin belum pernah dikunjungi sebelumnya. Kegiatan semacam ini sangat baik dilakukan dan bermanfaat untuk memperoleh informasi yang akurat, mengklarifikasi isu dan asumsi yang sesat, serta membangun persepsi yang lebih tepat. Yuk, tahun depan ikut Tur Malam Imlek! Selamat menyambut tahun baru, semoga dianugerahi keberkahan senantiasa!

(Stella Vania Puspitasari)


Minggu, 03 November 2019

Mengenal Agama Hindu

Sabtu, 28 September 2019, Sekodi Bandung kembali berkumpul dan berdiskusi. Hari itu, kami berkunjung ke Pura Vira Chandra Dharma di dalam kompleks Secapa AD untuk mengenal lebih dalam tentang agama Hindu. Kami disambut oleh Bapak Ketut Wiguna selaku ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia - Kota Bandung, bersama dengan teman-teman muda. Pak Ketut memberikan penjelasan tentang agama Hindu, sekaligus menjawab beberapa mitos dan pertanyaan yang disampaikan oleh teman-teman Sekodi. 

Selama ini beredar anggapan bahwa dalam ajaran Hindu dikenal ada banyak Tuhan, sebenarnya hal ini keliru. Ajaran Hindu hanha mengenal satu Tuhan, yang disebut sebagai Brahman dan memiliki tiga sifat dasar yakni keindahan, kesucian, dan keindahan. Karena kemahaan Tuhan dan karena terbatasnya pengetahuan dan kemampuan manusia untuk memahami-Nya, maka manusia berusaha menggunakan berbagai cara untuk menyembah Tuhan, salah satunya dengan perantaraan para dewa, dan dengan menggunakan benda-benda di sekitar mereka. Pada praktiknya, ritual dan ibadah agama Hindu banyak dipengaruhi dan disesuaikan dengan budaya setempat. Seni dan budaya memberi bentuk pada agama, sehingga setiap simbol yang digunakan sebenarnya memiliki makna mendalam yang membantu kita untuk bertemu dengan Tuhan sendiri.

Perjumpaan dengan Pak Ketut dan teman-teman Hindu hari itu membuat hati saya tergetar karena tersadar bahwa setiap agama memiliki ajaran yang baik dan indah. Esensi dari ajaran tiap agama itu sama, yakni untuk memuji dan memuliakan Tuhan, hanya caranya yang beragam. Ketidaktahuan kita akan cara yang digunakan orang lain seringkali menimbulkan asumsi dan stigma. Dibutuhkan kerendahan hati untuk membuka diri mengenal mereka yang berbeda, dan menemukan kebenaran, kesucian, serta keindahan dari sudut pandang mereka.




(Stella Vania Puspitasari)

Selasa, 12 Februari 2019

Mengenal Ajaran Kepercayaan

Dalam rangka menyemarakkan World Intefaith Harmony Week (WIHW) yang biasa diperingati sepanjang pekan pertama bulan Februari, Sekolah Damai Bandung (Sekodi) mengundang Kang Asep, Teh Rela, dan Kang Dian, yang tiada lain adalah para penganut ajaran Kepercayaan. Bertempat di sekitar Balai Kota Bandung, kegiatan dilakukan dengan cara tadarus teks yang isinya berupa tanya-jawab seputar ajaran Kepercayaan. Ada sekitar tujuh buah pertanyaan yang dibahas, di antara ialah mengenai Tuhan. Sama halnya dengan agama-agama besar lainnya, mereka meyakini adanya Tuhan Yang Maha Esa yang telah menciptakan bumi, langit, beserta isinya. Hanya saja untuk penamaan, mereka mengembalikan penyebutan Tuhan sesuai dengan bahasa dan kultur masing-masing penghayat, sebab perbedaan dalam menyebut nama Tuhan sama sekali tidak berpengaruh terhadap inti dari Tuhan itu sendiri. Tetapi mengenai kitab suci, berbeda dengan agama-agama arus utama, para penghayat kepercayaan tidak memiliki kitab suci yang diyakini berupa firman Tuhan, yang ada hanyalah tulisan-tulisan karangan manusia yang berisi tentang tuntunan hidup menuju jalan keselarasan dan keselamatan. Ini karena bagi mereka apa yang disebut dengan pedoman Tuhan sebenarnya telah ada secara jelas, baik dari alam maupun dalam diri manusia itu sendiri. Semua elemen ini jika dikaji dan dihayati secara serius, menurutnya, dapat dijadikan pegangan pedoman umat manusia di dunia. Tidak adanya kitab suci berarti juga tidak ada konsep mengenai seseorang yang diutus oleh Tuhan sebagai penyebar agama (nabi). Mengenai moral, para penghayat kepercayaan tidak memiliki konsep yang muluk-muluk, cukup dengan pepatah “barangsiapa yang menanam maka dia akan memetik hasilnya”. Betapapun fleksibelnya, menurut Kang Asep biasanya setiap organisasi ajaran Kepercayaan memiliki semacam pedoman moral, misalnya mengenai tujuh perbuatan yang terlarang. Uniknya, mereka juga tidak terlalu memiliki fokus pada hal-hal eskatologis, oleh karenanya tidak memiliki konsep dosa-pahala sehingga juga tidak ada konsep surga-neraka. Bagi mereka manusia yang telah meninggal maka jasmaninya akan kembali ke saripati bumi (tanah, air, udara, dan api) sedang inti dari diri akan kembali ke sisi Tuhan. Kang Asep juga membahas persoalan yang sering disalahpahami oleh masyarakat umum yang mengidentikkan ajaran kepercayaan dengan hal-hal yang berbau mistis atau klenik. Ini salah, meskipun tidak menutup kemungkinan akan selalu ada orang yang memiliki kemampuan supranatural sebagaimana yang terjadi pula pada sebagian penganut agama-agama lain. Bagi Kang Asep, ini dikarenakan orang tersebut gemar melakukan penyucian batin sehingga Tuhan memberikan semacam hadiah kepadanya untuk memiliki daya sensitivitas yang lebih tinggi dibanding manusia pada umumnya. Persoalan lain yang juga kerap disalahpahami ialah mengenai upacara sesajen. Berasal dari kata ajen yang berarti penghormatan atau penghargaan, upacara sesajen secara substansi ialah sebuah bentuk penghormatan yang dilakukan oleh para penghayat terhadap alam. Bukan hanya karena alam adalah rekan yang perlu dihormati tetapi juga sangat ampuh dijadikan sebagai sarana untuk merasakan kehadiran Tuhan. Adapun pernak-pernik yang sering hadir seperti kembang tujuh rupa dan yang lainnya, semuanya sebenanya hanyalah simbol-simbol yang memiliki nilai filosofis untuk menggambarkan keseluruhan alam.[]


Jiva Agung W