Kamis, 30 Januari 2020

Halaqah Damai XXVI: Akar Kekerasan dalam Perspektif Women Studies

Sekolah Damai Indonesia - Bandung (Sekodi Bandung) terus berupaya membangun kerja sama dengan berbagai komunitas yang berada di Bandung. Salah satu kegiatan yang secara rutin didukung oleh Sekodi Bandung adalah Halaqah Damai, sebuah forum diskusi bulanan yang membahas tentang berbagai isu sosial dari berbagai perspektif. Pada hari Rabu, 29 Januari 2020 diadakan diskusi bulanan Halaqah Damai ke XXVI. Topik yang dibahas pada Halaqah Damai bulan ini adalah Akar Kekerasan dalam Perspektif Women Studies, dengan narasumber Dr. Yeni Huriani, M.Hum. Berikut adalah tulisan dari seorang teman Sekodi Bandung, Ridwan, yang mengikuti diskusi Halaqah Damai tersebut. 

AGAMA SEBAGAI AKAR KEKERASAN
(Dalam Perspektif Studi Wanita)

Dalam pandangan Agama, khususnya agama Islam dan umumnya Agama lainnya, wanita itu cenderung lebih dibedakan dengan laki-laki, dan bahkan dalam konstruk Teologis untuk perempuan itu contoh dalam Kisah Penciptaan Pertama dan Penciptaan Kedua, laki-laki (Adam) itu lebih awal diciptakan daripada Wanita (Hawa), bahkan Wanita sendiri disebutkan diciptakan dari Tulang Rusuk Laki-laki dan  ini memang dipandang benar oleh Abrahamic Religion (Islam,Yahudi, dan Kristen), jadi seakan-akan wanita ini drajatnya lebih rendah daripada laki-laki menurut padangan agama. Begitujuga dalam Kisah (pandangan) Drama Kosmis tentang dosa asal yang menyebabkan manusia terlempar dari Surga (Taman Eden), dalam kisah Abrahamic Religion wania itu adalah penyebab terlemparnya manusia dari surga, karena wanita bersekutu dengan Setan/Iblis dan mudah sekali digoda oleh Iblis untuk memakan Buah dari Pohon Terlarang, sehingga seakan-akan wanita ini adalah temannya Setan, sebagaimana Setan menggoda manusia begitu juga wanita sering menggoda laki-laki.

Lalu Bagaimana Agama Melihat Perempuan?
Dalam citra tentang Tuhan yang laki-laki, dalam agama Yahudi Tuhan itu disebut "Yehovah" atau "YAHWEH", dalam agama Kristen Tuhan itu disebut Bapa, Bapa Sorgawi, Allah Bapa. Dalam Islam, Al-Qur'an menyebut Allah itu "Huwa" yang kalau diartikan Dia (Maskulin) dan bukan "Hiya" yang bersifat Feminim, bahkan di agama lainpun sama dalam memandang kemaskulinan Tuhan.

Dan agama juga mengucilkan perempuan dari wilayah publik, zaman dulu perempuan itu dilarang untul ikut beribadah di gereja, yanh diperbolehkan itu hanya laki-laki saja, jadi kalau seorang istri menunggu di rumah dan ketika suaminya pulang dari gereja,si istri ini akan menanyakan apa saya yang dikhotbahkan oleh pemimpin agama di Gereja, begitu juga dengan Yahudi, dan dalam pandangan Islam, perempuan ini dilarang keluar, dan ini masih menjadi perdebatan dikalangan ulama-ulama Islam, ada yang memperbolehkan asalkan ada pendamping yang "Muhrim" ada juga yang melarangnya, bahkan dalam islam kalau seorang istri keluar rumah tanpa sepengetahuan suaminya, maka sang istri tersebut dicap berdosa.

Arab Saudi saja baru mengeluarkan izin bahwa seorang perempuan itu boleh keluar dan mengemudikan mobil sendiri itu baru setahun kebelakang, sehingga dalam pemahaman ini islam cenderubg lebih ketinggalan dalam menafsirkan penyetaraan kedudukan wanita, tapi di agama lainpun selain Abrahamic Religion juga ada yang demikian.

Dalam Kepemimpinan, agama memandang bahwa laki-laki itu lebih pantas dalam memimpin, karena memang citra laki-laki yang dari awal itu lebih berkuasa daripada perempuan, bahkan dalam keluarga sekalipun laki-laki (suami) yang berhak memimpin keluarganya.

Dalam Hukum Keluarga, wanita pun hanya jadi pengikut apa yang dikatakan suaminya, dan suami menjadi sang pemimpin bagi anak dan istrinya, sang istri hanya harus berdiam di rumah mengurus segala urusan rumah tangga, sedangkan suami mencari nafkah dan memberikan kepada istrinya seberapapun nafkah yang dikehendaki suaminya, dan seorang istri harus mau menerimanya, mau besar ataupun kecil tak ada kuasa untuk meminta lebih, bahkan dalam islam, Istri yang tidak mau diajak "main di ranjang" maka suami punya hak untuk memukul istrinya, hukum islam ini disebut "Nuzuz", ini diperbolehkan bagi suami untuk memukul istri yang tidak mau menuruti kehendak suaminya.

Dalam Perkawinan, agama memandang laki-laki itu lebih bebas, laki-laki bebas mau menikah di usia berapapun, mau dia usianya 15, 17, 19, 25, bahkan 40 sekalipun laki-laki tidak ada kendala atau halangan apapun kalau dia mau menikah, tapi kalau perempuan banyak sekali kendalanya, kalau wanita belum menikah dalam usia 30 tahunan saja sudah ribut keluarga besarnya, dan ada istilah "Perawan Tua" bagi wanita yang belum menikah melewati usia 25 sampai 30 tahun.

Dalam hak Kepemilikan, itu wanita tidak punya hak dalam memiliki seauatu pasti hanya suaminya saja yang disebut memiliki hak dalam kepunyaanya, rumah, mobil, motor itu pasti disebut milik suaminya, bahkan dalam hukum warisan Laki-lakilah yang berhak mendapat banyak dari warisan yang diwariskan kepadanya, sedangkan wanita itu mendapat setengah dari apa yang diperoleh laki-laki.

Dan agama juga menanamkan konsep istri patuh kepada suami, namun tidak ada konsep suami patuh kepada istri, dalam Abrahamic Religion, ini memang diakui, bahkan istri yang tidak mau menurut kepada suaminya itu dicap sebagai istri yang durhaka atau istri pembangkang, dan dalam budaya Minang, apabila seorang istri menyuruh suaminya itu adalah sebuah pelecehan, dan sang suami memiliki hak apapun untuk dilakukan kepada istrinya.

Perempuan dan Kekerasan
Wanita sering menjadi mengalami berbagai kekerasan, di antaranya sebagai berikut: 
  • Kekerasan Fisik, seorang istri sering menjadi baku hantaman pukulan dari suaminya, dan iniemang sering terjadi, bukan hanya di satu agama tapi disemua agama demikian, istri yang tidak mau nurut kepada suami, maka sang suami punya hak dalam memukul istrinya.
  • Dalam kekerasan Psikis, wanita sering menjadi bahan olok-olokan dari suaminya bahkan dari pihak umum, dan wanita itu sering ditekan oleh suaminya atau keluarganya siapapun itu, di Indonesia, wanita yang bertubuh gemuk, atau berkulit hitam, atau berambut kriting, itu dipandang sudah bukan seperti wanita lagi, padahal kriteria kecantikan setiap negara itu berbeda-beda.
  • Wanita juga sering mendapat perlakuan kekerasan seksual, bahkan lebih sering daripada laki-laki, banyak sekali beredar berita pemerkosaan, dan yang menjadi korbannya adalah wanita.
  • Wanita juga sering mendapat kekerasan ekonomi, wanita sering ditelantarkan, dan sang suami yang mencari nafkah lalu memberikan nafkah kepada istrinya itu dengan anggapan "cukup tidak cukup ya terserah, asalkan suami sudah kerja dan mampunya hanya segitu", istri juga sering dijadikan kuda, suami diam dirumah, dan istri bekerja keluar, lalu kalau si istri mendapat uang, maka uang itu juga dikasihkan kepada suami, dan ini yang menjadi problem masyarakat sekarang.

Jadi bagaimana kita harus menanggapi hal-hal ini?
Kita harus membaca kembali Teks Suci, dan menafsirkannya bukan secara harafiyyah, tapi secara maknawiyyah, sehingga makna asli dari ayat-ayat dari Teks Suci itu dapat kita fahami, khususnya bagi wanita yang religion.
Kita juga butuh penafsiran baru terhadap Teks Suci, karena memang penafsiran itu harus menyesuaikan dengan apa yang ada dilingkungan kita, khusunya mengenai pandangan terhadap wanita, sehingga tidak ada lagi anggapan "agama mendeskriminasi wanita", kita harus menjadikan agama ini menjadi kereligiusan pada diti wanita dengan penafsiran baru akan Teks Suci tersebut, sebagaimana Agama membutuhkan Wanita, begitu pula wanita membutuhkan Agama.
Kalau kita lihat dalam sejarah, wanita juga berperan penting dalam penyebaran agama, begitu juga agama sangat berpengaruh pada diri wanita.


Sabtu, 25 Januari 2020

Tur Malam Imlek: Semakin Mengenal Budaya Tionghoa

Setiap tahun pada malam imlek, Jaringan Kerja Antar Umat Beragama (JAKATARUB) mengadakan kegiatan Tur Malam Imlek. Kegiatan ini berisi kunjungan ke beberapa tempat ibadah di sekitar Jalan Cibadak dan Jalan Klenteng, Bandung. Pada tahun ini, beberapa teman Sekodi Bandung kembali bergabung dalam kegiatan Tur Malam Imlek. 

 

Kami berkumpul bersama lebih dari 80 orang dari lintas komunitas dan lintas agama di Klenteng Besar yang juga dikenal dengan Vihara Satya Budhi. Di situ, kami diberi kesempatan untuk melakukan tanya jawab dengan Bapak Sugiri, salah satu pengurus klenteng dan tokoh Tionghoa di Bandung. Pak Sugiri menjelaskan mengenai bagaimana imlek dimaknai oleh warga Tionghoa, termasuk sejarah dan kisah-kisah seputar imlek, shio, dan beberapa budaya Tionghoa yang lain. Pak Sugiri juga menceritakan sejarah Klenteng Besar yang merupakan klenteng tertua di Bandung. Setelah berdiskusi, kami diberi kesempatan untuk melihat klenteng secara lebih dekat dan diberi penjelasan tentang filosofi bentuk serta makna simbol-simbol yang ada di klenteng. 


 Tempat kedua yang kami kunjungi adalah Vihara Tanda Bhakti, tidak jauh dari Klenteng Besar. Di sini, kami kembali diberi penjelasan mengenai bagian-bagian vihara serta sejarah vihara tersebut. Meski namanya vihara, namun Vihara Tanda Bhakti dan juga Vihara Satya Budhi merupakan Tempat Ibadah Tri Dharma, yang berarti bahwa vihara atau klenteng itu bisa dipakai untuk ibadah umat Buddha, Khonghucu, dan Tao. Di Vihara Tanda Bhakti, kami juga diberi suguhan berupa mie. Konon katanya, bagi orang Tionghoa, mie adalah hidangan wajib saat malam imlek, agar panjang umur.




Dari Vihara Tanda Bhakti, kami berjalan kaki menuju Klenteng Dharma Ramzi yang merupakan klenteng tertua kedua di Bandung. Di depan klenteng, ada beberapa anak yang memainkan barongsai dengan bebunyian yang meriah. Dibandingkan dua klenteng sebelumnya, Dharma Ramzi tampak lebih ramai dan meriah. Selain barongsai, di dalam klenteng yang tidak terlalu besar itu, terdapat banyak sekali patung beberapa dewa dewi. Beberapa relawan dan pengurus klenteng pun dengan ramah menjelaskan beberapa kisah dewa dewi tersebut. Salah satu hal yang menarik adalah ketika seorang bapak menjelaskan tentang Dewa Jodoh, lalu seorang peserta yang beragama Islam berkata pada temannya bahwa dia sudah berdoa pada Dewa Jodoh. Ketika ditanya bagaimana doanya, ia menyebutkan doa secara Islam. Saya tersentuh dengan pengalaman itu, dan saya diingatkan bahwa patung, hio, dan berbagai persembahan, bahkan bahasa yang kita gunakan saat berdoa hanyalah sarana untuk melakukan kontak dengan Tuhan Yang Maha Esa. 


Tempat terakhir yang kami kunjungi adalah Kong Miao, yaitu tempat ibadah umat Khonghucu. Meski kesannya Khonghucu adalah agama baru di Indonesia, namun ternyata agama Khonghucu sudah ada sejak tahun 60an, demikian penjelasan salah satu pengurus Majelis Agama Khonghucu Indonesia (MAKIN). Beliau juga bercerita bagaimana jasa Gus Dur, presiden ke empat Indonesia, bagi diakuinya agama Khonghucu. Begitu besar jasa Gus Dur, sampai umat Khonghucu menganggap Gus Dur adalah malaikatnya orang-orang Khonghucu. Beliau juga menjelaskan bahwa bagi umat Khonghucu secara khusus, imlek adalah hari raya keagamaan, bukan hanya perayaan budaya dan tradisi. 


Kegiatan Tur Malam Imlek ini sangat menyenangkan dan berkesan bagi saya. Sekitar 90 orang dari berbagai latar belakang budaya, agama, suku, dan komunitas berkumpul dan berkunjung ke tempat-tempat yang mungkin belum pernah dikunjungi sebelumnya. Kegiatan semacam ini sangat baik dilakukan dan bermanfaat untuk memperoleh informasi yang akurat, mengklarifikasi isu dan asumsi yang sesat, serta membangun persepsi yang lebih tepat. Yuk, tahun depan ikut Tur Malam Imlek! Selamat menyambut tahun baru, semoga dianugerahi keberkahan senantiasa!

(Stella Vania Puspitasari)


Selasa, 07 Januari 2020

Dilema Kebijakan Publik untuk Masyarakat

AYOBANDUNG.COM -- Munculnya rencana Pemerintah Kota Bandung untuk mengesahkan rancangan peraturan daerah (perda) Pencegahan dan Peningkatan Kualitas Permukiman Kumuh Perkotaan, lalu dalam skala nasional rancangan undang-undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual yang pembicaraannya serta pengesahannya masih tertunda merupakan dua contoh inisiasi rencana kebijakan publik yang diajukan untuk memenuhi target kerja legislasi. Target ini tentunya diusahakan agar bersifat adaptif dengan kebutuhan masyarakat secara ideal. Di satu sisi lain, banyak yang masih mempertanyakan efektivitas kebijakan publik yang akan disahkan maupun yang telah disahkan. Kebijakan publik lahir dari suatu keputusan politik yang menjadi suatu konsensus bersama para pengambil keputusan berdasarkan hasil observasi kepada masyarakat mengenai apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh mereka. Keputusan politik ini akan bergerak lurus dengan pelaksanaan serta bagaimana kinerja kebijakan politik dievaluasi untuk melihat skala keberhasilan atau bahkan kegagalan kebijakan publik yang telah dihasilkan.

Bagaimana sebenarnya kebijakan publik direncanakan agar tepat sasaran bagi masyarakat serta manfaatnya dapat dirasakan itulah yang menjadi tantangan berikutnya. Tidak jarang kebijakan publik terlihat sempurna ketika berada dalam tahap perencanaan hingga tahap rilis, namun menjadi lemah dalam implementasinya (Hill and Hupe, 2015), serta bagaimana kebijakan publik hanya menjadi pemuas target kerja politik saja. Ketidaklinieran, kesulitan prediksi, serta ketidakmampuan untuk adaptasi (Braithwaite, 2018) menimbulkan jurang lebar antara tahap perencanaan dan formasi kebijakan publik dan pelaksanaannya di waktu mendatang. Dengan begitu, hal ini jelas menimbulkan pemborosan anggaran serta gagalnya penerimaan manfaat kebijakan publik bagi masyarakat secara luas. Formasi Kebijakan Publik Tentunya politik kebijakan dimulai dari model masyarakat secara politis sudah ada dan mempertahankan elemen penting dari sisi politik itu sendiri (Stone, Deborah, 2002).

Masyarakat memiliki kekuatan serta keinginan politik yang ingin diwujudkan dalam bentuk regulasi yang bisa mengakomodasi kepentingan-kepentingannya. Memang tidak akan seluruh kepentingan masyarakat akan dapat dijangkau kebijakan publik karena ada intervensi pemerintah sebagai perpanjangan tangan masyarakat untuk merangkum semua kepentingan personal menjadi kepentingan kolektif. Peran kuasa pemerintah dalam memilah kepentingan-kepentingan tersebut, menurut John Stuart Mill dalam esainya "On Liberty", akan mengurangi tarikan personal dalam pengambilan keputusan untuk kebijakan publik dan akan mencegah "risiko bahaya politis" demi pemenuhan tujuan kepuasan publik. Resiko bahaya politis merupakan dampak dari proses formasi kebijakan publik. Di Indonesia dengan iklim keterbukaaan politik yang besar melibatkan jumlah partai politik yang akhirnya menyempit menjadi koalisi, tidak dapat disanggah bahwa kebijakan publik yang dihasilkan dapat berupa hal, yaitu mengakomodasi kepentingan masyarakat atau justru berpihak kepada kepentingan partai yang membawa nama masyarakat. Untuk mencegah hal tersebut, dibutuhkan mobilisasi isu yang akan diangkat dalam kebijakan publik, yang akan mempertimbangkan bagaimana perwakilan masyakarat dalam koalisi partai politik dalam legislatif terlibat dan mengembangkannya.

Bahkan, dalam bukunya Political Organization, James Q Wilson, menekankan bahwa dampak baik dan buruk dari proses formasi kebijakan publik yang didistribusikan di antara masyarakat sebagai konsensus bersama perwakilan masyakarat akan memperlihatkan apakah peran sebenarnya yang dilakukan perwakilan tersebut untuk membentuk dan aktif mengawal isu untuk formasi kebijakan publik. Realita Dilema Kebijakan Publik Contoh dua kebijakan publik di Indonesia, yaitu rancangan perda Pencegahan dan Peningkatan Kualitas Permukiman Kumuh Perkotaan di Bandung dan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, merupakan hal krusial yang mendapatkan perhatian publik secara intens. Rancangan perda yang pertama merupakan dasar hukum yang muncul untuk mendukung skema pembangunan Kotaku atau kota tanpa kumuh, sedangkan ironisnya walaupun rancangan perda ini muncul sejak tahun 2015 dan belum selesai hingga sekarang, tetapi proses penanganan sementara dan relokasi terhadap daerah yang dianggap kumuh, contohnya Tamansari Bandung RW 11. Hal ini sempat mencuri perhatian banyak karena proses relokasi dan penggusuran justru dilakukan saat status tanah bersifat tanah sengketa, serta Badan Pertanahan Nasional hingga sekarang belum menerbitkan sertifikat atas nama siapa pun, termasuk atas nama Pemerintah Kota Bandung. RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sempat mandek sejak 2016 pengesahannya, dan sekarang kembali masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional DPR untuk kedua kalinya. Penundaan proses pengesahannya pada 2019 ini bukannya tanpa alasan pula. Tantangan terletak pada protes dari beberapa kelompok partai tertentu yang menganggap RUU ini lebih mendukung sekularisasi dan nilai-nilai liberalisme tanpa memperhatikan bahwa RUU ini disusun secara komprehensif melibatkan tokoh-tokoh lintas agama, akademisi, dan pakar-pakar hukum dan gender dan kekerasan seksual serta tokoh-tokoh publik, dan elemen masyarakat. Dua contoh tadi jelas-jelas mengabaikan prinsip akomodasi bagi masyarakat karena dalam skema rancangan perda Pencegahan dan Peningkatan Kualitas Permukiman Kumuh Perkotaan perlu dipertanyakan apakah masyarakat pernah dilibatkan dalam penyusunannya, serta mempertanyakan kepada mereka apakah sebenarnya yang dibutuhkan masyarakat dalam penataan kawasan yang dianggap kumuh. Standar apakah yang dikenakan sehingga kumuh menjadi patokan untuk dilakukan relokasi dan penataan. 

Dikutip dari PR FM news, anggota Komisi C DPRD Kota Bandung dari Fraksi PDIP, Folmer Silalahi menitikberatkan tidak integratifnya pemerintah daerah dan kota dalam melakukan penanganan kawasan kumuh sehingga terkesan jalan terpisah berbasis anggaran yang dimiliki dan wewenangnya, serta keraguan atas status hukum tanah. Sementara itu, yang terjadi pada RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ketika semua elemen sudah lengkap dalam prosedur dan kajian akademik serta riset, kepentingan politiklah yang menjegal pengesahannya. Akibatnya, hingga sekarang kasus-kasus kekerasan seksual terhadap masih ditangani dengan KUHP tanpa adanya usaha-usaha yang lebih komprehensif karena belum adanya payung hukum yang lebih signifikan. Inilah dilema yang sangat jelas terlihat terhadap rencana kebijakan publik yang justru kebijakan tersebut seharusnya berpihak kepada kepentingan masyarakat dengan dukungan politik yang lebih dari sekedar niat baik mencapai target kerja legislatif.

---------

Ditulis oleh Fanny S Alam, koordinator Sekodi Bandung.

Artikel ini sudah Terbit di AyoBandung.com, dengan Judul Dilema Kebijakan Publik untuk Masyarakat, pada URL https://www.ayobandung.com/read/2020/01/06/75511/dilema-kebijakan-publik-untuk-masyarakat#.XhMPPTOe9Cc.whatsapp 

Penulis: Redaksi AyoBandung.Com
Editor : Redaksi AyoBandung.Com

Diskusi Kelompok Terarah dengan SOFI Initiative

Menerima Undangan
Pada 30 Desember 2019, saya menerima surat undangan dari SOFI Institute untuk mengikuti diskusi kelompok terarah mengenai Penguatan Pendidikan Gender dan Seksualitas untuk Pemuda. Dalam suratnya tertera bahwa kegiatan ini akan dilaksanakan di Cirebon pada hari Sabtu, 4 Januari 2020. Tepat setelah pesta tahun baru diadakan.

Perjalanan 4 Januari 2020
Saya pergi ke Cirebon bersama Alaena dari Garut, dan Hobie dari Garut. Alaena mewakili pemuda dari Garut sementara Hobie dan saya mewakili Sekolah Damai Indonesia dan Arjuna Pasundan. Kami berjumpa pada dini hari dari Buah Batu, kemudian berangkat menaiki shuttle bus. Setibanya di Cirebon kita segera memesan angkutan daring menuju lokasi kegiatan di Metland Hotel Cirebon.

SOFI Initiative sedang merencanakan program kerja terkait pendidikan gender dan séksualitas di Ciayumajakuning dan Jawa Barat. Terdiri dari dua sesi yaitu sesi pertama focused group discussion (FGD) untuk ahli dan komunitas dan sesi kedua FGD untuk pemuda umum. FGD ini dibuka oleh MC Teh Iqoh dari SOFI kemudian difasilitasi oleh Ael dari YIFOS.

Pertanyaan yang diajukan untuk FGD mencakup beberapa poin berikut:
1. Apa yang terbayang mengenai Pendidikan Gender dan Seksualitas?
2. Dari mana Anda mendapatkan pelatihan Gender dan Seksualitas?
3. Manfaat dari Pendidikan Gender dan Seksualitas
4. Sejak kapan mendapatkan Pendidikan Gender dan Seksualitas?
5. Persoalan yang muncul mengenai Gender dan Seksualitas
6. Kebijakan daerah mengenai gender dan seksualitas
7. Situasi institusi pendidikan terkait gender dan seksualitas
8. Tantangan di institusi pendidikan terkait gender dan seksualitas
9. Hal baik apa yang dimiliki mengenai Pendidikan Gender dan Seksualitas?
10. Konten rekomendasi untuk Pendidikan Gender dan Seksualitas
11. Layanan sipil mengenai Gender dan Seksualitas

Pertanyaan-pertanyaan tersebut disampaikan di kedua sesi tersebut. Untuk sesi kedua ada satu pertanyaan yang ditambahkan yaitu mengenai situasi terkait gender dan seksualitas di komunitas daring.

Dalam forum tersebut saya menyampaikan pengalaman saya selama di Bandung dan Garut. Mendengarkan cerita dari teman-teman di forum membuat diri saya mengenali situasi dan kondisi pendidikan gender dan seksualitas terutama di daerah Cirebon, Indramayu, Majalengka, Kuningan, dan Jawa Barat. Adalah kesempatan yang menyenangkan untuk dapat berbagi dalam forum ini dan berkenalan dengan berbagai pihak yang memperhatikan gender dan seksualitas. 

Hobie menambahkan pada diskusi dalam grup Sekodi mengenai kegiatan FGD:
Di sana ada sharing mengenai masalah gender dan seksualitas menurut wilayah, pengalaman pribadi, bagaimana fasilitas penunjang dan hukum hukum yang terkait gender dan seksualitas di institusi pendidikan maupun pemerintahan, sempet ngobrol juga sama anak anak muda di Cirebonnya mengenai kondisi gender dan seksualitas di Cirebon seperti apa. 

Hasil FGD yang dilakukan ini akan mejadi bahan pertimbangan mereka untuk pengembangan program SOFI Initiative dan komunitas lain, termasuk Sekodi Bandung.

(Rhaka Katresna)

Mari Bicara Kesehatan Mental


Gangguan Jiwa. Kalau muncul dua kata itu, hal pertama yang terlintas di pikiran kebanyakan orang adalah seseorang pakai baju compang-camping, rambut gimbal berantakan, dan tertawa tanpa sebab. Kemudian, bayangan berikutnya adalah seseorang berseragam dan ditempatkan di ruang isolasi karena mengamuk tak karuan. Dua gambaran tersebut memang tidak salah, tapi kurang lengkap. Komunitas Sekolah Damai Indonesia berkesempatan melakukan diskusi santai bersama Ayu Regina Yolandasari, alumni Psikologi UI dan Women’s Studies dari Ewha Womans University, serta penyintas gangguan jiwa.

Gangguan jiwa menurut Ayu banyak macamnya, mulai dari gangguan yang gejalanya mudah disadari hingga sulit disadari penderita. Kedua bayangan orang di atas bisa jadi hanya salah satu jenis gangguan jiwa bernama Skizofrenia. Skizofrenia pun memiliki tingkat keparahan yang berbeda-beda. Penderita skizofrenia ada yang perlu dirawat di rumah sakit secara intensif. Namun, banyak pula penderita yang masih dapat menjalankan fungsi kesehariannya walaupun pada lingkup yang terbatas. Jenis gangguan jiwa lainnya tercantum dalam daftar panjang DSM-V, sebuah buku panduan bagi para psikolog dan psikiater di seluruh dunia. Stigma masyarakat tentang gambaran kesehatan mental yang kurang lengkap menjadi tembok besar penanganan penderita untuk mengakses dan memperoleh perawatan yang tepat.

Ayu menceritakan pengalamannya memperoleh diagnosis gangguan jiwa ketika berada di Amerika Serikat. Ayu sempat melakukan upaya bunuh diri lebih dari sekali. Atas dorongan teman, Ayu kemudian dapat mengakses bantuan profesional di salah satu rumah sakit. Dia pun didiagnosis dengan dua jenis gangguan depresi, Major Depression dan PMDD (Pre-menstrual Dysphoric Disorder). Jenis gangguan depresi kedua mungkin belum banyak diketahui oleh tenaga profesional di Indonesia. PMDD adalah salah satu jenis gangguan depresi yang terkait dengan hormon perempuan. Bagi yang memiliki gangguan ini, PMDD dialami saat memasuki masa menstruasi dengan gejala terutama psikologis yang lebih parah dibandingkan PMS biasa. Proses pemulihan dengan konseling dan terapi rutin hingga saat ini masih dijalani Ayu. Adapun penggunaan obat juga sempat dilakukan dalam supervisi psikiater hingga dinyatakan boleh terputus. Dari tampilan atau perilaku secara sekilas, hal-hal yang umum dipahami oleh masyarakat tentang gangguan jiwa tidak berlaku padanya.

Gejala-gejala yang dianggap remeh bisa menjadi indikasi awal kehadiran gangguan jiwa, misalnya cemas berlebihan, kekurangan atau kelebihan tidur ekstrem, tidak bisa fokus, atau kehilangan nafsu makan. Ayu memperkenalkan suatu metode evaluasi sebagai langkah mengenali kondisi diri bernama “Check In” yang ia peroleh saat menjalani proses pemulihan di Amerika Serikat. Metode ini secara sederhana adalah dialog kepada diri sendiri dengan mempertanyakan beberapa hal berikut dan mencatat atau merekamnya di jurnal harian.
  1. Mood. Dari skala 1-10, bagaimana mood kamu hari ini? 1 berarti sangat buruk sedangkan 10 berarti sangat baik
  2. Feeling. Apa perasaan yang kamu rasakan saat ini? Berapa persen intensitasnya? Perasaan yang dirasakan tidak harus sejalan dan presentasenya pun tidak perlu akumulasi nilai 100. Misalnya, kamu bisa mengatakan kecewa 70% dan senang 80%
  3. Nafsu makan. Apakah kamu punya keinginan makan? Bagaimana berat badanmu? Apakah kenaikan atau penurunannya drastis? Apakah disengaja atau tidak disengaja?
  4. Tidur. Seperti apa kuantitas dan kualitas tidurmu? Apakah mimpimu baik atau tidak? Bagaimana perasaanmu setelah bangun tidur?
  5. Jika kamu sedang mengonsumsi obat, bagaimana penggunaannya? Masihkah konsisten dan sesuai dosis?
  6. Coping. Bagaimana kamu menangani perasaan yang membuatmu tidak nyaman?
  7. Goal. Apa yang kamu targetkan hari ini? Bagaimana perkembangannya?

Daftar tersebut akan membantu memahami kondisi psikis kita. Kita pun dapat memodifikasi daftar dengan menambahkan atau menguranginya sesuai kebutuhan. Ayu sendiri menambahkan poin terakhir berupa daftar kebersyukuran. Metode dialognya pun tidak harus terbatas dengan menulis. Ayu menceritakan bagaimana dia melibatkan temannya untuk mengaplikasikan metode tersebut dengan bercerita kepada satu sama lain.

Jika kita merasakan ada perubahan yang tidak biasa dan sudah tidak dapat kita atasi, jangan ragu untuk menemui tenaga profesional. Hindari self-diagnosis dengan mencari tahu dan mencocokan gejala yang dirasakan sekalipun berasal dari web yang nampak terpercaya. Self-diagnosis hanya akan mengarahkan kita pada penanganan yang tidak tepat dan bisa jadi memperburuk kondisi. Selain itu, jika kita sudah mendatangi pihak profesional dan merasa tidak cocok dengan psikolog atau psikiaternya, jangan ragu untuk pindah konsultasi. Idealnya, menurut Ayu, pihak yang sedang mengakses layanan psikiater juga perlu melakukan konseling dengan psikolog.

Lalu bagaimana jika bukan kita yang mengalami tetapi orang terdekat kita? Menurut Ayu dua kunci yang utama adalah kenali dulu kondisi diri dan jangan menghakimi. Sebelum siap mendengar dan membantu orang lain, kita perlu memastikan diri kita dalam keadaan baik-baik saja. Sekecil apapun emosi yang kita rasakan akan memengaruhi respon kita. Jika kita merasa belum siap, jangan ragu untuk menunda percakapan dan ajukan waktu pengganti.

Setelah kita siap mendengarkan, apapun yang dia ceritakan, respon dengan penuh empati. Ucapkan terima kasih karena telah bercerita. Butuh keberanian bagi seseorang untuk menceritakan hal berat yang sedang dialami. Respon berikutnya yang dapat dilakukan adalah tanyakan apa yang bisa kita bantu. Hindari langsung memberi saran karena bisa jadi dia hanya ingin didengar atau saran yang kita berikan tidak tepat.

Kemudian, bagaimana jika orang terdekat kita menyatakan keinginannya untuk mengakhiri hidup? Apakah dia serius atau tidak? Respon yang disarankan Ayu adalah anggap hal tersebut bukan candaan. Kita dapat mengatakan “Apakah kamu baik-baik saja?”, “Aku khawatir sama kamu”, “Kamu mau cerita sesuatu?” Tidak ada orang cukup perhatian yang akan mencoba menarik perhatian orang lain. Tidak ada pula orang yang tidak butuh pertolongan akan meminta pertolongan.

Manusia memiliki cara yang unik dalam mempersepsikan fenomena yang terjadi dalam hidupnya. Menjadi pribadi yang paham kondisi diri sendiri akan membantu kita tetap terkoneksi dengan diri sendiri dan orang lain. Salah satu masalah kesehatan mental adalah terputusnya koneksi dengan diri. Perlakuan buruk yang dilakukan kepada orang lain juga tidak jarang bersumber dari pribadi yang tidak mindful dengan dirinya sendiri. Jadi, jangan ragu dan malu untuk berbicara jika kita sedang tidak baik-baik saja.



(Lindawati Sumpena)