Tampilkan postingan dengan label SDGs. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label SDGs. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 20 Juni 2020

Anak Muda & Perubahan


Masa muda (bahasa Inggris : youth) merujuk pada suatu tahap kehidupan ketika seseorang masih muda, lebih tepatnya suatu tahap kehidupan setelah masa kanak-kanak (childhood) namun sebelum memasuki masa dewasa (adulthood). Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) sendiri mengatakan sebenarnya tidak terdapat definisi yang diakui secara internasional untuk masa muda, atau kapan seseorang dikatakan muda. Demi kepentingan pengolahan data statistik kependudukan, PBB mendefinisikan anak muda sebagai seseorang yang berada di antara usia 15-24 tahun [1]. Di sisi lain, berbagai entitas di dalam PBB memiliki definisinya masing-masing. UN Habitat mendefinsikan anak muda dalam rentang usia 15-32 tahun [2], African Youth Charter 15-35 tahun [2], sedangkan World Health Organization / WHO (badan kesehatan sedunia di bawah PBB) menyetujui rentang 15-24 tahun sebagai youth tetapi menambahkan bahwa definisi orang muda (young people) mencakup rentang usia 10-24 tahun [3].
Terlepas dari hal definisi, peran anak muda dalam berbagai bidang kehidupan tidak dapat diabaikan. Masih menurut laman PBB, saat ini terdapat 1,2 miliar anak muda atau setara dengan 16% dari populasi global (dengan asumsi penduduk dunia berjumlah 7,5 miliar orang) [1]. Pembangunan aspek-aspek kehidupan sedunia tidak mungkin meninggalkan 16% populasi global. Selain itu berbagai isu dan permasalahan juga mendera atau terkait kalangan muda, misalnya isu pendidikan, pengadilan anak, tentara anak di daerah konflik, kesetaraan gender, dan lain sebagainya. Maka pada tahun 2015 PBB mencetuskan sebuah agenda pembangunan yang bernama Millennium Development Goals atau MDGs (Tujuan Pembangunan Milenium) dan berjalan sejak tahun 2000 – 2015 [4]. Namun karena MDGs yang terdiri atas delapan poin belum tercapai pada tahun 2015, maka dicanangkanlah program kedua sebagai kelanjutan dari MDGs yang dinamakan Sustainable Development Goals atau SDGs (Tujuan Pembangunan Berkelanjutan) untuk diharapkan tercapai pada tahun 2030.
SDGs bertujuan untuk menyeimbangkan tiga aspek pembangunan secara bersamaan yaitu aspek ekonomi, aspek sosial, dan aspek pembangunan sekaligus memastikan dipenuhinya hak-hak asasi manusia (HAM) selama proses pembangunan tersebut berlangsung. Dalam tataran yang lebih praktikal, SDGs pada dasarnya dirancang untuk mengurangi kemiskinan & kelaparan, memperjuangkan kesetaraan atau keadilan sosial bagi seluruh masyarakat dunia, serta meningkatkan kualitas lingkungan. Delapan (8) tujuan pembangunan dalam MDGs diperluas menjadi tujuhbelas (17) tujuan pembangunan dalam SDGs yang mencakup [5] :
1.             Tanpa kemiskinan (No poverty)
2.             Tanpa kelaparan (Zero hunger)
3.             Kehidupan sehat & sejahtera (Good health & well-being)
4.             Pendidikan berkualitas (Qualiy education)
5.             Kesetaraan gender (Gender equality)
6.             Air bersih & sanitasi layak (Clean water & sanitation)
7.             Energi bersih & terjangkau (Affordable & clean energy)
8.             Pekerjaan yang layak & pertumbuhan ekonomi (Decent work & economic growth)
9.             Industri, inovasi, & infrastruktur (Industry, innovation, & infrastructure)
10.         Pengurangan kesenjangan (Reduced inequalities)
11.         Kota & komunitas yang berkelanjutan (Sustainable cities & communities)
12.         Produksi & konsumsi yang bertanggungjawab (Responsible consumption & production)
13.         Penanganan perubahan iklim (Climate action)
14.         Ekosistem laut (Life below water)
15.         Ekosistem darat (Life on land)
16.         Perdamaian, keadilan, & kelembagaan yang tangguh (Peace, justice, & strong institutions)
17.         Kemitraan untuk mencapai tujuan (Partnership)

Indonesia sebagai salah satu anggota PBB juga turut serta dalam MDGs dan SDGs. Di level pemerintahan Indonesia, koordinator pelaksana program SDGs berada di tangan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Selain pemerintah, saat ini terdapat belasan bahkan puluhan organisasi non-pemerintah (Non-Governmental Organzation atau NGO) yang fokus kerangka kerjanya berada di bidang SDGs. Juga banyak pula NGO yang mengaitkan program-programnya dengan tujuan-tujuan yang ada di dalam SDGs. Salah satu NGO yang fokus kerangka kerjanya berpedoman pada tujuan-tujuan SDGs adalah World Merit, yaitu sebuah gerakan anak muda internasional yang bekerjasama secara langsung dengan PBB untuk mencapai 17 tujuan SDGs. World Merit mendorong anak muda mengambil tindakan (beraksi) serta membuat perbedaan yang positif baik secara lokal maupun global [6].

World Merit Indonesia merupakan dewan nasional (national council) dari World Merit global yang bermarkas di Liverpool, Inggris [6]. Di bawah World Merit Indonesia terdapat beberapa dewan lokal atau dewan kota (local councils / city councils), salah satunya adalah World Merit Indonesia chapter Bandung (WMB) yang aktif sejak akhir tahun 2017 sampai dengan pertengahan tahun 2019. WMB memfokuskan diri untuk membuat proyek-proyek sosial berskala kecil menengah yang menyangkut tujuan SDG nomor 2 (Zero hunger), nomor 10 (Reduced inequalities), nomor 12 (Responsible consumption & production), serta nomor 17 (Partnership). Visi misi WMB secara ringkas adalah memperkenalkan apa itu SDGs dan bagaimana cara pengimplementasiannya, khususnya kepada kalangan muda kota Bandung. Mayoritas anggota WMB adalah mahasiswa dan beberapa pekerja muda. Kegiatan WMB bersifat “youth empowerment” atau sebagai ajang pemberdayaan anak muda dimana anggotanya dibebaskan untuk melakukan kegiatan sosial apapun asalkan masih berada di koridor SDGs.
Walaupun fokus utama WMB adalah pada 4 tujuan SDGs, namun tidak menutup kemungkinan WMB mengadakan berbagai kegiatan atau proyek sosial yang berkaitan dengan tujuan-tujuan SDGs yang lain. Misalnya WMB pernah mengadakan diskusi kesetaraan gender (terkait isu SDGs nomor 5) atau diskusi mengenai perdamaian dan keadilan (terkait isu SDGs nomor 16). Kemitraan dengan pihak lain pun pernah dijalani WMB dalam acara Bon Appetit dimana bahan makanan yang masih layak konsumsi atau uang dikumpulkan lalu diolah bersama Dapur Ikhlas untuk dibagikan kepada anak-anak jalanan (terkait isu SDGs nomor 2 dan 17). Pemanfaatan media-media sosial seperti misalnya Instagram juga tak luput dilakukan untuk menumbuhkan kesadaran pada masyarakat terutama anak muda tentang SDGs.
SDGs pada dasarnya tidak berbeda dengan kegiatan sosial karena tujuan-tujuan dalam SDGs sebenarnya bersifat universal serta mencakup banyak isu dan atau permasalahan yang berkembang di dalam masyarakat. Dengan kata lain untuk ikut serta dalam menyukseskan SDGs tidak harus dengan mengikuti organisasi-organisasi SDGs semata, namun mengikuti organisasi dan proyek-proyek sosial lain pun sudah dapat ikut menyukseskan SDGs. Pergunakanlah organisasi atau saluran-saluran yang telah ada. Peran anak muda disini lebih bertitik berat kepada turut serta dalam mensosialisasikan SDGs kepada masyarakat luas serta ikut meramaikan implementasi tujuan-tujuan SDGs melalui kegiatan-kegiatan sosial yang dapat dilakukan di level komunitas-komunitas anak muda. Dari penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa membangun atau memiliki organisasi yang berfokus pada SDGs tentu akan lebih baik karena pelaksanaan SDGs akan menjadi lebih terorganisir, namun jangan sampai hal ini menjadi fokus usaha yang justru akan meninggalkan tujuan dari SDGs itu sendiri : membuat perubahan.
Membuat perubahan selalu diawali dari diri sendiri. Kalimat ini mungkin sudah sering kita dengar, namun betul adanya. Lihat saja sifat kegiatan organisasi WMB di atas, yang bergerak dari konsep “youth empowerment atau sebagai ajang pemberdayaan (diri sendiri)” menjadi “sosialisasi serta penumbuhan kesadaran dalam masyarakat”. Dari menumbuhkan kesadaran (growing awareness) menjadi menyebarkan kesadaran (spreading awareness). Kesadaran, bahwa masih banyak isu dan permasalahan yang mendera masyarakat sedunia, entah itu isu keadilan sosial, isu ekologis, dan lain-lain. Kesadaran, bahwa orang muda sebagai agen perubahan harus melakukan sesuatu bagi dunia ini. Kesadaran, bahwa tidak bersuara atau melakukan apapun sama saja dengan membiarkan bahkan mendukung ketidakadilan dan kerusakan tersebut. Dan akhirnya kesadaran, bahwa jika ketidakadilan dan kerusakan tersebut terus berjalan tanpa ditentang, diubah, atau dihapuskan, maka ide bahwa di masa depan bumi ini menjadi tidak layak lagi ditinggali atau masyarakat berkonflik sampai pada titik hari kiamat diwujudkan dengan perang nuklir, bukan lagi menjadi ide yang asing dan mengawang-awang.
Apa yang dapat dilakukan ? 17 tujuan SDGs yang dicanangkan PBB dapat dianggap sebagai agenda ambisius yang transformatif, namun bukan berarti mustahil dicapai. Tiap tujuan SDGs saling berkaitan dan sebenarnya sangat mudah dipraktikkan. Mulailah dari diri sendiri dan lingkungan sekitar. Misalnya untuk mengurangi food waste / sampah makanan (lihat tujuan SDGs nomor 2) cukup dimulai dengan kita bertanggungjawab menghabiskan makanan yang telah kita ambil. Kultur buruk di Indonesia ialah tiap orang cenderung mengambil makanan sebanyak-banyaknya tanpa mempertimbangkan kapasitas perut mereka. Akibatnya makanan menjadi terbuang percuma, padahal di sekitar kita masih banyak orang-orang yang kelaparan, yang tiap hari harus berjuang keras mendapatkan sesuap nasi (benar-benar sesuap secara harafiah). Tidak aneh jika Indonesia dinobatkan sebagai negara kedua sedunia sebagai pembuang makanan terbanyak setelah Arab Saudi, dengan tiap orang Indonesia membuang sebanyak 300 kg makanan setiap tahunnya [7]. Apakah kita orang Indonesia akan terus membanggakan prestasi hebat ini ?
Habiskan makanan kita, atau donasikan jika masih layak konsumsi. Hal yang sama berlaku pula untuk pakaian. Perilaku konsumerisme kita menjadikan kita membeli pakaian sebanyak-banyaknya, walaupun sebenarnya pakaian yang layak pakai masih banyak tersedia di rumah, bahkan menumpuk belum terpakai. Selain pengurangan kuantitas pembelian pakaian, terdapat beberapa merk pakaian yang belum memenuhi standar, seperti misalnya tidak ramah lingkungan atau mempekerjakan pekerja anak (di bawah umur). Ambil contoh merk H&M (dari Swedia) yang pernah dikecam karena mempekerjakan anak berumur 14 tahun selama 12 jam sehari [8], atau merk Zara (dari Spanyol) yang pernah dituntut atas 52 pelanggaran oleh Kementerian Ketenagakerjaan Brazil karena para pekerjanya dari dua pabrik di Sao Paulo (Brazil) bekerja di lingkungan kerja yang tidak sehat, dikontrak kerja secara ilegal, mempekerjakan anak di bawah umur (terdapat seorang gadis berusia 14 tahun), jam kerja yang tidak manusiawi (16 jam sehari), upah di bawah standar, dan pelanggaran-pelanggaran lainnya [9].
Fakta-fakta di atas bukanlah merupakan suatu ajakan boikot suatu merk dagang tertentu, namun mengajarkan kepada kita bahwa sebagai konsumen akhir kita memegang peranan penting atas keberlangsungan atau terhapusnya ketidakadilan (terkait tujuan SDGs nomor 8). Selain itu, kebijaksanaan kita dalam membeli barang konsumsi terkait dengan tujuan SDGs nomor 12, yaitu produksi dan konsumsi yang berkelanjutan. Ingatlah hukum ekonomi bahwa penawaran terjadi karena adanya permintaan. Jika konsumen akhir bijak dalam membeli, maka produsen mau tak mau akan ‘terpaksa’ bijak dalam memproduksi. Otomatis hal ini akan mengurangi sumber daya yang dipakai, bahkan mengurangi sumber daya yang terbuang sia-sia karena hanya digunakan untuk memproduksi barang-barang yang menjadi sampah, entah sampah makanan atau pakaian. Bayangkan seberapa besar dampak sosial yang dapat kita buat dalam mencegah anarki produksi hanya dengan tindakan ‘kecil’ kita yang secara selektif memilih dan membeli produk yang kita butuhkan, bukan yang kita inginkan.
Kegiatan-kegiatan lainnya yang berhubungan dengan isu ekologis (tujuan SDGs nomor 13, 14, atau 15) juga terbilang banyak. Yang paling sederhana adalah tidak membuang sampah sembarangan. Terdengar klise, tapi mari bersama mengakui, sudah berhasilkah kita melakukannya ? Pada tahun 2016 saja, jumlah sampah di muka Bumi sudah mencapai 2,01 miliar ton dan diprediksi akan bertambah 70% pada tahun 2050 (setara 3,4 miliar ton) kecuali jika suatu tindakan bersama segera diambil [10]. Bahkan sekedar menggunakan peralatan makan-minum yang dapat digunakan berulang kali (reusable) akan sangat berdampak mengurangi kuantitas polusi plastik di dunia. Bersama kita bisa mencegah kasus seperti hidung penyu di Kosta Rika yang tertusuk sedotan plastik [11] atau seekor paus pilot yang harus mati kesakitan di Thailand selatan karena menelan lebih dari 80 tas plastik seberat 8 kilogram [12]. Komunitas-komunitas anak muda diharapkan berperan besar dalam isu-isu seperti di atas karena mereka-lah gerbong lokomotif perubahan tidak hanya di Indonesia, namun juga dunia.
Komunitas-komunitas anak muda akan jauh lebih terbantu apabila pemerintah juga turut serta membuat kebijakan kebijakan publik yang selaras atau mendukung SDGs. Misalnya pemerintah dapat lebih menggalakkan kurikulum keadilan sosial atau kelestarian lingkungan hidup yang kemudian dibarengi praktik nyata, bukan hanya teori. Pemerintah pun sebenarnya ikut terbantu dengan adanya komunitas-komunitas anak muda ini dalam mengampanyekan SDGs. Ditambah lagi, youth communities dan masyarakat juga dapat menjadi pengawas pemerintah dalam mencanangkan program-program pembangunan yang berkelanjutan. Kritik yang membangun wajib (bukan ‘dapat’) diberikan apabila pemerintah mencanangkan program atau membuat kebijakan yang tidak berpihak pada 17 tujuan SDGs.
Di sisi lain, komunitas-komunitas anak muda juga tak seyogianya alergi pada otokritik. Dewasa ini secara umum terdapat tiga (3) kelemahan pada komunitas-komunitas anak muda yaitu kurangnya Sumber Daya Manusia (SDM) / anggota yang berkomitmen, kurangnya dana, dan kurangnya kemampuan menjangkau grassroot / kalangan akar rumput.
Pertama-tama patut diperhatikan bahwa karena keanggotaan komunitas anak muda bersifat sukarela (voluntary), maka kegiatannya pun berbasis sukarela. Untuk beberapa anak muda yang peduli pada isu tertentu, ia dengan sendirinya akan vokal menyuarakan keresahannya & akan ikut memberikan solusi dalam isu terkait tujuan SDGs nomer kesekian. Tetapi mereka yang tak terlalu berminat dengan proyek tersebut akan menyumbang partisipasinya saja alias menjadi pengikut pasif. Selain itu terdapat pula anak muda atau mahasiswa yang mengikuti komunitas hanya untuk mempercantik riwayat hidupnya (CV) saja, dimana terlihat ‘barisan’ organisasi yang pernah dimasukinya (catatan : penulis sengaja tidak menggunakan diksidiikuti”). Individu-individu yang demikian tidak terlalu peduli dengan kegiatan sosial, dan bahkan berdampak negatif kepada anggota-anggota lainnya yang ikut-ikutan ‘lenyap’. Kinerja komunitas secara keseluruhan pun akan turut menurun seiring lingkaran setan yang terus berputar ini.
Kelemahan kedua ialah kurangnya pendanaan. Tak dapat dipungkiri lemahnya finansial akan membuat para anak muda tidak dapat membuat kegiatan sosial berdaya jangkau luas. Ketika pendonor dana didapatkan pun, adakalanya youth community justru dimanfaatkan untuk kepentingan si pemberi donor (ditunggangi oleh pemilik modal) sehingga kegiatan sosial yang diadakan pun hanya terkesan berfungsi sebagai pencitraan atau usaha membangun imaji (branding) saja. Walaupun demikian, sisi positif yang dapat diambil dari kondisi buruk tersebut adalah komunitas tetap terbantu dalam mempertahankan eksistensinya atau melaksanakan kegiatannya. Maka sekalipun Tan Malaka pernah berkata bahwa idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki oleh para pemuda, semua itu kembali pada pertanyaan manakah yang akan dipilih, apakah idealisme atau kepentingan taktis. Menggadaikan idealisme seringkali bergerak bersamaan dengan mengabdi kepada modal (uang).
Yang terakhir ialah kurang sesuainya pendekatan-pendekatan yang digunakan oleh komunitas anak muda. Misalnya saat akan menyuarakan keadilan / kesetaraan yang tujuannya menjangkau ke kalangan akar rumput, seringkali komunikasi / pola bahasa yang digunakan masih eksklusif. Narasi yang digunakan pun masih memakai kata-kata yang sulit dimengerti kalangan umum. Pemilihan tema dan isu-nya pun seringkali juga eksklusif. Pemakaian bahasa asing pun (umumnya bahasa Inggris) tidak memperhatikan kondisi subjek yang dituju. Contohnya kalangan ibu rumah tangga (IRT) akan kesulitan mencerna istilah "gender equality" (kesetaraan gender) atau "gender equity" (keadilan gender), begitu pula anak jalanan akan sulit memahami istilah "gaya hidup berkelanjutan" atau "go green". Hal ini mengakibatkan pesan yang hendak disampaikan juga tak akan tercapai oleh subjek yang dituju karena telah berbeda frekuensi.
Akhir kata, walaupun terdapat berbagai kendala, komunitas anak muda tetap berperan sebagai agen perubahan masyarakat bahkan dunia. Keberanian, energi masa muda, dan ide-ide kreatif mereka sangat memungkinkan 17 tujuan SDGs tercapai pada tahun 2030. Mengubah kebiasaan buruk suatu masyarakat, menghapus ketidakadilan dalam berbagai bentuknya, bahkan ‘memaksakan’ perubahan positif demi pembangunan dan kehidupan yang lebih baik serta adil bukanlah hal yang mustahil. Mengubah suatu negara atau bahkan dunia bukanlah ide yang abstrak. Ia sangat mungkin dicapai, tentunya dengan melibatkan anak muda sebagai motor penggerak perubahan. Sebagaimana yang telah dikatakan Bapak Pendiri Bangsa, Bung Karno :
“Beri aku 1.000 orang tua,
niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya.
Beri aku 10 pemuda,
niscaya akan kuguncangkan dunia !

Jadi mari pemuda-pemudi, kita membangun sebuah dunia baru !

Referensi :
[1]          United Nations. Youth. Diakses dari https://www.un.org/en/sections/issues-depth/youth-0/index.html. Diakses pada 14 Juni 2020.
[2]          Wikipedia. Youth. Diakses dari https://en.m.wikipedia.org/wiki/Youth#:~:text=The%20United%20Nations%20defines%20youth,states%20such%20as%2018-30. Diakses pada 14 Juni 2020.
[3]          World Health Organization. Adolescent Health. Diakses dari https://www.who.int/southeastasia/health-topics/adolescent-health. Diakses pada 14 Juni 2020.
[4]          United Nations. Millennium Development Goals and Beyond 2015. Diakses dari https://www.un.org/millenniumgoals/. Diakses pada 14 Juni 2020.
[5]          United Nations. About the Sustainable Development Goals. Diakses dari https://www.un.org/sustainabledevelopment/ sustainable-development-goals /. Diakses pada 14 Juni 2020.
[6]          World Merit. Diakses dari https://worldmerit.org/. Diakses pada 14 Juni 2020.
[7]          Barilla Center for Food and Nutrition. Food Sustainability Index. Diakses dari https://foodsustainability.eiu.com/food-loss-and-waste /. Diakses pada 14 Juni 2020.
[8]          The Guardian. H&M Factories in Myanmar employed 14-yeard-old workers. Diakses dari https://amp.theguardian.com/business/2016/aug/21/hm-factories-myanmar-employed-14-year-old-workers. Diakses pada 14 Juni 2020.
[9]          Daily Mail. Zara accused of employing children as young as 14 in ‘slave labour’ factories in Brazil. Diakses dari https://www.dailymail.co.uk/femail/article-2028041/amp/Zara accused-employing-children-young-14-slave-labour-factories-Brazil.html. Diakses pada 14 Juni 2020.
[10]      The World Bank. Global Waste to Grow by 70 Percent by 2050 Unless Urgent Action is Taken: World Bank Report. Diakses dari https://www.worldbank.org/en/news/press-release/2018/09/20/global-waste-to-grow-by-70-percent-by-2050-unless-urgent-action-is-taken-world-bank-report. Diakses pada 14 Juni 2020.
[11]      National Geographic. How Did Sea Turtle Get a Straw up its Nose ?. Diakses dari https://www.nationalgeographic.com.au/animals/how-did-sea-turtle-get-a-straw-up-its-nose.aspx. Diakses pada 14 Juni 2020.
[12]      National Geographic. How Did Sea Turtle Get a Straw up its Nose ?. Diakses dari https://www.nationalgeographic.com.au/animals/how-did-sea-turtle-get-a-straw-up-its-nose.aspx. Diakses pada 14 Juni 2020.
[13]      The Guardian. Whale dies from eating more than 80 plastic bags. Diakses dari https://www.theguardian.com/environment/2018/jun/03/whale-dies-from-eating-more-than-80-plastic-bags. Diakses pada 14 Juni 2020.



Tulisan oleh Yohanes, anggota Sekolah Damai Indonesia Bandung