Tampilkan postingan dengan label kesehatan mental. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kesehatan mental. Tampilkan semua postingan

Minggu, 22 Maret 2020

Serba-serbi Social Distancing


AYOBANDUNG.COM -- Hari-hari ini ramai dibicarakan tentang social distancing sebagai upaya pencegahan penyebaran wabah virus corona. Seperti kita tahu, social distancing adalah perilaku menjaga jarak fisik dengan orang lain, terutama orang asing, sejauh minimal 1 meter. Beberapa implikasi social distancing yang dilakukan secara massal adalah gerakan bekerja, belajar, dan beribadah di rumah yang diserukan oleh Presiden Jokowi dan didukung oleh berbagai pihak. Hal ini mungkin lebih tepat disebut sebagai physical social distancing. 

Akan tetapi, pembatasan jarak dan perjumpaan tatap muka dengan orang lain dapat berdampak negatif bagi sebagian orang. Perasaan kesendirian dan kesepian menjadi ancaman nyata yang kita hadapi. Celakanya, perasaan ini dapat berkembang menjadi perasaan depresif, bahkan mungkin pula berkembang menjadi gangguan depresi atau masalah kesehatan mental yang lain. 

Emotional distancing 
Secara logika, orang dengan kecenderungan ekstrover cenderung lebih riskan mengalami perasaan tidak nyaman akibat kebijakan-kebijakan dalam upaya social distancing. Orang-orang ekstrover adalah mereka yang mendapatkan energi dari luar dirinya, dalam interaksi dengan banyak orang. Hari-hari ini, karena interaksi tatap muka dikurangi bahkan dinihilkan, kesempatan para ekstrover untuk “mengisi energi” mereka pun semakin sedikit. 

Meski demikian, mereka yang introver pun dapat mengalami perasaan tidak nyaman akibat social distancing ini. Walaupun mereka cenderung mendapatkan energi dari waktu menyendiri, namun informasi yang bertubi-tubi, dan situasi yang terjadi akhir-akhir ini dapat menimbulkan perasaan mencekam, tidak aman, bahkan terancam. 

Perasaan tidak aman, kecemasan, dan perasaan terancam dapat dikatakan wajar dialami oleh setiap orang di tengah pandemi seperti ini. Ada yang cemas karena tetap harus bekerja di luar rumah demi sesuap nasi, ada yang cemas karena tetangganya sakit dan dikhawatirnya sudah terinfeksi virus, ada yang cemas karena orang terkasihnya tenaga kesehatan yang bisa sewaktu-waktu terinfeksi dan kekurangan alat perlindungan diri. Ada yang cemas karena orang tuanya memiliki penyakit bawaan sehingga lebih rentan terinfeksi virus ini, ada yang cemas karena penghasilannya berkurang, ada yang cemas karena terlalu lama berada di rumah sendirian, ada yang cemas tidak memiliki bahan pokok untuk kebutuhan hidupnya. Semua orang cemas, semua orang khawatir, semua orang panik, meski dengan berbagai alasan yang berbeda. Satu hal yang perlu diingat: bukan hanya Anda yang cemas. Saya juga, dan banyak orang lain demikian. 

Salah satu hal yang bisa dilakukan untuk membantu mengurangi perasaan tidak nyaman di tengah pandemi ini adalah dengan tidak melakukan emotional distancing. Jika (physical) social distancing diartikan sebagai menjaga jarak fisik, maka bolehlah kita mengartikan emotional distancing sebagai jarak emosional antara satu orang dengan orang yang lain. Kita disarankan untuk menjaga jarak sosial secara fisik dengan orang lain sejauh minimal 1 meter, namun sebaliknya, kita perlu mendekatkan jarak emosional kita dengan orang lain. 

Kita bisa menyapa, menanyakan kabar, bahkan berbagi kecemasan dengan keluarga, sahabat, teman, kolega, atau kenalan. Jika dengan pesan teks dirasa kurang, kita bisa menelepon atau melakukan panggilan video sehingga kehadiran orang lain terasa lebih nyata bagi kita. Hal sederhana semacam ini membuat kita dan orang yang kita sapa merasa tidak sendiri. Setidaknya kita merasa punya teman dalam menghadapi masa sulit ini. Lebih lagi, kita merasa punya teman senasib sepenanggungan yang juga merasa tidak aman dan cemas. Perasaan lega karena tahu bahwa tidak sendiri ini dapat menimbulkan ketenangan. 

Social media distancing 
Bagi sebagian orang, informasi yang riuh dan bertubi-tubi di media sosial adalah salah satu faktor yang memicu kecemasan dan kelelahan mental. Untuk itu, konsep social distance perlu juga kita terapkan ketika menggunakan media sosial. Dengan kata lain, kita perlu melakukan social media distance. 

Salah satu cara yang paling efektif adalah dengan berusaha menyaring informasi apa saja yang ingin kita ketahui. Kita juga bisa membatasi waktu-waktu tertentu yang ingin kita gunakan untuk mengakses media sosial. Selain itu, kita bisa mencari alternatif media atau kegiatan lain yang bisa memberikan hiburan sekaligus ketenangan, misalnya membaca buku, menonton film, mendengarkan musik, memasak, membersihkan rumah, berolahraga, atau melakukan hobi. Ada banyak hal yang masih bisa kita lakukan di tengah imbauan untuk social distance. 

Perlebar jarak sosial secara fisik. Perlebar jarak dengan sosial media. Persempit jarak emosional dengan orang lain, khususnya orang-orang terkasih. Mari memperlebar empati dan belarasa. Semoga akal budi dan hati nurani kita tetap jernih dan tidak terinfeksi. 


Stella Vania Puspitasari, Seorang calon psikolog klinis anak dan remaja yang masih belajar untuk menjadi pembelajar, dan menjadi sahabat bagi sesama.

---------
Artikel ini sudah Terbit di AyoBandung.com pada Minggu, 22 Maret 2020, dengan Judul Serba-serbi Social Distancing, pada URL https://www.ayobandung.com/read/2020/03/22/83418/serba-serbi-social-distancing

Penulis: Redaksi AyoBandung.Com
Editor : Redaksi AyoBandung.Com


Selasa, 07 Januari 2020

Mari Bicara Kesehatan Mental


Gangguan Jiwa. Kalau muncul dua kata itu, hal pertama yang terlintas di pikiran kebanyakan orang adalah seseorang pakai baju compang-camping, rambut gimbal berantakan, dan tertawa tanpa sebab. Kemudian, bayangan berikutnya adalah seseorang berseragam dan ditempatkan di ruang isolasi karena mengamuk tak karuan. Dua gambaran tersebut memang tidak salah, tapi kurang lengkap. Komunitas Sekolah Damai Indonesia berkesempatan melakukan diskusi santai bersama Ayu Regina Yolandasari, alumni Psikologi UI dan Women’s Studies dari Ewha Womans University, serta penyintas gangguan jiwa.

Gangguan jiwa menurut Ayu banyak macamnya, mulai dari gangguan yang gejalanya mudah disadari hingga sulit disadari penderita. Kedua bayangan orang di atas bisa jadi hanya salah satu jenis gangguan jiwa bernama Skizofrenia. Skizofrenia pun memiliki tingkat keparahan yang berbeda-beda. Penderita skizofrenia ada yang perlu dirawat di rumah sakit secara intensif. Namun, banyak pula penderita yang masih dapat menjalankan fungsi kesehariannya walaupun pada lingkup yang terbatas. Jenis gangguan jiwa lainnya tercantum dalam daftar panjang DSM-V, sebuah buku panduan bagi para psikolog dan psikiater di seluruh dunia. Stigma masyarakat tentang gambaran kesehatan mental yang kurang lengkap menjadi tembok besar penanganan penderita untuk mengakses dan memperoleh perawatan yang tepat.

Ayu menceritakan pengalamannya memperoleh diagnosis gangguan jiwa ketika berada di Amerika Serikat. Ayu sempat melakukan upaya bunuh diri lebih dari sekali. Atas dorongan teman, Ayu kemudian dapat mengakses bantuan profesional di salah satu rumah sakit. Dia pun didiagnosis dengan dua jenis gangguan depresi, Major Depression dan PMDD (Pre-menstrual Dysphoric Disorder). Jenis gangguan depresi kedua mungkin belum banyak diketahui oleh tenaga profesional di Indonesia. PMDD adalah salah satu jenis gangguan depresi yang terkait dengan hormon perempuan. Bagi yang memiliki gangguan ini, PMDD dialami saat memasuki masa menstruasi dengan gejala terutama psikologis yang lebih parah dibandingkan PMS biasa. Proses pemulihan dengan konseling dan terapi rutin hingga saat ini masih dijalani Ayu. Adapun penggunaan obat juga sempat dilakukan dalam supervisi psikiater hingga dinyatakan boleh terputus. Dari tampilan atau perilaku secara sekilas, hal-hal yang umum dipahami oleh masyarakat tentang gangguan jiwa tidak berlaku padanya.

Gejala-gejala yang dianggap remeh bisa menjadi indikasi awal kehadiran gangguan jiwa, misalnya cemas berlebihan, kekurangan atau kelebihan tidur ekstrem, tidak bisa fokus, atau kehilangan nafsu makan. Ayu memperkenalkan suatu metode evaluasi sebagai langkah mengenali kondisi diri bernama “Check In” yang ia peroleh saat menjalani proses pemulihan di Amerika Serikat. Metode ini secara sederhana adalah dialog kepada diri sendiri dengan mempertanyakan beberapa hal berikut dan mencatat atau merekamnya di jurnal harian.
  1. Mood. Dari skala 1-10, bagaimana mood kamu hari ini? 1 berarti sangat buruk sedangkan 10 berarti sangat baik
  2. Feeling. Apa perasaan yang kamu rasakan saat ini? Berapa persen intensitasnya? Perasaan yang dirasakan tidak harus sejalan dan presentasenya pun tidak perlu akumulasi nilai 100. Misalnya, kamu bisa mengatakan kecewa 70% dan senang 80%
  3. Nafsu makan. Apakah kamu punya keinginan makan? Bagaimana berat badanmu? Apakah kenaikan atau penurunannya drastis? Apakah disengaja atau tidak disengaja?
  4. Tidur. Seperti apa kuantitas dan kualitas tidurmu? Apakah mimpimu baik atau tidak? Bagaimana perasaanmu setelah bangun tidur?
  5. Jika kamu sedang mengonsumsi obat, bagaimana penggunaannya? Masihkah konsisten dan sesuai dosis?
  6. Coping. Bagaimana kamu menangani perasaan yang membuatmu tidak nyaman?
  7. Goal. Apa yang kamu targetkan hari ini? Bagaimana perkembangannya?

Daftar tersebut akan membantu memahami kondisi psikis kita. Kita pun dapat memodifikasi daftar dengan menambahkan atau menguranginya sesuai kebutuhan. Ayu sendiri menambahkan poin terakhir berupa daftar kebersyukuran. Metode dialognya pun tidak harus terbatas dengan menulis. Ayu menceritakan bagaimana dia melibatkan temannya untuk mengaplikasikan metode tersebut dengan bercerita kepada satu sama lain.

Jika kita merasakan ada perubahan yang tidak biasa dan sudah tidak dapat kita atasi, jangan ragu untuk menemui tenaga profesional. Hindari self-diagnosis dengan mencari tahu dan mencocokan gejala yang dirasakan sekalipun berasal dari web yang nampak terpercaya. Self-diagnosis hanya akan mengarahkan kita pada penanganan yang tidak tepat dan bisa jadi memperburuk kondisi. Selain itu, jika kita sudah mendatangi pihak profesional dan merasa tidak cocok dengan psikolog atau psikiaternya, jangan ragu untuk pindah konsultasi. Idealnya, menurut Ayu, pihak yang sedang mengakses layanan psikiater juga perlu melakukan konseling dengan psikolog.

Lalu bagaimana jika bukan kita yang mengalami tetapi orang terdekat kita? Menurut Ayu dua kunci yang utama adalah kenali dulu kondisi diri dan jangan menghakimi. Sebelum siap mendengar dan membantu orang lain, kita perlu memastikan diri kita dalam keadaan baik-baik saja. Sekecil apapun emosi yang kita rasakan akan memengaruhi respon kita. Jika kita merasa belum siap, jangan ragu untuk menunda percakapan dan ajukan waktu pengganti.

Setelah kita siap mendengarkan, apapun yang dia ceritakan, respon dengan penuh empati. Ucapkan terima kasih karena telah bercerita. Butuh keberanian bagi seseorang untuk menceritakan hal berat yang sedang dialami. Respon berikutnya yang dapat dilakukan adalah tanyakan apa yang bisa kita bantu. Hindari langsung memberi saran karena bisa jadi dia hanya ingin didengar atau saran yang kita berikan tidak tepat.

Kemudian, bagaimana jika orang terdekat kita menyatakan keinginannya untuk mengakhiri hidup? Apakah dia serius atau tidak? Respon yang disarankan Ayu adalah anggap hal tersebut bukan candaan. Kita dapat mengatakan “Apakah kamu baik-baik saja?”, “Aku khawatir sama kamu”, “Kamu mau cerita sesuatu?” Tidak ada orang cukup perhatian yang akan mencoba menarik perhatian orang lain. Tidak ada pula orang yang tidak butuh pertolongan akan meminta pertolongan.

Manusia memiliki cara yang unik dalam mempersepsikan fenomena yang terjadi dalam hidupnya. Menjadi pribadi yang paham kondisi diri sendiri akan membantu kita tetap terkoneksi dengan diri sendiri dan orang lain. Salah satu masalah kesehatan mental adalah terputusnya koneksi dengan diri. Perlakuan buruk yang dilakukan kepada orang lain juga tidak jarang bersumber dari pribadi yang tidak mindful dengan dirinya sendiri. Jadi, jangan ragu dan malu untuk berbicara jika kita sedang tidak baik-baik saja.



(Lindawati Sumpena)