Jumat, 21 Februari 2020

Negara dan Aturan Mengenai Keluarga

Akhir-akhir ini di media sosial sedang ramai dibicarakan mengenai beberapa isu yang berkaitan dengan keluarga, yakni RUU Ketahanan Keluarga dan pernyataan seorang menteri tentang anjuran "kawin silang" --maksudnya, orang kaya menikah dengan orang miskin. Kedua topik ini menjadi buah bibir karena beberapa hal dianggap tidak masuk akal. Negara juga dianggap terlalu mencampuri ranah privat dari penduduknya.

Secara khusus, jika kita bicara mengenai RUU Ketahanan Keluarga, terdapat berbagai isu yang dibahas sehingga RUU ini tampak mengurusi terlalu banyak hal yang tidak esensial. Definisi ketahanan keluarga yang dicantumkan dalam RUU tersebut adalah "kondisi dinamik keluarga dalam mengelola sumber daya fisik maupun non-fisik dan mengelola masalah yang dihadapi, untuk mencapai tujuan yaitu keluarga berkualitas dan tangguh sebagai pondasi utama dalam mewujudkan Ketahanan Nasional."

Dari definisi itu, saya menggarisbawahi tiga kata kunci: "sumber daya fisik", "sumber daya non-fisik", "masalah yang dihadapi".

Sumber daya fisik yang dimaksudkan dalam definisi, sepenangkapan saya, diterjemahkan menjadi beberapa pasal yang mengatur mengenai donor sperma, donor ovum, dan surogasi. Dikatakan bahwa setiap warga negara dilarang menjualbelikan sperma atau ovum, memberikan atau menerima donor sperma atau ovum secara sukarela, serta dilarang melakukan surogasi untuk memperoleh keturunan (Pasal 31 dan Pasal 32).

Apa urusan negara dengan pinjam-meminjam rahim? Apa korelasinya antara hal ini dengan ketahanan negara yang menjadi tujuan akhir dari ketahanan keluarga? Apakah penyusun RUU ini memikirkan risiko kesehatan yang seringkali menjadi alasan orang melakukan donor sperma, donor ovum, dan surogasi?

Kata kunci berikutnya adalah sumber daya non-fisik, yang tampaknya justru diterjemahkan sangat luas, namun operasionalisasinya sangat sulit. Dalam Pasal 24 ayat 2, disebutkan bahwa suami-istri adalah pasangan yang terikat sah dalam pernikahan wajib saling mencintai, menghormati, menjaga kehormatan, setia, serta memberi bantuan lahir dan batin yang satu kepada yang lain.

Sejak kapan negara punya kewenangan untuk mengatur tentang perasaan seseorang? Bukankah perasaan (cinta) itu adalah tanggung jawab dan urusan masing-masing individu? Pasal lain yang ramai dibahas adalah Pasal 25 mengenai kewajiban suami dan istri. Terdapat ketidakseimbangan kewajiban antara suami dan istri yang ditulis dalam RUU tersebut, misalnya bahwa istri harus mengurus rumah tangga, sedangkan suami mencari nafkah.

Pembagian peran secara tradisional yang mendiskreditkan perempuan ini sebenarnya sudah cukup usang, dibandingkan dengan semangat kolaborasi dalam rumah tangga dan kesetaraan gender sedang gencar dipromosikan berbagai pihak. Lantas bagaimana dengan pasangan yang istrinya harus bekerja, misalnya karena suami mengalami disabilitas tertentu, atau istri menjadi TKW di luar negeri?

Dalam pasal ini juga terkesan suami dan istri adalah dua pihak yang memiliki kewajiban berbeda dalam keluarga, tidak ada kesan bahwa rumah tangga adalah kerja sama di antara suami dan istri. Jika RUU ini disahkan, relasi antara suami dan istri justru bisa menjadi sangat mekanistis karena mereka memiliki beberapa kewajiban yang harus dipenuhi.

Penjabaran mengenai apa yang dimaksud dengan masalah dalam definisi ketahanan keluarga juga ada yang kurang masuk akal. Meski ada beberapa aspek yang tepat, misalnya perceraian, kemiskinan, dan pengangguran, namun ada beberapa aspek lain yang kurang sesuai, misalnya yang termasuk ancaman non-fisik dan masalah dalam keluarga adalah individualisme, sekularisme, propaganda pergaulan dan seks bebas, propaganda LGBT (Pasal 50), serta penyimpangan seksual (Pasal 74) yang mencakup sadisme, masokisme, homoseks, dan inses.

Saya ingin memberi alternatif acuan tentang krisis keluarga dari Foster (1957) yang menyebutkan bahwa krisis keluarga terbagi atas dua tipe. Pertama, kehilangan dukungan ekonomi, kematian, penyakit parah, kecelakaan, dan sebagainya. Kedua, krisis yang mencakup stigma sosial seperti perang, inflasi ekonomi, masalah kesehatan mental dan gangguan fisik, dan sebagainya.

Dengan demikian, isu-isu yang rasanya lebih tepat dibahas berkaitan dengan krisis keluarga adalah bagaimana aturannya jika terjadi PHK pada pekerja, bagaimana layanan asuransi kesehatan maupun asuransi jiwa, bagaimana layanan yang diberikan negara untuk keluarga yang memiliki anggota keluarga dengan disabilitas tertentu, atau bagaimana pemberdayaan keluarga prasejahtera.

Saya melihat dalam RUU ini penyusun kurang melihat fenomena yang terjadi dalam keluarga secara komprehensif, sehingga beberapa poin yang dihasilkan terkesan bertolak belakang. Contohnya, salah satu krisis keluarga adalah kemiskinan, namun pada Pasal 33 ayat 2 diatur mengenai pemisahan kamar yang berbeda antara anak laki-laki dan anak perempuan. Bagaimana dengan keluarga prasejahtera yang hanya tinggal di rumah petak dengan satu ruangan untuk semua kegiatan?

Pertanyaan lebih lanjutnya, jika negara memiliki standar rumah layak huni, bagaimana upaya negara untuk menyediakan rumah dengan standar seperti itu bagi seluruh warga negara?

Selain itu, terdapat masalah-masalah lain yang sesungguhnya lebih penting dan mendesak terkait dengan keluarga, yang belum diwadahi dalam RUU ini, di antaranya masalah kemiskinan, masalah kesehatan termasuk kesehatan reproduksi, masalah pengasuhan termasuk jika terdapat anggota keluarga dengan disabilitas, pendidikan, dan masih banyak lagi.

Contoh kasus yang sedang marak akhir-akhir ini adalah penculikan dan pelecehan seksual pada anak. Salah satu faktor yang menyebabkan hal ini adalah kurangnya pengetahuan dan keterampilan anak tentang proteksi diri. Mereka tidak tahu seperti apa sentuhan yang layak dan tidak layak, serta bagaimana harus menolak atau meminta bantuan pada orang lain jika mereka mengalami hal yang kurang menyenangkan.

Menanggapi hal ini, keluarga-keluarga dapat diberikan pelatihan mengenai cara mengajarkan pada anak tentang proteksi diri.

Selain itu, isu lain yang sering terjadi di Indonesia adalah perlakuan yang kurang tepat pada anggota keluarga yang mengalami disabilitas tertentu, baik fisik maupun mental. Kisah yang sering kita dengar mengenai beberapa keluarga yang mengurung atau memasung anggota keluarga yang mengalami disabilitas adalah contoh nyata betapa keluarga-keluarga kurang memiliki kapasitas untuk merawat anggota keluarga dengan disabilitas, sehingga mereka melakukan penelantaran.

Fenomena ini menjadi peluang bagi pemerintah jika ingin mengadakan program untuk meningkatkan sumber daya non-fisik yang dimiliki keluarga sehingga dapat berfungsi dengan lebih optimal.

RUU Ketahanan Keluarga memberikan batasan dan aturan yang berisiko membuat ruang privat menjadi makin sempit. Alih-alih memberi sanksi, negara sebaiknya memberikan pemberdayaan dan penguatan sehingga keluarga-keluarga bisa semakin berdaya.


(ditulis oleh Stella Vania, kawan Sekodi Bandung. tulisan serupa juga dimuat di Detik.com

Rabu, 19 Februari 2020

Keterlibatan Muda dalam Politik

"Beri aku 1000 orang tua niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda niscaya akan kuguncangkan dunia" 

Seluruh masyarakat Indonesia pasti sudah mengenal kutipan terkenal di atas oleh proklamator kemerdekaan negara kita, Ir. Soekarno. Betapa beliau ingin melibatkan generasi muda dalam proses kemerdekaan. Betapa mereka mendapat porsi penting dalam pembangunan ke depannya. 

Mantan Sekretaris jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, Ban Ki-Moon, juga menggarisbawahi peran generasi muda dalam menciptakan dunia yang lebih baik dan aman, lalu penggalangan kekuatan mereka dalam pengambilan keputusan, program pembangunan serta kebijakan yang menguntungkan kelompok mereka, masyarakat secara umumnya, serta masa depan negara. 

Presiden Joko Widodo menyadari pentingnya peran generasi muda yang selanjutnya disebut milenial dalam tatanan pembangunan Indonesia, sehingga merefleksikan pada sumpah pemuda tahun 1928 silam, beliau menekankan bahwa persatuan generasi muda dalam melihat negara di bingkai negara kesatuan republik Indonesia merupakan kunci pelaksanaan pembangunan negara dan keterlibatan krusial mereka, sehingga dalam tatanan praktisnya beliau mengangkat beberapa dari generasi milenial berprestasi sebagai bagian staf ahlinya. Ini merupakan kunci penting keterlibatan dan pemberdayaan kelompok milenial muda untuk berkontribusi dalam pembangunan, baik dari level akar rumput hingga negara. 

Keterlibatan muda untuk dapat berperan penting dalam pembangunan salah satunya dimulai dengan politik. Masih banyak generasi muda, terutama dari kelompok usia milenial,yang menunjukkan sifat antipati terhadap hal-hal.yang berhubungan dengan politik. Keengganan mereka dalam memilih pun jelas memberikan dampak krusial bagi masa depan perpolitikan di Indonesia,sehingga jujur hal ini akan memberikan ekses terhadap keberlanjutan politik dalam hal pengambilan keputusan, penyusunan kebijakan politik bagi masyarakat. 

Namun, kondisi ketidakpedulian generasi milenial terhadap politik pun bahkan diperlihatkan oleh salah satu negara terbesar dalam peran demokrasi, yaitu Amerika Serikat, karena mereka mengalami masa di mana hanya 10 persen dari kelompok usia 18 hingga 24 tahun yang memperlihatkan kecenderungan tidak memenuhi syarat keterlibatan penuh dalam pemungutan suara presiden 2012. Dilansir selanjutnya oleh Centre for information and research on civic learning and engagement (CIRCLE). Selain itu, masih banyak orang tua yang menganggap pendidikan kewarganegaraan yang berkaitan dengan politik adalah tabu. Juga, iklim politik nasional turut serta mengalienasi anak-anak muda dalam kehidupan masyarakat publik secara politik.  


Kelompok Muda dalam Politik 

Kehadiran kelompok muda dalam berpolitik di Indonesia tentu merupakan langkah positif untuk mengimbangi kekuatan politik yang selama ini dilaksanakan oleh para politisi berusia senior dengan segala pengalamannya. Keberadaan kelompok muda ini diharapkan akan membawa dampak positif, terutama dalam dinamisnya pengambilan keputusan yang dinilai akan jauh lebih cepat dan energik. Hal ini dikemukakan oleh Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) ketika menganalisa daftar caleg sementara Pemilu Legislatif 2019 silam. Kesimpulannya, menurut peneliti forum ini Lucius Karus, adalah secara jumlah mayoritas calon legislatif adalah berusia 36-59 tahun dengan total 68% serta sekitar 21% berusia 21-35 tahun. Sisanya 11% adalah berusia 60 tahun ke atas.  

Menjadi bagian legislatif pun pasti didasari oleh kepentingan masing-masing individu yang sudah mempersiapkan dirinya secara matang. Latar belakang mereka pun bermacam-macam, seperti ada yang sudah bekerja atau menjadi pengusaha, lalu memutuskan turun ke dunia politik. Di dalam sisi lain, ada juga mereka yang turun ke politik dan berharap akan terus melaju ke legislatif untuk meneruskan jejak keluarga yang sejak awal sudah berkecimpung dalam dunia politik.  Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Amalinda Savarini, dosen fakultas ilmu politik Universitas Gadjah Mada. Dikutip dari wawancaranya Bersama BBC, Amalinda menekankan adanya kehadiran politikus muda dalam setiap pemilihan anggota legislatif, namun sebagian mereka bersaing dalam dunia politik untuk mempertahankan pengaruh politik keluarga, atau bahkan yang hanya sekedar mengadu nasib. kampanye atau membeli suara, itu yang banyak berhasil," ujar dosen ilmu politik Universitas Gadjah Mada, Amalinda Savarani. 

Kondisi yang mungkin berlawanan akan ditemukan di New Hamsphire, salah satu negara bagian di Amerika Serikat, di mana seluruh anggota legislatifnya setingkat DPRD dibayar rendah untuk masa jabatan 2 tahun sejak tahun 1889. Hal ini dikarenakan undang-undang untuk legislatifnya yang menuntut bahwa pekerjaan wakil rakyat adalah merupakan komitmen dedikasi dan kontribusional. Kondisi ini juga membuat mereka tidak berkantor di gedung perwakilan rakyat, tidak memiliki staf ahli atau staf khusus untuk membantu pekerjaan mereka. Hal ini memperlihatkan kenyataan bahwa kebanyakan yang menduduki jabatan wakil rakyat adalah masyarakat dengan dana berlebih atau sudah pensiun. Namun, sejak dua tahun lalu kecenderungan ini agak berubah sejak bertambahnya jumlah kelompok muda bahkan milenial berpartisipasi menjadi bagian legislatif dengan memperhatikan realita pendapatan yang rendah. Salah satunya adalah Joe Alexander, yang berasal dari partai Republik. Lulus kuliah, ia langsung menyatakan minatnya untuk menjadi bagian dari wakil rakyat dan didukung oleh partai Republik yang juga langsung memperlihatkan dukungannya dengan membantu proses kampanye hingga masa pemilihan datang. Isu-isu yang dikemukan Joe sangat berkorelasi dengan situasi yang sangat mengakar kepada kepedulian dan kekhawatiran masyarakat akan regulasi mengenai kepemilikan senjata pribadi, transparansi anggaran, isu keluarga dan remaja, serta perubahan ikllim. Rekan muda lainnya yang juga wakil rakyat, Cam Kenney juga memperlihatkan kekhawatiran mendalam terhadap situasi utang pinjaman kuliah yang semakin meningkat dan kerusakan lingkungan serta dampak negatifnya bagi masyarakat New Hamsphire, khususnya. Dengan penghasilan terbatas tersebut, Cam bahkan tidak ragu untuk bekerja paruh waktu di sebuah kafe dan sering bertemu dengan pelanggan sekaligus konstituen pemilihnya.  

bersama anggota dewan legislasi muda New Hampshire
dan sesama anggota IVLP
ditulis oleh Fanny S. Alam, Koordinator Sekodi Bandung dan Koodinator Bhinneka Nusantara Foundation Region Bandung. tulisan yang sama juga dimuat di AyoBandung.com.

Selasa, 11 Februari 2020

Perbedaan Bukan Berarti Perpecahan

Perbedaan adalah salah satu anugerah yang diberikan oleh Tuhan, yang memang itu semestinya kita terima dengan kelapangan hati dan keterbukaan tangan, jangan sampai dengan adanya perbedaan di antara kita menjadikan permusuhan dan perpecahan dalam persatuan dan kerukunan bermasyarakat, karena suatu bangsa yang maju adalah yang mau saling menerima satu sama lain.

Di dalam Abrahamic Religion khususnya Islam, memandang perbedaan sebagai suatu hak dan kemestian di dalam cara berpola pikir yang berbeda, dan memang ini wajar terjadi di antara manusia, karena salah satu hak yang diberikan oleh Tuhan kepada Manusia adalah berpikir dan berpendapat juga bertindak, sejauh tidak melenceng dari aturan masyarakat umum dan norma moral dan agama.

Pada awal penciptaan Tuhan sudah menciptakan secara berbeda dari beragam makhluk ciptaan-Nya, contohnya manusia pertama, Tuhan ciptakan berbeda antara laki-laki dan perempuan, tapi pada hakikatnya derajat mereka sama di mata Tuhan. Begitu juga dengan kita, yang berbeda paham, agama, golongan, suku, ras, dan bangsa, pada hakikatnya semuanya sama di mata Tuhan.

Lalu mengapa orang luaran sana tidak mau menerima perbedaan, sehingga menjadi fanatik dan menolak akan yang namanya perbedaan?
-pertama: mereka tidak mau memandang persamaannya di antara manusia
-kedua: salah penafsiran akan Teks Suci
-ketiga: sifat egois yang merasuki diri

Merasa paling benar satu sama lain dan menyalahkan golongan lainnya, mencap kafir, bidah kepada sesama agama maupun yang berbeda agama, dan itu yang harus kita hilangkan di dalam diri dan hati kita. Cobalah berfikir terbuka, dan tanamkan rasa cinta akan sesama, karena kita ini sama pada hakikatnya, hanya pemahaman dan pemikiran yang berbeda.

Damai akan tercipta di kala kita memulai saling menerima satu sama lain, saling memperkuat dan mempererat jalinan silaturahmi antar umat beragama, hidup di dalam kerukunan bermasyarakat, tidak bersikap fanatisme dan tidak merasa paling benar.

(ditulis oleh Ridwan, kawan Sekodi Bandung)

Mengikuti Pelatihan Menciptakan Budaya Damai di Pati, Jawa Tengah


Beberapa waktu lalu, Sekolah Damai Indonesia mendapatkan undangan untuk terlibat dalam International Peace Training. Sekodi mengirimkan dua orang wakilnya, yakni Rhaka dari Sekodi Bandung dan Jati dari Sekodi Jogja. Rhaka membagikan pengalamannya mengikuti kegiatan tersebut dalam tulisan ini.

Jati (Sekodi Jogja) dan Rhaka (Sekodi Bandung)
11 Januari 2020 - 21 Januari 2020 adalah tanggal dilaksanakannya International Peace Training yang diadakan di Peace Place Pati, Kabupaten Pati, Provinsi Jawa Tengah, Indonesia. Saya hadir mewakili Sekolah Damai Indonesia Bandung. Pelatihan ini diikuti oleh 45 peserta dari 9 negara termasuk Indonesia, Amerika Serikat, Nepal, Kenya, Inggris, Korea Selatan, Rusia, Selandia Baru, dan Filipina; dan latar belakang juga komunitas yang beragam. Usia peserta yang mengikuti pelatihan ini adalah 13 – 80 tahun.

Setibanya di Peace Place Pati, saya bertemu dan berkenalan dengan orang-orang baru dari berbagai negara dan juga berjumpa dengan kawan dari Sekodi (Sekolah Damai Indonesia) Yogya, namanya Jati. Saya kemudian mengambil makan siang dan tak lama setelah itu, saya mendapatkan tempat tidur dan untuk menyimpan barang-barang ku. Saya menyaksikan bagaimana teman-teman fasilitator mempersiapkan kegiatan. Lalu saya membantu untuk mengepel lantai di sana. Malamnya, peserta yang hadir berkumpul di tempat pelatihan dan memperkenalkan diri. Bagi saya, ini adalah menyenangkan untuk dapat kenal satu sama lain. Kami pula berbagi tugas sukarela sehingga bisa bekerjasama dengan panitia kegiatan.

Pelatihan yang diberikan adalah mengenai Creating Cultures of Peace, Menciptakan Budaya Damai. Setiap harinya ada kegiatan pelatihan dan malamnya ada kegiatan malam budaya.  Pelatihan mengenai Transformasi Diri dilaksanakan pada hari 1 – hari 4 pelatihan, kunjungan komunitas di Tondo Mulyo pada hari 5, Pelatihan Transformasi diri pada hari 6 – 9, dan topik-topik khusus pada hari 9 – 11.

Pelatihan transformasi diri dimulai pada hari ini

Saya mau berbagi hal-hal yang jadi sorotan saya selama mengikuti Pelatihan Perdamaian Internasional di Pati.

Makanan
Makanan yang disediakan di pelatihan ini semuanya adalah organik. Karena kami peduli soal pembakaran lahan untuk minyak sawit yang terjadi di Indonesia maka kami memutuskan untuk menggunakan minyak kelapa. Menu-menu lokal yang disajikan sangat enak dan menggugah.

Bermain
Bermain menjadi hal yang sentral di pelatihan ini. Bermain membuat pikiran jadi lebih segar dan kreatif. Kami bermain di PAUD Joglo. Terdapat lima sentra bermain yang ada di sana dengan mainan yang mengasyikkan bagi saya sendiri.

Transformasi
Pelatihan ini menekankan bahwa untuk mencapai perubahan sosial maka dimulai dari perubahan diri. Proses ini dilalui secara sistematis dari diri hingga bisa bicara untuk menyampaikan kebenaran. Bagi saya, ini adalah personal dan dapat dibagikan pada semua orang.
Di pelatihan transformasi diri, kami dikenalkan pada peta perdamaian yakni:
1. Persaudaraan & Kesepakatan
2. Memunculkan yang Baik & Kenyamanan
3. Komunikasi & Ingat Kembali
4. Kerjasama & Terhubung Kembali
Di pelatihan transformasi sosial, peta itu bertambah hingga 8 poin, yaitu:
5. Keyakinan & Kesetaraan
6. Kepercayaan & Kesederhanaan
7.  Perubahan & Ketajaman
8.  Arahan & Penyelesaian Sengketa
Prinsipnya, pembacaan bisa dibalik dari 8 ke 1. Misalkan arahan tidak tercapai maka lakukan perubahan, jika tidak ada perubahan maka bangun kepercayaan, dan seterusnya.

Malam Budaya

Di malam budaya kami berbagi pertunjukan dan nyanyian budaya. Ini semua diawali dari presentasi dari peserta mengenai gerakan dan komunitas yang mereka kembangkan. Saya mulai memahami bagaimana situasi dan kondisi di Negara lain. Hal yang bagi saya krusial adalah ketika memahami situasi pulau Jeju di Korea Selatan. Itu mengubah pandangan saya mengenai Korea Selatan seutuhnya.
Ketika malam budaya Indonesia, saya melakukan tari Merak Sunda.

Fasilitator
Fasilitator di sini sangat baik dan menyenangkan. Alur kegiatan mengalir dengan lancar sehingga seringkali saya merasa hari cepat berlalu begitu saja. Dedikasi dan komitmen yang sangat baik ditunjukan oleh mereka. Saya ucapkan terima kasih kepada seluruh fasilitator yang bekerja dengan sangat baik.

Akhir, Langkah ke Depan
Dengan langkah yang telah dibuat di akhir pelatihan, saya menemukan pengarahan kembali hidup saya. Secara personal, ini memberikan makna tujuan hidup. Dan juga beberapa pemuda yang terlibat di pelatihan ini akhirnya menyadari bahwa penting untuk memulai inisiasi supaya lingkungan sekitar menjadi tempat yang baik untuk hidup.
Peserta diberikan panduan mengenai langkah-langkah berikutnya yang dapat dilakukan setelah mengikuti pelatihan. Hal penting yang saya catat adalah terus berlatih, buat inisiasi, dan kader fasilitator untuk CCP.
Setelah disampaikan langkah-langkahnya, perumusan langkah berikutnya ini dilanjutkan setelah penutupan pelatihan transformasi sosial.

Tim Indonesia
Kami merencanakan untuk membuat jejaring untuk berlatih CCP di Indonesia yang kini ada di Pati, Solo, Yogyakarta, dan Bandung. Berlatih dengan mengundang orang yang berpengalaman dalam CCP untuk bantu buatkan pelatihan bersama.

Proyek Saya
Saya merencanakan untuk melakukan kolaborasi lintas komunitas untuk menerapkan CCP menjadi bentuk karya seni pertunjukan tari yang dapat menjadi media pembangunan perdamaian di masyarakat. Oleh karena itu, saya sampaikan kepada Ibu Nadine ketertarikan saya untuk mengembangkan karya seni yang demikian. Permintaan saya disetujui. Melalui Sekolah Damai Indonesia saya membentuk kolaborasi tersebut.
Sekian kisah saya ketika mengikuti Pelatihan Perdamaian Internasional yang diadakan di Pati pada 10 Januari 2020 – 22 Januari 2020.