Senin, 07 Oktober 2019

Gender dan Seksualitas: Sebagai Spektrum Dinamis dan Continuum Statis

Membahas isu gender dan seksualitas masih menjadi suatu hal yang tabu di Indonesia. Gender dan seks (jenis kelamin) sering diinterpretasi sebagai suatu kondisi yang sama, sehingga muncul stereotipe maupun stigma terhadap individu dan dianggap melanggar norma sosial, sedangkan secara teori dua kondisi tersebut mempunyai penjelasan yang berbeda.

Gender merupakan kondisi laki-laki, perempuan, maupun spektrum lain yang muncul karena proses identifikasi oleh diri sendiri, lingkungan sosial, budaya, atau adat yang berlaku. Seks atau jenis kelamin merupakan keadaan biologis pada manusia seperti laki-laki mempunyai penis, hormon testosteron, mengeluarkan sperma, mempunyai kromosom XY, sedangkan perempuan mempunyai vagina, hormon estrogen, mempunyai rahim, dan mempunyai kromosom XX.

Di sisi lain, masih terdapat pro dan kontra terhadap identifikasi gender laki-laki maupun perempuan karena memang gender adalah spektrum yang hanya dapat dirasakan oleh individu itu sendiri. Individu mempunyai hak atas identitas gender yang telah dipilih, meskipun norma budaya sosial di Indonesia memegang heteronormatif atau norma bahwa laki-laki memiliki penis dan maskulin serta perempuan memiliki vagina dan feminin.

Bahasan gender dan seksualitas mempunyai ruang lingkup yang luas dan mempunyai definisi yang beragam, tetapi terdapat empat bahasan menarik sebagai dasar pengetahuan topik gender dan seksualitas yang dijelaskan oleh Teh Hani Yulindrasari, M. Gendst., PhD., yaitu identitas gender, orientasi seksual, ekspresi gender, dan perilaku seksual.

Identitas gender merupakan kondisi individu secara sadar bahwa dia memilih sebagai laki-laki atau perempuan atau spektrum gender lainnya. Identitas gender terbagi atas pemberian label laki-laki, perempuan, atau spektrum gender lainnya oleh diri sendiri serta pemberian label oleh masyarakat. Identitas gender tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin biologis, apabila individu mempunyai penis tapi merasa bahwa dia perempuan, hal tersebut merupakan identitas gender yang dirasa oleh individu itu sendiri tanpa ada pengaruh dari masyarakat. Pemberian label laki-laki dan perempuan oleh masyarakat memang tidak terlepas dari norma sosial yang dianut. Norma di Indonesia menekankan bahwa individu dengan penis pasti memiliki identitas gender laki-laki dan vagina pasti perempuan, sedangkan pada beberapa orang ada yang merasa tidak nyaman dengan jenis kelamin mereka karena tidak sesuai dengan identitas gender. Tuntutan norma yang berlaku dapat menekan individu yang mempunyai identitas gender berbeda dengan jenis kelamin sehingga menimbulkan frustrasi atas dirinya sendiri. 

Identitas gender individu ditunjukkan lewat ekspresi gender, ekspresi gender merupakan perilaku untuk mengekspresikan diri dari cara berpakaian, berjalan, berbicara, dan berbagai macam hal lainnya yang menunjukkan ekspresi maskulin, feminin, maupun androgini (diantara maskulin maupun feminin). Ekspresi ini mempunyai norma yang berbeda-beda, ekspresi maskulin sering ditunjukkan sebagai suatu sifat gagah, baku, statis, sedangkan feminin merupakan sifat yang lemah lembut dan dinamis. Individu yang mempunyai penis dengan identitas gender laki-laki serta ekspresi gender maskulin serta individu yang mempunyai vagina dengan identitas gender perempuan serta ekspresi gender feminin merupakan norma yang sangat terpatri di Indonesia yang memang heteronormatif. Sayangnya ekspresi gender hanya menampilkan apa yang ingin dilihat orang tanpa menjadi dirinya sendiri. Apabila sedikit saja ada ekspresi gender yang berbeda dengan norma, pasti dikaitkan dengan perilaku menyimpang. Laki-laki yang menunjukkan ekspresi gender ‘melambai’ layaknya perempuan pasti mendapat label bahwa laki-laki tersebut mempunyai orientasi seksual sejenis. Perempuan yang memotong rambutnya hingga pendek dan memakai pakaian tomboy layaknya pria mendapat label lesbian. 

Padahal, orientasi seksual seseorang tidak bisa ditafsirkan hanya dengan melihat pakaian yang dipakai, cara orang berjalan, warna kesukaan, intonasi suara, dan berbagai macam aspek ekspresi gender lainnya. Individu bebas menentukan kondisi nyaman terhadap orientasi seksual yang dipilihnya, baik heteroseksual (beda jenis) maupun homoseksual (sama jenis).

Pertanyaan yang paling sering muncul adalah, “Apakah orientasi seksual lesbian, gay, biseksual merupakan penyakit?”. Jawabannya: sama sekali bukan, bahkan Asosiasi Psikiatrik Amerika telah menghapus homoseksual dari DSM-V (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder) sebagai gangguan jiwa. Pedoman Penggolongan Gangguan Jiwa – III yang dipakai untuk mendiagnosa gangguan jiwa di Indonesia menunjukkan bahwa orientasi seksual yang berbeda (baik heteroseksual maupun homoseksual) dapat disebut gangguan karena individu tidak nyaman dengan orientasi yang dia pilih, bahkan individu dengan orientasi heteroseksual dapat terkena gangguan apabila dia tidak nyaman saat menyukai beda jenis kelamin.

Muncul stigma bahwa mempunyai orientasi seksual minoritas di Indonesia seringkali dicap sebagai ‘predator sex’ seperti individu dengan orientasi seksual gay. Padahal dalam kenyataan banyak sekali pasangan homoseks yang sulit mencari pasangan dan merasakan patah hati sama halnya dengan pasangan heteroseksual. Perlu digarisbawahi bahwa menjadi homoseksual bukan berarti mereka melakukan hubungan seksual secara terus menerus. Individu homoseksual dapat melakukan aktivitas seksual maupun perilaku seksual pada beda jenis, begitupun sebaliknya. Perilaku seksual dapat dilakukan pada setiap orang tanpa memandang orientasi seksual. Perilaku seksual yang paling sering ditemui adalah menggandeng tangan, mencium kening, memeluk, dan membelai rambut. Perilaku yang ditunjukkan tidak merujuk pada orientasi seksual manapun, perempuan dapat menggandeng tangan perempuan lainnya tanpa stigma, tapi ketika laki-laki menggandeng tangan laki-laki lain akan muncul stigma bahwa pasti mereka merupakan pasangan gay, padahal bisa saja kedua laki-laki itu merupakan adik kakak.

Pengetahuan mengenai gender dan seksualitas sangat beragam, sehingga tidak bisa kita membuat simpulan yang sama. Seperti yang telah dipaparkan bahwa identitas gender, ekspresi gender, orientasi seksual, dan perilaku seksual tidak ada yang berhubungan satu sama lain. Identitas gender perempuan dengan ekspresi anggun bukan berarti heteroseksual, laki-laki yang senang dandan bukan berarti dia homoseksual atau transgender.

Memahami gender dan seksualitas memang tidak mudah, tapi setidaknya kita belajar bahwa setiap individu itu unik dan mempunyai keberagaman masing-masing. Kita tidak mempunyai hak untuk melakukan diskriminasi maupun merugikan orang lain, hidup kita berharga ketika kita tidak menghakimi orang lain. Salam damai!

Hobie Fauzan

Kamis, 03 Oktober 2019

Transwomen Gap in a Formal Work Attainment as a Constrain of Indonesia's SDGS Accomplishment. An Executive Summary for a Panel of Rhethoric Gender in Indonesia


 
By Fanny S Alam 
Bandung School of Peace Indonesia for Euroseas Conference 2019 
Humboltd University, Berlin 

Thank you for your time and attention to our panel. Thank the Euroseas Committee who have already accepted my paper. Therefore, I am open for any objective and constructive criticism both from you and the audience. I would like to introduce myself, my name is Fanny S Alam, working as City Coordinator in Bandung School of Peace which is in line with School of Peace Indonesia National. We organize weekly programs to introduce human rights and social issues for the youth in the city. We set them thematically, starting from religions and beliefs, gender diversity and sexuality, and other minorities as well as politics and environment in purpose to develop the youth's emphaty and willingness to engage with minorities in the city. Discussing about minorities, one of which becomes the highlight in my paper, is about transwomen and their issues, mostly about how to attain formal work. It is definitely a hard issue to talk, mostly due to stigma and discrimination not only from societies but also from the government apparatus. Attaining formal work is important for anybody to secure their daily needs as well as their future saving. It is very common to see people search for a job. It is the world with competition, though. However, when coming to transwomen for their work, it is barely seen that they could work openly in formal sectors. As known that Indonesia has committed to signing platform of SDGs which has inclusion principles. It means this platform secures no one left behind, ensuring that all development interests must cover anyone without exceptions (stated by U.N. statement). It includes vulnerable or marginalized groups including LGBTI. The country has ratified U.N. covenant about human rights to Law of Republic of Indonesia no 12/2005 with Act 1 securing Indonesia human rights regardless the positions of sex, ethnicity, race, religion, and sexual orientation. However, its implementation faces some issues, particularly about transwomen positions. The norms of religion and heteronormative values are adopted in this country, therefore it makes their position harder to be recognized officially. From one of interview sessions with a transwomen activist from Srikandi Pasundan, she underlines how the societies and government apparatus label them social diseases, being arrested by public orders enforcers on the streets to be put in a short term day rehabilitation. Most of their transwomen partners work in informal sectors, such as waitress, spa therapist, hairstylist, and cook in several caterings. On the other side, another transwoman, name Abi says that she used to apply for some formal jobs. She is a university graduate in communication major and she faces some uncomfortable situations mainly in final interviews after revealing her true gender identity and soon after that most of the companies she applied never contact her. The above experiences leave us some questions, particularly about how the country shows their partiality to support anyone as they ratified through the national law. Why it seems difficult for them to appreciate and to recognize transwomen position as humans the same as others. If the government do not respect their rights, one of which is to secure their right for attaining formal work, then their commitment in SDGs is questionable and becomes another constrain because it seems to be reluctant for the country to stand for their rights fully. It might be challenging for the Indonesian government to be open minded to recognize their existence, while it is certain that the societies here will do so. With the rise of more conservatism in religion in Indonesia, it is still a long way to go for transwomen to be secured for their rights, especially for their formal work attainment. They are still struggling while the government has already been attached with some certain human rights ratifications which also address their rights in this country.

Selasa, 01 Oktober 2019

Membahas RUU KUHP: Semua Bisa Kena?


Bulan September 2019 bagi sebagian besar rakyat Indonesia tampaknya tidak berjalan dengan ceria, sesuai tembang lawas yang dinyanyikan Vina Panduwinata. Bulan ini, kita disuguhi berbagai pemberitaan tentang hal yang memengaruhi hajat hidup kita semua, yakni tentang revisi dan pembentukan berbagai undang-undang. Belum reda kegeraman kita dengan berita-berita tentang pemilihan calon pimpinan KPK dan revisi UU KPK, kita kembali dikejutkan dan dibuat gelisah oleh revisi UU KUHP. Terdapat berbagai perdebatan, serta keberatan terhadap naskah revisi UU KUHP tersebut karena muncul berbagai interpretasi terhadap pasal-pasal yang ada di revisi UU KUHP. Saya sendiri menjadi sadar akan isu revisi UU KUHP dan menjadi resah karenanya setelah menonton beberapa video yang mencoba menjelaskan pasal-pasal kontroversial dalam revisi UU KUHP ini. 

Sebagai upaya untuk memahami fenomena revisi UU KUHP secara lebih mendalam, pada hari Sabtu, 21 September 2019, Sekolah Damai Indonesia – Bandung mengadakan diskusi dengan mengundang sekretaris Persatuan Advokat Indonesia (PERADI) Jawa Barat, Asri Vidya Sari. Teh Asri, demikian beliau biasa disapa, menjelaskan mengapa revisi UU KUHP menjadi sangat kontroversial. 

Beliau menjelaskan bahwa dalam membaca suatu pasal dalam undang-undang, perlu ada definisi dan batasan yang jelas, akan tetapi dalam revisi UU KUHP, terdapat beberapa pasal yang menimbulkan multitafsir karena definisi dan batasan yang kurang jelas. Dari sudut pandang advokat, hal itu menimbulkan keprihatinan tersendiri, yakni wibawa UU KUHP terkesan lemah, padahal sebagai undang-undang yang menjadi dasar bagi undang-undang pidana yang lain, seharusnya KUHP menjadi fondasi yang kokoh. 

Selain itu, kontroversi lain dari revisi UU KUHP adalah adanya kesan bahwa banyak hal-hal privat atau personal yang seakan-akan hendak diurusi atau diatur oleh negara. Revisi UU KUHP juga meresahkan karena tampaknya semua orang bisa terlibat dalam urusan hukum, karena cakupannya yang terkesan sangat luas dan banyak pasal yang dianggap ‘karet’. 

 Teh Asri juga menjelaskan bahwa sebenarnya wacana untuk melakukan revisi pada UU KUHP sudah muncul beberapa tahun yang lalu. Semangat yang ada di balik revisi ini sebenarnya baik, yaitu ingin mencoba mengkontekstualisasikannya dalam situasi dan kondisi Indonesia sekarang, sehingga UU KUHP menjadi lebih relevan bagi kehidupan masyarakat di masa kini. Akan tetapi, revisi yang dilakukan justru menimbulkan kebingungan dan keberatan dari banyak pihak, tidak terkecuali dari para advokat. Revisi UU KUHP terkesan dibuat terburu-buru, layaknya seorang murid SD yang menyelesaikan ulangan dengan segera karena waktu pengerjaannya hampir habis. 

Di tengah keresahan, kegeraman, serta perasaan tidak berdaya yang muncul dari revisi UU KUHP, Teh Asri mencoba membangkitkan semangat dan optimisme kami dengan mengusulkan beberapa hal yang bisa dilakukan oleh berbagai pihak. Menurut beliau, ruang-ruang diskusi publik, seperti yang dilakukan oleh Sekodi Bandung, menjadi salah satu alternatif yang sangat baik untuk dilakukan dalam berbagai setting, baik di kampus, sekolah, tempat kerja, maupun dalam lingkungan rumah. Diskusi semacam ini memberikan ruang untuk saling bertukar pikiran, sehingga cara pandang dan pola pikir kita menjadi terbuka dan semakin luas. Selain itu, kita sebagai subjek hukum harus mau berusaha mengenal dan sadar hukum. Kita juga perlu kritis pada produk hukum yang ada, terutama undang-undang yang menimbulkan multitafsir. 

Semua bisa jadi kena atau terjerat hukum karena revisi UU KUHP, tapi saya harap, semua (orang) juga bisa cukup kritis dan bijak untuk mencari tahu sejelas-jelasnya mengenai berbagai isu yang berkembang, kemudian menentukan langkah yang berorientasi pada kebaikan bersama. Semoga kita semua cukup cerdas dan tenang dalam menyikapi situasi Indonesia yang semakin memanas akhir-akhir ini. Salam Damai!

Stella Vania Puspitasari