Bulan September 2019 bagi sebagian besar rakyat Indonesia tampaknya tidak berjalan dengan ceria, sesuai tembang lawas yang dinyanyikan Vina Panduwinata. Bulan ini, kita disuguhi berbagai pemberitaan tentang hal yang memengaruhi hajat hidup kita semua, yakni tentang revisi dan pembentukan berbagai undang-undang. Belum reda kegeraman kita dengan berita-berita tentang pemilihan calon pimpinan KPK dan revisi UU KPK, kita kembali dikejutkan dan dibuat gelisah oleh revisi UU KUHP.
Terdapat berbagai perdebatan, serta keberatan terhadap naskah revisi UU KUHP tersebut karena muncul berbagai interpretasi terhadap pasal-pasal yang ada di revisi UU KUHP. Saya sendiri menjadi sadar akan isu revisi UU KUHP dan menjadi resah karenanya setelah menonton beberapa video yang mencoba menjelaskan pasal-pasal kontroversial dalam revisi UU KUHP ini.
Sebagai upaya untuk memahami fenomena revisi UU KUHP secara lebih mendalam, pada hari Sabtu, 21 September 2019, Sekolah Damai Indonesia – Bandung mengadakan diskusi dengan mengundang sekretaris Persatuan Advokat Indonesia (PERADI) Jawa Barat, Asri Vidya Sari.
Teh Asri, demikian beliau biasa disapa, menjelaskan mengapa revisi UU KUHP menjadi sangat kontroversial.
Beliau menjelaskan bahwa dalam membaca suatu pasal dalam undang-undang, perlu ada definisi dan batasan yang jelas, akan tetapi dalam revisi UU KUHP, terdapat beberapa pasal yang menimbulkan multitafsir karena definisi dan batasan yang kurang jelas. Dari sudut pandang advokat, hal itu menimbulkan keprihatinan tersendiri, yakni wibawa UU KUHP terkesan lemah, padahal sebagai undang-undang yang menjadi dasar bagi undang-undang pidana yang lain, seharusnya KUHP menjadi fondasi yang kokoh.
Selain itu, kontroversi lain dari revisi UU KUHP adalah adanya kesan bahwa banyak hal-hal privat atau personal yang seakan-akan hendak diurusi atau diatur oleh negara. Revisi UU KUHP juga meresahkan karena tampaknya semua orang bisa terlibat dalam urusan hukum, karena cakupannya yang terkesan sangat luas dan banyak pasal yang dianggap ‘karet’.
Teh Asri juga menjelaskan bahwa sebenarnya wacana untuk melakukan revisi pada UU KUHP sudah muncul beberapa tahun yang lalu. Semangat yang ada di balik revisi ini sebenarnya baik, yaitu ingin mencoba mengkontekstualisasikannya dalam situasi dan kondisi Indonesia sekarang, sehingga UU KUHP menjadi lebih relevan bagi kehidupan masyarakat di masa kini. Akan tetapi, revisi yang dilakukan justru menimbulkan kebingungan dan keberatan dari banyak pihak, tidak terkecuali dari para advokat. Revisi UU KUHP terkesan dibuat terburu-buru, layaknya seorang murid SD yang menyelesaikan ulangan dengan segera karena waktu pengerjaannya hampir habis.
Di tengah keresahan, kegeraman, serta perasaan tidak berdaya yang muncul dari revisi UU KUHP, Teh Asri mencoba membangkitkan semangat dan optimisme kami dengan mengusulkan beberapa hal yang bisa dilakukan oleh berbagai pihak. Menurut beliau, ruang-ruang diskusi publik, seperti yang dilakukan oleh Sekodi Bandung, menjadi salah satu alternatif yang sangat baik untuk dilakukan dalam berbagai setting, baik di kampus, sekolah, tempat kerja, maupun dalam lingkungan rumah. Diskusi semacam ini memberikan ruang untuk saling bertukar pikiran, sehingga cara pandang dan pola pikir kita menjadi terbuka dan semakin luas. Selain itu, kita sebagai subjek hukum harus mau berusaha mengenal dan sadar hukum. Kita juga perlu kritis pada produk hukum yang ada, terutama undang-undang yang menimbulkan multitafsir.
Semua bisa jadi kena atau terjerat hukum karena revisi UU KUHP, tapi saya harap, semua (orang) juga bisa cukup kritis dan bijak untuk mencari tahu sejelas-jelasnya mengenai berbagai isu yang berkembang, kemudian menentukan langkah yang berorientasi pada kebaikan bersama. Semoga kita semua cukup cerdas dan tenang dalam menyikapi situasi Indonesia yang semakin memanas akhir-akhir ini. Salam Damai!
Stella Vania Puspitasari
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.