Setiap tanggal 5 Juni diperingati sebagai hari Lingkungan Hidup Sedunia. Pada tahun 2020 kini, hari tersebut dilalui bersamaan dengan masa pandemi yang sudah barang tentu terkait dengan persoalan lingkungan hidup. Sejujurnya isu lingkungan hidup memiliki banyak masalah-masalah yang spesifik di dalamnya. Misalnya problem perubahan iklim, polusi, sampah, taman nasional, cagar alam, bentang alam, hingga merambah mengenai masalah keanekaragaman hayati dan ekosistemnya. Salah satu alasan yang mendorong manusia untuk selalu peduli terhadap lingkungan ialah karena jika suatu lingkungan sakit, maka dapat dimungkinkan manusia di dalamnya juga sakit.
Pada masa pandemi ini, muncul isu yang menyatakan bahwa salah satu penyebar virus Covid-19 yaitu satwa liar. Kelelawar dan ular kerap disebut-sebut sebagai biangnya. Ular selalu menarik untuk diperbincangkan dalam isu pelestarian lingkungan hidup sebagai satwa yang sering mendapatkan label buruk.
Indonesia memiliki 350 spesies ular, fakta ini menjadikan Indonesia sebagai negara yang paling kaya dalam keanekaragamannya akan ular. Bandingkan dengan UK yang hanya memiliki 12 spesies ular saja, tidak ada ular yang berbisa dan tidak ada ular yang membelit. Dari 350 spesies tersebut, ular dalam kategori high venom dijumpai 76 spesies. Ada 33 spesies high venom yang hidup di darat, sedangkan 43 spesies lagi hidup di laut.
Beberapa jenis ular sudah tak asing lagi dalam keseharian. Misalnya saja ular albolabri sebagai jenis yang paling banyak menggigit petani. Kemudian ular kobra yang jika dalam posisi menyerang, kepalanya akan tegak dan lehernya akan mengembang. Ular welang dan ular weling yang berkerabat namun berbeda perilaku dan jenis bisanya. Lalu ada ular king kobra yang menghasilkan cairan paling mahal di dunia.
Mendengar kata ular, banyak orang yang lekas menghindar. Ia diidentikkan dengan sifat-sifat buruk, terkesan menyeramkan, dan dekat dengan kejahatan. Bahkan lebih jauh lagi, ular dianggap sebagai hewan berbahaya yang mampu membunuh manusia dengan sekali gigit atau membunuh manusia dengan membelit. Anggapan tersebut ada benernya, namun tak bisa dijadikan alasan untuk mengeneralisasi. Nyatanya ada ular yang memiliki bisa tinggi dan mampu membunuh manusia dalam hitungan menit seperti ular laut. Beberapa orang bahkan menyebutnya dengan julukan ular dua langkah. JIka digigit olehnya, dua langkah kemudian dia yang tergigit akan meninggal. Begitupun dengan ular piton dengan belitannya yang kuat dapat membunuh manusia.
Ketakutan terhadap ular seakan-akan mengizinkan manusia untuk bertindak sesukanya. Banyak ular yang dibunuh karena alasan jijik atau mengganggu. Misalnya saja kasus ular yang masuk ke dalam rumah, yang sering diburu untuk sekedar dimusnahkan. Sebetulnya ular tersebut adalah ular yang tersesat. Ia sedang mencari mangsa atau tempat nyaman untuk menghindar dari habitat yang rusak atau terganggu. Dengan demikian, cara terbaik agar ular tidak masuk ke dalam rumah ialah membuat rumah yang tidak dihuni oleh satwa-satwa santapan ular. Ingat, ular merupakan bagian dari lingkungan yang memiliki peran yang tak kalah penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem.
Kegagalan masyarakat dalam memahami ular tercermin juga dalam perilaku orang-orang yang banyak menjadikan ular sebagai hewan peliharaan. Padahal ular merupakan hewan liar dan tidak pernah dapat menjadi hewan jinak. Kekecauan pemahaman ini bercampur dengan anggapan-anggapan yang tidak berangkat dari pengetahuan ilmiah. Misalnya mengenai ular yang takut dengan garam dan injuk atau empedu ular sebagai sumber vitalitas tubuh. Lalu anggapan tentang ular yang dapat menemukan jalan pulangnya, sehingga jika menemukan ular biasanya langsung dibunuh. Semestinya sikap yang diutamakan yaitu sikap tenang, sebab jika kepanikan yang didahulukan dapat memprovokasi ular sehingga ia akan menyerang.
Secara sederhana ciri-ciri ular yang berbisa dapat diperhatikan lewat bentuk kepalanya, walaupun tidak semua ular berkepala segitiga berbisa. Kemudian perhatikan warnanya, terutama jika ada ular yang berwarna merah, meskipun belum tentu setiap ular yang memiliki warna merah itu berbisa. Terakhir perhatikan juga coraknya, walaupun tidak semua ular belang-belang itu berbisa juga.
Selain masalah di atas, pemerintah juga belum secara maksimal menyokong venom center yang berkualitas baik. Padahal apabila memerhatikan data kasus orang yang terkena gigitan ular cukup banyak. Korban tewas karena gigitan ular per Januari sampai hari ini yang terdaftar oleh Yayasan Sioux Indonesia sekitar 17 orang. Khusus Jawa Barat merupakan provinsi terbanyak dengan korban meninggal karena gigitan ular ini.
Hewan yang banyak dijadikan simbol pengobatan ini malah dijadikan ladang berbisnis tanpa perimbangan konservasi alam, begitupun bahasan tentang ular hanya menyoal hobi semata. Memang berbicara tentang hidup damai bersama ular masih butuh waktu yang panjang. Semestinya Indonesia punya pendidikan khusus tentang ekologi, karena keanekaragaman hayati Indonesia begitu banyak termasuk ular. Pendidikan lingkungan hidup lagi tidak sekedar menggumuli teori, namun melibatkan aksi nyata. Sebab manusia tidak pernah berdiri sendiri, ia merupakan bagian dari sistem ekologi yang kompleks.
Ayo bekali diri dengan pengetahuan, bukan dengan ketakutan!
Penulis: Arfi Pandu Dinata |