Gangguan Jiwa. Kalau muncul dua kata itu, hal pertama yang terlintas di pikiran kebanyakan orang adalah seseorang pakai baju compang-camping, rambut gimbal berantakan, dan tertawa tanpa sebab. Kemudian, bayangan berikutnya adalah seseorang berseragam dan ditempatkan di ruang isolasi karena mengamuk tak karuan. Dua gambaran tersebut memang tidak salah, tapi kurang lengkap. Komunitas Sekolah Damai Indonesia berkesempatan melakukan diskusi santai bersama Ayu Regina Yolandasari, alumni Psikologi UI dan Women’s Studies dari Ewha Womans University, serta penyintas gangguan jiwa.
Gangguan jiwa menurut Ayu banyak
macamnya, mulai dari gangguan yang gejalanya mudah disadari hingga sulit
disadari penderita. Kedua bayangan orang di atas bisa jadi hanya salah satu
jenis gangguan jiwa bernama Skizofrenia. Skizofrenia pun memiliki tingkat
keparahan yang berbeda-beda. Penderita skizofrenia ada yang perlu dirawat di
rumah sakit secara intensif. Namun, banyak pula penderita yang masih dapat menjalankan
fungsi kesehariannya walaupun pada lingkup yang terbatas. Jenis gangguan jiwa
lainnya tercantum dalam daftar panjang DSM-V, sebuah buku panduan bagi para
psikolog dan psikiater di seluruh dunia. Stigma masyarakat tentang gambaran
kesehatan mental yang kurang lengkap menjadi tembok besar penanganan penderita
untuk mengakses dan memperoleh perawatan yang tepat.
Ayu menceritakan pengalamannya
memperoleh diagnosis gangguan jiwa ketika berada di Amerika Serikat. Ayu sempat
melakukan upaya bunuh diri lebih dari sekali. Atas dorongan teman, Ayu kemudian
dapat mengakses bantuan profesional di salah satu rumah sakit. Dia pun
didiagnosis dengan dua jenis gangguan depresi, Major Depression dan PMDD (Pre-menstrual
Dysphoric Disorder). Jenis gangguan depresi kedua mungkin belum banyak
diketahui oleh tenaga profesional di Indonesia. PMDD adalah salah satu jenis
gangguan depresi yang terkait dengan hormon perempuan. Bagi yang memiliki
gangguan ini, PMDD dialami saat memasuki masa menstruasi dengan gejala terutama
psikologis yang lebih parah dibandingkan PMS biasa. Proses pemulihan dengan
konseling dan terapi rutin hingga saat ini masih dijalani Ayu. Adapun
penggunaan obat juga sempat dilakukan dalam supervisi psikiater hingga
dinyatakan boleh terputus. Dari tampilan atau perilaku secara sekilas, hal-hal
yang umum dipahami oleh masyarakat tentang gangguan jiwa tidak berlaku padanya.
Gejala-gejala yang dianggap remeh
bisa menjadi indikasi awal kehadiran gangguan jiwa, misalnya cemas berlebihan,
kekurangan atau kelebihan tidur ekstrem, tidak bisa fokus, atau kehilangan
nafsu makan. Ayu memperkenalkan suatu metode evaluasi sebagai langkah mengenali
kondisi diri bernama “Check In” yang ia peroleh saat menjalani proses pemulihan
di Amerika Serikat. Metode ini secara sederhana adalah dialog kepada diri
sendiri dengan mempertanyakan beberapa hal berikut dan mencatat atau merekamnya
di jurnal harian.
- Mood. Dari skala 1-10, bagaimana mood kamu hari ini? 1 berarti
sangat buruk sedangkan 10 berarti sangat baik
- Feeling. Apa perasaan yang kamu
rasakan saat ini? Berapa persen intensitasnya? Perasaan yang dirasakan
tidak harus sejalan dan presentasenya pun tidak perlu akumulasi nilai 100.
Misalnya, kamu bisa mengatakan kecewa 70% dan senang 80%
- Nafsu makan. Apakah kamu punya
keinginan makan? Bagaimana
berat badanmu? Apakah kenaikan atau penurunannya drastis? Apakah disengaja atau tidak disengaja?
- Tidur. Seperti apa kuantitas dan
kualitas tidurmu? Apakah mimpimu baik atau tidak? Bagaimana perasaanmu
setelah bangun tidur?
- Jika kamu sedang mengonsumsi obat,
bagaimana penggunaannya? Masihkah konsisten dan sesuai dosis?
- Coping.
Bagaimana kamu menangani perasaan yang membuatmu tidak nyaman?
- Goal. Apa yang kamu targetkan hari
ini? Bagaimana perkembangannya?
Daftar tersebut akan membantu
memahami kondisi psikis kita. Kita pun dapat memodifikasi daftar dengan
menambahkan atau menguranginya sesuai kebutuhan. Ayu sendiri menambahkan poin
terakhir berupa daftar kebersyukuran. Metode dialognya pun tidak harus terbatas
dengan menulis. Ayu menceritakan bagaimana dia melibatkan temannya untuk
mengaplikasikan metode tersebut dengan bercerita kepada satu sama lain.
Jika kita merasakan ada perubahan
yang tidak biasa dan sudah tidak dapat kita atasi, jangan ragu untuk menemui
tenaga profesional. Hindari self-diagnosis
dengan mencari tahu dan mencocokan gejala yang dirasakan sekalipun berasal
dari web yang nampak terpercaya. Self-diagnosis
hanya akan mengarahkan kita pada penanganan yang tidak tepat dan bisa jadi
memperburuk kondisi. Selain itu, jika kita sudah mendatangi pihak profesional
dan merasa tidak cocok dengan psikolog atau psikiaternya, jangan ragu untuk
pindah konsultasi. Idealnya, menurut Ayu, pihak yang sedang mengakses layanan
psikiater juga perlu melakukan konseling dengan psikolog.
Lalu bagaimana jika bukan kita
yang mengalami tetapi orang terdekat kita? Menurut Ayu dua kunci yang utama
adalah kenali dulu kondisi diri dan jangan menghakimi. Sebelum siap mendengar
dan membantu orang lain, kita perlu memastikan diri kita dalam keadaan
baik-baik saja. Sekecil apapun emosi yang kita rasakan akan memengaruhi respon
kita. Jika kita merasa belum siap, jangan ragu untuk menunda percakapan dan
ajukan waktu pengganti.
Setelah kita siap mendengarkan,
apapun yang dia ceritakan, respon dengan penuh empati. Ucapkan terima kasih
karena telah bercerita. Butuh keberanian bagi seseorang untuk menceritakan hal
berat yang sedang dialami. Respon berikutnya yang dapat dilakukan adalah
tanyakan apa yang bisa kita bantu. Hindari langsung memberi saran karena bisa
jadi dia hanya ingin didengar atau saran yang kita berikan tidak tepat.
Kemudian, bagaimana jika orang
terdekat kita menyatakan keinginannya untuk mengakhiri hidup? Apakah dia serius
atau tidak? Respon yang disarankan Ayu adalah anggap hal tersebut bukan
candaan. Kita dapat mengatakan “Apakah kamu baik-baik saja?”, “Aku khawatir
sama kamu”, “Kamu mau cerita sesuatu?” Tidak ada orang cukup perhatian yang
akan mencoba menarik perhatian orang lain. Tidak ada pula orang yang tidak
butuh pertolongan akan meminta pertolongan.
Manusia memiliki cara yang unik
dalam mempersepsikan fenomena yang terjadi dalam hidupnya. Menjadi pribadi yang
paham kondisi diri sendiri akan membantu kita tetap terkoneksi dengan diri
sendiri dan orang lain. Salah satu masalah kesehatan mental adalah terputusnya
koneksi dengan diri. Perlakuan buruk yang dilakukan kepada orang lain juga
tidak jarang bersumber dari pribadi yang tidak mindful dengan dirinya sendiri. Jadi, jangan ragu dan malu untuk
berbicara jika kita sedang tidak baik-baik saja.
(Lindawati Sumpena)