Kamis, 23 Mei 2019

People Power 2019, Untuk Siapa?

 

Tulisan koordinator kota Sekolah Damai Indonesia Bandung atau Sekodi Bandung, Fanny S Alam,  diterbitkan harian umum Pikiran Rakyat tanggal 22 Mei 2019 di kolom Opini.

Tanpa ada angin atau pertanda lainnya, tiba-tiba Indonesia terkena sindrom people power. Kata ini hampir ada di pikiran pemirsa atau warga net yang rajin membaca berita melalui media sosial. Tanggal 22 Mei 2019 merupakan rencana tonggak pecahnya people power. Sontak, hal ini membawa dampak bagi beberapa negara, seperti Amerika, Belanda, bahkan Singapura dan Malaysia untuk merilis travel advisory ke Indonesia untuk lebih waspada di tempat-tempat keramaian di Jakarta. Mereka tidak sembarangan mengeluarkan peringatan tersebut karena adanya rilis Pejabat Kepolisian Republik Indonesia yang menggarisbawahi resiko perilaku terorisme berhubungan dengan finalisasi hasil pemilihan umum presiden 2019. Rencana pelaksanaan People Power di Indonesia pada tanggal di atas sudah tentu menimbulkan keheranan tertentu. Segenting apa kondisi yang ada di indonesia mengenai finalisasi hasil pemilu sehingga sampai perlu ada wacana people power? Sebenarnya People power untuk apa tujuannya dan dalam keadaan apa digunakannya? People Power, Ideal dan "Ala-ala" Istilah People Power sebenarnya pernah menggema pada masa 21-22 Mei 1998 dimana kekuatan suara masyarakat yang direpresentasikan kekuatan mahasiswa yang menduduki gedung DPR MPR sebagai bagian menggulingkan kekuasaan otoriter Presiden Soeharto yang kala itu sudah berlangsung selama 32 tahun. Ditandai dengan krisis ekonomi Asia yang pada akhirnya menyerang Indonesia berkepanjangan, membuka borok kesempurnaan pemerintah pada saat itu. People power saat itu juga dipicu karena tragedi Trisakti yang merenggut korban mahasiswa serta semakin memperburuk kondisi dengan kerusuhan Mei 1998 yang berimbas pada segregasi penggunaan politik identitas dan serangkaian kasus kekerasan dan perkosaan terhadap etnis tertentu. Situasi genting itu memaksa People Power bergerak untuk turut menyelamatkan kondisi carut marut tersebut. Howard Clark, akademisi dan aktivis dalam bukunya People Power: Unarmed Resistance and Global Solidarity, menyatakan bahwa people power dapat direngkuh dengan solidaritas tak bersenjata dengan memperkuat kekuatan akar rumput untuk memperkokoh basis isu yang akan dilawan. Akan tetapi, ia juga menggarisbawahi betapa people power dapat digerakkan dalam bentuk aksi besar yang banyak diidentifikasi sebagai gerakan untuk melengserkan penguasa yang dianggap sudah korup atau banyak melakukan pelanggaran kepada negara dan warganya. Sementara itu, jika kita melihat terminologi demokrasi, melihat bahwa demokrasi merupakan bentuk pemerintahan dari rakyat untuk rakyat, maka terdapat relasi people power yang ada secara krusial dalam jalannya roda pemerintahan berbasis demokrasi. People power melihat keinginan rakyat yang idealnya direpresentasikan oleh para wakil rakyat dalam forum lembaga perwakilan rakyat dan diterjemahkan dalam serangkaian peraturan dan undang-undang yang mengakomodir kepentingan bersama rakyat dan negara. Ketika media sosial diramaikan dengan wacana People Power akhir-akhir ini, dan ternyata menurut aparat polda metro jaya bahwa yang mengucapkan dua kata di atas adalah Amien Rais yang juga turut berkata tidak mau diintimidasi dengan kekuatan militer pemerintah dan menyerukan people power untuk memprotes hasil pemilu presiden 2019 serta pelanggarannya. Setidaknya pernyataan ini membuat adanya dukungan dari kelompok-kelompok politik tertentu untuk bergerak menyuarakan ini dan dilakukan tanggal 22, tepat saat kejatuhan rejim pemerintah Soeharto pada 1998 silam. Simpang siur tentang rencana people power ini setidaknya berhasil membuat aparat sibuk, menjadi lebih waspada dengan beberapa penangkapan orang-orang tidak bertanggung jawab dengan serangkaian rancangan teror dan sayangnya berimbas terhadap pandangan dunia internasional terhadap negara kita. Itukah yang dimaksud dengan People Power di Indonesia 2019? Refleksi Tentang People Power Melihat rencana People Power yang dilaksanakan tanggal 22 Mei 2019 untuk mengusung protes akan hasil final pemilu presiden 2019, sebenarnya inilah bentuk reformasi demokrasi. Bahwa kebebasan berekspresi merupakan hak siapa pun karena itulah bagian hak asasi manusia sebenarnya. Pembatasan terhadapnya merupakan bentuk pelanggaran, walaupun pada prosesnya hal ini menimbulkan banyak kekhawatiran dan gejolak yang tidak perlu terjadi di dalam dan sampai ke luar negeri. Sebenarnya, untuk siapakah people power 2019 itu? Apakah dampaknya bagi rakyat secara keseluruhan? Elemen rakyat siapa saja yang terlibat di sana? Kepentingan siapa yang akan diperjuangkan? Apakah sudah dianggap kuorum memperjuangkan kepentingan rakyat dalam skala luas atau hanya kepentingan politik kelompok tertentu saja yang merasa dirugikan dari hasil akhir pemilu? Jika melihat terminologi People Power di atas, mungkin atas nama kebebasan berekspresi bisa saja ketidakpuasan tersebut mendompleng People Power karena dalam kenyataannya ada elemen rakyat di sana, akan tetapi tetap harus dipikirkan konsekuensi ke depannya bagaimana. Apakah perlu protes mendompleng People Power pada akhirnya menebar kekhawatiran rakyat keseluruhan hingga menghilangkan kepercayaan dunia internasional kepada Indonesia serta kembali memecah belah persatuan rakyat di sini hanya untuk memuaskan nafsu politik sesaat? Pikirkanlah.

Minggu, 12 Mei 2019

Sekodi Bandung bersama Panitia Buka Puasa Lintas Iman dan Sahur Bersama Ibu Shinta Nuriyah Wahid 2019


 

Hari Jumat lalu tanggal 10 Mei 2019, kami dari Sekodi Bandung diwakili Fanny S Alam, Agus Nugraha, dan Ary Maulana bergabung dalam panitia bersama acara buka puasa dan sahur bersama keliling dengan Ibu Shinta Nuriyah Wahid di satu pesantren di daerah Batujajar, Kabupaten Bandung Barat. Kegiatan ini merupakan kegiatan rutin ibu Shinta ke setiap daerah setiap bulan puasa. Tahun ini bertemakan Dengan Berpuasa Kita Padamkan Kobaran Api Kebencian dan Hoax. Tema yang berhubungan dengan gaduhnya ucapan kebencian dan publikasi hoaks atau kabar bohong di banyak media demi memenangkan kepentingan politik tertentu, sehingga konflik pun tak terhindarkan baik secara fisik maupun di media sosial. Puasa ini dianggap momentum tepat untuk menahan diri serta merefleksi diri sendiri agar menjadi pribadi yang lebih baik, dapat respek terhadap perbedaan dan keberagaman karena kita semua adalah saudara walau berbeda iman dan Indonesia adalah rumah tinggal kita semua. Itulah pesan yang diangkat pada acara buka dan sahur bersama keliling bersama Ibu Shinta Nuriyah Wahid. Semoga di lain kesempatan kita semua dapat turut bersama menyebarkan perdamaian ke daerah-daerah lainnya. Salam damai.

Sekodi dalam Halaqah Damai tanggal 8 Mei 2019

 
8 Mei 2019 lalu di Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan, dua penggiat sekodi Bandung, Fanny S Alam dan Ary Maulana berkolaborasi membawakan topik Dom Helder Camara dan Spiral Kekerasan. Camara, seorang uskup sekaligus tokoh kemanusiaan di Brazil, mengurai simpul kekerasan yang terjadi di negaranya. Kekerasan yang muncul karena dibentuk secara struktural dan selalu biasanya negara ada di sana dalam bentukan peraturan "demi menjaga ketertiban dan keamanan". Tidak mudah mengurai simpul kekerasan tersebut karena dalam pengalaman Camara, negara juga melibatkan institusi agama, yaitu gereja, dalam melanggengkan proses kekerasan terstruktur tersebut. Memang tidak langsung terlihat akan tetapi keberpihakan yang terjadi antara keduanya memperlihatkan hegemoni untuk melakukan represi terhadap kelompok-kelompok yang dianggap dapat membahayakan keberlangsungan kekuasaan. Di sini rakyat juga menjadi korbannya. Inisiasi AJP atau Action for Justice and Peace dimulai Camara sebagai langkah nyata mereduksi kekerasan yang muncul karena ketidakadilan yang tercipta hanya karena melanggengkan pihak yang berkuasa. Di sini, kedua narasumber dari sekodi mempertajam relasi yang dilakukan Camara dengan apa yang terjadi di Indonesia, di mana spektrum kekerasan di sini melibatkan aktor aparat negara serta kuatnya politik identitas, terutama agama, untuk melegalkan kekerasan terjadi.

Sabtu, 11 Mei 2019

Spektrum Kekerasan Kita


Oleh Fanny S Alam
Sekolah Damai Indonesia Bandung

Kata kekerasan seakan telah menjadi akrab dengan ingatan kita. Kata tersebut telah menjadi tindakan yang menjelma secara nyata dan dialami oleh seluruh lapisan masyarakat, terutama masyarakat yang dianggap kelas bawah dari strata sosial. Johan Galtung menggarisbawahi kekerasan terjadi bila manusia dipengaruhi sedemikian rupa sehingga realisasi jasmani dan mental aktualnya berada di bawah realisasi potensialnya. Soyomukti Nurani menjelaskan kekerasan merupakan tindakan yang dilakukan individu terhadap yang lainnya sehingga berpotensi menyebabkan gangguan fisik dan mental. Penjabaran istilah yang lebih komprehensif dikemukakan Henry Campbell Black (1951) yaitu bahwa kekerasan adalah penggunaan kekuatan yang tidak adil, tidak dibenarkan biasanya disalahgunakan terhadap hak umum serta pelanggaaran terhadap aturan hukum dan kebebasan umum.  
Struktur kekerasan yang paling mudah terlihat di Indonesia adalah kekerasan yang berbasis politik identitas, yaitu perilaku diskriminasi dan intoleransi terhadap kelompok agama dan ras atau etnis yang dianggap minoritas hingga orientasi seksual berbeda. Terlebih, jika dikaitkan dengan kondisi jelang pemilu. Maka tak pelak kekerasan dengan struktur tadi menjadi lebih dominan terjadi. 

Sebut saja kejadian provokasi pihak luar desa yang akhirnya membuat Roni Dwi Nugroho memindahkan makam orang tuanya, Nunuk dari Pemakaman Islam Ngaresngidul, Mojekerto yang awalnya justru sudah disepakati boleh. Kutipan dari kumparan juga menyatakan yang dialami oleh Sukma Dewi Nawang Wulan, perwakilan dari penghayat keercayaan wedal urip yang mengeluhkan komitmen Pemerintah Kabupaten Brebes lamban dalam merespon aspirasi dari para penghayat kepercayaan karena hingga saat ini para penghayat kepercayaan masih terkendala terkait pemakaman yang bahkan masih mendapat penolakan dari pihak tertentu. Masih ingat juga hampir setiap tahunnya teman-teman Syiah di Bandung yang ingin merayakan Asyura selalu mengalami penolakan hingga pembubaran walaupun sebenarnya sudah ada aparat kepolisian. Dari periode 2013 hingga 2018 tirto.id melansir terjadi penutupan 5 masjid ahmadiyah dan 32 gereja. Jangan lupakan juga vonis 1, 5 tahun yang didapat oleh Meliana, yang dihukum karena dianggap melakukan penistaan agama karena meminta volume pengeras suara adzan diturunkan, namun kembali merefleksi kasus yang sama di Aceh tahun 2013 ketika seorang warga bernama Sayed Hassan mengajukan tuntutan ke pengadilan Banda Aceh karena merasa terganggu dengan suara rekaman pembacaan Quran yang berlarut-larut dari pengeras suara, ia menghadapi protes keras dari masyarakat. Namun, setelah dia mencabut tuntutannya, justru volume diturunkan dan tidak mendapat sanksi apa pun (S. Alam, Fanny, 2018). 

Terlebih lagi, jangan tanya bentuk-bentuk kekerasan yang dialami oleh teman-teman dengan orientasi seksual berbeda. Masih teringat bahwa dua universitas negeri di padang dan bahkan bandung pernah menerbitkan surat edaran pelarangan pendaftaran ulang mahasiswa baru bagi yang terindikasi terlibat perilaku lgbt (S. Alam, Fanny, 2017) 

Apa yang perlu dicermati sebenarnya dari struktur kekerasan yang demikian? Bagaimana sebenarnya kekerasan tersebut bisa bermula? 


Spiral Kekerasan Menurut Camara 
Ancaman terhadap kemanusiaan yang dicermati pada dasarnya bermula dari sistem pembagian kelas yang justru dimulai dari negara. Kita tentu mengenal kelas negara dunia pertama, kedua, dan ketiga, istilah yang pada akhirnya "diperhalus" menjadi negara maju, berkembang (arah maju), dan ekonomi berkembang (kurang maju) (IMF dan PBB). Ketimpangan yang dialami oleh negara dunia ketiga (negara berkembang, bisa jadi kurang maju) beserta relasinya dengan negara maju terletak dalam masalah ketidakadilan. Ketidakadilan dalam perumusan kebijakan hubungan dagang yang misalnya lebih menguntungkan pihak negara maju serasa pendiktean terselubung. Atau pun, bentuk-bentuk ketidakadilan yang berasal dari sistem pemerintahan yang lebih berpihak kepada kelompok priviledged (hak istimewa) sehingga menggiring masyarakat yang secara ekonomi tidak berdaya kedalam ketidakpastian dan hilang harapan bahkan. Hal inilah yang ditekankan oleh Dom Helder Camara, seorang tokoh gereja, sekaligus pekerja sosial, dan pejuang perdamaian. 

Bermula dari seminari hingga keuskupan agung Olinda dan Recife di Brazil, menjadi sekjen sidang kepala-kepala gereja selama 12 tahun dan CELAM, konsili Uskup Amerika Latin, di mana dia menjalani perjuangannya meretas ketidakadilan terhadap masyarakat secara sendirian lewat jalur gereja. Ini dilakukan agar gereja mampu membuka mata atas realita masalah dalam masyarakat dan negerinya serta dapat bertindak sebagai satu kesatuan. Posisi strategisnya membuat keberpihakan kepada para petani yang rata-rata buta huruf yang diperbudak oleh tuan tanah semakin kuat ditambah komitmen untuk menuntaskan masalah sosial bersama dengan tokoh-tokoh politik kiri sekuler. Dialog dimulai dan berjalan semakin intens. Pergerakan Camara menjadi lebih dianggap berbahaya sehingga akhirnya Presiden Brazil baru, Jenderal Garrastazu Medici, mengambil alih hak meralat mandat tanpa perwakilan di parlemen tanpa pengadilan serta mencabut hak politik warga negara. Legislasi ini menyebabkan Gereja sebagai otoritas lembaga keagamaan turut disetir kebijakannya oleh pemerintah. Ini terjadi tahun 1970, di mana pemerintah secara struktural melakukan tindak penyiksaan sebagai bagian instrumen kebijakan bagi siapapun yang tertangkap menentang presiden serta kekuasaannya. 

Spiral kekerasan yang coba diretas oleh Camara berasal dari titik ketidakadilan yang berasal dari kelas, bisa kelas relasi antar negara yang menekankan privelese kepada negara maju ketimbang memberlakukan perlakuan setara kepada negara dibawahnya, lalu bagaimana represi dilakukan oleh negara ketika terjadi pertentangan terhadap rezim yang dianggap tidak berpihak kepada warga negara, serta bagaimana legalisasi kekerasan dilakukan oleh institusi keagamaan yang menjadi kepanjangan tangan pemerintah. 

Camara, Kekerasan Kita, dan Resolusi 
Jika dalam paragraf pembuka disebutkan bahwa struktur kekerasan yang paling mudah ditemukan di Indonesia akhir-akhir ini adalah yang berbasis politik identitas dan berkenaan dengan relasi pelembagaan kekerasan lewat legitimasi agama, maka berdasarkan uraian Camara mengenai adanya jaminan privelese dari negara di Indonesia ini terjadi modelnya seperti yang diungkap oleh Coen Husain Pontoh mengenai bagaimana negara pada permulaan orde baru memelihara ini dengan mendirikan lembaga-lembaga kekerasan fisik langsung, mulai dari ABRI, lembaga intelejen yang ada di berbagai departemen, serta organisasi seperti pemuda pancasila, pemuda panca marga. Camara menekankan ketidakadilan yang lebih menguntungkan kelompok-kelompok privilese yang dijamin negara telah memiskinkan masyarakat karena akses ekonomi yang akhirnya dikuasai kelompok-kelompok tersebut dan masyarakat hanya menjadi budak pekerja mereka. Rezim pada orde baru di Indonesia dengan menggabungkan kekuatan rezim dan korporasi permodalan dilakukan untuk menghancurkan keadilan akses melalui proses kekerasan, terutama kekerasan langsung yang berfungsi mendisiplinkan tenaga kerja di sektor industri dan menghancurkan gerakan tani melalui penerapan sistem pertanian modern, seperti yang dikemukakan oleh Pontoh. 
Action For Justice and Peace, selanjutnya disebut AJP atau aksi untuk keadilan dan perdamaian akhirnya digagas Camara untuk bertindak menegakkan keadilan sebagai prasyarat untuk mencapai perdamaian. Aksi yang tidak melulu teori, spekulasi, serta kontemplasi melainkan tindak nyata yang berani. Target AJP ini adalah berfokus kepada masyarakat tertindas dari negara kurang berkembang dan masyarakat dari lapisan terbelakang negara maju. Tidak mudah ketika kita sebagai masyarakat melakukan upaya-upaya mengentaskan ketidakadilan sebagai bagian warisan orde terdahulu yang masih ada hingga sekarang karena tekanan politik yang besar dan banyaknya kepentingan-kepentingan yang dijaga oleh negara sebagai pemegang struktur kekuasaan. Akan tetapi, Camara dapat menjadi model bagaimana seharusnya tokoh-tokoh agama di Indonesia bergerak secara progresif melihat bahwa masalah di negara kita bukan semata-mata masalah moral memperbaiki diri lalu dibawa secara komunal, namun bagaimana berkontribusi secara luas melihat masalah yang dialami negara dan masyarakat yang berkaitan dengan ketidakadilan yang dapat memiskinkan dan membentuk bentuk kekerasan baru. Kerja sama bersama pihak pemerintah dapat berbuah kontribusi strategis untuk mengurangi ketidakadilan secara umum bagi masyarakat.

"Apapun agamamu cobalah berusaha agar agama membantu menyatukan umat manusia, bukan untuk memecah belah" (Camara)

Rabu, 08 Mei 2019

Munggahan Ala Sekodi Bandung



Perjumpaan adalah kata kunci yang bisa mempertemukan kita semua dalam bentuk apapun. Terkadang, hal ini tidak memerlukan persiapan topik serius, tetapi terjadi demikian saja dan ini yang terjadi di pertemuan sekodi Bandung hari Sabtu lalu tanggal 4 Mei 2019, bertempat di toko jajanan pasar Sari-Sari. Perjumpaan ini bertepatan dengan periode jelang puasa yang akan mulai tanggal 6 Mei 2019. Makanya, kami namakan Munggahan Ala Sekodi Bandung, yah perjumpaan sebelum puasa. Bisa dianggap satu tradisi rutin yang dilakukan banyak orang juga kok. Perjumpaan ini semakin meriah ketika satu partner kami dari Peacegen, Lindawati Sumpena, turut hadir dan sama-sama ngobrol tentang rencana Peacegen menggandeng Sekodi Bandung untuk membuat program kolaborasi tentang isu damai dan human interest lewat video. Ini adalah kabar baik selanjutnya setelah sebelumnya Peacegen menawarkan satu ruangan untuk digunakan oleh Sekodi Bandung untuk berkegiatan di akhir pekan. Lihat, temans, betapa sebenarnya ide-ide bagus bisa muncul tanpa lihat waktu, dan semoga kedepan kami semua akan mampu mengeluarkan ide-ide baru untuk tetap memperkenalkan isu hak asasi manusia serta isu sosial lainnya kepada teman-teman muda Bandung. Semangat!!! Selamat berpuasa untuk teman-teman Sekodi Bandung dan untuk masyarakat Bandung pada umumnya.

Selasa, 07 Mei 2019

Spektrum Kekerasan Kita



Oleh Fanny S Alam
Sekolah Damai Indonesia Bandung

Kata kekerasan seakan telah menjadi akrab dengan ingatan kita. Kata tersebut telah menjadi tindakan yang menjelma secara nyata dan dialami oleh seluruh lapisan masyarakat, terutama masyarakat yang dianggap kelas bawah dari strata sosial. Johan Galtung menggarisbawahi kekerasan terjadi bila manusia dipengaruhi sedemikian rupa sehingga realisasi jasmani dan mental aktualnya berada di bawah realisasi potensialnya. Soyomukti Nurani menjelaskan kekerasan merupakan tindakan yang dilakukan individu terhadap yang lainnya sehingga berpotensi menyebabkan gangguan fisik dan mental. Penjabaran istilah yang lebih komprehensif dikemukakan Henry Campbell Black (1951) yaitu bahwa kekerasan adalah penggunaan kekuatan yang tidak adil, tidak dibenarkan biasanya disalahgunakan terhadap hak umum serta pelanggaaran terhadap aturan hukum dan kebebasan umum.   
Struktur kekerasan yang paling mudah terlihat di Indonesia adalah kekerasan yang berbasis politik identitas, yaitu perilaku diskriminasi dan intoleransi terhadap kelompok agama dan ras atau etnis yang dianggap minoritas hingga orientasi seksual berbeda. Terlebih, jika dikaitkan dengan kondisi jelang pemilu. Maka tak pelak kekerasan dengan struktur tadi menjadi lebih dominan terjadi. Sebut saja kejadian provokasi pihak luar desa yang akhirnya membuat Roni Dwi Nugroho yang akhirnya membuatnya memindahkan makam orang tuanya, Nunuk di Pemakaman Islam Ngaresngidul, Mojekerto yang awalnya justru sudah disepakati boleh. Kutipan dari kumparan juga menyatakan yang dialami oleh Sukma Dewi Nawang Wulan, perwakilan dari penghayat keercayaan wedal urip yang mengeluhkan komitmen Pemerintah Kabupaten Brebes lamban dalam merespon aspirasi dari para penghayat kepercayaan karena hingga saat ini para penghayat kepercayaan masih terkendala terkait pemakaman yang bahkan masih mendapat penolakan dari pihak tertentu. Masih ingat juga hampir setiap tahunnya teman-teman Syiah di Bandung yang ingin merayakan Asyura selalu mengalami penolakan hingga pembubaran walaupun sebenarnya sudah ada aparat kepolisian. Dari periode 2013 hingga 2018 tirto.id melansir terjadi penutupan 5 masjid ahmadiyah dan 32 gereja. Jangan lupakan juga vonis 1, 5 tahun yang didapat oleh Meliana, yang dihukum karena dianggap melakukan penistaan agama karena meminta volume pengeras suara adzan diturunkan, namun kembali merefleksi kasus yang sama di Aceh tahun 2013 ketika seorang warga bernama Sayed Hassan mengajukan tuntutan ke pengadilan Banda Aceh karena merasa terganggu dengan suara rekaman pembacaan Quran yang berlarut-larut dari pengeras suara, ia menghadapi protes keras dari masyarakat. Namun, setelah dia mencabut tuntutannya, justru volume diturunkan dan tidak mendapat sanksi apa pun (S. Alam, Fanny, 2018). 
Terlebih lagi, jangan tanya bentuk-bentuk kekerasan yang dialami oleh teman-teman dengan orientasi seksual berbeda. Masih teringat bahwa dua universitas negeri di padang dan bahkan bandung pernah menerbitkan surat edaran pelarangan pendaftaran ulang mahasiswa baru bagi yang terindikasi terlibat perilaku LGBT (S. Alam, Fanny, 2017).  Apa yang perlu dicermati sebenarnya dari struktur kekerasan yang demikian? Bagaimana sebenarnya kekerasan tersebut bisa bermula? 

Spiral Kekerasan Menurut Camara  
Ancaman terhadap kemanusiaan yang dicermati pada dasarnya bermula dari sistem pembagian kelas yang justru dimulai dari negara. Kita tentu mengenal kelas negara dunia pertama, kedua, dan ketiga, istilah yang pada akhirnya "diperhalus" menjadi negara maju, berkembang (arah maju), dan ekonomi berkembang (kurang maju) (IMF dan PBB). Ketimpangan yang dialami oleh negara dunia ketiga (negara berkembang, bisa jadi kurang maju) beserta relasinya dengan negara maju terletak dalam masalah ketidakadilan. Ketidakadilan dalam perumusan kebijakan hubungan dagang yang misalnya lebih menguntungkan pihak negara maju serasa pendiktean terselubung. Atau pun, bentuk-bentuk ketidakadilan yang berasal dari sistem pemerintahan yang lebih berpihak kepada kelompok priviledged (hak istimewa) sehingga menggiring masyarakat yang secara ekonomi tidak berdaya kedalam ketidakpastian dan hilang harapan bahkan. Hal inilah yang ditekankan oleh Dom Helder Camara, seorang tokoh gereja, sekaligus pekerja sosial, dan pejuang perdamaian. Bermula dari seminari hingga keuskupan agung Olinda dan Recife di Brazil, menjadi sekjen sidang kepala-kepala gereja selama 12 tahun dan CELAM, konsili Uskup Amerika Latin, dimana dia menjalani perjuangannya meretas ketidakadilan terhadap masyarakat secara sendirian lewat jalur gereja. Ini dilakukan agar gereja mampu membuka mata atas realita masalah dalam masyarakat dan negerinya serta dapat bertindak sebagai satu kesatuan. Posisi strategisnya membuat keberpihakan kepada para petani yang rata-rata buta huruf yang diperbudak oleh tuan tanah semakin kuat ditambah komitmen untuk menuntaskan masalah sosial bersama dengan tokoh-tokoh politik kiri sekuler. Dialog dimulai dan berjalan semakin intens. Pergerakan Camara menjadi lebih dianggap berbahaya sehingga akhirnya Presiden Brazil baru, Jenderal Garrastazu Medici, mengambil alih hak meralat mandat tanpa perwakilan di parlemen tanpa pengadilan serta mencabut hak politik warga negara. Legislasi ini menyebabkan Gereja sebagai otoritas lembaga keagamaan turut disetir kebijakannya oleh pemerintah. Ini terjadi tahun 1970, dimana pemerintah secara struktural melakukan tindak penyiksaan sebagai bagian instrumen kebijakan bagi siapapun yang tertangkap menentang presiden serta kekuasaannya. Spiral kekerasan yang dicoba retas oleh Camara berasal dari titik ketidakadilan yang berasal dari kelas, bisa kelas relasi antar negara yang menekankan privelese kepada negara maju ketimbang memberlakukan perlakuan setara kepada negara dibawahnya, lalu bagaimana represi dilakukan oleh negara ketika terjadi pertentangan terhadap rezim yang dianggap tidak berpihak kepada warga negara, serta bagaimana legalisasi kekerasan dilakukan oleh institusi keagamaan yang menjadi kepanjangan tangan pemerintah. 

Camara, Kekerasan Kita, dan Resolusi 
Jika dalam paragraf pembuka disebutkan bahwa struktur kekerasan yang paling mudah ditemukan di Indonesia akhir-akhir ini adalah yang berbasis politik identitas dan berkenaan dengan relasi pelembagaan kekerasan lewat legitimasi agama, maka berdasarkan uraian Camara mengenai adanya jaminan privelese dari negara di Indonesia ini terjadi modelnya seperti yang diungkap oleh Coen Husain Pontoh mengenai bagaimana negara pada permulaan orde baru memelihara ini dengan mendirikan lembaga-lembaga kekerasan fisik langsung, mulai dari ABRI, lembaga intelejen yang ada di berbagai departemen, serta organisasi seperti pemuda pancasila, pemuda panca marga. Camara menekankan ketidakadilan yang lebih menguntungkan kelompok-kelompok privilese yang dijamin negara telah memiskinkan masyarakat karena akses ekonomi yang akhirnya dikuasai kelompok-kelompok tersebut dan masyarakat hanya menjadi budak pekerja mereka. Rezim pada orde baru di Indonesia dengan menggabungkan kekuatan rezim dan korporasi permodalan dilakukan untuk menghancurkan keadilan akses melalui proses kekerasan, terutama kekerasan langsung yang berfungsi mendisiplinkan tenaga kerja di sektor industri dan menghancurkan gerakan tani melalui penerapan sistem pertanian modern, seperti yang dikemukakan oleh Pontoh. Action For Justice and Peace, selanjutnya disebut AJP atau aksi untuk keadilan dan perdamaian akhirnya digagas Camara untuk bertindak menegakkan keadilan sebagai prasyarat untuk mencapai perdamaian. Aksi yang tidak melulu teori, spekulasi, serta kontemplasi melainkan tindak nyata yang berani. Target AJP ini adalah berfokus kepada masyarakat tertindas dari negara kurang berkembang dan masyarakat dari lapisan terbelakang negara maju. Tidak mudah ketika kita sebagai masyarakat melakukan upaya-upaya mengentaskan ketidakadilan sebagai bagian warisan orde terdahulu yang masih ada hingga sekarang karena tekanan politik yang besar dan banyaknya kepentingan-kepentingan yang dijaga oleh negara sebagai pemegang struktur kekuasaan. Akan tetapi, Camara dapat menjadi model bagaimana seharusnya tokoh-tokoh agama di Indonesia bergerak secara progresif melihat bahwa masalah di negara kita bukan semata-mata masalah moral memperbaiki diri lalu dibawa secara komunal, namun bagaimana berkontribusi secara luas melihat masalah yang dialami negara dan masyarakat yang berkaitan dengan ketidakadilan yang dapat memiskinkan dan membentuk bentuk kekerasan baru. Kerja sama bersama pihak pemerintah dapat berbuah kontribusi strategis untuk mengurangi ketidakadilan secara umum bagi masyarakat.  

"Apapun agamamu cobalah berusaha agar agama membantu menyatukan umat manusia, bukan untuk memecah belah" (Camara)

Senin, 08 April 2019

Langkah Kita di Tengah Terorisme


 

Beberapa waktu lalu, dunia diguncangkan oleh peristiwa penembakan di Masjid Christchurch, Selandia Baru. ‘Label’ teroris yang selama ini disematkan orang kulit putih kepada kaum Muslim seakan-akan dibuktikan ketidakbenarannya, karena pada peristiwa itu, justru kawan-kawan Muslim yang menjadi korban dan orang kulit putih yang menjadi pelaku. Dunia menjadi bingung dan was-was. Apalagi beberapa waktu kemudian terjadi lagi penembakan di Utrecht, Belanda. 

Untuk membahas fenomena terorisme ini, pada hari Sabtu, 23 Maret 2019, Sekolah Damai Indonesia – Bandung mengadakan diskusi dengan Ibu Dina Sulaeman, penulis buku dan peneliti Timur Tengah. Dalam paparannya, Ibu Dina menjelaskan bahwa ada tiga hal yang memunculkan terorisme, yakni ideologi, ketidakadilan dan politik. Ketiga hal ini berkelindan membentuk sebuah sistem yang kompleks. Konsekuensinya, membasmi terorisme tidak bisa hanya berfokus pada satu hal saja, seperti yang selama ini terjadi yakni berfokus pada ideologi saja. Akan tetapi, ketika aspek ketiga yakni politik itu dibahas, resistensi bahkan perlawanan muncul dari pihak-pihak yang berkepentingan. Menurut Ibu Dina, hal semacam inilah yang membuat terorisme menjadi sulit diatasi, karena sesungguhnya terorisme terjadi ketika seseorang terlalu memaksakan kehendaknya. 

Meski demikian, ada hal yang bisa kita lakukan untuk mencegah terorisme. Dari diri kita sendiri, caranya adalah dengan menghindari menyematkan label secara otomatis pada kelompok tertentu yang sangat besar. Dalam sebuah kelompok yang memiliki satu ciri identitas yang sama, misalnya agama atau suku tertentu, ada keunikan individual di sana, sehingga ciri identitas itu tidak bisa digeneralisir pada semua orang. Perlu ada keterbukaan dari diri kita sendiri untuk mau mengenal kelompok lain lebih mendalam, karena sesungguhnya bukan perbedaan yang memecah belah, namun anggapan bahwa orang lain adalah liyan yang membuat keberagaman menjadi alasan manusia terkotak-kotak dan terpisah-pisah. 


(Stella Vania Puspitasari)