Selasa, 12 Februari 2019

Mengenal Ajaran Kepercayaan

Dalam rangka menyemarakkan World Intefaith Harmony Week (WIHW) yang biasa diperingati sepanjang pekan pertama bulan Februari, Sekolah Damai Bandung (Sekodi) mengundang Kang Asep, Teh Rela, dan Kang Dian, yang tiada lain adalah para penganut ajaran Kepercayaan. Bertempat di sekitar Balai Kota Bandung, kegiatan dilakukan dengan cara tadarus teks yang isinya berupa tanya-jawab seputar ajaran Kepercayaan. Ada sekitar tujuh buah pertanyaan yang dibahas, di antara ialah mengenai Tuhan. Sama halnya dengan agama-agama besar lainnya, mereka meyakini adanya Tuhan Yang Maha Esa yang telah menciptakan bumi, langit, beserta isinya. Hanya saja untuk penamaan, mereka mengembalikan penyebutan Tuhan sesuai dengan bahasa dan kultur masing-masing penghayat, sebab perbedaan dalam menyebut nama Tuhan sama sekali tidak berpengaruh terhadap inti dari Tuhan itu sendiri. Tetapi mengenai kitab suci, berbeda dengan agama-agama arus utama, para penghayat kepercayaan tidak memiliki kitab suci yang diyakini berupa firman Tuhan, yang ada hanyalah tulisan-tulisan karangan manusia yang berisi tentang tuntunan hidup menuju jalan keselarasan dan keselamatan. Ini karena bagi mereka apa yang disebut dengan pedoman Tuhan sebenarnya telah ada secara jelas, baik dari alam maupun dalam diri manusia itu sendiri. Semua elemen ini jika dikaji dan dihayati secara serius, menurutnya, dapat dijadikan pegangan pedoman umat manusia di dunia. Tidak adanya kitab suci berarti juga tidak ada konsep mengenai seseorang yang diutus oleh Tuhan sebagai penyebar agama (nabi). Mengenai moral, para penghayat kepercayaan tidak memiliki konsep yang muluk-muluk, cukup dengan pepatah “barangsiapa yang menanam maka dia akan memetik hasilnya”. Betapapun fleksibelnya, menurut Kang Asep biasanya setiap organisasi ajaran Kepercayaan memiliki semacam pedoman moral, misalnya mengenai tujuh perbuatan yang terlarang. Uniknya, mereka juga tidak terlalu memiliki fokus pada hal-hal eskatologis, oleh karenanya tidak memiliki konsep dosa-pahala sehingga juga tidak ada konsep surga-neraka. Bagi mereka manusia yang telah meninggal maka jasmaninya akan kembali ke saripati bumi (tanah, air, udara, dan api) sedang inti dari diri akan kembali ke sisi Tuhan. Kang Asep juga membahas persoalan yang sering disalahpahami oleh masyarakat umum yang mengidentikkan ajaran kepercayaan dengan hal-hal yang berbau mistis atau klenik. Ini salah, meskipun tidak menutup kemungkinan akan selalu ada orang yang memiliki kemampuan supranatural sebagaimana yang terjadi pula pada sebagian penganut agama-agama lain. Bagi Kang Asep, ini dikarenakan orang tersebut gemar melakukan penyucian batin sehingga Tuhan memberikan semacam hadiah kepadanya untuk memiliki daya sensitivitas yang lebih tinggi dibanding manusia pada umumnya. Persoalan lain yang juga kerap disalahpahami ialah mengenai upacara sesajen. Berasal dari kata ajen yang berarti penghormatan atau penghargaan, upacara sesajen secara substansi ialah sebuah bentuk penghormatan yang dilakukan oleh para penghayat terhadap alam. Bukan hanya karena alam adalah rekan yang perlu dihormati tetapi juga sangat ampuh dijadikan sebagai sarana untuk merasakan kehadiran Tuhan. Adapun pernak-pernik yang sering hadir seperti kembang tujuh rupa dan yang lainnya, semuanya sebenanya hanyalah simbol-simbol yang memiliki nilai filosofis untuk menggambarkan keseluruhan alam.[]


Jiva Agung W

Tulisan Teman Sekodi Bandung Hani Yulindrasari, dosen dan pemerhati isu gender dan perempuan

Antara yang Ideal dan Realitas: Memahami Kontroversi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Oleh: Hani Yulindrasari Sabtu, 9 Februari 2019 Sekolah Damai Indonesia (Sekodi) Bandung mengundang Ibu Vina Adriany, PhD untuk membahas RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) yang sedang ramai dibicarakan di media sosial. Di Taman Film, Balubur, kami berkumpul dan membaca bersama-sama dua tulisan yang berada di sisi berlawanan tentang RUU P-KS ini. Kami mencoba memahami dua pihak: yang menolak dan yang setuju RUU P-KS ini. Artikel pertama yang kami baca adalah artikel yang ditulis oleh Ragil Rahayu Wilujeng yang berjudul “Aroma Kebebasan Seksual di Balik RUU Penghapusan Seksual [sic].” Artikel ini menyoroti RUU P-KS sebagai RUU yang mengusung budaya Barat, maka itu tidak sesuai dengan budaya ketimuran yang berlaku di Indonesia. Salah satu argumennya adalah bahwa dengan adanya RUU ini perilaku seksual suka-sama-suka dilegalkan karena ada pasal yang melarang kontrol seksual. Artikel ini juga menyebutkan bahwa pornografi dan cara berpakaian perempuan yang memperlihatkan aurat merupakan penyebab seks bebas. Artikel ini mengatakan bahwa solusi dari kekerasan seksual adalah dengan memberlakukan syariat Islam yang mengatur interaksi social masyarakat termasuk cara berpakaian perempuan. Solusi yang diajukan oleh artikel ini terkesan sangat ideal tetapi utopis, bahwa dengan berlaku hukum syariah Islam seluruh masyarakat Indonesia akan tunduk, turut, dan kejahatan tidak akan terjadi. Penulis artikel tersebut terkesan mengabaikan bahwa penduduk Indonesia tidak hanya muslim, ada 6 agama lain yang mungkin memiliki hukum sendiri yang juga ingin diakomodasi implementasi-nya. Selain itu, apakah di negara-negara yang sudah memberlakukan hukum Islam, kekerasan seksual hilang sama sekali? Noura binti Afeich, seorang aktivis perempuan di Arab Saudi, mengutip sebuah survey yang menunjukkan bahwa 78% perempuan berusia 18-48 tahun di Arab Saudi pernah mengalami pelecehan seksual secara langsung. Aktivis perempuan Arab Saudi pun menuntut peraturan khusus yang bisa menyelesaikan masalah kekerasan seksual di negara tersebut. Menciptakan masyarakat ideal yang bebas kekerasan seksual melalui pemberlakuan hukum Islam saja ternyata tidak cukup. Cara berpakaian korban kekerasan seksual memang selalu disorot dan dipertanyakan, tapi bagaimana datanya? Di Indonesia sendiri kami tidak tahu apakah ada data yang lengkap mengenai jenis pakaian yang dipakai oleh korban ketika kekerasan seksual terjadi. Tetapi seorang aktivis perempuan di India, Jasmeen Patheja, pernah meminta korban kekerasan seksual untuk mendonasikan pakaian yang dikenakannya ketika menjadi kekerasan terjadi. Berdasarkan pakaian yang didonasikan tersebut, Jasmeen membuat museum untuk menunjukkan kepada masyarakat bahwa jenis pakaian tidak berkaitan dengan kekerasan seksual yang terjadi. Selain itu, Vina Adriany, juga menambahkan bahwa jika memang kekerasan seksual ini disebabkan oleh cara berpakaian perempuan kenapa banyak anak-anak baik laki-laki maupun perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual. Selain itu, kekerasan seksual juga banyak terjadi di dalam rumah dan dilakukan oleh orang terdekat korban. Tidak sedikit kasus kekerasan seksual juga terjadi di sekolah-sekolah pada anak yang mengenakan seragam sekolah. Artikel kedua yang kami bahas adalah artikel berjudul “RUU PKS Dianggap RUU Pro-Zina, Masuk Akalkah?” yang ditulis oleh Widia Primastika. Artikel kedua lebih fokus pada realitas social yang terjadi di masyarakat Indonesia, di mana banyak korban kekerasan seksual yang tidak terlindungi hak nya, tidak terpulihkan trauma fisik dan psikisnya, serta kesulitan untuk melaporkan kekerasan yang dialaminya karena dianggap tabu dan tidak ada hukum positif yang menjamin perlindungan terhadap korban. Mencoba memahami dua sisi yang berbeda, kami mencari kesamaan diantara perbedaan. Kami melihat bahwa kedua belah pihak yang setuju dan yang menolak RUU P-KS sama-sama menentang kekerasan seksual, hanya saja kedua belah pihak berdiri dari dua sisi yang berbeda. Kelompok yang menolak RUU P-KS lebih melihat bagaimana membentuk masyarakat yang ideal tapi lupa bahwa ideal itu sulit dicapai, berada jauh di awang-awang. Sedangkan kelompok yang mendukung RUU P-KS melihat pada realitas yang memang tidak ideal tapi ada dekat dengan kita. Korban-korban kekerasan seksual itu nyata. Kecemasan, ketakutan, kesedihan, dan trauma yang mereka rasakan itu juga nyata. Bahkan mungkin salah satu atau banyak dari kita pernah mengalaminya tapi karena tabu, kita tekan sedalam-dalamnya dalam memori kita. Kita biarkan kita tidak mendapatkan keadilan. Pertanyaannya, sampai kapan akan kita abaikan realitas ini?

Narasi Pro dan Kontra Dalam Debat RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

Sabtu, 9 Februari 2019, pertemuan Sekodi Bandung diadakan di taman film. Membahas topik yang sempat ramai di jagad media sosial, kami menyoroti narasi pro dan kontra terhadap pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual terus bergulir, terutama sejak Maimon Herawati, seorang dosen dan pengamat masalah sosial merilis petisi mengenai tolak RUU Pro zina. Tidak lain yang dimaksud adalah RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang sudah masuk jaring kerja Prolegnas DPR sejak 2016 dan sudah berkali-kali direvisi sehingga memenuhi nilai-nilai yang ada di Indonesia. Masalah muncul ketika kelompok kontra, yang diwakili petisi di atas menggarisbawahi RUU ini sebagai langkah legalisasi kebebasan seksual, LGBT, dan sederet tuduhan yang menyebut masuknya nilai -nilai sekularisme barat serta tidak mengindahkan nilai-nilai agama dan budaya ketimuran Indonesia. Senada dengan petisi tadi, aliansi cinta keluarga indonesia juga mensinyalir hal-hal yang sama serta mwnambahkan bahwa RUU ini lebih baik diganti judul dengan RUU kejahatan seksual. Penggantian terminologi tadi tentu akan menyempitkan arti dari kekerasan seksual yang sedemikian luas serta tidak tercantum dalam kitab undang undang hukum pidana, yang menyatakan kekerasan seksual hanya berupa pencabulan dan perkosaan. Dimensi ini diperluas dengan cakupan pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual. Narasi kontra mulai dipertanyakan dan dikritisi, terutama ketika menurut narasumber kami, Vina Adriany, dosen UPI sekaligus aktivis perempuan, mempertanyakan sumber data yang digunakan untuk menggiring opini publik. Data yang digunakan adalah jelas data tidak valid yang berbeda dengan isi naskah akademik RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang sudah direvisi. Ironisnya, hal ini yang terus disebar dan dipercaya banyak masyarakat yang memang kurang menyimak dalam bentuk tulisan panjang. Jalan panjang pengesahan RUU ini juga melibatkan proses politik, dimana menurut Fanny s alam, moderator sekaligus koordinator kota sekodi bandung, kekuatan politik mempengaruhi pengesahan yang terus ditunda-tunda. Kekuatan politik ini yang terus mempertahankan keberadaan kelompok kontra sehingga dukungan di antara mereka justru akan mempersulit pengesahan RUU ini. Penguatan literasi, cek ricek setiap informasi dan data merupakan kunci penting bagi teman muda Bandung untuk tetap berpegang kepada nilai kebenaran, sehingga jangan terjebak untuk menyampaikan berita kurang benar hanya karena solidaritas dan dukungan emosional kepada satu kelompok semata.

Selasa, 05 Februari 2019

Belajar Toleransi dan Menerima Perbedaan? Mudah loh..

Cek deh https://beritabaik.id/read?editorialSlug=indonesia-baik&slug=1535507182309-belajar-toleransi-bersama-sekolah-damai-indonesia Eh, teman. Nanya nih. Teman pasti sudah sering ketemu banyak orang. Pasti sudah kemana-mana pula mainnya. Kiri kanan depan belakang pasti lihat banyak orang. Gimana rasanya lihat mereka yang berbeda? Apa kamu punya standar yang baik di mata kamu tapi belum tentu orang lain bisa sepakat? Gimana rasanya kalau kamu sendiri banyak ditolak banyak orang hanya kamu beda dengan mereka? Cuek? Atau baper juga nih alias bawa perasaan? Beda itu sudah alami. Sudah ada dari sananya, lha kita sama bagian keluarga saja beda toh. Pelan-pelan kamu pasti bisa kok menerima perbedaan antar sesama dengan bahagia. Menyadari bahwa kamu bukanlah yang *paling* diantara yang lain. Dari situ bisa terbangun loh rasa respek dan toleransi. Ngerti sih kalau kamu mungkin gak sepakat dengan bagian kebiasaan orang lain yang sifatnya adat istiadat, agama, atau pilihan politik. Atau kalau aku, kadang suka juga bingung kok banyak orang doyan bubur yang diaduk, misalnya. Tapi, bisa kan kita menahan rasa ketidaksukaan itu minimal dengan nyadar kalau orang-orang punya pilihan beda. Ataukah justru teman malah pengen mereka seragam dengan keinginan teman sendiri? Aih, dari respek dan toleransi teman bisa loh bergabung dengan teman-teman berbeda dari segi apa pun dengan santai dalam satu kegiatan. Asyik, malah lebih akrab lagi sehingga perlahan kita bisa tinggalin cara-cara lama kita yang memandang rendah atau curiga orang dari kelompok lain. Perjumpaan itu penting. Ngobrol itu juga jauh lebih penting sehingga akhirnya teman bisa bersama-sama terlibat dalam banyak hal dengan santai, lepas tanpa narasi *agama kamu apa?* misalnya. Makanya, gimana kalau tengok kami sesekali di BandungSchool of Peace Indonesia atau sekolah damai indonesia Bandung?

Senin, 04 Februari 2019

Membaca Kritis Tentang Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa




Sabtu, 2 Februari 2019, pukul 12 siang bertempat di Taman Balaikota Bandung, Kami dari BSOP atau Sekolah Damai Indonesia Bandung melaksanakan kegiatan siklus ke 3 dari rangkaian Membaca Kritis-Menulis Kritis-Visits dan Live In hingga April 2019 nanti. Kami mengundang  Teh Rela Susanti dan Kang Asep sebagai narasumber mengenai penghayat kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa. Mereka berasal dari kelompok penghayat Budidaya, menjelaskan banyak hal yang berkaitan dengan kepercayaan mereka. Sesi dimulai dengan setiap peserta membaca teks yang sudah disiapkan narasumber, lalu saling bertanya mengenai apa yang ada dalam benak peserta setelah membaca. Sesi ini dimoderasi oleh Ary Maulana, penggiat muda BSOP/Sekodi Bandung.
Menarik untuk menyimak pertanyaan yang terkait dengan kepercayaan tersebut, seperti apakah Tuhannya, bagaimana cara ibadahnya, bagaimana dengan konsep kepercayaan apakah sama dengan agama-agama biasa, relasi sosial, bahkan hingga perkawinan antar kepercayaan yang berbeda. Hal yang paling krusial adalah bagaimana pemerintah daerah dan kota mengakomodasi kepentingan teman-teman penghayat kepercayaan dalam masalah teknis administrasi kependudukan, mulai dari identitas, surat kematian hingga proses pemakaman, dan pendidikan. 
Bagi kami, ini merupakan hal positif untuk meretas mandegnya literasi dengan mendatangkan narasumber terkait serta tulisan yang relevan. 

Selamat berkembang dan salam damai

Tentang Kami, SEKODI Bandung atau BSOP Indonesia

BSOP Indonesia, Bandung School of Peace atau Sekolah Damai Indonesia Bandung adalah salah satu ruang alternatif yang digagas oleh Lioni Beatrix Tobing, alumnus School of Peace dan Fanny S Alam, penggiat komunitas Bhinneka Nusantara, yang hingga saat ini masih menyelenggarakan kelas-kelas diskusi untuk teman-teman muda dari berbagai lintas latar belakang. 

Bandung School of Peace atau Sekolah Damai Indonesia Bandung merupakan ruang alternatif mingguan setiap hari Sabtu (jam dan tempat dapat berubah) bagi teman-teman muda berbagai lintas dan publik Bandung. Ruang ini merupakan tempat perjumpaan, dialog, dan kunjungan kepada kelompok-kelompok rentan di Bandung. Semuanya merupakan upaya untuk bergerak dari toleransi, menerima perbedaan, sama-sama terlibat, dan mengarah kepada transformasi sosial di masa datang. Selain tujuan di atas, Sekodi Bandung merupakan media untuk menjembatani proses media literasi bagi teman-teman muda, sekaligus menumbuhkan pemikiran kritis sebebasnya tanpa perlu khawatir dicap macam-macam. Pada akhirnya kami berfungsi sebagai "alternative safe space", alternatif ruang aman, terutama bagi teman-teman yang berasal dari kelompok marginal secara sosial. Target peserta kami adalah kelompok muda dengan rentang usia 17 hingga 35 tahun. Walau demikian, kadang-kadang dalam pertemuan terdapat teman-teman yang rentang usianya lebih dari 35 tahun tapi datang memang dengan niat positif. Dan kami terbuka untuk itu. Karena, Sekolah Damai Indonesia Bandung hadir untuk semua