We do have some limitations in conducting our events, but it does not mean we stop them.
Perkenalan Singkat
Pada hari Sabtu, 5 November 2022, kami, mewakili Sekolah Damai Indonesia (SEKODI) Bandung melakukan kunjungan ke Markas Srikandi Pasundan. Srikandi Pasundan itu merupakan suatu komunitas yang terdiri dari perkumpulan wanita pria (waria). Komunitas ini pada mulanya hanya perkumpulan biasa hingga menjelma menjadi yayasan dengan legalitas yang jelas pada tahun 2004.
Adapun ketuanya saat ini adalah Kak Luvhi, dan kami juga
berjumpa dengan beberapa anggotanya yaitu Kak Farah, Kak Tata, Kak Ressa dan
Kak Azka. Adapun yang dinamakan Dara Pasundan adalah anggotanya yang berisi
para remaja. Beberapa anggota srikandi pasundan ini ada juga yang merangkap
sebagai satgas lapangan agar bisa menjangkau teman-teman sebaya untuk
periksa/tes hiv.
Komunitas Srikandi Pasundan melakukan banyak kegiatan, seperti penyuluhan
kesehatan, pendataan anggota disertai juga koordinasi dengan pemerintah
setempat. Ada banyak cerita menarik mengenai suka-dukanya yaitu, mulai dari
datangnya bantuan berupa modal dari dinas pemerintah tertentu. Namun modal yang
diberikan tak sesuai dengan yang diajukan. Lalu, dinas tersebut pernah memberikan
bantuan dana untuk keperluan membuka usaha salon, padahal tidak semua anggota
Srikandi ingin membuka usaha salon. Banyak dari mereka yang ingin berdagang,
atau wirausaha lainnya. Masalah juga muncul di kala apa yang diajukan tidak
sesuai dengan apa yang diberikan. Seperti di saat mengajukan sisir tulang yang
bahannya lebih bagus, kuat dan nyaman dipakai malah dikirim sisir murah yang
tentu kualitasnya lebih rendah. Disaat mengajukan shampoo yang sudah disebutkan
merknya malah diberi shampoo lain yang lebih murah dan kualitasnya tidak akan
sama dengan merk shampoo yang sudah diajukan. Alhasil ini membuat para anggota
jadi sungkan untuk menerima bantuan dana dari dinas yang bersangkutan. Hingga mereka akhirnya memutuskan untuk
membuka usaha sendiri.
Masalah Datang, Namun Pemberdayaan pun Dilakukan
(foto oleh Diksi Paisal)
Pada awal mula pandemi Covid, keadaan menjadi cukup darurat dan
segala sesuatunya menjadi terbatas. Kak Luvhi sebagai Ketua Srikandi Pasundan
berinisiatif untuk membuat program Dapur Umum. Program ini sangat membantu
banyak masyarakat yang kekurangan bahan pangan. Dalam sehari bisa memproduksi
sekitar 50 porsi makanan untuk dibagikan pada siapa pun yang membutuhkan.
Akhir-akhir ini KBBI telah menerbitkan definisi tentang
Transpuan dan Transpria. Namun Ketua Srikandi Pasundan dan beberapa anggotanya
menyatakan kekurang setujuan terhadap definisi baru yang ada. Mereka merasa
lebih nyaman dengan sebutannya yang dulu yaitu waria (wanita-pria) karena lebih
familiar ditelinga masyarakat ketimbang transpuan. Selain itu, dikhawatirkan
malah akan menimbulkan miskonsepsi dan opini-opini baru di masyarakat.
Para anggota Srikandi Pasundan juga mengakui bahwa mereka sangat
tidak nyaman jika ada panggilan-panggilan tertentu yang ditujukan pada mereka
seperti "bencong", "banci" karena dianggap panggilan yang mengejek. Sebenarnya mereka telah
menerima diri mereka sendiri sebagai waria (wanita-pria) mereka bangga dengan
segala kelebihan dan kekurangannya. Memanglah
tak mudah menjadi mereka, karena seringkali mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan
dan prasangka-prasangka yang tidak baik.
Namun untuk di kehidupan saat ini mereka merasa lebih nyaman.
Karena perlakuan aparat dan masyarakat pada mereka sudah lebih baik. Mereka
sudah diperlakukan layaknya laki-laki atau perempuan pada umumnya. Layaknya
warga negara Indonesia yang memiliki hak dan kewajiban. Di fasilitas umum seperti balai kesehatan juga mereka sudah
diperlakukan baik seperti layaknya pasien pada umumnya.
Dalam bidang pendidikan, kebanyakan dari mereka tidak melanjutkan
pendidikan ke tahap perguruan tinggi. Ada beberapa alasan pribadi maupun secara
sosial. Mereka berharap semoga kedepannya akan ada tirik cerah untuk mereka
tetap bisa belajar dan merasa nyaman di bidang pendidikan.
Para anggota Srikandi Pasundan juga selalu menjaga komunikasi dengan para anggota Srikandi lainnya yang berada diluar daerah bandung. Seperti di Indramayu, Cirebon, Makassar, Palembang. Sang Ketua yaitu Kak Luvhi tak pernah bosan untuk memantau kegiatan mereka secara langsung maupun online (untuk yang berbeda daerah). Mereka selalu dianjurkan untuk memiliki kebiasaan yang baik seperti bercocok tanam dimulai dari menyirami tanaman di setiap paginya.
Ada pun hikmah yang dapat diambil dari kunjungan kami ini adalah diharapkan kita semua jangan memberikan prasangka negatif kepada siapa pun, terlebih teman-teman transpuan dan juga kelompok lain yang dianggap marjinal oleh masyarakat dan pemerintah, Karena kita semua sama, yaitu manusia dengan hak hidup sama dan dilindungi oleh Negara.
Pengantar
Keberagaman di Indonesia sudah bukan menjadi hal
yang perlu diperdebatkan dan sudah menjadi hal yang nyata dalam keseharian.
Dalam ragam suku, Indonesia memiliki 1340 suku bangsa, terbanyak di dunia,
menurut Badan Pusat Statistik dalam survei tahun 2010 yang tinggal di 17.508 pulau. Selain keberagaman dalam suku,
kita semua telah mengetahui bahwa Indonesia memiliki keberagaman agama dan
keyakinan yang telah diakui secara resmi, yaitu Islam, Kristen (Protestan),
Katolik, Buddha, Hindu, Konghucu, dan Penghayat Kepercayaan pada Tuhan yang
Maha Esa.
Kehidupan keberagaman beragama dan kepercayaan
sebenarnya telah dijamin Negara, seperti yang disebutkan dalam Pasal 29 ayat 2
UUD 1945 yang menyatakan negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agamanya masing-masing, dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu, selain Pasal 28E Ayat (1), Pasal 28I Ayat (1). Hal ini
sejalan dengan Pasal 18 ayat (1) International Covenant on Civil and Political
Rights (ICCPR, 1966) yang juga telah diratifikasi dalam UU no 12 tahun 2005.
Sebagai negara yang telah meratifikasi Kovenan tersebut, Pemerintah wajib
memberikan jaminan kepada warga negaranya untuk secara bebas menentukan agama
atau kepercayaan atas pilihannya sendiri serta menjalankan agama dan kepercayaannya
dalam kegiatan ibadah, pentaatan, pengamalan, dan pengajaran.
Permasalahan
Kehidupan keberagaman, terutama dari sisi
keberagamaan dan keberyakinan di Indonesia akhir-akhir ini rentan dengan banyak
tantangan, terutama dengan munculnya perilaku intoleransi dan diskiminasi
terhadap masyarakat beragama yang dianggap minoritas, contohnya dalam konteks
Bandung dan Jawa Barat pada umumnya. Perilaku tersebut terjadi terhadap
kelompok masyarakat Kristen, Ahmadiyah, Syiah. Selain itu, hal ini terjadi
kepada masyarakat Hindu dan juga Penghayat Kepercayaan. Seperti yang kita telah
ketahui, contohnya Bandung telah berhasil membuat beberapa gebrakan, seperti
Kampung Toleransi, gerakan Bandung Rumah Bersama sebagai perwujudan rasa
toleransi terhadap seluruh umat beragama tanpa terkecuali.
Namun, hal ini bukan saja tidak melihat masalah
apa yang pernah muncul dan memberikan suatu catatan terhadap kehidupan
bertoleransi di Bandung dan Jawa Barat. Beberapa kejadian yang masih membekas
adalah dalam konteks Jawa Barat misalnya Kebijakan diskriminatif masih terbit
di beberapa kota dan Kabupaten di Jawa Barat. Di Tasikmalaya, Cianjur,
Kuningan, Bogor, Bekasi dan Bandung, itu masih ada gereja atau rumah ibadah
agama lain yang masih disegel. Terbaru di Garut, ada Surat Edaran Pelarangan
Aktivitas dan Pembangunan Masjid Ahmadiyah.
Bagaimana dengan kondisi yang dialami dengan
masyarakat Hindu, Buddha, serta Penghayat Kepercayaan? Kita mungkin sudah tahu
apa yang dialami oleh masyarakat Penghayat Kepercayaan yang selalu mendapatkan
perilaku diskriminasi, mulai dituduh sesat, tidak beragama, hingga kesulitan
mereka dalam mengakses layanan publik, seperti membuat akte kelahiran,
mendaftar ke sekolah. Atau, bagaimana dengan pemandangan jarangnya pura Hindu
di jalanan di Bandung? Di samping itu, bagaimana dengan pengalaman yang
dihadapi oleh masyarakat Buddha di Bandung atau Jawa Barat? Pernahkah mereka
mengalami tindak diskriminasi dan peminggiran?
Tujuan Acara
Initiatives of Changes (IoFC) Indonesia dengan
programnya, TrustBuilding Program, menginisiasi perjumpaan teman-teman muda
lintas agama beserta lintas lainnya. Tujuannya adalah bagaimana teman-teman
muda dapat membentuk pengertian, respek, serta empati terhadap oerbedaan dan
keberagaman di lingkungan sekitar dan di luarnya. Teman-teman muda merupakan
bagian signifikan dalam pembangunan, terutama dengan yang dicanangkan dalam
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals.
Salah satu rangkaian acara TrustBuilding Program
adalah TrustBuilding Camp, yang baru terselenggara tanggal 29-31 Juli 2022 di
Bandung. Acara ini bertajuk “Heal the Past, Hope for the Future” yang bertujuan
memetakan potensi konflik dan membuka cerita di balik konflik-konflik lintas
agama, terutama Islam dan Kristen. Setelah memetakannya, ditambah dengan
pengalaman pribadi, maka para peserta diharapkan dapat tumbuh dan pulih dari
konflik-konflik tersebut dan menumbuhkan rasa percaya satu sama lain dengan
teman-teman berbeda agama serta berbeda lainnya.
Dalam acara di atas, kami berfokus pada
Islam-Kristen dengan konflik yang cukup mendominasi Bandung dan Jawa Barat pada
umumnya. Untuk berikutnya, kami menyadari ketika berbicara mengenai isu
keberagaman dan perbedaan, maka kami juga perlu melibatkan kelompok agama
lainnya, seperti Hindu, Buddha, Konghucu, Penghayat kepercayaan. Sebagai
tambahan, kita melihat yang lain, seperti Bahai serta Tao. Untuk itulah, kami,
Initiatives of Changes (IoFC) Indonesia beserta Sekolah Damai Indonesia
(SEKODI) Bandung dan Jaringan Kerja Antar Umat Beragama (JAKATARUB),
berinisiatif untuk mengadakan bentuk Focus Group Discussion sebagai refleksi
sekaligus mengaitkannya dengan hari Kemerdekaan Indonesia ke 77, bagaimana
masyarakat dengan perbedaan agama dan keyakinan seharusnya dapat tinggal dalam
harmoni, tetapi kenyataannya tidak demikian.
Rencana rincian acara adalah sebagai berikut :
Judul : Sudahkah Kita Mencapai Merdeka Dalam Arti
Sesungguhnya?
Target peserta : 5 orang
perwakilan dari Hindu, Buddha, Penghayat Kepercayaan, Konghucu, Tao, dan Bahai.
1 Narasumber untuk Hukum, serta 15 peserta Trust Building Camp.
Tempat : Masjid
Mubarak, Jalan Jl. Pahlawan No.71, Sukaluyu, Kec. Cibeunying Kaler, Kota Bandung, Jawa Barat 40123
Tanggal dan Waktu : 13 Agustus, 2022, pukul 09.30-14.00 WIB
Penyelenggara : Tim
Fasiltator Baru TrustBuilding (pemilihan siapa yang dapat bertugas akan ditentukan selanjutnya
Don't you see those gossiping things always come out when gathering with your friends or colleagues? Sometimes, it could be fun and attach us to a better friendship. But, sometimes it goes wrong and even ruins a friendship too and leads to hatred.
But? It won't occur with our School of Peace that always comes for the youth with peace and other social issues to gossip about. We still gossip, but that Saturday we did so about history. Yes, the history that emerged from our lovely city, Bandung, that was successfully creating an important landmark for peace and conflict resolution. History will always remember that Indonesia had just celebrated its independence with the risk of haunting colonialism since 1945. At the same time, many Asian African countries were still under colonialism as well, encouraging a lot of parties in the world to think of eradicating it while developing peace for the countries. It is believed that people all around the world are equal and deserve just as well as fair treatment and respect as a part of human rights.
Conflicts that lead to wars always cause various drawbacks and end with the superiority of the country that starts them. Meanwhile, human rights degradation usually occurs. With a series of concerns, Indonesia took a lead in 1955 to invite Asian African countries to the Asian African Conference that was conducted in Bandung.
And, that Saturday was our walk and gossip accompanied by the Museum educator in the Asian African Conference Museum, to figure out the history behind the conference and to remember that the meeting was a milestone for reaching peace on behalf of human rights principles and equity for all.
By Fanny Syariful Alam
Morning Walk In Circle of Peace
It was absolutely an expected thing when gathering with our youth friends. They come from various religious backgrounds. Who are they?
Some come from the Mormon Church, including their elders from the USA and Semarang. Some of the others come from Hindus, Christian churches, and students of Islamic University plus Trust Building program members, and a transmen representative.
What is behind this?
The fantastic collaboration between us, Bandung School of Peace Indonesia (SEKODI Bandung), and the Trust Building Program (TBP) from Initiatives of Changes Indonesia, supported by Metrum, a streaming radio network for community as our media partner, really made this gathering out. Both of us have the same mission in terms of cultivating peace for the youth through the development of understanding, empathy, and tolerance. Therefore, we can promote the eradication of suspicions among all with different cultural and social backgrounds.
We started by walking around Taman Lansia, a public park with lots of trees and fresh air around. After some walking sessions, all of us started our stories by telling what interested and upset us. It was our great reflection due to our diverse story to practice our capacity to listen and to speak out what came to our minds without feeling fear. This is believed to intensify our empathic and tolerant minds to see our diversity. After that, we continued the session of Friends of Life by playing cards that created an exercise to share our stories, objections, and debate without offending one to another.
In the end, we think that our diversity and difference will not interrupt our friendship. In fact, this relationship could be one of the role models for us in promoting peace amongst people with different backgrounds with no exceptions.
By Fanny Syariful Alam