Senin, 07 Oktober 2019

Gender dan Seksualitas: Sebagai Spektrum Dinamis dan Continuum Statis

Membahas isu gender dan seksualitas masih menjadi suatu hal yang tabu di Indonesia. Gender dan seks (jenis kelamin) sering diinterpretasi sebagai suatu kondisi yang sama, sehingga muncul stereotipe maupun stigma terhadap individu dan dianggap melanggar norma sosial, sedangkan secara teori dua kondisi tersebut mempunyai penjelasan yang berbeda.

Gender merupakan kondisi laki-laki, perempuan, maupun spektrum lain yang muncul karena proses identifikasi oleh diri sendiri, lingkungan sosial, budaya, atau adat yang berlaku. Seks atau jenis kelamin merupakan keadaan biologis pada manusia seperti laki-laki mempunyai penis, hormon testosteron, mengeluarkan sperma, mempunyai kromosom XY, sedangkan perempuan mempunyai vagina, hormon estrogen, mempunyai rahim, dan mempunyai kromosom XX.

Di sisi lain, masih terdapat pro dan kontra terhadap identifikasi gender laki-laki maupun perempuan karena memang gender adalah spektrum yang hanya dapat dirasakan oleh individu itu sendiri. Individu mempunyai hak atas identitas gender yang telah dipilih, meskipun norma budaya sosial di Indonesia memegang heteronormatif atau norma bahwa laki-laki memiliki penis dan maskulin serta perempuan memiliki vagina dan feminin.

Bahasan gender dan seksualitas mempunyai ruang lingkup yang luas dan mempunyai definisi yang beragam, tetapi terdapat empat bahasan menarik sebagai dasar pengetahuan topik gender dan seksualitas yang dijelaskan oleh Teh Hani Yulindrasari, M. Gendst., PhD., yaitu identitas gender, orientasi seksual, ekspresi gender, dan perilaku seksual.

Identitas gender merupakan kondisi individu secara sadar bahwa dia memilih sebagai laki-laki atau perempuan atau spektrum gender lainnya. Identitas gender terbagi atas pemberian label laki-laki, perempuan, atau spektrum gender lainnya oleh diri sendiri serta pemberian label oleh masyarakat. Identitas gender tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin biologis, apabila individu mempunyai penis tapi merasa bahwa dia perempuan, hal tersebut merupakan identitas gender yang dirasa oleh individu itu sendiri tanpa ada pengaruh dari masyarakat. Pemberian label laki-laki dan perempuan oleh masyarakat memang tidak terlepas dari norma sosial yang dianut. Norma di Indonesia menekankan bahwa individu dengan penis pasti memiliki identitas gender laki-laki dan vagina pasti perempuan, sedangkan pada beberapa orang ada yang merasa tidak nyaman dengan jenis kelamin mereka karena tidak sesuai dengan identitas gender. Tuntutan norma yang berlaku dapat menekan individu yang mempunyai identitas gender berbeda dengan jenis kelamin sehingga menimbulkan frustrasi atas dirinya sendiri. 

Identitas gender individu ditunjukkan lewat ekspresi gender, ekspresi gender merupakan perilaku untuk mengekspresikan diri dari cara berpakaian, berjalan, berbicara, dan berbagai macam hal lainnya yang menunjukkan ekspresi maskulin, feminin, maupun androgini (diantara maskulin maupun feminin). Ekspresi ini mempunyai norma yang berbeda-beda, ekspresi maskulin sering ditunjukkan sebagai suatu sifat gagah, baku, statis, sedangkan feminin merupakan sifat yang lemah lembut dan dinamis. Individu yang mempunyai penis dengan identitas gender laki-laki serta ekspresi gender maskulin serta individu yang mempunyai vagina dengan identitas gender perempuan serta ekspresi gender feminin merupakan norma yang sangat terpatri di Indonesia yang memang heteronormatif. Sayangnya ekspresi gender hanya menampilkan apa yang ingin dilihat orang tanpa menjadi dirinya sendiri. Apabila sedikit saja ada ekspresi gender yang berbeda dengan norma, pasti dikaitkan dengan perilaku menyimpang. Laki-laki yang menunjukkan ekspresi gender ‘melambai’ layaknya perempuan pasti mendapat label bahwa laki-laki tersebut mempunyai orientasi seksual sejenis. Perempuan yang memotong rambutnya hingga pendek dan memakai pakaian tomboy layaknya pria mendapat label lesbian. 

Padahal, orientasi seksual seseorang tidak bisa ditafsirkan hanya dengan melihat pakaian yang dipakai, cara orang berjalan, warna kesukaan, intonasi suara, dan berbagai macam aspek ekspresi gender lainnya. Individu bebas menentukan kondisi nyaman terhadap orientasi seksual yang dipilihnya, baik heteroseksual (beda jenis) maupun homoseksual (sama jenis).

Pertanyaan yang paling sering muncul adalah, “Apakah orientasi seksual lesbian, gay, biseksual merupakan penyakit?”. Jawabannya: sama sekali bukan, bahkan Asosiasi Psikiatrik Amerika telah menghapus homoseksual dari DSM-V (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder) sebagai gangguan jiwa. Pedoman Penggolongan Gangguan Jiwa – III yang dipakai untuk mendiagnosa gangguan jiwa di Indonesia menunjukkan bahwa orientasi seksual yang berbeda (baik heteroseksual maupun homoseksual) dapat disebut gangguan karena individu tidak nyaman dengan orientasi yang dia pilih, bahkan individu dengan orientasi heteroseksual dapat terkena gangguan apabila dia tidak nyaman saat menyukai beda jenis kelamin.

Muncul stigma bahwa mempunyai orientasi seksual minoritas di Indonesia seringkali dicap sebagai ‘predator sex’ seperti individu dengan orientasi seksual gay. Padahal dalam kenyataan banyak sekali pasangan homoseks yang sulit mencari pasangan dan merasakan patah hati sama halnya dengan pasangan heteroseksual. Perlu digarisbawahi bahwa menjadi homoseksual bukan berarti mereka melakukan hubungan seksual secara terus menerus. Individu homoseksual dapat melakukan aktivitas seksual maupun perilaku seksual pada beda jenis, begitupun sebaliknya. Perilaku seksual dapat dilakukan pada setiap orang tanpa memandang orientasi seksual. Perilaku seksual yang paling sering ditemui adalah menggandeng tangan, mencium kening, memeluk, dan membelai rambut. Perilaku yang ditunjukkan tidak merujuk pada orientasi seksual manapun, perempuan dapat menggandeng tangan perempuan lainnya tanpa stigma, tapi ketika laki-laki menggandeng tangan laki-laki lain akan muncul stigma bahwa pasti mereka merupakan pasangan gay, padahal bisa saja kedua laki-laki itu merupakan adik kakak.

Pengetahuan mengenai gender dan seksualitas sangat beragam, sehingga tidak bisa kita membuat simpulan yang sama. Seperti yang telah dipaparkan bahwa identitas gender, ekspresi gender, orientasi seksual, dan perilaku seksual tidak ada yang berhubungan satu sama lain. Identitas gender perempuan dengan ekspresi anggun bukan berarti heteroseksual, laki-laki yang senang dandan bukan berarti dia homoseksual atau transgender.

Memahami gender dan seksualitas memang tidak mudah, tapi setidaknya kita belajar bahwa setiap individu itu unik dan mempunyai keberagaman masing-masing. Kita tidak mempunyai hak untuk melakukan diskriminasi maupun merugikan orang lain, hidup kita berharga ketika kita tidak menghakimi orang lain. Salam damai!

Hobie Fauzan

Kamis, 03 Oktober 2019

Transwomen Gap in a Formal Work Attainment as a Constrain of Indonesia's SDGS Accomplishment. An Executive Summary for a Panel of Rhethoric Gender in Indonesia


 
By Fanny S Alam 
Bandung School of Peace Indonesia for Euroseas Conference 2019 
Humboltd University, Berlin 

Thank you for your time and attention to our panel. Thank the Euroseas Committee who have already accepted my paper. Therefore, I am open for any objective and constructive criticism both from you and the audience. I would like to introduce myself, my name is Fanny S Alam, working as City Coordinator in Bandung School of Peace which is in line with School of Peace Indonesia National. We organize weekly programs to introduce human rights and social issues for the youth in the city. We set them thematically, starting from religions and beliefs, gender diversity and sexuality, and other minorities as well as politics and environment in purpose to develop the youth's emphaty and willingness to engage with minorities in the city. Discussing about minorities, one of which becomes the highlight in my paper, is about transwomen and their issues, mostly about how to attain formal work. It is definitely a hard issue to talk, mostly due to stigma and discrimination not only from societies but also from the government apparatus. Attaining formal work is important for anybody to secure their daily needs as well as their future saving. It is very common to see people search for a job. It is the world with competition, though. However, when coming to transwomen for their work, it is barely seen that they could work openly in formal sectors. As known that Indonesia has committed to signing platform of SDGs which has inclusion principles. It means this platform secures no one left behind, ensuring that all development interests must cover anyone without exceptions (stated by U.N. statement). It includes vulnerable or marginalized groups including LGBTI. The country has ratified U.N. covenant about human rights to Law of Republic of Indonesia no 12/2005 with Act 1 securing Indonesia human rights regardless the positions of sex, ethnicity, race, religion, and sexual orientation. However, its implementation faces some issues, particularly about transwomen positions. The norms of religion and heteronormative values are adopted in this country, therefore it makes their position harder to be recognized officially. From one of interview sessions with a transwomen activist from Srikandi Pasundan, she underlines how the societies and government apparatus label them social diseases, being arrested by public orders enforcers on the streets to be put in a short term day rehabilitation. Most of their transwomen partners work in informal sectors, such as waitress, spa therapist, hairstylist, and cook in several caterings. On the other side, another transwoman, name Abi says that she used to apply for some formal jobs. She is a university graduate in communication major and she faces some uncomfortable situations mainly in final interviews after revealing her true gender identity and soon after that most of the companies she applied never contact her. The above experiences leave us some questions, particularly about how the country shows their partiality to support anyone as they ratified through the national law. Why it seems difficult for them to appreciate and to recognize transwomen position as humans the same as others. If the government do not respect their rights, one of which is to secure their right for attaining formal work, then their commitment in SDGs is questionable and becomes another constrain because it seems to be reluctant for the country to stand for their rights fully. It might be challenging for the Indonesian government to be open minded to recognize their existence, while it is certain that the societies here will do so. With the rise of more conservatism in religion in Indonesia, it is still a long way to go for transwomen to be secured for their rights, especially for their formal work attainment. They are still struggling while the government has already been attached with some certain human rights ratifications which also address their rights in this country.

Selasa, 01 Oktober 2019

Membahas RUU KUHP: Semua Bisa Kena?


Bulan September 2019 bagi sebagian besar rakyat Indonesia tampaknya tidak berjalan dengan ceria, sesuai tembang lawas yang dinyanyikan Vina Panduwinata. Bulan ini, kita disuguhi berbagai pemberitaan tentang hal yang memengaruhi hajat hidup kita semua, yakni tentang revisi dan pembentukan berbagai undang-undang. Belum reda kegeraman kita dengan berita-berita tentang pemilihan calon pimpinan KPK dan revisi UU KPK, kita kembali dikejutkan dan dibuat gelisah oleh revisi UU KUHP. Terdapat berbagai perdebatan, serta keberatan terhadap naskah revisi UU KUHP tersebut karena muncul berbagai interpretasi terhadap pasal-pasal yang ada di revisi UU KUHP. Saya sendiri menjadi sadar akan isu revisi UU KUHP dan menjadi resah karenanya setelah menonton beberapa video yang mencoba menjelaskan pasal-pasal kontroversial dalam revisi UU KUHP ini. 

Sebagai upaya untuk memahami fenomena revisi UU KUHP secara lebih mendalam, pada hari Sabtu, 21 September 2019, Sekolah Damai Indonesia – Bandung mengadakan diskusi dengan mengundang sekretaris Persatuan Advokat Indonesia (PERADI) Jawa Barat, Asri Vidya Sari. Teh Asri, demikian beliau biasa disapa, menjelaskan mengapa revisi UU KUHP menjadi sangat kontroversial. 

Beliau menjelaskan bahwa dalam membaca suatu pasal dalam undang-undang, perlu ada definisi dan batasan yang jelas, akan tetapi dalam revisi UU KUHP, terdapat beberapa pasal yang menimbulkan multitafsir karena definisi dan batasan yang kurang jelas. Dari sudut pandang advokat, hal itu menimbulkan keprihatinan tersendiri, yakni wibawa UU KUHP terkesan lemah, padahal sebagai undang-undang yang menjadi dasar bagi undang-undang pidana yang lain, seharusnya KUHP menjadi fondasi yang kokoh. 

Selain itu, kontroversi lain dari revisi UU KUHP adalah adanya kesan bahwa banyak hal-hal privat atau personal yang seakan-akan hendak diurusi atau diatur oleh negara. Revisi UU KUHP juga meresahkan karena tampaknya semua orang bisa terlibat dalam urusan hukum, karena cakupannya yang terkesan sangat luas dan banyak pasal yang dianggap ‘karet’. 

 Teh Asri juga menjelaskan bahwa sebenarnya wacana untuk melakukan revisi pada UU KUHP sudah muncul beberapa tahun yang lalu. Semangat yang ada di balik revisi ini sebenarnya baik, yaitu ingin mencoba mengkontekstualisasikannya dalam situasi dan kondisi Indonesia sekarang, sehingga UU KUHP menjadi lebih relevan bagi kehidupan masyarakat di masa kini. Akan tetapi, revisi yang dilakukan justru menimbulkan kebingungan dan keberatan dari banyak pihak, tidak terkecuali dari para advokat. Revisi UU KUHP terkesan dibuat terburu-buru, layaknya seorang murid SD yang menyelesaikan ulangan dengan segera karena waktu pengerjaannya hampir habis. 

Di tengah keresahan, kegeraman, serta perasaan tidak berdaya yang muncul dari revisi UU KUHP, Teh Asri mencoba membangkitkan semangat dan optimisme kami dengan mengusulkan beberapa hal yang bisa dilakukan oleh berbagai pihak. Menurut beliau, ruang-ruang diskusi publik, seperti yang dilakukan oleh Sekodi Bandung, menjadi salah satu alternatif yang sangat baik untuk dilakukan dalam berbagai setting, baik di kampus, sekolah, tempat kerja, maupun dalam lingkungan rumah. Diskusi semacam ini memberikan ruang untuk saling bertukar pikiran, sehingga cara pandang dan pola pikir kita menjadi terbuka dan semakin luas. Selain itu, kita sebagai subjek hukum harus mau berusaha mengenal dan sadar hukum. Kita juga perlu kritis pada produk hukum yang ada, terutama undang-undang yang menimbulkan multitafsir. 

Semua bisa jadi kena atau terjerat hukum karena revisi UU KUHP, tapi saya harap, semua (orang) juga bisa cukup kritis dan bijak untuk mencari tahu sejelas-jelasnya mengenai berbagai isu yang berkembang, kemudian menentukan langkah yang berorientasi pada kebaikan bersama. Semoga kita semua cukup cerdas dan tenang dalam menyikapi situasi Indonesia yang semakin memanas akhir-akhir ini. Salam Damai!

Stella Vania Puspitasari 

Minggu, 15 September 2019

Rasanya Bergabung dengan Sekodi

Dari Sesi, Anggota Sekodi Bandung Batch III

Pertama kali diundang untuk bergabung dengan "Sekodi" saya langsung memiliki pertanyaan, "Apa hubungannya dengan angka 20?" Saya pun menebak-nebak, mungkin ada 20 nilai penting yang ingin ditegakkan atau bisa jadi mereka memulai komunitas ini dari gerakan 20 tokoh yang menginspirasi. 

Akhirnya dengan memiliki beberapa pertanyaan dan rasa penasaran di benak saya, saya memutuskan untuk langsung menerima undangan dari teman satu komunitas saya, Rudi Fransicus Tanjaya. Setelah registrasi, saya langsung mendatangi perkumpulan mingguan komunitas ini yang diadakan setiap hari Sabtu. Setelah diundang dan dijelaskan, saya baru memahami ternyata tujuan utama komunitas Sekodi itu adalah untuk membantu masyarakat membuka mata, telinga dan hati mereka bahwa kedamaian itu sebenarnya sangatlah berharga bagi setiap individu. 

Setelah saya bergabung, saya pun cukup menyesal; menyesal mengapa saya tidak mengetahui komunitas sebaik ini sejak lama. Sepertinya saya telah melewatkan banyak pembahasan serta kegiatan yang sangat menarik serta membangun. Sejak dahulu memang saya mencari tempat dimana saya dapat dengan cara yang positif menyampaikan maupun mendengar banyak pandangan​, pengalaman serta latar belakang dari orang lain yang berbeda dari saya tanpa rasa takut menyinggung atau tersinggung sekalipun. 

Teman baik satu komunitas saya, Rudy Fransiscus Tanjaya lah yang mengundang saya untuk bergabung dengan komunitas Sekodi sampai akhirnya saya bertemu dengan Kang Fanny S. Alam, sebagai ketua pengurus di Kota Bandung, dan Kak Lioni Beatrix Tobing, sebagai Ketua Nasional Pengurus Sekodi di Indonesia. Saya belajar dari Kang Fanny untuk lebih mendengarkan dan menghargai orang lain dengan kacamata baru. Di Sekodi saya diajar untuk lebih memiliki sikap yang dewasa serta bijak. Mereka dan teman-teman Sekodi lainnya mengajarkan dan melatih kepekaan saya terhadap peristiwa-peristiwa apa saja yang terjadi di masyarakat. Saya semakin tahu bahwa keberagaman itu memang harus ada tetapi tidak perlu dimusuhi, hanya perlu dimengerti, dipahami dan dikomunikasikan sehingga kerukunan serta persatuan dapat terwujud. Jika perbedaan dan keberagamaan itu menjadikan alasan untuk saling membenci dan bertikai; jika perbedaan itu dianggap sebagai suatu masalah, maka sangatlah perlu untuk duduk bersama dan mencari solusi yang tepat, solusi yang cukup adil untuk semua pihak. 

Di salah satu sesi pertemuan Sekodi pada tanggal 24 Agustus 2019 yang bertempat di Studio Driyamedia di daerah Ancol Timur, Lioni Beatrix Tobing yang merupakan Ketua Nasional Pengurus Sekodi membagikan pandangan bahwa perdamaian itu sudah dan selalu ada, itu tidak pernah hilang dan tidak perlu dicari lagi, hanya perlu dihargai. Selain itu beliau juga menyampaikan bahwa betapa sejarah itu penting untuk melihat pola dan bagaimana untuk mengatasi konflik serta masalah-masalah di masa yang akan datang. Beliau juga menyampaikan bahwa toleransi itu perlu diikuti dengan acceptance (penerimaan) dan engagement (pelibatan). Beliau mengajarkan untuk selalu menimba pengetahuan dan fakta-fakta sebanyak mungkin dan tidak mudah terpancing amarah dan rumor-rumor yang tidak jelas asal usulnya. 

Banyak contoh konkret dan juga pengalaman pribadi yang dibagikan oleh anggota-anggota Sekodi lainnya yang boleh dibilang, kadang mengagetkan, tetapi kesimpulan serta pelajaran dari pengalaman-pengalaman pribadi dan pesan-pesan yang dipelajari dan dibagikan tersebut sangatlah mendidik dan dapat membangun kualitas diri seseorang. 

Sekodi mengajarkan untuk sebanyak mungkin menerima pengetahuan dan kebijaksanaan sehingga bangsa ini dapat menjadi lebih baik dalam berpikir, bertindak, maupun bereaksi di kehidupan sehari-hari di lingkungan keluarga, tetangga, sekolah, masyarakat, negara, dan bahkan di dunia internasional. Saya berharap komunitas Sekodi ini dapat membantu, khususnya Bangsa Indonesia, untuk melahirkan dan menciptakan suatu bangsa yang berkualitas, dan yang dapat membawa perdamaian ke seluruh penjuru dunia. Salam Damai Sekolah Indonesia dari Bandung 🙏 


Sesi Liningsih

Jumat, 16 Agustus 2019

Struktur Sosial yang Memenjarakan Diri

"Apakah kita terpenjara oleh diri kita sendiri? 
 Tidak mudah untuk menjawab pertanyaan itu. 
Pertanyaan saya justru apakah kita bisa benar-benar bebas?" 

Sejak lahir, siapapun di dunia ini langsung terpenjara dalam tatanan sosial yang berkaitan dengan gender, agama, suku, budaya, sosial ekonomi, bahkan politik nasional dan global. Misalnya, begitu brojol bayi perempuan akan diberi nama yang menurut sosial merupakan nama perempuan, begitu juga anak laki-laki, menggunakan nama yang biasa digunakan untuk laki-laki. Warna baju juga sudah ditentukan mana untuk anak perempuan dan mana untuk anak laki-laki. Anak yang lahir di keluarga muslim akan dibesarkan dengan aturan dan cara-cara Islam, begitu juga anak-anak yang lahir di keluarga dengan agama lain. Mayoritas muslim di Indonesia adalah muslim sejak lahir, tidak memilih menjadi muslim tapi sejak lahir diajarkan dan disosialisasi sebagai muslim. Orang sunda, Jawa, Melayu, Batak, Melanesia akan memberlakukan aturan, adat istiadat yang berlaku dalam kelompoknya kepada anak-anaknya. Kita tidak bisa memilih itu semua. Semua tatanan sosial, budaya, dan agama diajarkan, disosialisasikan kepada kita tanpa persetujuan. Tapi walaupun tanpa persetujuan, tatanan tersebut terinternalisasi dalam diri kita dan menjadi bagian yang melekat dalam cara berpikir, bertindak, bergerak, dan merasa. Membentuk persepsi mana yang biasa dan tidak biasa, mana yang normal dan tidak normal, mana yang wajar dan tidak. Akhirnya tanpa disadari kita pun diatur, dibelenggu, dan dibatasi dengan sukarela. Nilai-nilai yang ditanamkan kepada kita dan terinternalisasi di dalam diri kita akan menjadi standar baik buruk yang akan kita berlakukan kepada diri sendiri dan juga pada orang lain. Nilai-nilai ini tidak hanya tertanam secara individual, tetapi juga secara kolektif. Ada tatanan nilai yang diakui, diagungkan, dan dijadikan standar kolektif. 

Manusia itu kompleks, Adam Smith mengatakan bahwa manusia adalah makhluk sosial, artinya manusia membutuhkan interaksi dengan orang lain. Manusia membutuhkan konfirmasi dari orang lain bahwa ia diterima, ia belong to one group. Kebutuhan inilah yang membuat manusia “terpenjara” karena dituntut untuk selalu memuaskan harapan orang lain demi pengakuan dari orang lain. 

Permasalahannya adalah kita seringkali tidak sadar bahwa perilaku dan keputusan-keputusan yang kita buat sangat kuat dipengaruhi oleh persepsi kita tentang harapan masyarakat atau orang lain terhadap diri kita. Untuk konteks Indonesia, di mana budaya dominannya mengusung kolektivitas, kebutuhan akan pengakuan sosial ini lebih tinggi daripada di negara-negara yang mengusung individualitas. Untuk masyarakat Indonesia, standar-standar kolektif itu jauh lebih penting dibandingkan standar pribadi. Penyimpangan pada standar-standar kolektif dianggap sebagai ancaman terhadap kohesivitas kelompok dan ancaman terhadap tatanan sosial-kemasyarakatan atau social order

Lalu bagaimana struktur yang membelenggu diri manusia ini dipertahankan? Untuk mempertahankan tatanan sosial-budaya-kemasyarakatan, suatu komunitas/kelompok/masyarakat memiliki mekanisme yang biasa disebut ‘othering’ atau “meliyankan” melalui pembentukan diskursus-diskursus dominan yang memiliki kuasa untuk menentukan tentang apa itu normal dan tidak normal, baik dan tidak baik. Michel Foucault menyebutnya sebagai “normalising power”. Salah satu mekanismenya adalah: menciptakan stigma-stigma negatif terhadap segala sesuatu yang bisa mengancam tatanan yang sudah menjadi status quo. Contohnya stigma janda. Stigma ini dibentuk untuk mempertahankan status quo bahwa menikah dan berkeluarga itu adalah status yang paling terhormat di masyarakat. Bukan hanya mempertahankan posisi “keluarga” di dalam tatanan masyarakat, tetapi juga mempertahankan posisi laki-laki sebagai kelompok yang superior. Dengan adanya stigma janda tetapi tidak ada stigma duda, perempuan yang berada dalam pernikahan yang toksik akan sulit untuk meninggalkan pernikahan tersebut, sulit mengambil keputusan karena takut dengan konsekuensi stigma negatif tentang status janda. Sedangkan duda, tidak mendapat stigma negatif seperti janda, bahkan duda dianggap keren. 

Stigma-stigma negatif terhadap sesuatu dapat menahan individu untuk menunjukkan diri dengan sejujur-jujurnya, bahkan menahan individu untuk melakukan sesuatu yang sebetulnya ingin diraihnya atau bahkan sesuatu yang sesungguhnya bisa menyelamatkan dirinya. Contohnya pada kasus kekerasan domestik atau kekerasan dalam pacaran. Seorang perempuan seringkali enggan untuk mengajukan perceraian dengan suaminya yang abusive. Selain intimidasi dari sang pelaku kekerasan, kecemasan terhadap stigma sosial tentang perceraian juga seringkali menjadi alasan korban kekerasan untuk bertahan dalam pernikahan abusive-nya. Stigma tentang keperawanan juga seringkali menjebak perempuan untuk tetap bertahan dalam hubungan pacaran yang abusive dan tidak sehat. 

Bagaimana diskursus-diskursus dominan ini disebarkan di masyarakat? Diskursus dominan disebarkan melalui berbagai cara dan dengan menggunakan berbagai media baik yang formal maupun informal. Institusi formal seperti institusi pemerintahan melalui kebijakan-kebijakannya atau sekolah melalui apa yang diajarkannya secara eksplisit maupun implisit. Institusi lain adalah institusi-institusi budaya, termasuk produk budaya populer, seperti lagu-lagu, iklan, film, novel, dan banyak produk budaya populer lainnya. Contohnya diskursus dominan tentang cantik itu putih tersemat dalam berbagai iklan produk kecantikan. Di kebanyakan iklan pemutih wajah tersebut perempuan berkulit gelap dan kusam hampir selalu digambarkan murung dan tidak bahagia. Secara tiba-tiba setelah sang perempuan menggunakan produk pemutih yang diiklankan wajahnya terlihat sumringah dan lebih bahagia. Nilai-nilai dan standar-standar dalam diskursus dominan ini lalu mempenetrasi individu secara halus dan tanpa disadari mempengaruhi individu dalam berpikir dan bertindak. 

Salahkah jika kita mengikuti diskursus dominan atau struktur? Saya berpendapat bahwa yang paling penting adalah memahami bahwa kita tidak bebas dan sangat kuat dipengaruhi struktur. Pada akhirnya memang akan kembali pada perasaan subjektif tentang apa yang kita jalani dalam kehidupan. Ketika seorang perempuan memilih mengikuti struktur tradisional sebagai istri dan ibu yang tinggal di rumah, dan proses memilih dilakukan secara mandiri dengan berbagai pertimbangan subjektif yang matang tanpa intervensi ataupun paksaan dari pihak lain, maka bisa jadi keputusannya mengikuti struktur menjadi sumber kebahagiannya. Tetapi ketika suatu struktur membuat kita gelisah dan menderita maka itulah saatnya kita menjalankan agensi yang kita miliki, yaitu membuat perubahan dan melawan struktur yang membelenggu tersebut. Contohnya pada kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga. Seperti yang sudah saya sebutkan di atas, banyak perempuan yang memilih untuk bertahan dalam pernikahannya yang abusive karena takut dengan predikat janda yang rentan terhadap stigma sosial. Saat ini lah, menurut saya, sang perempuan perlu menggunakan agensinya untuk mendobrak struktur sosial yang memenjarakan dia dalam pernikahan yang tidak membahagiakan tersebut. 

Jadi, yang terpenting menurut saya adalah kemampuan kita dalam melakukan refleksi diri. Refleksi diri yang saya maksud di sini adalah refleksi diri model foucauldian yaitu melakukan interogasi terhadap diri sendiri tentang apa yang membentuk cara berpikir, nilai dan standar moral yang kita yakini kebenarannya. Dengan mengenali dengan baik darimana kebenaran yang kita yakini tersebut berasal, maka kita akan lebih mudah membuat keputusan untuk melakukan sesuatu yang dapat mendobrak ataupun mengikuti (rezim) kebenaran tersebut. Dengan demikian keputusan yang kita ambil dalam bertindak dapat lebih jernih, apakah keputusan kita tersebut untuk kepentingan kita atau untuk kepentingan struktur yang membelenggu kita. 

Terkadang, kita dihadapkan pada kondisi dilematis di mana terjadi konflik antara diri dan struktur. Di satu sisi kita sadar apa yang sesungguhnya kita inginkan tetapi sulit sekali diwujudkan karena kita pun tidak mungkin mendobrak struktur sosial yang sangat kuat, terutama jika keputusan kita akan berdampak pada orang-orang terdekat kita, seperti pasangan, anak, orang tua, sahabat dan significant others lainnya. Lalu apa yang harus kita lakukan? Meminjam istilah manajemen organisasi, kita harus mencari win-win solutions. Bagaimana caranya? Negosiasi! Yang mempelajari psikologi tentu sangat familiar dengan istilah equilibrium dan homeostasis yang keduanya merujuk kepada kebutuhan manusia untuk mencapai keseimbangan baik secara fisik, fisiologis, psikologis, dan kognitif. Interaksi manusia dengan dunia subjektif (tentang aku dan aku) dan dunia lain dirinya yang berkaitan dengan hal-hal di luar dirinya (tentang aku dan yang lain) juga memerlukan keseimbangan. 

Dalam konteks sosial, keseimbangan ini diperoleh melalui dialog untuk mencapai kesepakatan dan kemufakatan. Dialog tidak melulu dengan orang lain, dialog juga dilakukan oleh diri sendiri antar berbagai sisi dari diri. Kita harus mampu bernegosiasi dengan diri sendiri, menimbang berbagai bagian dari diri kita dengan adil dan mencari jalan tengah yang tidak merugikan salah satu sisi dari diri kita. Misalnya, sebagai seorang perempuan yang dibesarkan dalam budaya tradisional yang menempatkan perempuan sebagai istri dan ibu tentunya keinginan menikah dan memiliki anak menjadi keinginan yang seakan-akan natural untuk saya. Tetapi di sisi lain, saya juga terpapar ideologi-ideologi progresif sehingga saya juga memiliki cita-cita yang tinggi dan tidak ingin hidup saya hanya seputar dapur, sumur, dan kasur, seperti doktrin tradisional tentang perempuan. Jika memutuskan untuk tidak menikah, tentu itu tidak sesuai dengan nilai yang terinternalisasi dalam diri, walaupun mungkin keluarga besar saya akan santai-santai saja menerima keputusan saya untuk tetap single. Jika menikah tentu akan ada hambatan dalam mencapai obsesi diri pada sisi yang lain. Jadi gimana dong? Saya melakukan negosiasi: saya hanya akan menikah dengan laki-laki yang mendukung saya berkegiatan di luar rumah, memahami mimpi-mimpi saya dan memiliki pandangan yang egaliter. Saya juga menyusun rencana hidup: kapan menikah, kapan melanjutkan pendidikan, kapan punya anak, dan pekerjaan apa yang bisa saya lakukan agar semua keinginan dan mimpi saya bisa tercapai. Dalam proses negosiasi, terkadang ada satu sisi yang harus kita tunda atau turunkan target dan standarnya untuk bisa mengakomodasi sisi lain yang juga membutuhkan perhatian. Yang jelas supaya negosiasi diri berhasil, kita harus jujur dan berbaik hati kepada diri kita sendiri! 

Bandung, 31 Agustus 2018

 Hani Yulindrasari, PhD

Senin, 12 Agustus 2019

Pertemuan Perdana dan Kedua Sekodi Bandung batch 3: Saling Mengenal





Sekolah Damai Indonesia – Bandung kembali membuka kesempatan untuk siapapun yang ingin bergabung mengembangkan toleransi, mempererat kolaborasi demi terwujudnya transfromasi sosial. Rekrutmen anggota baru dilakukan pada 8-18 Juli 2019. Sekitar 30 orang mendaftarkan diri untuk bergabung. Mereka terdiri dari beragam latar belakang, mulai dari usia, agama, pekerjaan, tempat tinggal, dan aspek yang lain. 

Pada Sabtu, 27 Juli 2019, diadakan pertemuan perdana dengan anggota baru Sekodi Bandung batch 3 di Masjid Mubarak. Kegiatan ini diisi dengan interfaith prayer dan penjelasan tentang Sekolah Damai Indonesia dari pengalaman beberapa peserta sebelumnya. Setelah itu, dilakukan perkenalan dan refleksi tiap anggota, baik yang lama maupun yang baru. Dalam refleksi, para peserta berbagi mengenai pengalaman, perasaan atau keprihatinan yang dimiliki. Sebagian besar peserta mengungkapkan keprihatinan tentang adanya aksi-aksi intoleransi dan diskriminasi yang mereka alami atau mereka perhatikan dalam kehidupan sehari-hari, baik di lingkungan rumah, sekolah, universitas, tempat kerja, maupun di masyarakat. Ada pula peserta yang mengungkapkan keprihatinan tentang sampah dan perilaku orang di jalan, serta tata kota yang kurang ramah bagi pejalan kaki. Sesi refleksi ditutup dengan menonton sebuah tayangan video yang memiliki pesan tentang pentingnya pengenalan dan penerimaan pada diri sendiri. 
Pertemuan perdana ini memang bertujuan untuk saling mengenal satu sama lain, juga mengenal diri sendiri. Peserta pun tampak cukup antusias dengan kegiatan ini. Salah satu peserta berkata bahwa baru sekali ikut, tapi merasa sudah mendapat banyak hal. Agar lebih bisa membagikan damai pada orang lain, pertama-tama kita perlu berdamai dengan orang lain, kira-kira itulah inti pesan dari pertemuan perdana Sekodi Bandung batch 3 kali ini. 

Makna “Damai” “Apa makna ‘damai’ bagimu?” itulah topik utama dari kegiatan Sekodi Bandung yang diadakan hari Sabtu, 4 Agustus 2019 di kantor Peace Generation Bandung. Diawali dengan refleksi masing-masing peserta, kegiatan pun dilanjutkan dengan berdiskusi tentang makna damai. Setiap orang boleh menuliskan apa yang terlintas dalam benak mereka ketika mendengar kata ‘damai’. Berbagai makna ‘damai’ pun bermunculan, ada yang murni pemikiran sendiri berdasarkan pengalaman atau definisi umum di masyarakat, ada pula yang mengacu pada buku atau teori tertentu. Ada pula yang mendefinisikan ‘damai’ secara personal, atau kondisi individual, namun ada pula yang memaknainya sebagai situasi dalam kelompok yang lebih besar. Secara umum, damai lebih sering diartikan sebagai kondisi tidak ada konflik, namun dalam diskusi muncul pertanyaan, “Bukankah damai lebih bermakna, justru ketika ada konflik?” 
Pada akhirnya, tidak ada satu definisi khusus tentang ‘damai’ yang disepakati bersama dalam kegiatan ini. Namun satu hal yang digarisbawahi, bahwa damai itu harus terus menerus diusahakan. Dalam upaya untuk mencapai kedamaian itu, para peserta pun dikenalkan dengan beberapa nilai-nilai tentang toleransi, saling menghargai, empati, rela berkorban, kerja sama, dan lain-lain. Pengenalan nilai-nilai ini dilakukan melalui boardgame, yang merupakan hasil karya teman-teman Peace Generation. Metode boardgame dipilih karena dapat menjadi sarana untuk membagikan nilai-nilai secara menyenangkan dan fleksibel.

Kamis, 04 Juli 2019

Our Partnership














Partnership atau kemitraan merupakan hal penting yang harus dilakukan oleh suatu komunitas, sehingga ke depannya dapat memperpanjang relasi dan kerja sama strategis, terutama dengan lembaga-lembaga yang memiliki perhatian yang sama terhadap isu sosial dan hak asasi manusia. Beberapa kemitraan penting yang dilakukan oleh Sekolah Damai Indonesia Bandung adalah bekerja sama dalam pelaksanaan acara atau menjadi mitra jaringan. Seperti yang dilakukan bersama Jakatarub atau Jaringan Kerja Antar Umat Beragama. Kami terlibat aktif dalam penyelenggaraan acara dan kampanye yang berhubungan dengan toleransi antar agama dan keyakinan. Kami juga berkolaborasi dengan Jaringan Advokasi Jawa Barat berhubungan dengan isu diskriminasi terhadap kelompok minoritas beragama dan kelompok-kelompok perempuan dan anak dalam kekerasan serta minoritas lainnya. 

Bersama jaringan Komunitas Bela Indonesia atau KBI, Sekolah Damai Indonesia Bandung menjalin hubungan strategis dalam pelatihan teman-teman muda untuk melakukan kampanye juru bicara Pancasila. Kami menjadi partner lokal penyelenggaraan pelatihan ini di Bandung. Kampanye ini dilakukan dalam beberapa tools, seperti menulis, membuat video, berdebat, dan konten media sosial. Kerja sama ini bertujuan untuk mencetak juru bicara Pancasila muda yang berkomitmen untuk berpolitik dan berkampanye secara sehat. Setelah ini, sekolah damai bersama KBI Jawa Barat membuat program Fun Millennial Tolerance Camp dengan format pelatihan diskusi, media sosial, video, menulis, serta menggambar karikatur yang berhubungan dengan isu toleransi dan respek antar umat beragama. Acara ini diikuti teman teman SMA di Bandung dan kabupaten yang jarang dilirik oleh komunitas komunitas besar untuk turut serta. 

Sekolah Damai Indonesia Bandung juga bekerja sama dengan forum Halaqah Damai, forum yang digagas oleh susteran RSCJ dan Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan Bandung untuk melakukan diskusi dan kajian damai serta relasi antar umat beragama. Beberapa kali kami terlibat aktif sebagai bagian dari narasumber. 

Sekolah Damai Indonesia Bandung menjadi bagian mitra lokal untuk pelaksanaan acara Kereta Damai Indonesia. Maret 2018 kami menjadi bagian signifikan dari pelaksanaan acara yang melibatkan tokoh-tokoh lintas agama yang berkeliling mengunjungi tempat tempat ibadah sekaligus berdialog di dalamnya. 

27 Juli 2019 mendatang, kami menjadi mitra lokal yang digandeng oleh IRSCG Kupang dan CEDAR USA untuk menyelenggarakan program fellowship Minority and Majority Contemplation and Reflection in Contemporary Indonesia. Fellowship diikuti oleh 35 orang, termasuk 6 orang dari Filipina, Namibia, Amerika, Australia, Rusia, dan Jepang. 

Untuk kelanjutan program kerja kami Juli hingga September mendatang, kami bekerja sama dengan PeaceGen dan Sinode Gereja Kristen Pasundan. Kerjasama ini sebenarnya telah dimulai bulan Mei dengan terlibatnya Peacegen dalam diskusi mingguan kami, serta Sinode Gereja dalam pembuatan video kampanye damai yang akan dirilis juli 2019 ini. 

Beberapa jaringan lainnya yang menjadi mitra kami adalah Layarkita, Aiesec Bandung, World Merit International Bandung, Samahita, Arjuna Pasundan dan Srikandi Pasundan, Komunitas Melek Bersama Bandung, LBH Bandung, ICIP, dan Search for Common Ground. Semoga kerja sama ini tidak berhenti sampai di sini. Salam damai.