Tema ini diambil dari kasus prank sembako viral yang
dilakukan oleh Ferdian Paleka dan dua orang temannya, yaitu Tubagus Fahddinar
Achyar dan M. Aidil Fitrisyah terhadap transpuan di Bandung beberapa pekan
sebelumnya. Tentu, ini menjadi pencemaran nama baik bagi korban dan perspektif
masyarakat mempunyai respon yang berbeda-beda terhadap kasus ini. Hal ini tentu
tidak terlepas dari munculnya stigma dan diskriminasi terhadap transpuan.
Teh Riri berasal dari komunitas transpuan Srikandi Pasundan.
Ia hadir dalam diskusi bersama mbak Sofa dari Perwakos - Persatuan Waria Surabaya, mbak Tata dari
Iwayo - Ikatan Waria Yogyakarta, Ayu dari Srikandi Patriot Bekasi, bang Zen
dari komunitas transmen DKI Jakarta.
Stigma adalah cap buruk. Agak sulit untuk menghilangkan cap
buruk terhadap waria karena warianya sendiri juga masih banyak yang terlibat
hal-hal buruk. Mami Riri menambahkan bahwa ia berusaha berkompromi dengan
keadaan, cap buruk membuat mami Riri terhindar copet saat sendirian pulang
malam di kereta api ekonomi, bisa membantu diri aman dari gangguan.
Diskriminasi sudah cukup berkurang, layanan-layanan terhadap
kami sudah baik seperti terhadap masyarakat umum biasa. Waria miskin lebih
terdiskriminasi, sementara waria kaya raya malah mendiskriminasi.
Menurut Teh Riri, stigma itu sudah mulai berkurang dengan
semakin banyak teman-teman transpuan yg berdaya, baik dari ranah advokasi,
sosial dan budaya. Teman-teman sudah banyak yang berkolaborasi dengan penentu
kebijakan.
Sore itu, perbincangan semakin meluas mengenai pengalaman beberapa peserta diskusi dengan beberapa waria. Beberapa teman yang hadir dalam diskusi ternyata ada yang berubah persepsinya pada teman-teman waria, karena pengalaman positif yang ia alami, sehingga persepsi yang awalnya negatif pun dikoreksi.
Stigma yang dirasakan oleh teman-teman waria juga tanpa sadar dilakukan oleh kebanyakan orang mulai dari sebutan-sebutan yang merendahkan. Terdapat berbagai istilah yang cukup dikenal untuk menyebut kelompok transpuan, mulai dari waria, banci, wadam, bencong, dan istilah yang akhir-akhir ini lebih banyak digunakan adalah transpuan. Kemudian muncul pertanyaan, sebutan apa yang paling nyaman untuk teman-teman transpuan sendiri? Seorang teman transpuan menjawab, "Panggil saja mbak, bu, jeng, atau teteh. Itu yang lebih aman bila memanggil kami, karena di luar itu bisa berbeda persepsi. Tapi, kadang intonasi dan kedekatan personal bisa membuat panggilan-panggilan itu berbeda makna."
Gender, identitas gender, ekspresi gender, perilaku seksual,
orientasi seksual, dan berbagai aspek lainnya itu berbeda-beda, sehingga disebut spektrum. Semakin kita mengetahui,
semakin kita mendalami bahwa setiap manusia itu beragam, apalagi melibatkan
konsep gender dan seksual yang sepertinya tidak akan habis dibahas dan bakal selalu
menjadi bahasan menarik.
Stigma dan diskriminasi terhadap teman-teman transpuan dapat dihilangkan mulai dari setiap pribadi dari kita. Betapapun kita berbeda satu sama lain, kita perlu menyadari satu hal yang menjadi persamaan dan menyatukan kita: kemanusiaan.
(Rhaka Katresna)