Masa
muda (bahasa Inggris : youth) merujuk
pada suatu tahap kehidupan ketika seseorang masih muda, lebih tepatnya suatu
tahap kehidupan setelah masa kanak-kanak (childhood)
namun sebelum memasuki masa dewasa (adulthood).
Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) sendiri mengatakan sebenarnya tidak terdapat
definisi yang diakui secara internasional untuk masa muda, atau kapan seseorang
dikatakan muda. Demi kepentingan pengolahan data statistik kependudukan, PBB
mendefinisikan anak muda sebagai seseorang yang berada di antara usia 15-24
tahun [1]. Di sisi lain, berbagai entitas di dalam PBB memiliki
definisinya masing-masing. UN Habitat
mendefinsikan anak muda dalam rentang usia 15-32 tahun [2], African Youth Charter 15-35 tahun [2],
sedangkan World Health Organization /
WHO (badan kesehatan sedunia di bawah PBB) menyetujui rentang 15-24 tahun
sebagai youth tetapi menambahkan
bahwa definisi orang muda (young people)
mencakup rentang usia 10-24 tahun [3].
Terlepas
dari hal definisi, peran anak muda dalam berbagai bidang kehidupan tidak dapat
diabaikan. Masih menurut laman PBB, saat ini terdapat 1,2 miliar anak muda atau
setara dengan 16% dari populasi global (dengan asumsi penduduk dunia berjumlah
7,5 miliar orang) [1]. Pembangunan aspek-aspek kehidupan sedunia
tidak mungkin meninggalkan 16% populasi global. Selain itu berbagai isu dan
permasalahan juga mendera atau terkait kalangan muda, misalnya isu pendidikan,
pengadilan anak, tentara anak di daerah konflik, kesetaraan gender, dan lain
sebagainya. Maka pada tahun 2015 PBB mencetuskan sebuah agenda pembangunan yang
bernama Millennium Development Goals
atau MDGs (Tujuan Pembangunan Milenium) dan berjalan sejak tahun 2000 – 2015 [4].
Namun karena MDGs yang terdiri atas delapan poin belum tercapai pada tahun
2015, maka dicanangkanlah program kedua sebagai kelanjutan dari MDGs yang
dinamakan Sustainable Development Goals
atau SDGs (Tujuan Pembangunan Berkelanjutan) untuk diharapkan tercapai pada
tahun 2030.
SDGs
bertujuan untuk menyeimbangkan tiga aspek pembangunan secara bersamaan yaitu
aspek ekonomi, aspek sosial, dan aspek pembangunan sekaligus memastikan
dipenuhinya hak-hak asasi manusia (HAM) selama proses pembangunan tersebut
berlangsung. Dalam tataran yang lebih praktikal, SDGs pada dasarnya dirancang
untuk mengurangi kemiskinan & kelaparan, memperjuangkan kesetaraan atau
keadilan sosial bagi seluruh masyarakat dunia, serta meningkatkan kualitas
lingkungan. Delapan (8) tujuan pembangunan dalam MDGs diperluas menjadi
tujuhbelas (17) tujuan pembangunan dalam SDGs yang mencakup [5] :
1.
Tanpa kemiskinan (No poverty)
2.
Tanpa kelaparan (Zero hunger)
3.
Kehidupan sehat & sejahtera (Good health & well-being)
4.
Pendidikan berkualitas (Qualiy education)
5.
Kesetaraan gender (Gender equality)
6.
Air bersih & sanitasi layak (Clean water & sanitation)
7.
Energi bersih & terjangkau (Affordable & clean energy)
8.
Pekerjaan yang layak & pertumbuhan
ekonomi (Decent work & economic
growth)
9.
Industri, inovasi, & infrastruktur (Industry, innovation, & infrastructure)
10.
Pengurangan kesenjangan (Reduced inequalities)
11.
Kota & komunitas yang berkelanjutan
(Sustainable cities & communities)
12.
Produksi & konsumsi yang
bertanggungjawab (Responsible consumption
& production)
13.
Penanganan perubahan iklim (Climate action)
14.
Ekosistem laut (Life below water)
15.
Ekosistem darat (Life on land)
16.
Perdamaian, keadilan, & kelembagaan
yang tangguh (Peace, justice, &
strong institutions)
17.
Kemitraan untuk mencapai tujuan (Partnership)
Indonesia
sebagai salah satu anggota PBB juga turut serta dalam MDGs dan SDGs. Di level
pemerintahan Indonesia, koordinator pelaksana program SDGs berada di tangan Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Selain pemerintah, saat ini terdapat
belasan bahkan puluhan organisasi non-pemerintah (Non-Governmental Organzation atau NGO) yang fokus kerangka kerjanya
berada di bidang SDGs. Juga banyak pula NGO yang mengaitkan program-programnya
dengan tujuan-tujuan yang ada di dalam SDGs. Salah satu NGO yang fokus kerangka
kerjanya berpedoman pada tujuan-tujuan SDGs adalah World Merit, yaitu sebuah
gerakan anak muda internasional yang bekerjasama secara langsung dengan PBB
untuk mencapai 17 tujuan SDGs. World Merit mendorong anak muda mengambil
tindakan (beraksi) serta membuat perbedaan yang positif baik secara lokal
maupun global [6].
World
Merit Indonesia merupakan dewan nasional (national
council) dari World Merit global yang bermarkas di Liverpool, Inggris [6].
Di bawah World Merit Indonesia terdapat beberapa dewan lokal atau dewan kota (local councils / city councils), salah satunya adalah World Merit Indonesia chapter Bandung (WMB) yang aktif sejak
akhir tahun 2017 sampai dengan pertengahan tahun 2019. WMB memfokuskan diri untuk
membuat proyek-proyek sosial berskala kecil menengah yang menyangkut tujuan SDG
nomor 2 (Zero hunger), nomor 10 (Reduced inequalities), nomor 12 (Responsible consumption & production), serta nomor 17 (Partnership). Visi misi WMB secara
ringkas adalah memperkenalkan apa itu SDGs dan bagaimana cara
pengimplementasiannya, khususnya kepada kalangan muda kota Bandung. Mayoritas
anggota WMB adalah mahasiswa dan beberapa pekerja muda. Kegiatan WMB bersifat “youth empowerment” atau sebagai ajang
pemberdayaan anak muda dimana anggotanya dibebaskan untuk melakukan kegiatan
sosial apapun asalkan masih berada di koridor SDGs.
Walaupun
fokus utama WMB adalah pada 4 tujuan SDGs, namun tidak menutup kemungkinan WMB
mengadakan berbagai kegiatan atau proyek sosial yang berkaitan dengan
tujuan-tujuan SDGs yang lain. Misalnya WMB pernah mengadakan diskusi kesetaraan
gender (terkait isu SDGs nomor 5) atau diskusi mengenai perdamaian dan keadilan
(terkait isu SDGs nomor 16). Kemitraan dengan pihak lain pun pernah dijalani
WMB dalam acara Bon Appetit dimana bahan
makanan yang masih layak konsumsi atau uang dikumpulkan lalu diolah bersama
Dapur Ikhlas untuk dibagikan kepada anak-anak jalanan (terkait isu SDGs nomor 2
dan 17). Pemanfaatan media-media sosial seperti misalnya Instagram juga tak
luput dilakukan untuk menumbuhkan kesadaran pada masyarakat terutama anak muda
tentang SDGs.
SDGs
pada dasarnya tidak berbeda dengan kegiatan sosial karena tujuan-tujuan dalam
SDGs sebenarnya bersifat universal serta mencakup banyak isu dan atau
permasalahan yang berkembang di dalam masyarakat. Dengan kata lain untuk ikut
serta dalam menyukseskan SDGs tidak harus dengan mengikuti organisasi-organisasi
SDGs semata, namun mengikuti organisasi dan proyek-proyek sosial lain pun sudah
dapat ikut menyukseskan SDGs. Pergunakanlah organisasi atau saluran-saluran
yang telah ada. Peran anak muda disini lebih bertitik berat kepada turut serta dalam
mensosialisasikan SDGs kepada masyarakat luas serta ikut meramaikan
implementasi tujuan-tujuan SDGs melalui kegiatan-kegiatan sosial yang dapat
dilakukan di level komunitas-komunitas anak muda. Dari penjelasan ini dapat
disimpulkan bahwa membangun atau memiliki organisasi yang berfokus pada SDGs
tentu akan lebih baik karena pelaksanaan SDGs akan menjadi lebih terorganisir,
namun jangan sampai hal ini menjadi fokus usaha yang justru akan meninggalkan
tujuan dari SDGs itu sendiri : membuat perubahan.
Membuat
perubahan selalu diawali dari diri sendiri. Kalimat ini mungkin sudah sering
kita dengar, namun betul adanya. Lihat saja sifat kegiatan organisasi WMB di
atas, yang bergerak dari konsep “youth
empowerment atau sebagai ajang pemberdayaan (diri sendiri)” menjadi
“sosialisasi serta penumbuhan kesadaran dalam masyarakat”. Dari menumbuhkan
kesadaran (growing awareness) menjadi
menyebarkan kesadaran (spreading
awareness). Kesadaran, bahwa masih banyak isu dan permasalahan yang mendera
masyarakat sedunia, entah itu isu keadilan sosial, isu ekologis, dan lain-lain.
Kesadaran, bahwa orang muda sebagai agen perubahan harus melakukan sesuatu bagi
dunia ini. Kesadaran, bahwa tidak bersuara atau melakukan apapun sama saja
dengan membiarkan bahkan mendukung ketidakadilan dan kerusakan tersebut. Dan
akhirnya kesadaran, bahwa jika ketidakadilan dan kerusakan tersebut terus
berjalan tanpa ditentang, diubah, atau dihapuskan, maka ide bahwa di masa depan
bumi ini menjadi tidak layak lagi ditinggali atau masyarakat berkonflik sampai
pada titik hari kiamat diwujudkan dengan perang nuklir, bukan lagi menjadi ide
yang asing dan mengawang-awang.
Apa
yang dapat dilakukan ? 17 tujuan SDGs yang dicanangkan PBB dapat dianggap
sebagai agenda ambisius yang transformatif, namun bukan berarti mustahil
dicapai. Tiap tujuan SDGs saling berkaitan dan sebenarnya sangat mudah
dipraktikkan. Mulailah dari diri sendiri dan lingkungan sekitar. Misalnya untuk
mengurangi food waste / sampah
makanan (lihat tujuan SDGs nomor 2) cukup dimulai dengan kita bertanggungjawab
menghabiskan makanan yang telah kita ambil. Kultur buruk di Indonesia ialah
tiap orang cenderung mengambil makanan sebanyak-banyaknya tanpa
mempertimbangkan kapasitas perut mereka. Akibatnya makanan menjadi terbuang
percuma, padahal di sekitar kita masih banyak orang-orang yang kelaparan, yang
tiap hari harus berjuang keras mendapatkan sesuap nasi (benar-benar sesuap
secara harafiah). Tidak aneh jika Indonesia dinobatkan sebagai negara kedua
sedunia sebagai pembuang makanan terbanyak setelah Arab Saudi, dengan tiap
orang Indonesia membuang sebanyak 300 kg makanan setiap tahunnya [7].
Apakah kita orang Indonesia akan terus membanggakan prestasi hebat ini ?
Habiskan
makanan kita, atau donasikan jika masih layak konsumsi. Hal yang sama berlaku pula
untuk pakaian. Perilaku konsumerisme kita menjadikan kita membeli pakaian
sebanyak-banyaknya, walaupun sebenarnya pakaian yang layak pakai masih banyak
tersedia di rumah, bahkan menumpuk belum terpakai. Selain pengurangan kuantitas
pembelian pakaian, terdapat beberapa merk pakaian yang belum memenuhi standar,
seperti misalnya tidak ramah lingkungan atau mempekerjakan pekerja anak (di
bawah umur). Ambil contoh merk H&M (dari Swedia) yang pernah dikecam karena
mempekerjakan anak berumur 14 tahun selama 12 jam sehari [8], atau merk
Zara (dari Spanyol) yang pernah dituntut atas 52 pelanggaran oleh Kementerian
Ketenagakerjaan Brazil karena para pekerjanya dari dua pabrik di Sao Paulo
(Brazil) bekerja di lingkungan kerja yang tidak sehat, dikontrak kerja secara
ilegal, mempekerjakan anak di bawah umur (terdapat seorang gadis berusia 14
tahun), jam kerja yang tidak manusiawi (16 jam sehari), upah di bawah standar,
dan pelanggaran-pelanggaran lainnya [9].
Fakta-fakta
di atas bukanlah merupakan suatu ajakan boikot suatu merk dagang tertentu,
namun mengajarkan kepada kita bahwa sebagai konsumen akhir kita memegang
peranan penting atas keberlangsungan atau terhapusnya ketidakadilan (terkait
tujuan SDGs nomor 8). Selain itu, kebijaksanaan kita dalam membeli barang
konsumsi terkait dengan tujuan SDGs nomor 12, yaitu produksi dan konsumsi yang
berkelanjutan. Ingatlah hukum ekonomi bahwa penawaran terjadi karena adanya
permintaan. Jika konsumen akhir bijak dalam membeli, maka produsen mau tak mau
akan ‘terpaksa’ bijak dalam memproduksi. Otomatis hal ini akan mengurangi
sumber daya yang dipakai, bahkan mengurangi sumber daya yang terbuang sia-sia
karena hanya digunakan untuk memproduksi barang-barang yang menjadi sampah,
entah sampah makanan atau pakaian. Bayangkan seberapa besar dampak sosial yang
dapat kita buat dalam mencegah anarki produksi hanya dengan tindakan ‘kecil’
kita yang secara selektif memilih dan membeli produk yang kita butuhkan, bukan
yang kita inginkan.
Kegiatan-kegiatan
lainnya yang berhubungan dengan isu ekologis (tujuan SDGs nomor 13, 14, atau
15) juga terbilang banyak. Yang paling sederhana adalah tidak membuang sampah
sembarangan. Terdengar klise, tapi mari bersama mengakui, sudah berhasilkah
kita melakukannya ? Pada tahun 2016 saja, jumlah sampah di muka Bumi sudah
mencapai 2,01 miliar ton dan diprediksi akan bertambah 70% pada tahun 2050
(setara 3,4 miliar ton) kecuali jika suatu tindakan bersama segera diambil [10].
Bahkan sekedar menggunakan peralatan makan-minum yang dapat digunakan berulang
kali (reusable) akan sangat berdampak
mengurangi kuantitas polusi plastik di dunia. Bersama kita bisa mencegah kasus seperti
hidung penyu di Kosta Rika yang tertusuk sedotan plastik [11] atau
seekor paus pilot yang harus mati kesakitan di Thailand selatan karena menelan lebih
dari 80 tas plastik seberat 8 kilogram [12]. Komunitas-komunitas
anak muda diharapkan berperan besar dalam isu-isu seperti di atas karena
mereka-lah gerbong lokomotif perubahan tidak hanya di Indonesia, namun juga dunia.
Komunitas-komunitas
anak muda akan jauh lebih terbantu apabila pemerintah juga turut serta membuat
kebijakan kebijakan publik yang selaras atau mendukung SDGs. Misalnya
pemerintah dapat lebih menggalakkan kurikulum keadilan sosial atau kelestarian
lingkungan hidup yang kemudian dibarengi praktik nyata, bukan hanya teori. Pemerintah
pun sebenarnya ikut terbantu dengan adanya komunitas-komunitas anak muda ini
dalam mengampanyekan SDGs. Ditambah lagi, youth
communities dan masyarakat juga dapat menjadi pengawas pemerintah dalam
mencanangkan program-program pembangunan yang berkelanjutan. Kritik yang
membangun wajib (bukan ‘dapat’) diberikan apabila pemerintah mencanangkan
program atau membuat kebijakan yang tidak berpihak pada 17 tujuan SDGs.
Di
sisi lain, komunitas-komunitas anak muda juga tak seyogianya alergi pada
otokritik. Dewasa ini secara umum terdapat tiga (3) kelemahan pada
komunitas-komunitas anak muda yaitu kurangnya Sumber Daya Manusia (SDM) /
anggota yang berkomitmen, kurangnya dana, dan kurangnya kemampuan menjangkau grassroot / kalangan akar rumput.
Pertama-tama
patut diperhatikan bahwa karena keanggotaan komunitas anak muda bersifat sukarela
(voluntary), maka kegiatannya pun berbasis
sukarela. Untuk beberapa anak muda yang peduli pada isu tertentu, ia dengan
sendirinya akan vokal menyuarakan keresahannya & akan ikut memberikan
solusi dalam isu terkait tujuan SDGs nomer kesekian. Tetapi mereka yang tak
terlalu berminat dengan proyek tersebut akan menyumbang partisipasinya saja
alias menjadi pengikut pasif. Selain itu terdapat pula anak muda atau mahasiswa
yang mengikuti komunitas hanya untuk mempercantik riwayat hidupnya (CV) saja, dimana
terlihat ‘barisan’ organisasi yang pernah dimasukinya (catatan : penulis sengaja
tidak menggunakan diksi “diikuti”).
Individu-individu yang demikian tidak terlalu peduli dengan kegiatan sosial,
dan bahkan berdampak negatif kepada anggota-anggota lainnya yang ikut-ikutan
‘lenyap’. Kinerja komunitas secara keseluruhan pun akan turut menurun seiring
lingkaran setan yang terus berputar ini.
Kelemahan
kedua ialah kurangnya pendanaan. Tak dapat dipungkiri lemahnya finansial akan
membuat para anak muda tidak dapat membuat kegiatan sosial berdaya jangkau
luas. Ketika pendonor dana didapatkan pun, adakalanya youth community justru dimanfaatkan untuk kepentingan si pemberi
donor (ditunggangi oleh pemilik modal) sehingga kegiatan sosial yang diadakan
pun hanya terkesan berfungsi sebagai pencitraan atau usaha membangun imaji (branding) saja. Walaupun demikian, sisi
positif yang dapat diambil dari kondisi buruk tersebut adalah komunitas tetap
terbantu dalam mempertahankan eksistensinya atau melaksanakan kegiatannya. Maka
sekalipun Tan Malaka pernah berkata bahwa idealisme adalah kemewahan terakhir
yang hanya dimiliki oleh para pemuda, semua itu kembali pada pertanyaan manakah
yang akan dipilih, apakah idealisme atau kepentingan taktis. Menggadaikan
idealisme seringkali bergerak bersamaan dengan mengabdi kepada modal (uang).
Yang
terakhir ialah kurang sesuainya pendekatan-pendekatan yang digunakan oleh komunitas
anak muda. Misalnya saat akan menyuarakan keadilan / kesetaraan yang tujuannya
menjangkau ke kalangan akar rumput, seringkali komunikasi / pola bahasa yang
digunakan masih eksklusif. Narasi yang digunakan pun masih memakai kata-kata yang
sulit dimengerti kalangan umum. Pemilihan tema dan isu-nya pun seringkali juga eksklusif.
Pemakaian bahasa asing pun (umumnya bahasa Inggris) tidak memperhatikan kondisi
subjek yang dituju. Contohnya kalangan ibu rumah tangga (IRT) akan kesulitan
mencerna istilah "gender equality"
(kesetaraan gender) atau "gender
equity" (keadilan gender), begitu pula anak jalanan akan sulit
memahami istilah "gaya hidup berkelanjutan" atau "go green". Hal ini mengakibatkan
pesan yang hendak disampaikan juga tak akan tercapai oleh subjek yang dituju karena
telah berbeda frekuensi.
Akhir
kata, walaupun terdapat berbagai kendala, komunitas anak muda tetap berperan
sebagai agen perubahan masyarakat bahkan dunia. Keberanian, energi masa muda,
dan ide-ide kreatif mereka sangat memungkinkan 17 tujuan SDGs tercapai pada
tahun 2030. Mengubah kebiasaan buruk suatu masyarakat, menghapus ketidakadilan
dalam berbagai bentuknya, bahkan ‘memaksakan’ perubahan positif demi
pembangunan dan kehidupan yang lebih baik serta adil bukanlah hal yang
mustahil. Mengubah suatu negara atau bahkan dunia bukanlah ide yang abstrak. Ia
sangat mungkin dicapai, tentunya dengan melibatkan anak muda sebagai motor
penggerak perubahan. Sebagaimana yang telah dikatakan Bapak Pendiri Bangsa,
Bung Karno :
“Beri aku 1.000 orang tua,
niscaya akan kucabut Semeru dari
akarnya.
Beri
aku 10 pemuda,
niscaya
akan kuguncangkan dunia !”
Jadi
mari pemuda-pemudi, kita membangun sebuah dunia baru !
Referensi
:
[1]
United Nations. Youth. Diakses dari https://www.un.org/en/sections/issues-depth/youth-0/index.html.
Diakses pada 14 Juni 2020.
[2]
Wikipedia. Youth. Diakses dari https://en.m.wikipedia.org/wiki/Youth#:~:text=The%20United%20Nations%20defines%20youth,states%20such%20as%2018-30.
Diakses pada 14 Juni 2020.
[3]
World Health
Organization. Adolescent Health. Diakses
dari https://www.who.int/southeastasia/health-topics/adolescent-health. Diakses
pada 14 Juni 2020.
[4]
United Nations. Millennium Development Goals and Beyond 2015.
Diakses dari https://www.un.org/millenniumgoals/. Diakses pada 14 Juni 2020.
[5]
United Nations. About the Sustainable Development Goals.
Diakses dari https://www.un.org/sustainabledevelopment/ sustainable-development-goals
/. Diakses pada 14 Juni 2020.
[6]
World Merit. Diakses
dari https://worldmerit.org/. Diakses pada 14 Juni 2020.
[7]
Barilla Center for Food
and Nutrition. Food Sustainability Index.
Diakses dari https://foodsustainability.eiu.com/food-loss-and-waste /. Diakses
pada 14 Juni 2020.
[8]
The Guardian. H&M Factories in Myanmar employed
14-yeard-old workers. Diakses dari https://amp.theguardian.com/business/2016/aug/21/hm-factories-myanmar-employed-14-year-old-workers.
Diakses pada 14 Juni 2020.
[9]
Daily Mail. Zara accused of employing children as young
as 14 in ‘slave labour’ factories in Brazil. Diakses dari https://www.dailymail.co.uk/femail/article-2028041/amp/Zara
accused-employing-children-young-14-slave-labour-factories-Brazil.html. Diakses
pada 14 Juni 2020.
[10] The World Bank. Global
Waste to Grow by 70 Percent by 2050 Unless Urgent Action is Taken: World Bank
Report. Diakses dari https://www.worldbank.org/en/news/press-release/2018/09/20/global-waste-to-grow-by-70-percent-by-2050-unless-urgent-action-is-taken-world-bank-report.
Diakses pada 14 Juni 2020.
[11] National Geographic. How
Did Sea Turtle Get a Straw up its Nose ?. Diakses dari https://www.nationalgeographic.com.au/animals/how-did-sea-turtle-get-a-straw-up-its-nose.aspx.
Diakses pada 14 Juni 2020.
[12] National Geographic. How
Did Sea Turtle Get a Straw up its Nose ?. Diakses dari https://www.nationalgeographic.com.au/animals/how-did-sea-turtle-get-a-straw-up-its-nose.aspx.
Diakses pada 14 Juni 2020.
[13] The Guardian. Whale
dies from eating more than 80 plastic bags. Diakses dari https://www.theguardian.com/environment/2018/jun/03/whale-dies-from-eating-more-than-80-plastic-bags.
Diakses pada 14 Juni 2020.
Tulisan oleh Yohanes, anggota Sekolah Damai Indonesia Bandung