Selasa, 27 Oktober 2020

Envisioning Peace

Rhaka Katresna menceritakan partisipasi dirinya di Sekolah Damai Indonesia dalam kampanye yang diadakan oleh Envisioning Peace.

https://youtu.be/S3i2DpTdy2U

Minggu, 25 Oktober 2020

Pentingnya SOGIESC bagi Pemimpin Muda untuk Menjembatani Isu Gender dan Seksualitas

Sabtu (24 Oktober 2020) pukul 15, Peace Leader Indonesia bekerjasama dengan Sekolah Damai Indonesia, (Re)aksi Remaja, Pemuda Tapal Batas dan Duta Damai Jatim mengadakan kegiatan Ngopeace Online bertajuk Pentingnya SOGIESC bagi Pemimpin Muda untuk Menjembatani Isu Gender dan Seksualitas.
Rhaka Katresna mewakili Sekolah Damai Indonesi berbagi mengenai Pengenalan SOGIESC kepada Remaja sebagai Bentuk Perdamaian
Video kegiatan bisa dilihat melalui tautan di bawah.
https://youtu.be/VLorWVq-Sws

Rabu, 19 Agustus 2020

Rhaka dan Wina dari Sekodi Bandung Melakukan Orasi Puisi dan Tubuh di Aksi RUU PKS Bandung

oleh Rhaka Katresna, Mahasiswa Departemen Psikologi Universitas Pendidikan Indonesia dari Sekodi Bandung

Saya (Rhaka Katresna) dan Wina Hasna Vania melakukan orasi tubuh dan puisi di kegiatan Aksi Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) di depan Gedung Sate, Bandung pada Selasa, 21 Juli 2020. Kami mewakili Sekolah Damai Indonesia bersama dengan pendukung RUU PKS lainnya dari berbagai wilayah di Bandung Raya.

Metode yang saya lakukan dalam tari adalah Embodied Justice. Itu adalah sebuah metode yang saya pelajari langsung dari Alexia Buono. Metode ini muncul dari presentasi performatif Dr. Buono di International Congress of Qualitative Inquiry Mei 2019 bertajuk "A Restorative Justice for Body in Research Scholarship".

Buono (2020) menjelaskan bahwa keadilan restoratif adalah perbaikan kooperatif atas kerugian yang disebabkan oleh perilaku kriminal yang dapat mengarah pada transformasi diri, relasional, dan komunal. Latihan ini mencakup praktik koreografi penyelidikan, dialog, dan kreativitas multimodal (frase tarian, peta tubuh, dan kata-kata tertulis).

Embodied justice mengundang semua orang yang terlibat (penari, koreografer, penonton) untuk bersama-sama mengakui, mengubah pola, dan memperbaiki kerusakan yang telah terjadi pada tubuh (fisik, emosional, kognitif, sejarah, sosial, dll.) dengan berbagi dalam pertunjukan dan pengalaman koreografi bersama.

Penampilan

Rhaka Katresna sebelum Penampilan

Saya meminta Wina dan Sapitri untuk menyiapkan teks orasi 3 hari sebelum tampil. 

Kemudian malam sebelum penampilan, saya bertanya pada diri saya sendiri mengenai hal-hal berikut:
  1. Apa yang saya rasakan sebagai penyintas kekerasan seksual?
  2. Bagaimana saya memaafkan dan mengakses pengalaman itu?
  3. Apa yang rusak?
  4. Gerakan apa yang berhubungan dengan pengalaman saya?
  5. Apa refleksi saya setelah menjawab 1 - 4?
Saya menyimpulkan bahwa saya dapat menghubungkan diri saya dan tubuh saya dengan pengalaman pelecehan seksual. Proses itu lebih jauh mengingatkan diri saya sendiri tentang pengalaman saya sendiri tentang pelecehan seksual. Mengejutkan karena tubuh benar-benar mengingat apa yang terjadi secara detail.

Rhaka dan Wina melakukan Orasi Tubuh dan Puisi

Pada hari pertunjukan, saya membaca kembali apa yang saya tulis. Saya minta Wina berpidato sambil menari. Kemudian, saya tampil. Saya menemukan bahwa gerakan saya dipengaruhi oleh pidato. Itu membuat gerakan saya menjadi gerakan terpaku saat saya merasa kaki saya tertekan di jalan. Saya mengubah gerakan saya melalui tangan dan kaki saya. Saya malah memikirkan sesuatu yang menyakitkan dan mengalaminya. Pola yang berulang adalah membungkuk ke belakang, tangan meraih bantuan, menghentikan gerakan, dan menarik bagian tubuh lain dengan tangan.

Referensi

Buono, Alexia. (2020). Undergraduate Faculty Mini-Grant Application Project Description: Body Concept. Tidak diterbitkan.

Obrolan Ringan Seputar Kejawen

oleh Aries Hardianto, mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati dari Sekodi Bandung

Bhinneka tunggal ika adalah semboyan “resmi” bangsa Indonesia yang merangkum sekaligus memotret kondisi sosiokultural rakyat Indonesia sejak dahulu kala yaitu keberagaman masyarakatnya atau dalam istilah lain masyarakat majemuk. Kemajemukan yang dimaksud ialah dalam aspek sosial dimana begitu banyak suku, ras dan adat tradisi yang mewarnai kehidupan sehari-hari. Diantara begitu banyak suku bangsa yang ada suku jawa cukup menarik untuk saya sorot dalam tulisan kali ini.

Bukan tanpa sebab karena setidaknya ada 2 hal yang melatar belakangi keinginan diatas. Yang pertama karena suku jawa adalah suku bangsa dengan jumlah yang sangat besar dan tersebar ke berbagai penjuru daerah lain. Yang kedua karena saya sendiri merupakan keturunan suku jawa tapi lama menetap diluar jawa. Sehingga tak mengherankan saya tidak mengetahui kebiasaan atau tradisi lain yang berkenaan dengan suku jawa. Semua yang saya tau hanyalah berdasar pengamatan terhadap orang tua dan berkunjung ke kampung halaman saat mudik tiba.

Ada satu pengalaman yang unik ketika saya mudik ke daerah madiun saat salah satu saudara menyebut saya dengan sebutan “wong bandung” atau “orang bandung”, akan tetapi disini (Bandung, Jawa Barat) saya disebut sebagai orang jawa karena orang tua saya yang berasal dari jawa. Memang kata “Jawa” disini agak bias karena penggunaannya bisa merujuk pada kelompok suku bangsa, Bahasa daerah atau bahkan pulau tergantung konteks. terlepas dari konteks yang saudara saya pakai tadi terkadang saya pun bertanya pada diri sendiri apakah saya orang Jawa atau orang Bandung (Sunda)?

Berangkat dari pertanyaan “aneh” tersebut saya menghadiri diskusi rutinan komunitas Sekolah Damai Indonesia pada Sabtu, 15 Agustus 2020. Narasumber diskusi ini ialah mas Anto W. Nugrahanto, seorang dosen sejarah salah satu universitas terkemuka di kota Kembang. Tema yang diusung ialah kejawen. Namun tulisan ini tidak akan membahas kejawen secara mendalam namun berupa pengenalan singkat saja sebagai ajang menambah wawasan nasional.

Berbicara perihal kejawen biasanya yang terlintas di benak orang awam ialah ritual-ritual yang kental dengan nuansa spiritual atau bahkan Supranatural. Pandangan tersebut bisa jadi karena prasangka sepintas yang ditunjang oleh kurangnya akses informasi terkait kejawen secara kredibel. Lantas apa yang dimaksud oleh kejawen itu sendiri ?

Secara sederhana kejawen adalah sebuah ajaran hidup, aliran kepercayaan dan prinsip  yang dianut dan dilestarikan oleh suku Jawa yang (masih) mempercayainya. kejawen amat dekat dengan kehidupan orang jawa (dahulu/leluhur) dalam membangun tata karma, pola pikir dan ketenangan jiwa dengan cara mematuhi sosok “yang maha kuasa”. Meski tampak seperti agama namun penganut ajaran kejawen biasanya tak mengartikan kejawen sebagai sesuatu yang “mirip” dengan agama pada umumnya (islam, Kristen, buddha, dll.).

Hal ini terjadi oleh sebab kejawen lebih tepat dipahami sebagai world view atau weltanschauung alias cara pandang yang membuahkan seperangkat nilai-nilai bertabur kearifan lokal masyarakat tradisional jawa tempo dulu yang bersifat abstrak. Berdasarkan kumpulan naskah kuno peninggalan para tokoh masyur tanah jawa seperti Rangga Warsita (ronggo warsito) tergambar bahwa kejawen termanifestasikan sebagai seni, filsafat, moral, etika dan kebiasaan yang dikomando oleh ide dan local belief atau kepercayaan lokal. Oleh karena penekanan terhadap aspek keseimbangan itulah kejawen biasanya dapat bersanding dengan agama-agama yang ada seperti Islam, Kristen atau Hindu. Artinya seseorang bisa memeluk Kejawen disamping agama lain dalam perjalanan spiritual nya. Namun terkadang ada pihak-pihak tertentu yang menuduh kejawen sebagai ajaran  sesat atau bid’ah. Apapun alasan yang dipakai tak pernah dibenarkan untuk mendiskreditkan sampai mendiskriminasi suku, agama dan antar golongan (SARA).

Saya sempat bertanya “apakah pemeluk ajaran kejawen diharuskan memiliki keturunan darah secara langsung atau tidak dengan suku jawa seperti Yudaisme (agama bangsa yahudi)?”. Mas Anto pun menjawab bahwa tidaklah harus. Walau begitu akan mengherankan kalau ada orang Israel menjadi penganut Kejawen dibarengi dengan gelak tawa saya beserta yang lainnya. Dari situ mas Anto pun menambahkan bahwa tujuan akhir dari ajaran kejawen ialah menyatu dengan tuhan ketika ajal menjemput (manunggal).

Bila memang ajaran tersebut telah ada sejak dahulu lalu mengapa nama kejawen sendiri terasa asing di telinga masyarakat kebanyakan ? hal tersebut berkaitan dengan legalitas dari kejawen itu sendiri yang belum “diakui” oleh pemerintah. Meskipun angin segar mulai berembus tatkala pemerintah mulai mengakui kepercayaan lain diluar “agama resmi” yang ada. Mas Anto pun menjelaskan bahwa proses “legalisasi” itu pun tidaklah mudah. Salah satunya harus diorganisir telebih dahulu baik secara struktur organisatoris maupun secara “konseptual” (apa yang disembah?, tempat ibadah, hari raya, dll.).

Memang kolom agama pada KTP kerap menuai polemik karena terkesan “mengkotak-kotakkan” manusia berdasarkan kepercayaan yang sejatinya ranah pribadi. Padahal kolom agama pada KTP hanya berfungsi untuk mengidentifikasi data diri seseorang secara administratif. Oleh karena kemelut yang ada penganut kejawen tak leluasa dalam mengekspresikan dirinya. Mas Anto menyebut bahwa banyak orang tua yang menutupi jati diri mereka dan memeluk agama yang telah diakui. Sontak anak-anak mereka pun tak pernah tahu tentang inti ajaran kejawen karena persoalan yang menurut saya amat politis.

Diskusi berlanjut sampai merembet ke banyak topik seperti perang Padri dan sejarah agama kuno di Mesir (dewa Seth). Tak terasa hampir 2 jam diskusi telah berlangsung dibarengi dengan rintik hujan yang menahan kami untuk tak cepat-cepat pergi. Banyak hal yang saya bisa petik dari seluruh alur diskusi mulai dari sejarah, konflik, agama sampai perdamaian sebagai puncak toleransi antar umat manusia.

Penulis: Aries Hardianto

Sabtu, 20 Juni 2020

Anak Muda & Perubahan


Masa muda (bahasa Inggris : youth) merujuk pada suatu tahap kehidupan ketika seseorang masih muda, lebih tepatnya suatu tahap kehidupan setelah masa kanak-kanak (childhood) namun sebelum memasuki masa dewasa (adulthood). Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) sendiri mengatakan sebenarnya tidak terdapat definisi yang diakui secara internasional untuk masa muda, atau kapan seseorang dikatakan muda. Demi kepentingan pengolahan data statistik kependudukan, PBB mendefinisikan anak muda sebagai seseorang yang berada di antara usia 15-24 tahun [1]. Di sisi lain, berbagai entitas di dalam PBB memiliki definisinya masing-masing. UN Habitat mendefinsikan anak muda dalam rentang usia 15-32 tahun [2], African Youth Charter 15-35 tahun [2], sedangkan World Health Organization / WHO (badan kesehatan sedunia di bawah PBB) menyetujui rentang 15-24 tahun sebagai youth tetapi menambahkan bahwa definisi orang muda (young people) mencakup rentang usia 10-24 tahun [3].
Terlepas dari hal definisi, peran anak muda dalam berbagai bidang kehidupan tidak dapat diabaikan. Masih menurut laman PBB, saat ini terdapat 1,2 miliar anak muda atau setara dengan 16% dari populasi global (dengan asumsi penduduk dunia berjumlah 7,5 miliar orang) [1]. Pembangunan aspek-aspek kehidupan sedunia tidak mungkin meninggalkan 16% populasi global. Selain itu berbagai isu dan permasalahan juga mendera atau terkait kalangan muda, misalnya isu pendidikan, pengadilan anak, tentara anak di daerah konflik, kesetaraan gender, dan lain sebagainya. Maka pada tahun 2015 PBB mencetuskan sebuah agenda pembangunan yang bernama Millennium Development Goals atau MDGs (Tujuan Pembangunan Milenium) dan berjalan sejak tahun 2000 – 2015 [4]. Namun karena MDGs yang terdiri atas delapan poin belum tercapai pada tahun 2015, maka dicanangkanlah program kedua sebagai kelanjutan dari MDGs yang dinamakan Sustainable Development Goals atau SDGs (Tujuan Pembangunan Berkelanjutan) untuk diharapkan tercapai pada tahun 2030.
SDGs bertujuan untuk menyeimbangkan tiga aspek pembangunan secara bersamaan yaitu aspek ekonomi, aspek sosial, dan aspek pembangunan sekaligus memastikan dipenuhinya hak-hak asasi manusia (HAM) selama proses pembangunan tersebut berlangsung. Dalam tataran yang lebih praktikal, SDGs pada dasarnya dirancang untuk mengurangi kemiskinan & kelaparan, memperjuangkan kesetaraan atau keadilan sosial bagi seluruh masyarakat dunia, serta meningkatkan kualitas lingkungan. Delapan (8) tujuan pembangunan dalam MDGs diperluas menjadi tujuhbelas (17) tujuan pembangunan dalam SDGs yang mencakup [5] :
1.             Tanpa kemiskinan (No poverty)
2.             Tanpa kelaparan (Zero hunger)
3.             Kehidupan sehat & sejahtera (Good health & well-being)
4.             Pendidikan berkualitas (Qualiy education)
5.             Kesetaraan gender (Gender equality)
6.             Air bersih & sanitasi layak (Clean water & sanitation)
7.             Energi bersih & terjangkau (Affordable & clean energy)
8.             Pekerjaan yang layak & pertumbuhan ekonomi (Decent work & economic growth)
9.             Industri, inovasi, & infrastruktur (Industry, innovation, & infrastructure)
10.         Pengurangan kesenjangan (Reduced inequalities)
11.         Kota & komunitas yang berkelanjutan (Sustainable cities & communities)
12.         Produksi & konsumsi yang bertanggungjawab (Responsible consumption & production)
13.         Penanganan perubahan iklim (Climate action)
14.         Ekosistem laut (Life below water)
15.         Ekosistem darat (Life on land)
16.         Perdamaian, keadilan, & kelembagaan yang tangguh (Peace, justice, & strong institutions)
17.         Kemitraan untuk mencapai tujuan (Partnership)

Indonesia sebagai salah satu anggota PBB juga turut serta dalam MDGs dan SDGs. Di level pemerintahan Indonesia, koordinator pelaksana program SDGs berada di tangan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Selain pemerintah, saat ini terdapat belasan bahkan puluhan organisasi non-pemerintah (Non-Governmental Organzation atau NGO) yang fokus kerangka kerjanya berada di bidang SDGs. Juga banyak pula NGO yang mengaitkan program-programnya dengan tujuan-tujuan yang ada di dalam SDGs. Salah satu NGO yang fokus kerangka kerjanya berpedoman pada tujuan-tujuan SDGs adalah World Merit, yaitu sebuah gerakan anak muda internasional yang bekerjasama secara langsung dengan PBB untuk mencapai 17 tujuan SDGs. World Merit mendorong anak muda mengambil tindakan (beraksi) serta membuat perbedaan yang positif baik secara lokal maupun global [6].

World Merit Indonesia merupakan dewan nasional (national council) dari World Merit global yang bermarkas di Liverpool, Inggris [6]. Di bawah World Merit Indonesia terdapat beberapa dewan lokal atau dewan kota (local councils / city councils), salah satunya adalah World Merit Indonesia chapter Bandung (WMB) yang aktif sejak akhir tahun 2017 sampai dengan pertengahan tahun 2019. WMB memfokuskan diri untuk membuat proyek-proyek sosial berskala kecil menengah yang menyangkut tujuan SDG nomor 2 (Zero hunger), nomor 10 (Reduced inequalities), nomor 12 (Responsible consumption & production), serta nomor 17 (Partnership). Visi misi WMB secara ringkas adalah memperkenalkan apa itu SDGs dan bagaimana cara pengimplementasiannya, khususnya kepada kalangan muda kota Bandung. Mayoritas anggota WMB adalah mahasiswa dan beberapa pekerja muda. Kegiatan WMB bersifat “youth empowerment” atau sebagai ajang pemberdayaan anak muda dimana anggotanya dibebaskan untuk melakukan kegiatan sosial apapun asalkan masih berada di koridor SDGs.
Walaupun fokus utama WMB adalah pada 4 tujuan SDGs, namun tidak menutup kemungkinan WMB mengadakan berbagai kegiatan atau proyek sosial yang berkaitan dengan tujuan-tujuan SDGs yang lain. Misalnya WMB pernah mengadakan diskusi kesetaraan gender (terkait isu SDGs nomor 5) atau diskusi mengenai perdamaian dan keadilan (terkait isu SDGs nomor 16). Kemitraan dengan pihak lain pun pernah dijalani WMB dalam acara Bon Appetit dimana bahan makanan yang masih layak konsumsi atau uang dikumpulkan lalu diolah bersama Dapur Ikhlas untuk dibagikan kepada anak-anak jalanan (terkait isu SDGs nomor 2 dan 17). Pemanfaatan media-media sosial seperti misalnya Instagram juga tak luput dilakukan untuk menumbuhkan kesadaran pada masyarakat terutama anak muda tentang SDGs.
SDGs pada dasarnya tidak berbeda dengan kegiatan sosial karena tujuan-tujuan dalam SDGs sebenarnya bersifat universal serta mencakup banyak isu dan atau permasalahan yang berkembang di dalam masyarakat. Dengan kata lain untuk ikut serta dalam menyukseskan SDGs tidak harus dengan mengikuti organisasi-organisasi SDGs semata, namun mengikuti organisasi dan proyek-proyek sosial lain pun sudah dapat ikut menyukseskan SDGs. Pergunakanlah organisasi atau saluran-saluran yang telah ada. Peran anak muda disini lebih bertitik berat kepada turut serta dalam mensosialisasikan SDGs kepada masyarakat luas serta ikut meramaikan implementasi tujuan-tujuan SDGs melalui kegiatan-kegiatan sosial yang dapat dilakukan di level komunitas-komunitas anak muda. Dari penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa membangun atau memiliki organisasi yang berfokus pada SDGs tentu akan lebih baik karena pelaksanaan SDGs akan menjadi lebih terorganisir, namun jangan sampai hal ini menjadi fokus usaha yang justru akan meninggalkan tujuan dari SDGs itu sendiri : membuat perubahan.
Membuat perubahan selalu diawali dari diri sendiri. Kalimat ini mungkin sudah sering kita dengar, namun betul adanya. Lihat saja sifat kegiatan organisasi WMB di atas, yang bergerak dari konsep “youth empowerment atau sebagai ajang pemberdayaan (diri sendiri)” menjadi “sosialisasi serta penumbuhan kesadaran dalam masyarakat”. Dari menumbuhkan kesadaran (growing awareness) menjadi menyebarkan kesadaran (spreading awareness). Kesadaran, bahwa masih banyak isu dan permasalahan yang mendera masyarakat sedunia, entah itu isu keadilan sosial, isu ekologis, dan lain-lain. Kesadaran, bahwa orang muda sebagai agen perubahan harus melakukan sesuatu bagi dunia ini. Kesadaran, bahwa tidak bersuara atau melakukan apapun sama saja dengan membiarkan bahkan mendukung ketidakadilan dan kerusakan tersebut. Dan akhirnya kesadaran, bahwa jika ketidakadilan dan kerusakan tersebut terus berjalan tanpa ditentang, diubah, atau dihapuskan, maka ide bahwa di masa depan bumi ini menjadi tidak layak lagi ditinggali atau masyarakat berkonflik sampai pada titik hari kiamat diwujudkan dengan perang nuklir, bukan lagi menjadi ide yang asing dan mengawang-awang.
Apa yang dapat dilakukan ? 17 tujuan SDGs yang dicanangkan PBB dapat dianggap sebagai agenda ambisius yang transformatif, namun bukan berarti mustahil dicapai. Tiap tujuan SDGs saling berkaitan dan sebenarnya sangat mudah dipraktikkan. Mulailah dari diri sendiri dan lingkungan sekitar. Misalnya untuk mengurangi food waste / sampah makanan (lihat tujuan SDGs nomor 2) cukup dimulai dengan kita bertanggungjawab menghabiskan makanan yang telah kita ambil. Kultur buruk di Indonesia ialah tiap orang cenderung mengambil makanan sebanyak-banyaknya tanpa mempertimbangkan kapasitas perut mereka. Akibatnya makanan menjadi terbuang percuma, padahal di sekitar kita masih banyak orang-orang yang kelaparan, yang tiap hari harus berjuang keras mendapatkan sesuap nasi (benar-benar sesuap secara harafiah). Tidak aneh jika Indonesia dinobatkan sebagai negara kedua sedunia sebagai pembuang makanan terbanyak setelah Arab Saudi, dengan tiap orang Indonesia membuang sebanyak 300 kg makanan setiap tahunnya [7]. Apakah kita orang Indonesia akan terus membanggakan prestasi hebat ini ?
Habiskan makanan kita, atau donasikan jika masih layak konsumsi. Hal yang sama berlaku pula untuk pakaian. Perilaku konsumerisme kita menjadikan kita membeli pakaian sebanyak-banyaknya, walaupun sebenarnya pakaian yang layak pakai masih banyak tersedia di rumah, bahkan menumpuk belum terpakai. Selain pengurangan kuantitas pembelian pakaian, terdapat beberapa merk pakaian yang belum memenuhi standar, seperti misalnya tidak ramah lingkungan atau mempekerjakan pekerja anak (di bawah umur). Ambil contoh merk H&M (dari Swedia) yang pernah dikecam karena mempekerjakan anak berumur 14 tahun selama 12 jam sehari [8], atau merk Zara (dari Spanyol) yang pernah dituntut atas 52 pelanggaran oleh Kementerian Ketenagakerjaan Brazil karena para pekerjanya dari dua pabrik di Sao Paulo (Brazil) bekerja di lingkungan kerja yang tidak sehat, dikontrak kerja secara ilegal, mempekerjakan anak di bawah umur (terdapat seorang gadis berusia 14 tahun), jam kerja yang tidak manusiawi (16 jam sehari), upah di bawah standar, dan pelanggaran-pelanggaran lainnya [9].
Fakta-fakta di atas bukanlah merupakan suatu ajakan boikot suatu merk dagang tertentu, namun mengajarkan kepada kita bahwa sebagai konsumen akhir kita memegang peranan penting atas keberlangsungan atau terhapusnya ketidakadilan (terkait tujuan SDGs nomor 8). Selain itu, kebijaksanaan kita dalam membeli barang konsumsi terkait dengan tujuan SDGs nomor 12, yaitu produksi dan konsumsi yang berkelanjutan. Ingatlah hukum ekonomi bahwa penawaran terjadi karena adanya permintaan. Jika konsumen akhir bijak dalam membeli, maka produsen mau tak mau akan ‘terpaksa’ bijak dalam memproduksi. Otomatis hal ini akan mengurangi sumber daya yang dipakai, bahkan mengurangi sumber daya yang terbuang sia-sia karena hanya digunakan untuk memproduksi barang-barang yang menjadi sampah, entah sampah makanan atau pakaian. Bayangkan seberapa besar dampak sosial yang dapat kita buat dalam mencegah anarki produksi hanya dengan tindakan ‘kecil’ kita yang secara selektif memilih dan membeli produk yang kita butuhkan, bukan yang kita inginkan.
Kegiatan-kegiatan lainnya yang berhubungan dengan isu ekologis (tujuan SDGs nomor 13, 14, atau 15) juga terbilang banyak. Yang paling sederhana adalah tidak membuang sampah sembarangan. Terdengar klise, tapi mari bersama mengakui, sudah berhasilkah kita melakukannya ? Pada tahun 2016 saja, jumlah sampah di muka Bumi sudah mencapai 2,01 miliar ton dan diprediksi akan bertambah 70% pada tahun 2050 (setara 3,4 miliar ton) kecuali jika suatu tindakan bersama segera diambil [10]. Bahkan sekedar menggunakan peralatan makan-minum yang dapat digunakan berulang kali (reusable) akan sangat berdampak mengurangi kuantitas polusi plastik di dunia. Bersama kita bisa mencegah kasus seperti hidung penyu di Kosta Rika yang tertusuk sedotan plastik [11] atau seekor paus pilot yang harus mati kesakitan di Thailand selatan karena menelan lebih dari 80 tas plastik seberat 8 kilogram [12]. Komunitas-komunitas anak muda diharapkan berperan besar dalam isu-isu seperti di atas karena mereka-lah gerbong lokomotif perubahan tidak hanya di Indonesia, namun juga dunia.
Komunitas-komunitas anak muda akan jauh lebih terbantu apabila pemerintah juga turut serta membuat kebijakan kebijakan publik yang selaras atau mendukung SDGs. Misalnya pemerintah dapat lebih menggalakkan kurikulum keadilan sosial atau kelestarian lingkungan hidup yang kemudian dibarengi praktik nyata, bukan hanya teori. Pemerintah pun sebenarnya ikut terbantu dengan adanya komunitas-komunitas anak muda ini dalam mengampanyekan SDGs. Ditambah lagi, youth communities dan masyarakat juga dapat menjadi pengawas pemerintah dalam mencanangkan program-program pembangunan yang berkelanjutan. Kritik yang membangun wajib (bukan ‘dapat’) diberikan apabila pemerintah mencanangkan program atau membuat kebijakan yang tidak berpihak pada 17 tujuan SDGs.
Di sisi lain, komunitas-komunitas anak muda juga tak seyogianya alergi pada otokritik. Dewasa ini secara umum terdapat tiga (3) kelemahan pada komunitas-komunitas anak muda yaitu kurangnya Sumber Daya Manusia (SDM) / anggota yang berkomitmen, kurangnya dana, dan kurangnya kemampuan menjangkau grassroot / kalangan akar rumput.
Pertama-tama patut diperhatikan bahwa karena keanggotaan komunitas anak muda bersifat sukarela (voluntary), maka kegiatannya pun berbasis sukarela. Untuk beberapa anak muda yang peduli pada isu tertentu, ia dengan sendirinya akan vokal menyuarakan keresahannya & akan ikut memberikan solusi dalam isu terkait tujuan SDGs nomer kesekian. Tetapi mereka yang tak terlalu berminat dengan proyek tersebut akan menyumbang partisipasinya saja alias menjadi pengikut pasif. Selain itu terdapat pula anak muda atau mahasiswa yang mengikuti komunitas hanya untuk mempercantik riwayat hidupnya (CV) saja, dimana terlihat ‘barisan’ organisasi yang pernah dimasukinya (catatan : penulis sengaja tidak menggunakan diksidiikuti”). Individu-individu yang demikian tidak terlalu peduli dengan kegiatan sosial, dan bahkan berdampak negatif kepada anggota-anggota lainnya yang ikut-ikutan ‘lenyap’. Kinerja komunitas secara keseluruhan pun akan turut menurun seiring lingkaran setan yang terus berputar ini.
Kelemahan kedua ialah kurangnya pendanaan. Tak dapat dipungkiri lemahnya finansial akan membuat para anak muda tidak dapat membuat kegiatan sosial berdaya jangkau luas. Ketika pendonor dana didapatkan pun, adakalanya youth community justru dimanfaatkan untuk kepentingan si pemberi donor (ditunggangi oleh pemilik modal) sehingga kegiatan sosial yang diadakan pun hanya terkesan berfungsi sebagai pencitraan atau usaha membangun imaji (branding) saja. Walaupun demikian, sisi positif yang dapat diambil dari kondisi buruk tersebut adalah komunitas tetap terbantu dalam mempertahankan eksistensinya atau melaksanakan kegiatannya. Maka sekalipun Tan Malaka pernah berkata bahwa idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki oleh para pemuda, semua itu kembali pada pertanyaan manakah yang akan dipilih, apakah idealisme atau kepentingan taktis. Menggadaikan idealisme seringkali bergerak bersamaan dengan mengabdi kepada modal (uang).
Yang terakhir ialah kurang sesuainya pendekatan-pendekatan yang digunakan oleh komunitas anak muda. Misalnya saat akan menyuarakan keadilan / kesetaraan yang tujuannya menjangkau ke kalangan akar rumput, seringkali komunikasi / pola bahasa yang digunakan masih eksklusif. Narasi yang digunakan pun masih memakai kata-kata yang sulit dimengerti kalangan umum. Pemilihan tema dan isu-nya pun seringkali juga eksklusif. Pemakaian bahasa asing pun (umumnya bahasa Inggris) tidak memperhatikan kondisi subjek yang dituju. Contohnya kalangan ibu rumah tangga (IRT) akan kesulitan mencerna istilah "gender equality" (kesetaraan gender) atau "gender equity" (keadilan gender), begitu pula anak jalanan akan sulit memahami istilah "gaya hidup berkelanjutan" atau "go green". Hal ini mengakibatkan pesan yang hendak disampaikan juga tak akan tercapai oleh subjek yang dituju karena telah berbeda frekuensi.
Akhir kata, walaupun terdapat berbagai kendala, komunitas anak muda tetap berperan sebagai agen perubahan masyarakat bahkan dunia. Keberanian, energi masa muda, dan ide-ide kreatif mereka sangat memungkinkan 17 tujuan SDGs tercapai pada tahun 2030. Mengubah kebiasaan buruk suatu masyarakat, menghapus ketidakadilan dalam berbagai bentuknya, bahkan ‘memaksakan’ perubahan positif demi pembangunan dan kehidupan yang lebih baik serta adil bukanlah hal yang mustahil. Mengubah suatu negara atau bahkan dunia bukanlah ide yang abstrak. Ia sangat mungkin dicapai, tentunya dengan melibatkan anak muda sebagai motor penggerak perubahan. Sebagaimana yang telah dikatakan Bapak Pendiri Bangsa, Bung Karno :
“Beri aku 1.000 orang tua,
niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya.
Beri aku 10 pemuda,
niscaya akan kuguncangkan dunia !

Jadi mari pemuda-pemudi, kita membangun sebuah dunia baru !

Referensi :
[1]          United Nations. Youth. Diakses dari https://www.un.org/en/sections/issues-depth/youth-0/index.html. Diakses pada 14 Juni 2020.
[2]          Wikipedia. Youth. Diakses dari https://en.m.wikipedia.org/wiki/Youth#:~:text=The%20United%20Nations%20defines%20youth,states%20such%20as%2018-30. Diakses pada 14 Juni 2020.
[3]          World Health Organization. Adolescent Health. Diakses dari https://www.who.int/southeastasia/health-topics/adolescent-health. Diakses pada 14 Juni 2020.
[4]          United Nations. Millennium Development Goals and Beyond 2015. Diakses dari https://www.un.org/millenniumgoals/. Diakses pada 14 Juni 2020.
[5]          United Nations. About the Sustainable Development Goals. Diakses dari https://www.un.org/sustainabledevelopment/ sustainable-development-goals /. Diakses pada 14 Juni 2020.
[6]          World Merit. Diakses dari https://worldmerit.org/. Diakses pada 14 Juni 2020.
[7]          Barilla Center for Food and Nutrition. Food Sustainability Index. Diakses dari https://foodsustainability.eiu.com/food-loss-and-waste /. Diakses pada 14 Juni 2020.
[8]          The Guardian. H&M Factories in Myanmar employed 14-yeard-old workers. Diakses dari https://amp.theguardian.com/business/2016/aug/21/hm-factories-myanmar-employed-14-year-old-workers. Diakses pada 14 Juni 2020.
[9]          Daily Mail. Zara accused of employing children as young as 14 in ‘slave labour’ factories in Brazil. Diakses dari https://www.dailymail.co.uk/femail/article-2028041/amp/Zara accused-employing-children-young-14-slave-labour-factories-Brazil.html. Diakses pada 14 Juni 2020.
[10]      The World Bank. Global Waste to Grow by 70 Percent by 2050 Unless Urgent Action is Taken: World Bank Report. Diakses dari https://www.worldbank.org/en/news/press-release/2018/09/20/global-waste-to-grow-by-70-percent-by-2050-unless-urgent-action-is-taken-world-bank-report. Diakses pada 14 Juni 2020.
[11]      National Geographic. How Did Sea Turtle Get a Straw up its Nose ?. Diakses dari https://www.nationalgeographic.com.au/animals/how-did-sea-turtle-get-a-straw-up-its-nose.aspx. Diakses pada 14 Juni 2020.
[12]      National Geographic. How Did Sea Turtle Get a Straw up its Nose ?. Diakses dari https://www.nationalgeographic.com.au/animals/how-did-sea-turtle-get-a-straw-up-its-nose.aspx. Diakses pada 14 Juni 2020.
[13]      The Guardian. Whale dies from eating more than 80 plastic bags. Diakses dari https://www.theguardian.com/environment/2018/jun/03/whale-dies-from-eating-more-than-80-plastic-bags. Diakses pada 14 Juni 2020.



Tulisan oleh Yohanes, anggota Sekolah Damai Indonesia Bandung

Minggu, 07 Juni 2020

Ular: Kepedulian Lingkungan Hidup dalam COVID-19

Setiap tanggal 5 Juni diperingati sebagai hari Lingkungan Hidup Sedunia. Pada tahun 2020 kini, hari tersebut dilalui bersamaan dengan masa pandemi yang sudah barang tentu terkait dengan persoalan lingkungan hidup. Sejujurnya isu lingkungan hidup memiliki banyak masalah-masalah yang spesifik di dalamnya. Misalnya problem perubahan iklim, polusi, sampah, taman nasional, cagar alam, bentang alam, hingga merambah mengenai masalah keanekaragaman hayati dan ekosistemnya. Salah satu alasan yang mendorong manusia untuk selalu peduli terhadap lingkungan ialah karena jika suatu lingkungan sakit, maka dapat dimungkinkan manusia di dalamnya juga sakit.

Pada masa pandemi ini, muncul isu yang menyatakan bahwa salah satu penyebar virus Covid-19 yaitu satwa liar. Kelelawar dan ular kerap disebut-sebut sebagai biangnya. Ular selalu menarik untuk diperbincangkan dalam isu pelestarian lingkungan hidup sebagai satwa yang sering mendapatkan label buruk.

Indonesia memiliki 350 spesies ular, fakta ini menjadikan Indonesia sebagai negara yang paling kaya dalam keanekaragamannya akan ular. Bandingkan dengan UK yang hanya memiliki 12 spesies ular saja, tidak ada ular yang berbisa dan tidak ada ular yang membelit. Dari 350 spesies tersebut, ular dalam kategori high venom dijumpai 76 spesies. Ada 33 spesies high venom yang hidup di darat, sedangkan 43 spesies lagi hidup di laut.

Beberapa jenis ular sudah tak asing lagi dalam keseharian. Misalnya saja ular albolabri sebagai jenis yang paling banyak menggigit petani. Kemudian ular kobra yang jika dalam posisi menyerang, kepalanya akan tegak dan lehernya akan mengembang. Ular welang dan ular weling yang berkerabat namun berbeda perilaku dan jenis bisanya. Lalu ada ular king kobra yang menghasilkan cairan paling mahal di dunia.

Mendengar kata ular, banyak orang yang lekas menghindar. Ia diidentikkan dengan sifat-sifat buruk, terkesan menyeramkan, dan dekat dengan kejahatan. Bahkan lebih jauh lagi, ular dianggap sebagai hewan berbahaya yang mampu membunuh manusia dengan sekali gigit atau membunuh manusia dengan membelit. Anggapan tersebut ada benernya, namun tak bisa dijadikan alasan untuk mengeneralisasi. Nyatanya ada ular yang memiliki bisa tinggi dan mampu membunuh manusia dalam hitungan menit seperti ular laut. Beberapa orang bahkan menyebutnya dengan julukan ular dua langkah. JIka digigit olehnya, dua langkah kemudian dia yang tergigit akan meninggal. Begitupun dengan ular piton dengan belitannya yang kuat dapat membunuh manusia.

Ketakutan terhadap ular seakan-akan mengizinkan manusia untuk bertindak sesukanya. Banyak ular yang dibunuh karena alasan jijik atau mengganggu. Misalnya saja kasus ular yang masuk ke dalam rumah, yang sering diburu untuk sekedar dimusnahkan. Sebetulnya ular tersebut adalah ular yang tersesat. Ia sedang mencari mangsa atau tempat nyaman untuk menghindar dari habitat yang rusak atau terganggu. Dengan demikian, cara terbaik agar ular tidak masuk ke dalam rumah ialah membuat rumah yang tidak dihuni oleh satwa-satwa santapan ular. Ingat, ular merupakan bagian dari lingkungan yang memiliki peran yang tak kalah penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem.

Kegagalan masyarakat dalam memahami ular tercermin juga dalam perilaku orang-orang yang banyak menjadikan ular sebagai hewan peliharaan. Padahal ular merupakan hewan liar dan tidak pernah dapat menjadi hewan jinak. Kekecauan pemahaman ini bercampur dengan anggapan-anggapan yang tidak berangkat dari pengetahuan ilmiah. Misalnya mengenai ular yang takut dengan garam dan injuk atau empedu ular sebagai sumber vitalitas tubuh. Lalu anggapan tentang ular yang dapat menemukan jalan pulangnya, sehingga jika menemukan ular biasanya langsung dibunuh. Semestinya sikap yang diutamakan yaitu sikap tenang, sebab jika kepanikan yang didahulukan dapat memprovokasi ular sehingga ia akan menyerang.

Secara sederhana ciri-ciri ular yang berbisa dapat diperhatikan lewat bentuk kepalanya, walaupun tidak semua ular berkepala segitiga berbisa. Kemudian perhatikan warnanya, terutama jika ada ular yang berwarna merah, meskipun belum tentu setiap ular yang memiliki warna merah itu berbisa. Terakhir perhatikan juga coraknya, walaupun tidak semua ular belang-belang itu berbisa juga.

Selain masalah di atas, pemerintah juga belum secara maksimal menyokong venom center yang berkualitas baik. Padahal apabila memerhatikan data kasus orang yang terkena gigitan ular cukup banyak. Korban tewas karena gigitan ular per Januari sampai hari ini yang terdaftar oleh Yayasan Sioux Indonesia sekitar 17 orang. Khusus Jawa Barat merupakan provinsi terbanyak dengan korban meninggal karena gigitan ular ini.

Hewan yang banyak dijadikan simbol pengobatan ini malah dijadikan ladang berbisnis tanpa perimbangan konservasi alam, begitupun bahasan tentang ular hanya menyoal hobi semata. Memang berbicara tentang hidup damai bersama ular masih butuh waktu yang panjang. Semestinya Indonesia punya pendidikan khusus tentang ekologi, karena keanekaragaman hayati Indonesia begitu banyak termasuk ular. Pendidikan lingkungan hidup lagi tidak sekedar menggumuli teori, namun melibatkan aksi nyata. Sebab manusia tidak pernah berdiri sendiri, ia merupakan bagian dari sistem ekologi yang kompleks.

Ayo bekali diri dengan pengetahuan, bukan dengan ketakutan!

Penulis: Arfi Pandu Dinata