Oleh
Selasa, tanggal 6 Desember 2022, sejak pukul 16.00 sore, suasana di Ruang Audio Visual, Museum Konferensi Asia Afrika, Bandung, terasa lebih 'meriah' dengan kedatangan Sekolah Damai Indonesia (SEKODI) Bandung, diwakili Aries Hardianto, sebagai salah satu pembicara. SEKODI Bandung turut mengundang Tobing Jr mewakili LayarKita, serta Miftahul Huda untuk Intitiatives Of Changes (IOfC) Indonesia sebagai pembicara dalam movie screening “Iron Jawed Angels”.
Review Iron Jawed Angels
Film Iron Jawed Angels adalah film biopic tentang gerakan perjuangan wanita-wanita di US untuk mendapatkan hak pilih. Berfokus pada Alice Paul (Hilary Swank) dan Lucy Burns (Frances O’Connor), dua orang aktivis yang memperjuangkan hak-hak perempuan di era First-Wave Feminism yang berlangsung di awal abad ke 20.
Kisah Paul dan Burns dalam film ini diawali dengan rencana mereka untuk berkampanye di Washington D.C. dibawah nama Komite Kongres National American Woman Suffrage Association atau NAWSA dengan izin dari Carrie Chapman Catt yang diperankan oleh Anjelica Huston saat inagurasi Presiden US ke 28, Woodrow Wilson. Film ini menceritakan perjuangan mereka dalam gerakan Suffrage, pembentukan Partai Nasional Wanita (NWP), dan aksi Silent Sentinels yang melibatkan 2000 orang lebih wanita di depan Gedung Putih. Sutradara Katja Von Garnier mengemas kisah perjuangan ini dalam pandangan yang lebih kontemporer. Dengan lagu-lagu modern, camerawork yang membingungkan, dan teknik edit yang terlihat seperti sebuah musik video, rasanya keseriusan kisah perjuangan itu pun kurang tersampaikan. Meskipun memiliki kelemahan dalam teknis pengemasan, film ini menampilkan penampilan memukau dari Julia Ormond sebagai Inez Milholland dan Vera Farmiga sebagai Ruza Wenclawska.
Banyak sekali karakter dan adegan-adegan fiksi singkat namun sangat penting dan relevan. Salah satu adegan fiksi yang berkesan adalah ketika Ida B. Wells (Adilah Barnes) menolak arahan Paul tentang wanita Afrika-Amerika untuk berdiri di belakang barisan saat pawai. Adegan ini menunjukan bahwa dalam gerakan Suffrage pun masih melekat dengan isu rasisme dan jalan wanita Afrika-Amerika menuju kesetaraan pun masih sangat jauh dan sulit. Adegan berkesan lainnya adalah ketika Emily Leighton (Molly Parker) datang ke kantor NWP untuk memberikan sumbangan, Paul berkata bahwa ia adalah beban dari perjuangan wanita karena Emily tunduk pada suaminya yang adalah seorang senator. Adegan ini menjadi relevan karena tidak sedikit wanita yang memandang rendah peran seorang ibu rumah tangga dan lupa adanya peran budaya patriarki yang memaksa mereka untuk tunduk pada keadaan sehingga kesempatan mereka untuk berkembang pun sulit didapat. Emily Leighton adalah karakter menarik yang mewakili perjuangan ibu rumah tangga dengan sangat baik. Selain itu, karakter fiksi Ben Weissman (Patrick Dempsey) yang terlibat dalam kisah cinta sesaat dengan Alice Paul pun sangat penting dalam menunjukan dedikasi seorang Alice Paul untuk terus berjuang sampai semua wanita mendapatkan haknya.
Film yang berdasarkan pada kisah bagaimana perempuan-perempuan mendapatkan haknya adalah ide dan sarana pemberdayaan wanita yang bagus, namun kisah paling luar biasa pun butuh dikemas dengan baik dan menarik.
Apa yang Kita Bicarakan?
Diskusi mengenai penayangan film “Iron Jawed Angels” memberi kesempatan untuk para peserta untuk merenung dan memikirkan kembali betapa hebatnya perjuangan perempuan untuk mendapat hak-haknya.
Para pembicara mengajak peserta untuk mencari siapa Alice Paul dalam kehidupan kita. Bagi Miftahul Huda ( IOFC ), Alice Paul dalam kehidupannya adalah Marsinah, seorang aktivis dan buruh pada masa Orde Baru, yang dibunuh dan ditemukan pada tanggal 9 Mei 1993. Menempuh jalan yang sama seperti Alice Paul, Marsinah selalu memperjuangkan hak dan nasib rekan-rekannya.
Salah satu peserta pun memberikan poin menarik bagaimana US butuh 200 tahun untuk memberikan hak pilih pada wanita dan masih belum mempunyai presiden wanita, sedangkan Indonesia yang baru merdeka di tahun 1945 sudah mempunyai aturan bahwa semua warganya berhak untuk memilih dan pernah memiliki presiden wanita. Memang betul hal tersebut adalah hal yang membanggakan, namun warga pun tidak boleh lupa akan adanya privilege yang diberikan oleh para pendahulu.
Perjuangan Alice Paul, Lucy Burns, Marsinah, dan wanita-wanita lainnya bukanlah hal yang mudah. Jalan yang mereka tempuh adalah jalan yang jauh dan sulit namun bukanlah suatu ketidakmungkinan. Kesetaraan dapat dicapai jika semua kalangan turut andil untuk berjuang untuk mendapatkan hak-haknya. Karena bagaimanapun juga, kita semua adalah manusia dengan hak asasi yang sama dan setara.