"Apakah kita terpenjara oleh diri kita sendiri?
Tidak mudah untuk menjawab pertanyaan itu.
Pertanyaan saya justru apakah kita bisa benar-benar bebas?"
Sejak lahir, siapapun di dunia ini langsung terpenjara dalam tatanan sosial yang berkaitan dengan gender, agama, suku, budaya, sosial ekonomi, bahkan politik nasional dan global.
Misalnya, begitu brojol bayi perempuan akan diberi nama yang menurut sosial merupakan nama perempuan, begitu juga anak laki-laki, menggunakan nama yang biasa digunakan untuk laki-laki. Warna baju juga sudah ditentukan mana untuk anak perempuan dan mana untuk anak laki-laki.
Anak yang lahir di keluarga muslim akan dibesarkan dengan aturan dan cara-cara Islam, begitu juga anak-anak yang lahir di keluarga dengan agama lain. Mayoritas muslim di Indonesia adalah muslim sejak lahir, tidak memilih menjadi muslim tapi sejak lahir diajarkan dan disosialisasi sebagai muslim. Orang sunda, Jawa, Melayu, Batak, Melanesia akan memberlakukan aturan, adat istiadat yang berlaku dalam kelompoknya kepada anak-anaknya.
Kita tidak bisa memilih itu semua. Semua tatanan sosial, budaya, dan agama diajarkan, disosialisasikan kepada kita tanpa persetujuan. Tapi walaupun tanpa persetujuan, tatanan tersebut terinternalisasi dalam diri kita dan menjadi bagian yang melekat dalam cara berpikir, bertindak, bergerak, dan merasa. Membentuk persepsi mana yang biasa dan tidak biasa, mana yang normal dan tidak normal, mana yang wajar dan tidak. Akhirnya tanpa disadari kita pun diatur, dibelenggu, dan dibatasi dengan sukarela.
Nilai-nilai yang ditanamkan kepada kita dan terinternalisasi di dalam diri kita akan menjadi standar baik buruk yang akan kita berlakukan kepada diri sendiri dan juga pada orang lain. Nilai-nilai ini tidak hanya tertanam secara individual, tetapi juga secara kolektif. Ada tatanan nilai yang diakui, diagungkan, dan dijadikan standar kolektif.
Manusia itu kompleks, Adam Smith mengatakan bahwa manusia adalah makhluk sosial, artinya manusia membutuhkan interaksi dengan orang lain. Manusia membutuhkan konfirmasi dari orang lain bahwa ia diterima, ia belong to one group. Kebutuhan inilah yang membuat manusia “terpenjara” karena dituntut untuk selalu memuaskan harapan orang lain demi pengakuan dari orang lain.
Permasalahannya adalah kita seringkali tidak sadar bahwa perilaku dan keputusan-keputusan yang kita buat sangat kuat dipengaruhi oleh persepsi kita tentang harapan masyarakat atau orang lain terhadap diri kita.
Untuk konteks Indonesia, di mana budaya dominannya mengusung kolektivitas, kebutuhan akan pengakuan sosial ini lebih tinggi daripada di negara-negara yang mengusung individualitas. Untuk masyarakat Indonesia, standar-standar kolektif itu jauh lebih penting dibandingkan standar pribadi. Penyimpangan pada standar-standar kolektif dianggap sebagai ancaman terhadap kohesivitas kelompok dan ancaman terhadap tatanan sosial-kemasyarakatan atau social order.
Lalu bagaimana struktur yang membelenggu diri manusia ini dipertahankan?
Untuk mempertahankan tatanan sosial-budaya-kemasyarakatan, suatu komunitas/kelompok/masyarakat memiliki mekanisme yang biasa disebut ‘othering’ atau “meliyankan” melalui pembentukan diskursus-diskursus dominan yang memiliki kuasa untuk menentukan tentang apa itu normal dan tidak normal, baik dan tidak baik. Michel Foucault menyebutnya sebagai “normalising power”.
Salah satu mekanismenya adalah: menciptakan stigma-stigma negatif terhadap segala sesuatu yang bisa mengancam tatanan yang sudah menjadi status quo. Contohnya stigma janda. Stigma ini dibentuk untuk mempertahankan status quo bahwa menikah dan berkeluarga itu adalah status yang paling terhormat di masyarakat. Bukan hanya mempertahankan posisi “keluarga” di dalam tatanan masyarakat, tetapi juga mempertahankan posisi laki-laki sebagai kelompok yang superior.
Dengan adanya stigma janda tetapi tidak ada stigma duda, perempuan yang berada dalam pernikahan yang toksik akan sulit untuk meninggalkan pernikahan tersebut, sulit mengambil keputusan karena takut dengan konsekuensi stigma negatif tentang status janda. Sedangkan duda, tidak mendapat stigma negatif seperti janda, bahkan duda dianggap keren.
Stigma-stigma negatif terhadap sesuatu dapat menahan individu untuk menunjukkan diri dengan sejujur-jujurnya, bahkan menahan individu untuk melakukan sesuatu yang sebetulnya ingin diraihnya atau bahkan sesuatu yang sesungguhnya bisa menyelamatkan dirinya. Contohnya pada kasus kekerasan domestik atau kekerasan dalam pacaran. Seorang perempuan seringkali enggan untuk mengajukan perceraian dengan suaminya yang abusive. Selain intimidasi dari sang pelaku kekerasan, kecemasan terhadap stigma sosial tentang perceraian juga seringkali menjadi alasan korban kekerasan untuk bertahan dalam pernikahan abusive-nya. Stigma tentang keperawanan juga seringkali menjebak perempuan untuk tetap bertahan dalam hubungan pacaran yang abusive dan tidak sehat.
Bagaimana diskursus-diskursus dominan ini disebarkan di masyarakat?
Diskursus dominan disebarkan melalui berbagai cara dan dengan menggunakan berbagai media baik yang formal maupun informal. Institusi formal seperti institusi pemerintahan melalui kebijakan-kebijakannya atau sekolah melalui apa yang diajarkannya secara eksplisit maupun implisit. Institusi lain adalah institusi-institusi budaya, termasuk produk budaya populer, seperti lagu-lagu, iklan, film, novel, dan banyak produk budaya populer lainnya. Contohnya diskursus dominan tentang cantik itu putih tersemat dalam berbagai iklan produk kecantikan. Di kebanyakan iklan pemutih wajah tersebut perempuan berkulit gelap dan kusam hampir selalu digambarkan murung dan tidak bahagia. Secara tiba-tiba setelah sang perempuan menggunakan produk pemutih yang diiklankan wajahnya terlihat sumringah dan lebih bahagia.
Nilai-nilai dan standar-standar dalam diskursus dominan ini lalu mempenetrasi individu secara halus dan tanpa disadari mempengaruhi individu dalam berpikir dan bertindak.
Salahkah jika kita mengikuti diskursus dominan atau struktur?
Saya berpendapat bahwa yang paling penting adalah memahami bahwa kita tidak bebas dan sangat kuat dipengaruhi struktur. Pada akhirnya memang akan kembali pada perasaan subjektif tentang apa yang kita jalani dalam kehidupan. Ketika seorang perempuan memilih mengikuti struktur tradisional sebagai istri dan ibu yang tinggal di rumah, dan proses memilih dilakukan secara mandiri dengan berbagai pertimbangan subjektif yang matang tanpa intervensi ataupun paksaan dari pihak lain, maka bisa jadi keputusannya mengikuti struktur menjadi sumber kebahagiannya.
Tetapi ketika suatu struktur membuat kita gelisah dan menderita maka itulah saatnya kita menjalankan agensi yang kita miliki, yaitu membuat perubahan dan melawan struktur yang membelenggu tersebut. Contohnya pada kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga. Seperti yang sudah saya sebutkan di atas, banyak perempuan yang memilih untuk bertahan dalam pernikahannya yang abusive karena takut dengan predikat janda yang rentan terhadap stigma sosial. Saat ini lah, menurut saya, sang perempuan perlu menggunakan agensinya untuk mendobrak struktur sosial yang memenjarakan dia dalam pernikahan yang tidak membahagiakan tersebut.
Jadi, yang terpenting menurut saya adalah kemampuan kita dalam melakukan refleksi diri. Refleksi diri yang saya maksud di sini adalah refleksi diri model foucauldian yaitu melakukan interogasi terhadap diri sendiri tentang apa yang membentuk cara berpikir, nilai dan standar moral yang kita yakini kebenarannya. Dengan mengenali dengan baik darimana kebenaran yang kita yakini tersebut berasal, maka kita akan lebih mudah membuat keputusan untuk melakukan sesuatu yang dapat mendobrak ataupun mengikuti (rezim) kebenaran tersebut. Dengan demikian keputusan yang kita ambil dalam bertindak dapat lebih jernih, apakah keputusan kita tersebut untuk kepentingan kita atau untuk kepentingan struktur yang membelenggu kita.
Terkadang, kita dihadapkan pada kondisi dilematis di mana terjadi konflik antara diri dan struktur. Di satu sisi kita sadar apa yang sesungguhnya kita inginkan tetapi sulit sekali diwujudkan karena kita pun tidak mungkin mendobrak struktur sosial yang sangat kuat, terutama jika keputusan kita akan berdampak pada orang-orang terdekat kita, seperti pasangan, anak, orang tua, sahabat dan significant others lainnya. Lalu apa yang harus kita lakukan?
Meminjam istilah manajemen organisasi, kita harus mencari win-win solutions. Bagaimana caranya? Negosiasi!
Yang mempelajari psikologi tentu sangat familiar dengan istilah equilibrium dan homeostasis yang keduanya merujuk kepada kebutuhan manusia untuk mencapai keseimbangan baik secara fisik, fisiologis, psikologis, dan kognitif. Interaksi manusia dengan dunia subjektif (tentang aku dan aku) dan dunia lain dirinya yang berkaitan dengan hal-hal di luar dirinya (tentang aku dan yang lain) juga memerlukan keseimbangan.
Dalam konteks sosial, keseimbangan ini diperoleh melalui dialog untuk mencapai kesepakatan dan kemufakatan. Dialog tidak melulu dengan orang lain, dialog juga dilakukan oleh diri sendiri antar berbagai sisi dari diri. Kita harus mampu bernegosiasi dengan diri sendiri, menimbang berbagai bagian dari diri kita dengan adil dan mencari jalan tengah yang tidak merugikan salah satu sisi dari diri kita.
Misalnya, sebagai seorang perempuan yang dibesarkan dalam budaya tradisional yang menempatkan perempuan sebagai istri dan ibu tentunya keinginan menikah dan memiliki anak menjadi keinginan yang seakan-akan natural untuk saya. Tetapi di sisi lain, saya juga terpapar ideologi-ideologi progresif sehingga saya juga memiliki cita-cita yang tinggi dan tidak ingin hidup saya hanya seputar dapur, sumur, dan kasur, seperti doktrin tradisional tentang perempuan. Jika memutuskan untuk tidak menikah, tentu itu tidak sesuai dengan nilai yang terinternalisasi dalam diri, walaupun mungkin keluarga besar saya akan santai-santai saja menerima keputusan saya untuk tetap single. Jika menikah tentu akan ada hambatan dalam mencapai obsesi diri pada sisi yang lain. Jadi gimana dong?
Saya melakukan negosiasi: saya hanya akan menikah dengan laki-laki yang mendukung saya berkegiatan di luar rumah, memahami mimpi-mimpi saya dan memiliki pandangan yang egaliter. Saya juga menyusun rencana hidup: kapan menikah, kapan melanjutkan pendidikan, kapan punya anak, dan pekerjaan apa yang bisa saya lakukan agar semua keinginan dan mimpi saya bisa tercapai.
Dalam proses negosiasi, terkadang ada satu sisi yang harus kita tunda atau turunkan target dan standarnya untuk bisa mengakomodasi sisi lain yang juga membutuhkan perhatian. Yang jelas supaya negosiasi diri berhasil, kita harus jujur dan berbaik hati kepada diri kita sendiri!
Bandung, 31 Agustus 2018
Hani Yulindrasari, PhD