Tampilkan postingan dengan label Sekolah Damai Mingguan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sekolah Damai Mingguan. Tampilkan semua postingan

Senin, 12 Agustus 2019

Pertemuan Perdana dan Kedua Sekodi Bandung batch 3: Saling Mengenal





Sekolah Damai Indonesia – Bandung kembali membuka kesempatan untuk siapapun yang ingin bergabung mengembangkan toleransi, mempererat kolaborasi demi terwujudnya transfromasi sosial. Rekrutmen anggota baru dilakukan pada 8-18 Juli 2019. Sekitar 30 orang mendaftarkan diri untuk bergabung. Mereka terdiri dari beragam latar belakang, mulai dari usia, agama, pekerjaan, tempat tinggal, dan aspek yang lain. 

Pada Sabtu, 27 Juli 2019, diadakan pertemuan perdana dengan anggota baru Sekodi Bandung batch 3 di Masjid Mubarak. Kegiatan ini diisi dengan interfaith prayer dan penjelasan tentang Sekolah Damai Indonesia dari pengalaman beberapa peserta sebelumnya. Setelah itu, dilakukan perkenalan dan refleksi tiap anggota, baik yang lama maupun yang baru. Dalam refleksi, para peserta berbagi mengenai pengalaman, perasaan atau keprihatinan yang dimiliki. Sebagian besar peserta mengungkapkan keprihatinan tentang adanya aksi-aksi intoleransi dan diskriminasi yang mereka alami atau mereka perhatikan dalam kehidupan sehari-hari, baik di lingkungan rumah, sekolah, universitas, tempat kerja, maupun di masyarakat. Ada pula peserta yang mengungkapkan keprihatinan tentang sampah dan perilaku orang di jalan, serta tata kota yang kurang ramah bagi pejalan kaki. Sesi refleksi ditutup dengan menonton sebuah tayangan video yang memiliki pesan tentang pentingnya pengenalan dan penerimaan pada diri sendiri. 
Pertemuan perdana ini memang bertujuan untuk saling mengenal satu sama lain, juga mengenal diri sendiri. Peserta pun tampak cukup antusias dengan kegiatan ini. Salah satu peserta berkata bahwa baru sekali ikut, tapi merasa sudah mendapat banyak hal. Agar lebih bisa membagikan damai pada orang lain, pertama-tama kita perlu berdamai dengan orang lain, kira-kira itulah inti pesan dari pertemuan perdana Sekodi Bandung batch 3 kali ini. 

Makna “Damai” “Apa makna ‘damai’ bagimu?” itulah topik utama dari kegiatan Sekodi Bandung yang diadakan hari Sabtu, 4 Agustus 2019 di kantor Peace Generation Bandung. Diawali dengan refleksi masing-masing peserta, kegiatan pun dilanjutkan dengan berdiskusi tentang makna damai. Setiap orang boleh menuliskan apa yang terlintas dalam benak mereka ketika mendengar kata ‘damai’. Berbagai makna ‘damai’ pun bermunculan, ada yang murni pemikiran sendiri berdasarkan pengalaman atau definisi umum di masyarakat, ada pula yang mengacu pada buku atau teori tertentu. Ada pula yang mendefinisikan ‘damai’ secara personal, atau kondisi individual, namun ada pula yang memaknainya sebagai situasi dalam kelompok yang lebih besar. Secara umum, damai lebih sering diartikan sebagai kondisi tidak ada konflik, namun dalam diskusi muncul pertanyaan, “Bukankah damai lebih bermakna, justru ketika ada konflik?” 
Pada akhirnya, tidak ada satu definisi khusus tentang ‘damai’ yang disepakati bersama dalam kegiatan ini. Namun satu hal yang digarisbawahi, bahwa damai itu harus terus menerus diusahakan. Dalam upaya untuk mencapai kedamaian itu, para peserta pun dikenalkan dengan beberapa nilai-nilai tentang toleransi, saling menghargai, empati, rela berkorban, kerja sama, dan lain-lain. Pengenalan nilai-nilai ini dilakukan melalui boardgame, yang merupakan hasil karya teman-teman Peace Generation. Metode boardgame dipilih karena dapat menjadi sarana untuk membagikan nilai-nilai secara menyenangkan dan fleksibel.

Kamis, 04 Juli 2019

Our Partnership














Partnership atau kemitraan merupakan hal penting yang harus dilakukan oleh suatu komunitas, sehingga ke depannya dapat memperpanjang relasi dan kerja sama strategis, terutama dengan lembaga-lembaga yang memiliki perhatian yang sama terhadap isu sosial dan hak asasi manusia. Beberapa kemitraan penting yang dilakukan oleh Sekolah Damai Indonesia Bandung adalah bekerja sama dalam pelaksanaan acara atau menjadi mitra jaringan. Seperti yang dilakukan bersama Jakatarub atau Jaringan Kerja Antar Umat Beragama. Kami terlibat aktif dalam penyelenggaraan acara dan kampanye yang berhubungan dengan toleransi antar agama dan keyakinan. Kami juga berkolaborasi dengan Jaringan Advokasi Jawa Barat berhubungan dengan isu diskriminasi terhadap kelompok minoritas beragama dan kelompok-kelompok perempuan dan anak dalam kekerasan serta minoritas lainnya. 

Bersama jaringan Komunitas Bela Indonesia atau KBI, Sekolah Damai Indonesia Bandung menjalin hubungan strategis dalam pelatihan teman-teman muda untuk melakukan kampanye juru bicara Pancasila. Kami menjadi partner lokal penyelenggaraan pelatihan ini di Bandung. Kampanye ini dilakukan dalam beberapa tools, seperti menulis, membuat video, berdebat, dan konten media sosial. Kerja sama ini bertujuan untuk mencetak juru bicara Pancasila muda yang berkomitmen untuk berpolitik dan berkampanye secara sehat. Setelah ini, sekolah damai bersama KBI Jawa Barat membuat program Fun Millennial Tolerance Camp dengan format pelatihan diskusi, media sosial, video, menulis, serta menggambar karikatur yang berhubungan dengan isu toleransi dan respek antar umat beragama. Acara ini diikuti teman teman SMA di Bandung dan kabupaten yang jarang dilirik oleh komunitas komunitas besar untuk turut serta. 

Sekolah Damai Indonesia Bandung juga bekerja sama dengan forum Halaqah Damai, forum yang digagas oleh susteran RSCJ dan Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan Bandung untuk melakukan diskusi dan kajian damai serta relasi antar umat beragama. Beberapa kali kami terlibat aktif sebagai bagian dari narasumber. 

Sekolah Damai Indonesia Bandung menjadi bagian mitra lokal untuk pelaksanaan acara Kereta Damai Indonesia. Maret 2018 kami menjadi bagian signifikan dari pelaksanaan acara yang melibatkan tokoh-tokoh lintas agama yang berkeliling mengunjungi tempat tempat ibadah sekaligus berdialog di dalamnya. 

27 Juli 2019 mendatang, kami menjadi mitra lokal yang digandeng oleh IRSCG Kupang dan CEDAR USA untuk menyelenggarakan program fellowship Minority and Majority Contemplation and Reflection in Contemporary Indonesia. Fellowship diikuti oleh 35 orang, termasuk 6 orang dari Filipina, Namibia, Amerika, Australia, Rusia, dan Jepang. 

Untuk kelanjutan program kerja kami Juli hingga September mendatang, kami bekerja sama dengan PeaceGen dan Sinode Gereja Kristen Pasundan. Kerjasama ini sebenarnya telah dimulai bulan Mei dengan terlibatnya Peacegen dalam diskusi mingguan kami, serta Sinode Gereja dalam pembuatan video kampanye damai yang akan dirilis juli 2019 ini. 

Beberapa jaringan lainnya yang menjadi mitra kami adalah Layarkita, Aiesec Bandung, World Merit International Bandung, Samahita, Arjuna Pasundan dan Srikandi Pasundan, Komunitas Melek Bersama Bandung, LBH Bandung, ICIP, dan Search for Common Ground. Semoga kerja sama ini tidak berhenti sampai di sini. Salam damai. 






Rabu, 03 Juli 2019

Publikasi Dari Sekodi Bandung untuk Semua

















Publikasi itu penting. Mengapa? Karena dari hal itu kita dapat membuktikan bahwa kerja kita, terutama berkarya di satu komunitas yang berhubungan dengan teman-teman muda dan isu sosial dan hak asasi manusia, bisa mendapatkan pengakuan sekaligus memperkenalkan kerja kita semua. Publikasi bisa awet, tahan lama, dan memungkinkan dibaca oleh para penyimaknya. Foto-foto di atas adalah sebagian karya publikasi 2 teman Sekodi Bandung. Sebagian tulisan lengkap pernah dipublikasikan dalam web ini. Untuk yang lain dapat diakses melalui tautan:



Semoga teman-teman Sekodi Bandung lainnya memiliki motivasi kuat untuk mempertajam karya kerja kita semua lewat tulisan dan publikasi apa pun itu. Salam damai.

A Spark to Remember. A Journey to Share.













 A spark to remember. A journey to share. 

Tampaknya kedua ungkapan di atas tepat untuk menggambarkan rangkaian perjalanan kami, Sekolah Damai Indonesia Bandung atau Sekodi Bandung selama tahun 2018 dari bulan Juli hingga September. Periode yang memerlukan kekompakan teman-teman Sekodi bersama mitra-mitra strategis kami. Antusiasme teman-teman muda Bandung terlihat dari jumlah yang ingin berpartisipasi dalam program rutin kami yang sengaja kami susun untuk melampaui toleransi, namun lebih jauh lagi menerima perbedaan, terlibat bersama serta melakukan usaha-usaha transformasi sosial kedepannya. 

Program Sekodi Bandung pertama dibuka dengan Craft for Peace, di mana melibatkan mitra dari Srikandi Pasundan, satu lembaga yang berperan untuk memberdayakan teman-teman transpuan. Kami bersama-sama memulai dengan merajut kantong plastik menjadi kerajinan yang dapat dikenakan sehari-hari. Minggu berikutnya hingga Agustus awal kami membahas Agama dan Potensi Konflik, dimulai dengan kunjungan ke teman-teman Ahmadiyah dan Syiah, lalu berikut Kristen dan Katolik,Hindu, dan Budha. Kegiatan dilaksanakan setiap hari Sabtu. Setelah topik agama selesai, kami lanjut dengan topik Gender, Orientasi Seksual, dan Potensi Konflik. Kami bersama-sama membahas tentang transpuan dan tantangannya, perempuan dan HIV/AIDS, dan laki-laki berperspektif feminis. Hingga September 2018, kami lanjut membahas mengenai isu lingkungan dan perdamaian, lalu masyarakat miskin kota dan dilemanya, serta politik global serta tantangannya menjelang pemilu 2019, dan bagaimana mendalami teman-teman yang pernah mengalami perundungan. Semua dialog mingguan menghadirkan narasumber terpercaya, dari penggiat isi hingga akademisi. Keseluruhan program tidak mengenakan biaya sama sekali.   Kami memang tidak terkonsentrasi ke dalam penggalangan teman-teman dalam jumlah besar. Satu pertemuan rata-rata dihadiri hingga 16 orang, namun terdapat harapan bahwa teman-teman dalam jumlah kecil ini bisa menjadi sel-sel yang menyebarkan pesan kebaikan dan perdamaian ke lingkungan mereka masing-masing. Serta, penting bagi kami untuk menjaga konsistensi program. Rencananya, program ini akan berlanjut di Agustus-Oktober 2019. Oh ya, jika teman-teman memiliki saran dan pendapat lainnya, silakan kirim ke laman kami ya. Sampai berjumpa lagi. Jangan lupa, tetap ikuti kami, ya.

Selasa, 18 Juni 2019

After Ramadhan Meet Up



Halo, teman sekodi Bandung. Apalah artinya Hari Raya Idul Fitri tanpa adanya Halal Bihalal? Nah, tanggal 15 Juni 2019 pukul 11 siang, tentu Sekodi Bandung tidak mau ketinggalan. Bekerja sama dengan Peacegen Indonesia yang turut berkontribusi dalam penyediaan tempat bertemu, maka acara After Ramadhan Meet Up dapat terlaksana. Sengaja dibuat seperti botram, makan siang bareng sambil icip sana sini. Tidak lupa, di acara ini kami mengundang mitra-mitra Sekodi Bandung yang sudah turut serta memperlancar program kerja Sekodi Bandung yang pastinya akan selalu berkelanjutan. Ada Lindawati yang mewakili Peacegen, Srikandi Pasundan diwakili oleh Riri Wirayadi, lalu Risdo dan Fransisca dari Jakatarub atau Jaringan Kerja Antar Umat Beragama, Mas Nursasongko dari komunitas anti bullying, dan kami dari Sekodi Bandung merupakan bagian dari komunitas-komunitas yang peduli akan isu sosial dan hak asasi manusia. Kami bercerita mengenai setiap program yang dijalankan lalu berkehendak untuk saling mendukung satu sama lain.  Atas jasa mitra-mitra strategis Sekodi Bandung maka program kerja kami untuk menyentuh empati teman-teman muda Bandung bisa memberikan dampak dan pengetahuan baru. Kami berharap program kerja kami dapat terus berkelanjutan karena kami sadar teman-teman muda Bandung memiliki potensi besar sebagai agen perubahan sosial. Tentu bermula dari hal kecil hingga yang besar di kemudian hari. Terima kasih, teman-teman Sekodi Bandung bersama mitra-mitra kerja kami. Nantikan program kami di Juli 2019 mendatang. Salam damai.

Senin, 08 April 2019

Langkah Kita di Tengah Terorisme


 

Beberapa waktu lalu, dunia diguncangkan oleh peristiwa penembakan di Masjid Christchurch, Selandia Baru. ‘Label’ teroris yang selama ini disematkan orang kulit putih kepada kaum Muslim seakan-akan dibuktikan ketidakbenarannya, karena pada peristiwa itu, justru kawan-kawan Muslim yang menjadi korban dan orang kulit putih yang menjadi pelaku. Dunia menjadi bingung dan was-was. Apalagi beberapa waktu kemudian terjadi lagi penembakan di Utrecht, Belanda. 

Untuk membahas fenomena terorisme ini, pada hari Sabtu, 23 Maret 2019, Sekolah Damai Indonesia – Bandung mengadakan diskusi dengan Ibu Dina Sulaeman, penulis buku dan peneliti Timur Tengah. Dalam paparannya, Ibu Dina menjelaskan bahwa ada tiga hal yang memunculkan terorisme, yakni ideologi, ketidakadilan dan politik. Ketiga hal ini berkelindan membentuk sebuah sistem yang kompleks. Konsekuensinya, membasmi terorisme tidak bisa hanya berfokus pada satu hal saja, seperti yang selama ini terjadi yakni berfokus pada ideologi saja. Akan tetapi, ketika aspek ketiga yakni politik itu dibahas, resistensi bahkan perlawanan muncul dari pihak-pihak yang berkepentingan. Menurut Ibu Dina, hal semacam inilah yang membuat terorisme menjadi sulit diatasi, karena sesungguhnya terorisme terjadi ketika seseorang terlalu memaksakan kehendaknya. 

Meski demikian, ada hal yang bisa kita lakukan untuk mencegah terorisme. Dari diri kita sendiri, caranya adalah dengan menghindari menyematkan label secara otomatis pada kelompok tertentu yang sangat besar. Dalam sebuah kelompok yang memiliki satu ciri identitas yang sama, misalnya agama atau suku tertentu, ada keunikan individual di sana, sehingga ciri identitas itu tidak bisa digeneralisir pada semua orang. Perlu ada keterbukaan dari diri kita sendiri untuk mau mengenal kelompok lain lebih mendalam, karena sesungguhnya bukan perbedaan yang memecah belah, namun anggapan bahwa orang lain adalah liyan yang membuat keberagaman menjadi alasan manusia terkotak-kotak dan terpisah-pisah. 


(Stella Vania Puspitasari)

Kamis, 21 Maret 2019

Gender, Feminisme, dan Berbagai Kaitan Dengan Konstruksi Sosial Bentukan di Masyarakat



 
 “If you want to change the world, pick up your pen and write” – Martin Luther. 

Sebuah tulisan dapat membawa dampak dan perubahan yang besar. Hal ini juga yang terjadi pada Sekolah Damai Indonesia – Bandung. Beberapa hari lalu, bertepatan dengan hari perempuan sedunia, seorang teman Sekodi, membagikan tulisan karyanya yang dimuat di salah satu situs. Ternyata, tulisan itu menimbulkan berbagai interpretasi dan memantik diskusi yang cukup seru di grup WhatsApp, ada pro dan kontra, ada kritik dan saran, ada pujian dan kegelisahan. Akan tetapi karena dirasa diskusi digital kurang memuaskan, maka diputuskan untuk berdiskusi lebih lanjut secara tatap muka, bersama dengan narasumber yakni Dr. Aquarini Priyatna, dosen FIB Unpad, seorang feminis yang sudah sangat ahli dalam isu gender, sosial dan budaya. 

Diskusi diawali dengan pemaparan dari penulis artikel tersebut mengenai maksud dari tulisannya, tujuan ia menulis artikel, serta pemikir-pemikir yang dikutip dan menjadi inspirasi dari tulisan tersebut. Kemudian Bu Aquarini menanggapi artikel yang disampaikan. Secara umum, Bu Aquarini memberi penjelasan mengenai pembuatan sebuah tulisan yang baik, yakni dengan berfokus pada satu topik tertentu, disusun secara runtut untuk membangun argumen yang kuat. Jika tulisan mengacu pada satu atau dua buku atau artikel lain, perlu diberi penjelasan sehingga tidak dianggap sebagai plagiasi. 

Bu Aquarini lalu menjelaskan lebih lanjut tentang maskulinitas dan feminitas. Maskulin dan feminin adalah konstruksi sosial mengenai hal-hal yang dianggap lebih memiliki sifat laki-laki atau perempuan. Maskulin dan feminin adalah sebuah kontinum, dan kita selalu punya sifat-sifat maskulin dan feminin dalam diri kita, dengan level dan kombinasi yang berbeda-beda. Sayangnya, konstruksi feminin dan maskulin ini seringkali diidentikkan dengan jenis kelamin tertentu, menjadi semacam ‘label’ yang tidak bisa dihilangkan. Hal ini pun membawa pengaruh sangat besar dalam kehidupan, disadari atau tidak, disukai atau tidak. Kita terbiasa dengan standar perilaku dan sifat perempuan maupun laki-laki dalam kepala kita, sehingga cara kita mendidik anak, memperlakukan orang lain, serta keputusan-keputusan yang dibuat, bahkan ruang atau bangunan yang dibuat seringkali secara otomatis mengacu pada konstruksi itu. Akan tetapi seiring berjalannya waktu, perempuan dan laki-laki harus menyadari bahwa konstruksi tradisional itu tidak lagi relevan dan laki-laki maupun perempuan harus sama-sama belajar untuk saling melengkapi satu sama lain, misalnya perempuan juga harus belajar untuk berani berkompetisi dan mengambil keputusan, laki-laki perlu cukup berani untuk menampilkan kerentanannya, perempuan juga perlu memperjuangkan pendidikan tinggi dan jenjang karir yang baik, laki-laki juga harus terlibat dalam pengasuhan anak, dan lain sebagainya. Perempuan dan laki-laki itu setara, maka kita adalah partner untuk saling belajar satu sama lain. 

Diskusi dilanjutkan dengan tanya jawab. Cukup banyak teman Sekolah Damai Indonesia – Bandung yang sangat antusias untuk bertanya dan berdiskusi lebih lanjut, misalnya mengaitkan topik gender ini dengan tafsir ajaran agama tertentu, serta dengan kebijakan politik tertentu. Bu Aquarini mengingatkan bahwa agama itu adalah juga konstruksi sosial budaya. Agama turun dalam bentuk teks dan dapat ditafsirkan dengan cara yang berbeda-beda. Ketika kita berbicara tentang peran gender, dikaitkan dengan agama dan politik, yang perlu disadari adalah bahwa perempuan maupun laki-laki memang memiliki potensi tertentu secara biologis, namun secara sosial, perempuan maupun laki-laki dapat saling belajar dan bekerja sama. Diskusi ini menjadi menarik karena berangkat dari suatu artikel yang memancing beragam interpretasi. Dari sisi pembaca, kita perlu kritis ketika membaca, jangan terlalu cepat percaya pada apa yang tertulis, namun pertanyakan kembali apa yang tertulis itu. Sebaliknya, dari sisi penulis artikel, penulis perlu sangat hati-hati dalam menyusun artikel, perlu referensi yang cukup, logika berpikir dan logika menulis yang runtut serta argumen yang jelas, sehingga meminimalisir munculnya interpretasi yang kurang sesuai dengan maksud tulisan itu sendiri.

* Foto-foto diambil di pertemuan sekodi Bandung, tanggal 16 Maret 2018 hari Sabtu, dimoderasi oleh Hani Yulindrasari dan narasumber Aquarini Priyatna. Tulisan oleh Stella Vania Puspitasari 

Selasa, 12 Maret 2019

Sekelumit Tantangan Teman teman Berkebutuhan Khusus


 

Sabtu 9 Maret 2019, Sekolah Damai Indonesia (Sekodi) Bandung berkunjung ke Pusat Terapi Tumbuh Kembang Anak Dan Remaja berkebutuhan khusus Our Dream Indonesia, yang terletak di Jl Sinom, Turangga, Bandung. Kunjungan kali ini dalam rangka diskusi mingguan yang bertema Permasahan kaum difabel dan fasilitas publik serta penerimaan masyarakat baik dalam dunia pendidikan, pekerjaan dan sosial. Dalam diskusi dengan pemimpin Our Dream Indonesia, Bapak Hendra Rades Puluma, kami menyimak dan mendapat beberapa wawasan, pengetahuan praktis juga berkenalan dengan beberapa teman berkebutuhan khusus yang kebetulan sedang tinggal di Asrama Our Dream Indonesia. Salah satu wawasan baru yang kami dapat adalah tantangan untuk teman teman Berkebutuhan Khusus yang Tuna Grahita (gangguan mental) seperti Autism, dalam menghadapi kehidupan. Autism adalah gangguan mental yang disebabkan oleh kerusakan otak. Berbeda dengan teman berkebutuhan khusus lainnya yang fungsi otaknya masih berjalan normal. Namun beberapa penyandang Autism jika diarahkan dengan baik dan terarah mempunyai bakat jenius di berbagai bidang, yang jika diasah dengan baik akan membantu mereka untuk hidup mandiri hingga usia tua dengan keahlian mereka. Yang menjadi tantangan untuk penyandang Tuna Grahita khususnya Autism, Ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan untuk mencapai tujuan kehidupan mandiri mereka kelak. Yang pertama adalah perlunya sistim pendidikan yang tepat untuk menangani keunikan mereka. Meski kini sudah digaungkan Sekolah Inklusi, yaitu Sekolah Umum yang menerima murid murid berkebutuhan khusus, namun di lapangan masih banyak tenaga pengajar yg awam dalam menangani mereka, sehingga belum tercapai mengoptimalkan potensi mereka di sekolah umum. Yang kedua meski bisa disiasati dengan mendidik anak ke Pusat latihan, pendidikan dan terapi, namun sering belum ada konsistensi kerjasama antara lembaga pendidikan dengan orangtua. Sejatinya apa yang diajarkan terapis atau guru diterapkan pula dirumah oleh orangtua Dan keluarganya. Masalah ketiga, mendidik masyarakat untuk terbiasa dan menerima keunikan perilaku mereka, dan bisa menghargai potensi mereka dengan penyediaan lapangan kerja dan penerimaan yang wajar di masyarakat (No Bullying) Mereka adalah bagian dari kita. Bisa dibayangkan, apa jadinya jika penyandang Autism yang belum menata hidupnya kelak hidup di masa tua nya. Karena mereka kelak ditinggalkan orangtua yg sudah meninggal dan tidak bisa mengandalkan saudara saudaranya sepenuhnya. Perlu penerimaan dari masyarakat, pengoptimalan sistem pendidikan dan konsistensi untuk menyiapkan hidup mereka mandiri dan tidak terpinggirkan. Tugas kita bersama.


 Oleh Nursasongko Soegijatno. S 

Rabu, 06 Maret 2019

Hak Politik Masyarakat Pra dan Paska Pemilu

 
Ada apa ya dengan tahun politik? 2019 kita akan memilih presiden dan wakilnya sekaligus wakil rakyat. 'Kompetisi' telah dimulai, 'perseteruan' di berbagai media telah menarik banyak perhatian publik. Belakangan, debat terbuka antar kedua kandidat capres cawapres sudah dilakukan. Lalu, dimanakah posisi kita sebagai warga negara melihat ramainya persaingan ini? Kita diramaikan dengan hingar bingar berita politik yang mungkin dianggap sebagai bagian dari demokrasi terbuka, namun tidak sedikit yang menganggap hal tersebut memuakkan karena tidak sedikit penyebaran hoaks serta hal-hal yang dapat mencederai tahapan menuju pemilu tersebut viral sedemikian rupa. Tentunya, hak masyarakat sebagai warga negara untuk memilih siapa pun yang dianggap kredibel sudah dijamin oleh negara. Pendataan dilakukan untuk menjamin identitas pemilih hingga waktunya. Akan tetapi, jauh selain itu apakah hak kita selaku warga negara setelah pemilu? Sudah nyoblos lalu pulang begitu saja? Dimoderasi oleh Fanny S Alam selaku koordinator kota Sekodi Bandung, pertemuan pada tanggal 24 Februari 2019 berlokasi di Taman Balaikota mempertemukan narasumber, seorang peneliti SDGs Research Universitas Padjadjaran, Ben Satriatna dengan anggota Sekodi membahas bagaimana kita sebagai warga negara seharusnya tidak abai untuk mengawal hasil pemilu yang akan datang dengan cara berpartisipasi mengawasi kebijakan publik serta mengkritisi pelaksanaan kebijakan tersebut ketika ada satu atau beberapa hal yang tampak janggal dalam aplikasinya. Peran aktif ini yang seharusnya lebih tampil karena signifikansinya jelas untuk kepentingan masyarakat serta menjadi alat kontrol bagi pemerintah dan wakil rakyat yang sudah terpilih nantinya.

Selasa, 05 Maret 2019

LGBT dan Pusaran Diskriminasi di Tahun Politik 2019



 
Tahun politik 2019 yang selalu disebut tahun panas, terutama karena semua mata tertuju krpada dua kandidat presiden dan calon wakilnya. Keduanya saling mempromosikan indonesia yang lebih baik, lebih bermartabat, lebih dapat menyejahterakan warganya. Tahun politik ini juga sebenarnya merupakan kampanye tidak langsung bagaimana calon presiden mampu memetakan suara masyarakat pada masa-masa awal kampanye sekarang ini. Dukungan kelompok politik tertentu hingga kelompok agama merupakan hal signifikan bagi kedua kandidat. Dibantu oleh tim ahli dan tim sukses, kedua kandidat diharapkan mampu memetakan masalah masyarakat hingga tatanan ideal sosial politik ekonomi budaya masyarakat. Tidak dapat dipungkiri bahwa demi kepentingan politik yang bersifat menarik suara dari masyarakat, maka sangat penting bagi kedua kandidat memperhatikan aspirasi dari masyarakat dan tokoh-tokoh penting serta tim ahli. Salah satunya adalah ketika bagaimana tiap kandidat memperlihatkan keberpihakan terhadap kelompok masyarakat rentan,salah satunya LGBT. 16 Februari 2019 minggu ke 3 pertemuan sekodi Bandung dimoderasi oleh salah satu fasilitatornya, Nailil Muna, mahasisiwi UIN, kami membahas bagaimana LGBT mungkin dapat terjebak dalam pusaran diskriminasi akibat panasnya tahun politik 2019 ini. Bagaimana teman-teman LGBT dapat melalui pusaran ini di Indonesia semenjak ramai-ramai banyak kelompok politik menyatakan penolakannya,bahkan dalam ranah praktek politik sudah terdapat pengesahan perda anti LGBT dan penangannya, seperti di sumatera barat yang akan memberlakukan praktek rukyah terhadap siapapun yang terindikasi terlibat dalam 'praktik' LGBT. Pemilu 2019 untuk memilih presiden, wakil presiden, serta wakil rakyat memperlihatkan bagaimana setiap warga negara dapat terwakilkan suaranya, termasuk suara-suara kelompok rentan, salah satunya LGBT agar dapat terhindar dari diskriminasi mereka sebagai warga negara indonesia yang hak dan kewajibannya sama saja dengan warga negara Indonesia lainnya.

Selasa, 12 Februari 2019

Mengenal Ajaran Kepercayaan

Dalam rangka menyemarakkan World Intefaith Harmony Week (WIHW) yang biasa diperingati sepanjang pekan pertama bulan Februari, Sekolah Damai Bandung (Sekodi) mengundang Kang Asep, Teh Rela, dan Kang Dian, yang tiada lain adalah para penganut ajaran Kepercayaan. Bertempat di sekitar Balai Kota Bandung, kegiatan dilakukan dengan cara tadarus teks yang isinya berupa tanya-jawab seputar ajaran Kepercayaan. Ada sekitar tujuh buah pertanyaan yang dibahas, di antara ialah mengenai Tuhan. Sama halnya dengan agama-agama besar lainnya, mereka meyakini adanya Tuhan Yang Maha Esa yang telah menciptakan bumi, langit, beserta isinya. Hanya saja untuk penamaan, mereka mengembalikan penyebutan Tuhan sesuai dengan bahasa dan kultur masing-masing penghayat, sebab perbedaan dalam menyebut nama Tuhan sama sekali tidak berpengaruh terhadap inti dari Tuhan itu sendiri. Tetapi mengenai kitab suci, berbeda dengan agama-agama arus utama, para penghayat kepercayaan tidak memiliki kitab suci yang diyakini berupa firman Tuhan, yang ada hanyalah tulisan-tulisan karangan manusia yang berisi tentang tuntunan hidup menuju jalan keselarasan dan keselamatan. Ini karena bagi mereka apa yang disebut dengan pedoman Tuhan sebenarnya telah ada secara jelas, baik dari alam maupun dalam diri manusia itu sendiri. Semua elemen ini jika dikaji dan dihayati secara serius, menurutnya, dapat dijadikan pegangan pedoman umat manusia di dunia. Tidak adanya kitab suci berarti juga tidak ada konsep mengenai seseorang yang diutus oleh Tuhan sebagai penyebar agama (nabi). Mengenai moral, para penghayat kepercayaan tidak memiliki konsep yang muluk-muluk, cukup dengan pepatah “barangsiapa yang menanam maka dia akan memetik hasilnya”. Betapapun fleksibelnya, menurut Kang Asep biasanya setiap organisasi ajaran Kepercayaan memiliki semacam pedoman moral, misalnya mengenai tujuh perbuatan yang terlarang. Uniknya, mereka juga tidak terlalu memiliki fokus pada hal-hal eskatologis, oleh karenanya tidak memiliki konsep dosa-pahala sehingga juga tidak ada konsep surga-neraka. Bagi mereka manusia yang telah meninggal maka jasmaninya akan kembali ke saripati bumi (tanah, air, udara, dan api) sedang inti dari diri akan kembali ke sisi Tuhan. Kang Asep juga membahas persoalan yang sering disalahpahami oleh masyarakat umum yang mengidentikkan ajaran kepercayaan dengan hal-hal yang berbau mistis atau klenik. Ini salah, meskipun tidak menutup kemungkinan akan selalu ada orang yang memiliki kemampuan supranatural sebagaimana yang terjadi pula pada sebagian penganut agama-agama lain. Bagi Kang Asep, ini dikarenakan orang tersebut gemar melakukan penyucian batin sehingga Tuhan memberikan semacam hadiah kepadanya untuk memiliki daya sensitivitas yang lebih tinggi dibanding manusia pada umumnya. Persoalan lain yang juga kerap disalahpahami ialah mengenai upacara sesajen. Berasal dari kata ajen yang berarti penghormatan atau penghargaan, upacara sesajen secara substansi ialah sebuah bentuk penghormatan yang dilakukan oleh para penghayat terhadap alam. Bukan hanya karena alam adalah rekan yang perlu dihormati tetapi juga sangat ampuh dijadikan sebagai sarana untuk merasakan kehadiran Tuhan. Adapun pernak-pernik yang sering hadir seperti kembang tujuh rupa dan yang lainnya, semuanya sebenanya hanyalah simbol-simbol yang memiliki nilai filosofis untuk menggambarkan keseluruhan alam.[]


Jiva Agung W