Tampilkan postingan dengan label Sekolah Damai Indonesia. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sekolah Damai Indonesia. Tampilkan semua postingan

Minggu, 22 Maret 2020

Serba-serbi Social Distancing


AYOBANDUNG.COM -- Hari-hari ini ramai dibicarakan tentang social distancing sebagai upaya pencegahan penyebaran wabah virus corona. Seperti kita tahu, social distancing adalah perilaku menjaga jarak fisik dengan orang lain, terutama orang asing, sejauh minimal 1 meter. Beberapa implikasi social distancing yang dilakukan secara massal adalah gerakan bekerja, belajar, dan beribadah di rumah yang diserukan oleh Presiden Jokowi dan didukung oleh berbagai pihak. Hal ini mungkin lebih tepat disebut sebagai physical social distancing. 

Akan tetapi, pembatasan jarak dan perjumpaan tatap muka dengan orang lain dapat berdampak negatif bagi sebagian orang. Perasaan kesendirian dan kesepian menjadi ancaman nyata yang kita hadapi. Celakanya, perasaan ini dapat berkembang menjadi perasaan depresif, bahkan mungkin pula berkembang menjadi gangguan depresi atau masalah kesehatan mental yang lain. 

Emotional distancing 
Secara logika, orang dengan kecenderungan ekstrover cenderung lebih riskan mengalami perasaan tidak nyaman akibat kebijakan-kebijakan dalam upaya social distancing. Orang-orang ekstrover adalah mereka yang mendapatkan energi dari luar dirinya, dalam interaksi dengan banyak orang. Hari-hari ini, karena interaksi tatap muka dikurangi bahkan dinihilkan, kesempatan para ekstrover untuk “mengisi energi” mereka pun semakin sedikit. 

Meski demikian, mereka yang introver pun dapat mengalami perasaan tidak nyaman akibat social distancing ini. Walaupun mereka cenderung mendapatkan energi dari waktu menyendiri, namun informasi yang bertubi-tubi, dan situasi yang terjadi akhir-akhir ini dapat menimbulkan perasaan mencekam, tidak aman, bahkan terancam. 

Perasaan tidak aman, kecemasan, dan perasaan terancam dapat dikatakan wajar dialami oleh setiap orang di tengah pandemi seperti ini. Ada yang cemas karena tetap harus bekerja di luar rumah demi sesuap nasi, ada yang cemas karena tetangganya sakit dan dikhawatirnya sudah terinfeksi virus, ada yang cemas karena orang terkasihnya tenaga kesehatan yang bisa sewaktu-waktu terinfeksi dan kekurangan alat perlindungan diri. Ada yang cemas karena orang tuanya memiliki penyakit bawaan sehingga lebih rentan terinfeksi virus ini, ada yang cemas karena penghasilannya berkurang, ada yang cemas karena terlalu lama berada di rumah sendirian, ada yang cemas tidak memiliki bahan pokok untuk kebutuhan hidupnya. Semua orang cemas, semua orang khawatir, semua orang panik, meski dengan berbagai alasan yang berbeda. Satu hal yang perlu diingat: bukan hanya Anda yang cemas. Saya juga, dan banyak orang lain demikian. 

Salah satu hal yang bisa dilakukan untuk membantu mengurangi perasaan tidak nyaman di tengah pandemi ini adalah dengan tidak melakukan emotional distancing. Jika (physical) social distancing diartikan sebagai menjaga jarak fisik, maka bolehlah kita mengartikan emotional distancing sebagai jarak emosional antara satu orang dengan orang yang lain. Kita disarankan untuk menjaga jarak sosial secara fisik dengan orang lain sejauh minimal 1 meter, namun sebaliknya, kita perlu mendekatkan jarak emosional kita dengan orang lain. 

Kita bisa menyapa, menanyakan kabar, bahkan berbagi kecemasan dengan keluarga, sahabat, teman, kolega, atau kenalan. Jika dengan pesan teks dirasa kurang, kita bisa menelepon atau melakukan panggilan video sehingga kehadiran orang lain terasa lebih nyata bagi kita. Hal sederhana semacam ini membuat kita dan orang yang kita sapa merasa tidak sendiri. Setidaknya kita merasa punya teman dalam menghadapi masa sulit ini. Lebih lagi, kita merasa punya teman senasib sepenanggungan yang juga merasa tidak aman dan cemas. Perasaan lega karena tahu bahwa tidak sendiri ini dapat menimbulkan ketenangan. 

Social media distancing 
Bagi sebagian orang, informasi yang riuh dan bertubi-tubi di media sosial adalah salah satu faktor yang memicu kecemasan dan kelelahan mental. Untuk itu, konsep social distance perlu juga kita terapkan ketika menggunakan media sosial. Dengan kata lain, kita perlu melakukan social media distance. 

Salah satu cara yang paling efektif adalah dengan berusaha menyaring informasi apa saja yang ingin kita ketahui. Kita juga bisa membatasi waktu-waktu tertentu yang ingin kita gunakan untuk mengakses media sosial. Selain itu, kita bisa mencari alternatif media atau kegiatan lain yang bisa memberikan hiburan sekaligus ketenangan, misalnya membaca buku, menonton film, mendengarkan musik, memasak, membersihkan rumah, berolahraga, atau melakukan hobi. Ada banyak hal yang masih bisa kita lakukan di tengah imbauan untuk social distance. 

Perlebar jarak sosial secara fisik. Perlebar jarak dengan sosial media. Persempit jarak emosional dengan orang lain, khususnya orang-orang terkasih. Mari memperlebar empati dan belarasa. Semoga akal budi dan hati nurani kita tetap jernih dan tidak terinfeksi. 


Stella Vania Puspitasari, Seorang calon psikolog klinis anak dan remaja yang masih belajar untuk menjadi pembelajar, dan menjadi sahabat bagi sesama.

---------
Artikel ini sudah Terbit di AyoBandung.com pada Minggu, 22 Maret 2020, dengan Judul Serba-serbi Social Distancing, pada URL https://www.ayobandung.com/read/2020/03/22/83418/serba-serbi-social-distancing

Penulis: Redaksi AyoBandung.Com
Editor : Redaksi AyoBandung.Com


Jumat, 13 Maret 2020

Masyarakat Indonesia Menghadapi Corona



AYOBANDUNG.COM -- Masuknya virus korona ke wilayah Indonesia akhir-akhir ini suka atau tidak membuat kegemparan sendiri pada masyarakat Indonesia. Hal ini juga merupakan bagian dampak dari berita-berita yang secara simpang siur beredar di berbagai media. Sebenarnya, tujuan pemberitaan itu masih ingin memberitakan tentang virus tersebut dengan jelas, namun perkembangan berita selanjutnya tampak memperlihatkan kepanikan yang makin meluas mengenai virus tersebut di Indonesia.    

Baru-baru ini, juru bicara Kementerian Kesehatan RI menginformasikan melalui sebaran media bahwa sudah ada 6 Warga Negara Indonesia yang dinyatakan positif Covid-19. Pemeriksaan suspect pasien virus corona dilakukan dengan serangkaian pemeriksaan laboratorium dengan menggunakan teknik metode Polymerase Chain Reaction (PCR) dan Genom Sekuensing sehingga dapat dinyatakan positif Covid-19. 

Juru bicara Kementerian Kesehatan RI pun menyatakan bahwa 2 di antaranya Warga Negara Indonesia yang positif Covid-19 itu mempunyai riwayat kegiatan sebelumnya kontak langsung dengan penderita Warga Negara Jepang. Setelah kita mengetahui adanya warga negara Indonesia yang dinyatakan positif Covid-19, masyarakat semakin banyak membicarakan virus ini serta menambah perasaan khawatir mengenai dampak dari perkembangan virus ini semakin banyak virus ini dibicarakan oleh setiap orang. 

Mekanisme Virus Corona
Kementerian Kesehatan RI mengemukakan bahwa Novel Coronavirus (2019-nCoV) merupakan kategori virus baru yang dapat menyebabkan penyakit pada pernapasan manusia. Novel Coronavirus ini masih 1 keluarga dengan virus penyebab SARS dan MERS, dan seperti kita ketahui virus ini berasal dari Wuhan, Cina. Pada umumnya, pasien yang terpapar Novel Coronavirus memilki gejala klinis, seperti demam disertai batuk dan pilek bahkan mengalami kesulitan bernapas, sakit tenggorokan, hingga keadaan badan terasa letih dan lesu. 

Berbagai cara penularan virus corona bisa melalui ketidaksengajaan menghirup percikan ludah dari bersin atau batuk pasien, bersentuhan atau berjabat tangan dengan mereka, menyentuh benda yang terkena cairan air liur pasien sehingga setelahnya kita tidak sadar memegang mulut atau hidung sendiri tanpa sebelumnya mencuci tangan terlebih dulu. 

Dengan berbagai cara penularan di atas, sebenarnya virus corona dapat dicegah melalui upaya pencegahan yang tentunya sangat mudah dilakukan sehari-hari dan dapat diterapkan pada diri kita sendiri, keluarga dan lingkungan sekitar. Cara ini sangat baik dilakukan karena dapat meningkatkan dan mempertahankan imunitas yang kuat dalam tubuh kita. 

Mempertahankan Imunitas 
Pada dasarnya mempertahankan imunitas tubuh dapat berdampak terhadap kondisi tubuh yang setiap saat dapat melawan segala virus dan penyakit didalam tubuh. Pencegahan masuknya virus corona ke tubuh kita juga relatif mudah untuk dilakukan, yaitu dengan sering mencuci tangan menggunakan sabun dan bilas dengan air mengalir, pergunakanlah masker bila batuk atau pilek, mengonsumsi makanan gizi seimbang dengan memperbanyak asupan buah dan sayur, berhati-hati kontak langsung dengan hewan, rajin teratur berolahraga dan tentunya istirahat yang cukup. Juga perlu diperhatikan agar tidak mengonsumsi daging yang masih mentah yang tidak dimasak dengan matang dan jika mengalamai batuk, pilek dan sesak napas segeralah ke fasilitas pelayanan kesehatan terdekat. 

Peran Kita Semua 
Penanggulangan virus corona yang sudah masuk ke Indonesia memerlukan antisipasi dari banyak pihak, mulai dari masyarakat umum, pemerintah, dinas terkait, dalam hal ini dinas kesehatan. Data terbaru tentang virus corona di Indonesia sudah seharusnya bersumber pada data valid yang dipublikasikan oleh pihak relevan, dalam hal ini adalah Kementerian Kesehatan Republik Indonesia atau dinas perwakilannya di wilayah masing-masing. 

Selain itu, kita diharapkan tetap tenang, tidak ada halangan untuk beraktivitas sehari-hari, tidak perlu merasa khawatir, merasa cemas, dan ketakutan secara berlebihan serta jangan menyalahgunakan serta menyalahartikan tentang virus corona ini dengan upaya-upaya yang berlebihan. Upaya tersebut di atas dilakukan oleh segelintir orang dengan tujuan tertentu. Sangat disayangkan melihat masih banyak oknum yang memanfaatkan celah peristiwa merebaknya virus corona di Indonesia untuk mengambil keuntungan bagi mereka. Hal ini menimbulkan banyak masalah baru, seperti panic buying memborong banyak barang, contohnya masker dan pembersih tangan praktis, sehingga menjadikan ladang bisnis baru dengan  meraup keuntungan tinggi, lalu memasok persediaan bahan pokok makanan sehari-hari dalam jumlah banyak seolah-olah mereka nanti akan dikarantina karena tidak bisa melakukan aktivitas di luar. Hal tersebut sangatlah tidak tepat untuk dilakukan, karena virus corona ini bukan menjadi ajang untuk memenuhi untuk kepentingan diri sendiri tanpa memikirkan orang lain. 

Pada akhirnya, dalam perspektif tenaga kesehatan, masyarakat perlu diingatkan untuk   tidak melakukan kegiatan yang berlebihan, tidak perlu merasakan panik dan ketakutan yang berlebihan sehingga menganggu aktivitas sehari-hari. Selanjutnya, masyarakat diharapkan untuk selalu menerapkan pola hidup yang sehat sebagai upaya pencegahan terhadap virus corona dengan cara yang telah ditentukan. 

“Sehat itu milik kita bersama, berawal dari pencegahan, dan mudah dilakukan.” 

Diksi Paisal,  STr. Kes, Praktisi Kesehatan dan Penggiat Komunitas Sekolah Damai Indonesia Bandung.



---------

Artikel ini sudah Terbit di AyoBandung.com pada Jumat, 13 Maret 2020, dengan Judul Masyarakat Indonesia Menghadapi Corona, pada URL https://www.ayobandung.com/read/2020/03/13/82433/masyarakat-indonesia-menghadapi-corona



Penulis: Redaksi AyoBandung.Com

Editor : Redaksi AyoBandung.Com

Minggu, 08 Maret 2020

Yuk Menulis!


Setelah rangkaian kelas critical thinking selama bulan Februari 2020, Sekodi Bandung melanjutkan rangkaian kelas tools for peace dengan membicarakan mengenai tulisan. Bersama Rinda Aunillah, seorang dosen jurnalistik yang juga penulis, serta Fanny S. Alam, koordinator regional Sekodi Bandung yang juga aktif menulis beberapa artikel, kami membicarakan tentang kekuatan sebuah tulisan dan bagaimana mengekspresikan ide dalam tulisan.

Diskusi mulai dengan sharing dari salah seorang anggota sekodi, Stella Vania, yang baru-baru ini menulis tentang RUU Ketahanan Keluarga dan dimuat di sebuah media. Kami berdiskusi apa yang melatarbelakangi tulisan itu dibuat dan bagaimana proses yang dilakukan saat menulis. Dua narasumber juga membagikan pengalamannya saat membuat beberapa tulisan, terutama tulisan opini.

Ada beberapa kesamaan di antara beberapa pengalaman yang dibagikan. Sebuah tulisan bisa berangkat dari pertanyaan, kasus, atau emosi tertentu, misalnya kemarahan, kesedihan, kebingungan, kekecewaan, dll. Dari situ, dilakukan riset mengenai topik tersebut. Data dan fakta dapat menjadi penguat argumen atau opini kita. Riset menjadi kunci. Ketika sebuah tulisan itu dimuat, tulisan itu menjadi milik publik sehingga pembaca dapat mempercayai ataupun mengkritisi tulisan tersebut. Riset, data, dan fakta juga membuat tulisan opini menjadi lebih objektif. Selain itu, ketika kita membuat tulisan, kita perlu memikirkan apa pesan yang ingin disampaikan dari tulisan itu, kepada siapa pesan itu ditujukan, dan apa harapan kita terhadap pembaca, apakah ingin meningkatkan kesadaran, atau mengajak orang ikut mendukung, atau hal lain. 

Dalam menulis, kita juga bisa menyiapkan outline atau kerangka tulisan, namun bisa juga mengalir sesuai dengan apa yang ingin kita ungkapan. Akan tetapi, tulisan sebaiknya terdiri dari empat bagian ini: judul, pembuka, tubuh tulisan, dan penutup. Judul sebaiknya dibuat singkat dan menarik, maksimal 8 kata. Bagian pembuka biasanya terdiri dari tiga paragraf awal. Bagian pembuka ini menjadi penting bagi penulis untuk menarik perhatian pembaca agar pembaca mau terus bertahan hingga akhir tulisan, maka bagian pembuka dapat diisi dengan kasus, syair, konteks masalah atau pertanyaan. Selanjutnya, pada bagian tubuh tulisan, penulus mengungkapkan gagasan atau pesan utama dari tulisan. Data dan fakta yang mendukung argumen dapat disampaikan pada bagian ini. Dua alinea terakhir adalah bagian penutup, di mana penulis dapat menegaskan kembali pesan yang ingin disampaikan dari tulisan. Penutup dapat berapa kesimpulan, pertanyaan, maupun persuasi, tergantung apa yang ingin penulis ajak pada pembaca.

Pada kesempatan itu, didiskusikan juga lewat media apa tulisan dapat dipublikasikan atau disebarluaskan. Tulisan kita adalah sarana untuk menyampaikan pemikiran, ide, atau pendapat kita mengenai suatu hal. Menulis juga adalah sebuah bentuk pergerakan. Jadi, yuk menulis!




(Stella Vania)

Jumat, 06 Maret 2020

Soal Pemberdayaan Kaum Muda di Cafe Philosophique

Pada hari Rabu, 4 Maret 2020 pukul 17.00 di Apero Cafe, koordinator Program Sekolah Damai Indonesia Bandung, Fanny S. Alam menjadi narasumber untuk kegiatan Cafe Philosophique #46 yang bertema Pemberdayaan Kaum Muda. Diskusi ini dimoderatori oleh Risdo Simangunsong. Kegiatan ini dihadiri oleh sekitar 20 orang.

Berbicara soal kaum muda dan isu sosial, pertanyaan disampaikan terlebih dahulu "apa mereka tertarik?"

Memberdayakan teman-teman muda dengan menciptakan ruang dialog dan diskusi. Kadang kita suka meremehkan mereka.

Ada ruang alternatif yang digunakan oleh teman-teman muda yang mengarahkan mereka supaya tertarik pada diskusi. Evaluasi kegiatan Sekodi dari partisipasi, keterlibatan dan tulisan. Menulis sebagai olahan pikiran.

Salah satu pembahasan di Sekodi adalah isu agama. Teman-teman muda diajak untuk melihat situasi dan kondisinya secara langsung, memperhatikan tindakan pemerintah. Diadakan melalui pertemuan. Bermanfaat untuk membentuk kapasitas berpikir mereka.

Risdo menanggapi bahwa di Eropa, ruang masyarakat dimulai dari kafe. 

Apakah kegiatan Sekolah Damai Indonesia diikuti banyak anak muda karena asumsi bahwa kegiatannya keren atau karena mereka bisa bertarung dengan ide?

Fanny menjawab bahwa peserta di Sekolah Damai Indonesia berbeda-beda. Ada yang bekerja, siswa di SMA, dan lainnya. Namun sama-sama saling cair ketika berdiskusi.

Anak-anak belum tentu paham dengan isu sosial. Anak-anak langsung dihadapkan pada isu dan melakukan konfirmasi.

Apakah mempengaruhi prasangka?
Anak-anak dapat insight.

Diseminasi informasi itu penting melalui jaringan media sosial yang sangat banyak. Kaum muda punya tingkat kesadaran tertentu untuk membagikan informasi. Teman-teman muda punya cara sendiri untuk berekspresi. Anak-anak SMA di Amerika berbagi informasi politik dan sosial melalui tiktok.

Risdo mengajukan pertanyaan berikut:

Apakah pemberdayaan kaum muda itu mungkin?

Bagaimana cara memberdayakan kaum muda?

Bagaimana anak muda menangkap isu?

Nino dari Fakultas Filsafat Unpar menanggapi bahwa ada beberapa kelompok kaum muda yang bergerak ke humanisme. Mereka berasal dari kelas sosial menengah ke atas. Ada fenomena echo chamber bahwa gerakan yang mereka suarakan mantul ke diri mereka sendiri.

Ada kekhawatiran tentang hal yang mereka lakukan. Apa kaum muda memiliki landasan pemikiran yang tepat?
Semangatnya memang ada tapi bagaimana untuk mengarahkan semangat kaum muda ini?

Sarah menanggapi bahwa Proses kaum muda di Prancis cukup mirip dengan yang terjadi di Indonesia. Salah satu peristiwa yang diingat adalah musim semi 68. Perhatian pada orang yang memegang posisi penting di perusahaan.

Kaum muda itu siapa?
Setiap remaja mengalami musim idealismenya. Semua merasa ideal dan ingin revolusi. Itu difasilitasi dengan adanya mata pelajaran filsafat. Idealisme itu ada dan diarahkan pada isu tertentu.

Fani menanggapi bahwa Semua menjadi relatif. Kita hanya sebagai penyedia. Kita tidak pernah mengarahkan, yang dilakukan adalah memperkenalkan teman-teman muda dengan isu yang ada di sekitar kita. Kami berada di proses supaya program kami bisa menjangkau semua kalangan masyarakat.

Ruang-ruang yang terbentuk dijembatani oleh Sekodi. Bahasa yang disampaikan perlu disesuaikan supaya dapat dimengerti semua orang. Misalkan bahasan tentang Gender maka kami undang orang muda yang mengerti gender.

Pertemuan tersebut memicu ketertarikan mereka. Namun tidak menutup kemungkinan kalau kaum muda tidak paham. Kami jembatani resiko itu dengan diskusi lanjutan melalui grup WhatsApp.

Hasil pribadi adalah tanggung jawab pribadi mereka. Mereka datang ke kami dan kita sama-sama memediasi. Yang kita jembatani adalah sesuatu yang sebetulnya mereka cari dan yang mereka butuhkan.

Erika menanggapi Sarah dan Nino bahwa yang mengatur adalah sistem pemerintahan, muncul idealisme. Kaum muda terhambat karena ada otoritas.

Sistem mulai mendengarkan. Ditemukan kesadaran kolektif bahwa ada otoritas yang diikuti oleh kaum muda. Ada pepatah "kaum muda mesti mengikuti orang tua." Ini menunjukan bahwa kita, kaum muda, sedang menghadapi otoritas.

Sarah menanggapi bahwa pendidikan di Prancis lebih kritis. Seseorang mampu melihat, menilai, dan memilih sejak kecil. Jika mau bergerak sampai akhir, lakukan terus sampai akhir. Di sisi lain, otoritas tidak siap untuk memberikan kewenangan.

Iqbal menanggapi bahwa terdapat pendekatan pedagogi dan andragogi untuk melihat usia mental. Pernah pada suatu hari seorang anak yang cenderung melakukan bunuh diri datang ke saya,  yang bawa senjata ke sekolah, dan sebagainya. Diskusi kelompok terarah sudah dilakukan untuk mengetahui situasi remaja. Secara fisik, seseorang menua dan hubungan… secara mental, kreativitas, posisi.

Kaum muda terjebak dengan keinginan. Anak di kelas akselerasi dalam marabahaya besar secara jiwa dan mental. Misalkan ketika anak SMP memulai untuk ikut olimpiade maka si anak itu mulai sendiri. Anak butuh teman bicara.

Vania menanggapi bahwa Sekodi adalah sarana yang baik dan langsung dari sumbernya. Makin banyak teman muda yang tertarik untuk bergabung. Awalnya sekodi diikuti oleh akademisi kemudian menjadi semakin beragam.

Anggota dibekali beberapa skill. Menulis menjadi salah satu senjata untuk menyampaikan pemikiran. Ada momen perjumpaan dengan orang-orang yang berbeda. Orang-orang ikut sekodi karena topiknya menarik, bisa ketemu orang-orang baru, dan ada pula yang awalnya karena disuruh dosen.

Ada orang yang perspektifnya berubah setelah ikut Sekodi. Ia dulu mendiskriminasi dan menyebut orang lain sebagai kafir. Kemudian kini ia menjadi lebih terbuka pada orang lain.

Bagaimana kita membagikan ini kepada semua orang?
Gerakan ini kecil dan sederhana. Semangat Sekodi bisa disebarkan buat semua orang.

Eko menanggapi bahwa Anak muda sekarang sangat kritis dengan dunianya. Banyak keyboard warrior yang berani mengkritik namun tidak mampu mempertanggungjawabkan kontennya.

Fanny menanggapi bahwa Sistem dari pemerintah adalah tantangan yang besar. Respon dan tanggapan dari setiap pihak berbeda-beda.

Bagaimana cara melihat fenomena sebetulnya?
Pertama, lihat apa yang terjadi. Legislator muda bertanya soal isu di sekitar misalnya konflik agama, Taman Sari, Ahmadiyah, Syiah, dan sebagainya.

Teman-teman muda ini bersuara dan apakah akan didengar oleh parlemen? Kita perlu gerbang pembuka supaya orang muda didengarkan dan membentuk sistem yang lebih terbuka pada orang muda.

Teknologi membuat orang jadi individualis. Orang punya pilihan untuk tetap dalam fenomena atau mengubah perspektif. Kita punya media sendiri untuk menuliskan ini. Yang terpenting adalah saya menyuarakan dahulu.

Berkomentar berarti menyuarakan. Caranya kembali pada pribadi dan lingkungan mereka. Sekarang orang bisa menyuarakan apapun.

Risdo menanggapi dibutuhkan atraksi untuk menarik perhatian anak muda. Bagaimana strategi untuk melibatkan anak muda? Bagaimana dengan wacana humanisme pada anak muda?

Refleksi
Saya pribadi mengikuti kegiatan Sekolah Damai Indonesia sebagai Playground untuk melatih kemampuan sosial dan keterlibatan dengan masyarakat. Selama prosesnya kaum muda menemukan titik temu dalam pergerakan mereka yang artinya mereka menemukan tujuan mereka sendiri tanpa perlu diarahkan. Persahabatan yang terbentuk di sini membentuk jejaring yang akan lebih memudahkan kaum muda ke depannya jika mereka terlibat dalam sistem pemerintahan, pendidikan atau masyarakat sehingga perubah sistem menuju lebih baik adalah mungkin.

(Rhaka Katresna)

Kamis, 30 Januari 2020

Halaqah Damai XXVI: Akar Kekerasan dalam Perspektif Women Studies

Sekolah Damai Indonesia - Bandung (Sekodi Bandung) terus berupaya membangun kerja sama dengan berbagai komunitas yang berada di Bandung. Salah satu kegiatan yang secara rutin didukung oleh Sekodi Bandung adalah Halaqah Damai, sebuah forum diskusi bulanan yang membahas tentang berbagai isu sosial dari berbagai perspektif. Pada hari Rabu, 29 Januari 2020 diadakan diskusi bulanan Halaqah Damai ke XXVI. Topik yang dibahas pada Halaqah Damai bulan ini adalah Akar Kekerasan dalam Perspektif Women Studies, dengan narasumber Dr. Yeni Huriani, M.Hum. Berikut adalah tulisan dari seorang teman Sekodi Bandung, Ridwan, yang mengikuti diskusi Halaqah Damai tersebut. 

AGAMA SEBAGAI AKAR KEKERASAN
(Dalam Perspektif Studi Wanita)

Dalam pandangan Agama, khususnya agama Islam dan umumnya Agama lainnya, wanita itu cenderung lebih dibedakan dengan laki-laki, dan bahkan dalam konstruk Teologis untuk perempuan itu contoh dalam Kisah Penciptaan Pertama dan Penciptaan Kedua, laki-laki (Adam) itu lebih awal diciptakan daripada Wanita (Hawa), bahkan Wanita sendiri disebutkan diciptakan dari Tulang Rusuk Laki-laki dan  ini memang dipandang benar oleh Abrahamic Religion (Islam,Yahudi, dan Kristen), jadi seakan-akan wanita ini drajatnya lebih rendah daripada laki-laki menurut padangan agama. Begitujuga dalam Kisah (pandangan) Drama Kosmis tentang dosa asal yang menyebabkan manusia terlempar dari Surga (Taman Eden), dalam kisah Abrahamic Religion wania itu adalah penyebab terlemparnya manusia dari surga, karena wanita bersekutu dengan Setan/Iblis dan mudah sekali digoda oleh Iblis untuk memakan Buah dari Pohon Terlarang, sehingga seakan-akan wanita ini adalah temannya Setan, sebagaimana Setan menggoda manusia begitu juga wanita sering menggoda laki-laki.

Lalu Bagaimana Agama Melihat Perempuan?
Dalam citra tentang Tuhan yang laki-laki, dalam agama Yahudi Tuhan itu disebut "Yehovah" atau "YAHWEH", dalam agama Kristen Tuhan itu disebut Bapa, Bapa Sorgawi, Allah Bapa. Dalam Islam, Al-Qur'an menyebut Allah itu "Huwa" yang kalau diartikan Dia (Maskulin) dan bukan "Hiya" yang bersifat Feminim, bahkan di agama lainpun sama dalam memandang kemaskulinan Tuhan.

Dan agama juga mengucilkan perempuan dari wilayah publik, zaman dulu perempuan itu dilarang untul ikut beribadah di gereja, yanh diperbolehkan itu hanya laki-laki saja, jadi kalau seorang istri menunggu di rumah dan ketika suaminya pulang dari gereja,si istri ini akan menanyakan apa saya yang dikhotbahkan oleh pemimpin agama di Gereja, begitu juga dengan Yahudi, dan dalam pandangan Islam, perempuan ini dilarang keluar, dan ini masih menjadi perdebatan dikalangan ulama-ulama Islam, ada yang memperbolehkan asalkan ada pendamping yang "Muhrim" ada juga yang melarangnya, bahkan dalam islam kalau seorang istri keluar rumah tanpa sepengetahuan suaminya, maka sang istri tersebut dicap berdosa.

Arab Saudi saja baru mengeluarkan izin bahwa seorang perempuan itu boleh keluar dan mengemudikan mobil sendiri itu baru setahun kebelakang, sehingga dalam pemahaman ini islam cenderubg lebih ketinggalan dalam menafsirkan penyetaraan kedudukan wanita, tapi di agama lainpun selain Abrahamic Religion juga ada yang demikian.

Dalam Kepemimpinan, agama memandang bahwa laki-laki itu lebih pantas dalam memimpin, karena memang citra laki-laki yang dari awal itu lebih berkuasa daripada perempuan, bahkan dalam keluarga sekalipun laki-laki (suami) yang berhak memimpin keluarganya.

Dalam Hukum Keluarga, wanita pun hanya jadi pengikut apa yang dikatakan suaminya, dan suami menjadi sang pemimpin bagi anak dan istrinya, sang istri hanya harus berdiam di rumah mengurus segala urusan rumah tangga, sedangkan suami mencari nafkah dan memberikan kepada istrinya seberapapun nafkah yang dikehendaki suaminya, dan seorang istri harus mau menerimanya, mau besar ataupun kecil tak ada kuasa untuk meminta lebih, bahkan dalam islam, Istri yang tidak mau diajak "main di ranjang" maka suami punya hak untuk memukul istrinya, hukum islam ini disebut "Nuzuz", ini diperbolehkan bagi suami untuk memukul istri yang tidak mau menuruti kehendak suaminya.

Dalam Perkawinan, agama memandang laki-laki itu lebih bebas, laki-laki bebas mau menikah di usia berapapun, mau dia usianya 15, 17, 19, 25, bahkan 40 sekalipun laki-laki tidak ada kendala atau halangan apapun kalau dia mau menikah, tapi kalau perempuan banyak sekali kendalanya, kalau wanita belum menikah dalam usia 30 tahunan saja sudah ribut keluarga besarnya, dan ada istilah "Perawan Tua" bagi wanita yang belum menikah melewati usia 25 sampai 30 tahun.

Dalam hak Kepemilikan, itu wanita tidak punya hak dalam memiliki seauatu pasti hanya suaminya saja yang disebut memiliki hak dalam kepunyaanya, rumah, mobil, motor itu pasti disebut milik suaminya, bahkan dalam hukum warisan Laki-lakilah yang berhak mendapat banyak dari warisan yang diwariskan kepadanya, sedangkan wanita itu mendapat setengah dari apa yang diperoleh laki-laki.

Dan agama juga menanamkan konsep istri patuh kepada suami, namun tidak ada konsep suami patuh kepada istri, dalam Abrahamic Religion, ini memang diakui, bahkan istri yang tidak mau menurut kepada suaminya itu dicap sebagai istri yang durhaka atau istri pembangkang, dan dalam budaya Minang, apabila seorang istri menyuruh suaminya itu adalah sebuah pelecehan, dan sang suami memiliki hak apapun untuk dilakukan kepada istrinya.

Perempuan dan Kekerasan
Wanita sering menjadi mengalami berbagai kekerasan, di antaranya sebagai berikut: 
  • Kekerasan Fisik, seorang istri sering menjadi baku hantaman pukulan dari suaminya, dan iniemang sering terjadi, bukan hanya di satu agama tapi disemua agama demikian, istri yang tidak mau nurut kepada suami, maka sang suami punya hak dalam memukul istrinya.
  • Dalam kekerasan Psikis, wanita sering menjadi bahan olok-olokan dari suaminya bahkan dari pihak umum, dan wanita itu sering ditekan oleh suaminya atau keluarganya siapapun itu, di Indonesia, wanita yang bertubuh gemuk, atau berkulit hitam, atau berambut kriting, itu dipandang sudah bukan seperti wanita lagi, padahal kriteria kecantikan setiap negara itu berbeda-beda.
  • Wanita juga sering mendapat perlakuan kekerasan seksual, bahkan lebih sering daripada laki-laki, banyak sekali beredar berita pemerkosaan, dan yang menjadi korbannya adalah wanita.
  • Wanita juga sering mendapat kekerasan ekonomi, wanita sering ditelantarkan, dan sang suami yang mencari nafkah lalu memberikan nafkah kepada istrinya itu dengan anggapan "cukup tidak cukup ya terserah, asalkan suami sudah kerja dan mampunya hanya segitu", istri juga sering dijadikan kuda, suami diam dirumah, dan istri bekerja keluar, lalu kalau si istri mendapat uang, maka uang itu juga dikasihkan kepada suami, dan ini yang menjadi problem masyarakat sekarang.

Jadi bagaimana kita harus menanggapi hal-hal ini?
Kita harus membaca kembali Teks Suci, dan menafsirkannya bukan secara harafiyyah, tapi secara maknawiyyah, sehingga makna asli dari ayat-ayat dari Teks Suci itu dapat kita fahami, khususnya bagi wanita yang religion.
Kita juga butuh penafsiran baru terhadap Teks Suci, karena memang penafsiran itu harus menyesuaikan dengan apa yang ada dilingkungan kita, khusunya mengenai pandangan terhadap wanita, sehingga tidak ada lagi anggapan "agama mendeskriminasi wanita", kita harus menjadikan agama ini menjadi kereligiusan pada diti wanita dengan penafsiran baru akan Teks Suci tersebut, sebagaimana Agama membutuhkan Wanita, begitu pula wanita membutuhkan Agama.
Kalau kita lihat dalam sejarah, wanita juga berperan penting dalam penyebaran agama, begitu juga agama sangat berpengaruh pada diri wanita.


Sabtu, 25 Januari 2020

Tur Malam Imlek: Semakin Mengenal Budaya Tionghoa

Setiap tahun pada malam imlek, Jaringan Kerja Antar Umat Beragama (JAKATARUB) mengadakan kegiatan Tur Malam Imlek. Kegiatan ini berisi kunjungan ke beberapa tempat ibadah di sekitar Jalan Cibadak dan Jalan Klenteng, Bandung. Pada tahun ini, beberapa teman Sekodi Bandung kembali bergabung dalam kegiatan Tur Malam Imlek. 

 

Kami berkumpul bersama lebih dari 80 orang dari lintas komunitas dan lintas agama di Klenteng Besar yang juga dikenal dengan Vihara Satya Budhi. Di situ, kami diberi kesempatan untuk melakukan tanya jawab dengan Bapak Sugiri, salah satu pengurus klenteng dan tokoh Tionghoa di Bandung. Pak Sugiri menjelaskan mengenai bagaimana imlek dimaknai oleh warga Tionghoa, termasuk sejarah dan kisah-kisah seputar imlek, shio, dan beberapa budaya Tionghoa yang lain. Pak Sugiri juga menceritakan sejarah Klenteng Besar yang merupakan klenteng tertua di Bandung. Setelah berdiskusi, kami diberi kesempatan untuk melihat klenteng secara lebih dekat dan diberi penjelasan tentang filosofi bentuk serta makna simbol-simbol yang ada di klenteng. 


 Tempat kedua yang kami kunjungi adalah Vihara Tanda Bhakti, tidak jauh dari Klenteng Besar. Di sini, kami kembali diberi penjelasan mengenai bagian-bagian vihara serta sejarah vihara tersebut. Meski namanya vihara, namun Vihara Tanda Bhakti dan juga Vihara Satya Budhi merupakan Tempat Ibadah Tri Dharma, yang berarti bahwa vihara atau klenteng itu bisa dipakai untuk ibadah umat Buddha, Khonghucu, dan Tao. Di Vihara Tanda Bhakti, kami juga diberi suguhan berupa mie. Konon katanya, bagi orang Tionghoa, mie adalah hidangan wajib saat malam imlek, agar panjang umur.




Dari Vihara Tanda Bhakti, kami berjalan kaki menuju Klenteng Dharma Ramzi yang merupakan klenteng tertua kedua di Bandung. Di depan klenteng, ada beberapa anak yang memainkan barongsai dengan bebunyian yang meriah. Dibandingkan dua klenteng sebelumnya, Dharma Ramzi tampak lebih ramai dan meriah. Selain barongsai, di dalam klenteng yang tidak terlalu besar itu, terdapat banyak sekali patung beberapa dewa dewi. Beberapa relawan dan pengurus klenteng pun dengan ramah menjelaskan beberapa kisah dewa dewi tersebut. Salah satu hal yang menarik adalah ketika seorang bapak menjelaskan tentang Dewa Jodoh, lalu seorang peserta yang beragama Islam berkata pada temannya bahwa dia sudah berdoa pada Dewa Jodoh. Ketika ditanya bagaimana doanya, ia menyebutkan doa secara Islam. Saya tersentuh dengan pengalaman itu, dan saya diingatkan bahwa patung, hio, dan berbagai persembahan, bahkan bahasa yang kita gunakan saat berdoa hanyalah sarana untuk melakukan kontak dengan Tuhan Yang Maha Esa. 


Tempat terakhir yang kami kunjungi adalah Kong Miao, yaitu tempat ibadah umat Khonghucu. Meski kesannya Khonghucu adalah agama baru di Indonesia, namun ternyata agama Khonghucu sudah ada sejak tahun 60an, demikian penjelasan salah satu pengurus Majelis Agama Khonghucu Indonesia (MAKIN). Beliau juga bercerita bagaimana jasa Gus Dur, presiden ke empat Indonesia, bagi diakuinya agama Khonghucu. Begitu besar jasa Gus Dur, sampai umat Khonghucu menganggap Gus Dur adalah malaikatnya orang-orang Khonghucu. Beliau juga menjelaskan bahwa bagi umat Khonghucu secara khusus, imlek adalah hari raya keagamaan, bukan hanya perayaan budaya dan tradisi. 


Kegiatan Tur Malam Imlek ini sangat menyenangkan dan berkesan bagi saya. Sekitar 90 orang dari berbagai latar belakang budaya, agama, suku, dan komunitas berkumpul dan berkunjung ke tempat-tempat yang mungkin belum pernah dikunjungi sebelumnya. Kegiatan semacam ini sangat baik dilakukan dan bermanfaat untuk memperoleh informasi yang akurat, mengklarifikasi isu dan asumsi yang sesat, serta membangun persepsi yang lebih tepat. Yuk, tahun depan ikut Tur Malam Imlek! Selamat menyambut tahun baru, semoga dianugerahi keberkahan senantiasa!

(Stella Vania Puspitasari)


Selasa, 07 Januari 2020

Dilema Kebijakan Publik untuk Masyarakat

AYOBANDUNG.COM -- Munculnya rencana Pemerintah Kota Bandung untuk mengesahkan rancangan peraturan daerah (perda) Pencegahan dan Peningkatan Kualitas Permukiman Kumuh Perkotaan, lalu dalam skala nasional rancangan undang-undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual yang pembicaraannya serta pengesahannya masih tertunda merupakan dua contoh inisiasi rencana kebijakan publik yang diajukan untuk memenuhi target kerja legislasi. Target ini tentunya diusahakan agar bersifat adaptif dengan kebutuhan masyarakat secara ideal. Di satu sisi lain, banyak yang masih mempertanyakan efektivitas kebijakan publik yang akan disahkan maupun yang telah disahkan. Kebijakan publik lahir dari suatu keputusan politik yang menjadi suatu konsensus bersama para pengambil keputusan berdasarkan hasil observasi kepada masyarakat mengenai apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh mereka. Keputusan politik ini akan bergerak lurus dengan pelaksanaan serta bagaimana kinerja kebijakan politik dievaluasi untuk melihat skala keberhasilan atau bahkan kegagalan kebijakan publik yang telah dihasilkan.

Bagaimana sebenarnya kebijakan publik direncanakan agar tepat sasaran bagi masyarakat serta manfaatnya dapat dirasakan itulah yang menjadi tantangan berikutnya. Tidak jarang kebijakan publik terlihat sempurna ketika berada dalam tahap perencanaan hingga tahap rilis, namun menjadi lemah dalam implementasinya (Hill and Hupe, 2015), serta bagaimana kebijakan publik hanya menjadi pemuas target kerja politik saja. Ketidaklinieran, kesulitan prediksi, serta ketidakmampuan untuk adaptasi (Braithwaite, 2018) menimbulkan jurang lebar antara tahap perencanaan dan formasi kebijakan publik dan pelaksanaannya di waktu mendatang. Dengan begitu, hal ini jelas menimbulkan pemborosan anggaran serta gagalnya penerimaan manfaat kebijakan publik bagi masyarakat secara luas. Formasi Kebijakan Publik Tentunya politik kebijakan dimulai dari model masyarakat secara politis sudah ada dan mempertahankan elemen penting dari sisi politik itu sendiri (Stone, Deborah, 2002).

Masyarakat memiliki kekuatan serta keinginan politik yang ingin diwujudkan dalam bentuk regulasi yang bisa mengakomodasi kepentingan-kepentingannya. Memang tidak akan seluruh kepentingan masyarakat akan dapat dijangkau kebijakan publik karena ada intervensi pemerintah sebagai perpanjangan tangan masyarakat untuk merangkum semua kepentingan personal menjadi kepentingan kolektif. Peran kuasa pemerintah dalam memilah kepentingan-kepentingan tersebut, menurut John Stuart Mill dalam esainya "On Liberty", akan mengurangi tarikan personal dalam pengambilan keputusan untuk kebijakan publik dan akan mencegah "risiko bahaya politis" demi pemenuhan tujuan kepuasan publik. Resiko bahaya politis merupakan dampak dari proses formasi kebijakan publik. Di Indonesia dengan iklim keterbukaaan politik yang besar melibatkan jumlah partai politik yang akhirnya menyempit menjadi koalisi, tidak dapat disanggah bahwa kebijakan publik yang dihasilkan dapat berupa hal, yaitu mengakomodasi kepentingan masyarakat atau justru berpihak kepada kepentingan partai yang membawa nama masyarakat. Untuk mencegah hal tersebut, dibutuhkan mobilisasi isu yang akan diangkat dalam kebijakan publik, yang akan mempertimbangkan bagaimana perwakilan masyakarat dalam koalisi partai politik dalam legislatif terlibat dan mengembangkannya.

Bahkan, dalam bukunya Political Organization, James Q Wilson, menekankan bahwa dampak baik dan buruk dari proses formasi kebijakan publik yang didistribusikan di antara masyarakat sebagai konsensus bersama perwakilan masyakarat akan memperlihatkan apakah peran sebenarnya yang dilakukan perwakilan tersebut untuk membentuk dan aktif mengawal isu untuk formasi kebijakan publik. Realita Dilema Kebijakan Publik Contoh dua kebijakan publik di Indonesia, yaitu rancangan perda Pencegahan dan Peningkatan Kualitas Permukiman Kumuh Perkotaan di Bandung dan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, merupakan hal krusial yang mendapatkan perhatian publik secara intens. Rancangan perda yang pertama merupakan dasar hukum yang muncul untuk mendukung skema pembangunan Kotaku atau kota tanpa kumuh, sedangkan ironisnya walaupun rancangan perda ini muncul sejak tahun 2015 dan belum selesai hingga sekarang, tetapi proses penanganan sementara dan relokasi terhadap daerah yang dianggap kumuh, contohnya Tamansari Bandung RW 11. Hal ini sempat mencuri perhatian banyak karena proses relokasi dan penggusuran justru dilakukan saat status tanah bersifat tanah sengketa, serta Badan Pertanahan Nasional hingga sekarang belum menerbitkan sertifikat atas nama siapa pun, termasuk atas nama Pemerintah Kota Bandung. RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sempat mandek sejak 2016 pengesahannya, dan sekarang kembali masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional DPR untuk kedua kalinya. Penundaan proses pengesahannya pada 2019 ini bukannya tanpa alasan pula. Tantangan terletak pada protes dari beberapa kelompok partai tertentu yang menganggap RUU ini lebih mendukung sekularisasi dan nilai-nilai liberalisme tanpa memperhatikan bahwa RUU ini disusun secara komprehensif melibatkan tokoh-tokoh lintas agama, akademisi, dan pakar-pakar hukum dan gender dan kekerasan seksual serta tokoh-tokoh publik, dan elemen masyarakat. Dua contoh tadi jelas-jelas mengabaikan prinsip akomodasi bagi masyarakat karena dalam skema rancangan perda Pencegahan dan Peningkatan Kualitas Permukiman Kumuh Perkotaan perlu dipertanyakan apakah masyarakat pernah dilibatkan dalam penyusunannya, serta mempertanyakan kepada mereka apakah sebenarnya yang dibutuhkan masyarakat dalam penataan kawasan yang dianggap kumuh. Standar apakah yang dikenakan sehingga kumuh menjadi patokan untuk dilakukan relokasi dan penataan. 

Dikutip dari PR FM news, anggota Komisi C DPRD Kota Bandung dari Fraksi PDIP, Folmer Silalahi menitikberatkan tidak integratifnya pemerintah daerah dan kota dalam melakukan penanganan kawasan kumuh sehingga terkesan jalan terpisah berbasis anggaran yang dimiliki dan wewenangnya, serta keraguan atas status hukum tanah. Sementara itu, yang terjadi pada RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ketika semua elemen sudah lengkap dalam prosedur dan kajian akademik serta riset, kepentingan politiklah yang menjegal pengesahannya. Akibatnya, hingga sekarang kasus-kasus kekerasan seksual terhadap masih ditangani dengan KUHP tanpa adanya usaha-usaha yang lebih komprehensif karena belum adanya payung hukum yang lebih signifikan. Inilah dilema yang sangat jelas terlihat terhadap rencana kebijakan publik yang justru kebijakan tersebut seharusnya berpihak kepada kepentingan masyarakat dengan dukungan politik yang lebih dari sekedar niat baik mencapai target kerja legislatif.

---------

Ditulis oleh Fanny S Alam, koordinator Sekodi Bandung.

Artikel ini sudah Terbit di AyoBandung.com, dengan Judul Dilema Kebijakan Publik untuk Masyarakat, pada URL https://www.ayobandung.com/read/2020/01/06/75511/dilema-kebijakan-publik-untuk-masyarakat#.XhMPPTOe9Cc.whatsapp 

Penulis: Redaksi AyoBandung.Com
Editor : Redaksi AyoBandung.Com

Diskusi Kelompok Terarah dengan SOFI Initiative

Menerima Undangan
Pada 30 Desember 2019, saya menerima surat undangan dari SOFI Institute untuk mengikuti diskusi kelompok terarah mengenai Penguatan Pendidikan Gender dan Seksualitas untuk Pemuda. Dalam suratnya tertera bahwa kegiatan ini akan dilaksanakan di Cirebon pada hari Sabtu, 4 Januari 2020. Tepat setelah pesta tahun baru diadakan.

Perjalanan 4 Januari 2020
Saya pergi ke Cirebon bersama Alaena dari Garut, dan Hobie dari Garut. Alaena mewakili pemuda dari Garut sementara Hobie dan saya mewakili Sekolah Damai Indonesia dan Arjuna Pasundan. Kami berjumpa pada dini hari dari Buah Batu, kemudian berangkat menaiki shuttle bus. Setibanya di Cirebon kita segera memesan angkutan daring menuju lokasi kegiatan di Metland Hotel Cirebon.

SOFI Initiative sedang merencanakan program kerja terkait pendidikan gender dan séksualitas di Ciayumajakuning dan Jawa Barat. Terdiri dari dua sesi yaitu sesi pertama focused group discussion (FGD) untuk ahli dan komunitas dan sesi kedua FGD untuk pemuda umum. FGD ini dibuka oleh MC Teh Iqoh dari SOFI kemudian difasilitasi oleh Ael dari YIFOS.

Pertanyaan yang diajukan untuk FGD mencakup beberapa poin berikut:
1. Apa yang terbayang mengenai Pendidikan Gender dan Seksualitas?
2. Dari mana Anda mendapatkan pelatihan Gender dan Seksualitas?
3. Manfaat dari Pendidikan Gender dan Seksualitas
4. Sejak kapan mendapatkan Pendidikan Gender dan Seksualitas?
5. Persoalan yang muncul mengenai Gender dan Seksualitas
6. Kebijakan daerah mengenai gender dan seksualitas
7. Situasi institusi pendidikan terkait gender dan seksualitas
8. Tantangan di institusi pendidikan terkait gender dan seksualitas
9. Hal baik apa yang dimiliki mengenai Pendidikan Gender dan Seksualitas?
10. Konten rekomendasi untuk Pendidikan Gender dan Seksualitas
11. Layanan sipil mengenai Gender dan Seksualitas

Pertanyaan-pertanyaan tersebut disampaikan di kedua sesi tersebut. Untuk sesi kedua ada satu pertanyaan yang ditambahkan yaitu mengenai situasi terkait gender dan seksualitas di komunitas daring.

Dalam forum tersebut saya menyampaikan pengalaman saya selama di Bandung dan Garut. Mendengarkan cerita dari teman-teman di forum membuat diri saya mengenali situasi dan kondisi pendidikan gender dan seksualitas terutama di daerah Cirebon, Indramayu, Majalengka, Kuningan, dan Jawa Barat. Adalah kesempatan yang menyenangkan untuk dapat berbagi dalam forum ini dan berkenalan dengan berbagai pihak yang memperhatikan gender dan seksualitas. 

Hobie menambahkan pada diskusi dalam grup Sekodi mengenai kegiatan FGD:
Di sana ada sharing mengenai masalah gender dan seksualitas menurut wilayah, pengalaman pribadi, bagaimana fasilitas penunjang dan hukum hukum yang terkait gender dan seksualitas di institusi pendidikan maupun pemerintahan, sempet ngobrol juga sama anak anak muda di Cirebonnya mengenai kondisi gender dan seksualitas di Cirebon seperti apa. 

Hasil FGD yang dilakukan ini akan mejadi bahan pertimbangan mereka untuk pengembangan program SOFI Initiative dan komunitas lain, termasuk Sekodi Bandung.

(Rhaka Katresna)

Mari Bicara Kesehatan Mental


Gangguan Jiwa. Kalau muncul dua kata itu, hal pertama yang terlintas di pikiran kebanyakan orang adalah seseorang pakai baju compang-camping, rambut gimbal berantakan, dan tertawa tanpa sebab. Kemudian, bayangan berikutnya adalah seseorang berseragam dan ditempatkan di ruang isolasi karena mengamuk tak karuan. Dua gambaran tersebut memang tidak salah, tapi kurang lengkap. Komunitas Sekolah Damai Indonesia berkesempatan melakukan diskusi santai bersama Ayu Regina Yolandasari, alumni Psikologi UI dan Women’s Studies dari Ewha Womans University, serta penyintas gangguan jiwa.

Gangguan jiwa menurut Ayu banyak macamnya, mulai dari gangguan yang gejalanya mudah disadari hingga sulit disadari penderita. Kedua bayangan orang di atas bisa jadi hanya salah satu jenis gangguan jiwa bernama Skizofrenia. Skizofrenia pun memiliki tingkat keparahan yang berbeda-beda. Penderita skizofrenia ada yang perlu dirawat di rumah sakit secara intensif. Namun, banyak pula penderita yang masih dapat menjalankan fungsi kesehariannya walaupun pada lingkup yang terbatas. Jenis gangguan jiwa lainnya tercantum dalam daftar panjang DSM-V, sebuah buku panduan bagi para psikolog dan psikiater di seluruh dunia. Stigma masyarakat tentang gambaran kesehatan mental yang kurang lengkap menjadi tembok besar penanganan penderita untuk mengakses dan memperoleh perawatan yang tepat.

Ayu menceritakan pengalamannya memperoleh diagnosis gangguan jiwa ketika berada di Amerika Serikat. Ayu sempat melakukan upaya bunuh diri lebih dari sekali. Atas dorongan teman, Ayu kemudian dapat mengakses bantuan profesional di salah satu rumah sakit. Dia pun didiagnosis dengan dua jenis gangguan depresi, Major Depression dan PMDD (Pre-menstrual Dysphoric Disorder). Jenis gangguan depresi kedua mungkin belum banyak diketahui oleh tenaga profesional di Indonesia. PMDD adalah salah satu jenis gangguan depresi yang terkait dengan hormon perempuan. Bagi yang memiliki gangguan ini, PMDD dialami saat memasuki masa menstruasi dengan gejala terutama psikologis yang lebih parah dibandingkan PMS biasa. Proses pemulihan dengan konseling dan terapi rutin hingga saat ini masih dijalani Ayu. Adapun penggunaan obat juga sempat dilakukan dalam supervisi psikiater hingga dinyatakan boleh terputus. Dari tampilan atau perilaku secara sekilas, hal-hal yang umum dipahami oleh masyarakat tentang gangguan jiwa tidak berlaku padanya.

Gejala-gejala yang dianggap remeh bisa menjadi indikasi awal kehadiran gangguan jiwa, misalnya cemas berlebihan, kekurangan atau kelebihan tidur ekstrem, tidak bisa fokus, atau kehilangan nafsu makan. Ayu memperkenalkan suatu metode evaluasi sebagai langkah mengenali kondisi diri bernama “Check In” yang ia peroleh saat menjalani proses pemulihan di Amerika Serikat. Metode ini secara sederhana adalah dialog kepada diri sendiri dengan mempertanyakan beberapa hal berikut dan mencatat atau merekamnya di jurnal harian.
  1. Mood. Dari skala 1-10, bagaimana mood kamu hari ini? 1 berarti sangat buruk sedangkan 10 berarti sangat baik
  2. Feeling. Apa perasaan yang kamu rasakan saat ini? Berapa persen intensitasnya? Perasaan yang dirasakan tidak harus sejalan dan presentasenya pun tidak perlu akumulasi nilai 100. Misalnya, kamu bisa mengatakan kecewa 70% dan senang 80%
  3. Nafsu makan. Apakah kamu punya keinginan makan? Bagaimana berat badanmu? Apakah kenaikan atau penurunannya drastis? Apakah disengaja atau tidak disengaja?
  4. Tidur. Seperti apa kuantitas dan kualitas tidurmu? Apakah mimpimu baik atau tidak? Bagaimana perasaanmu setelah bangun tidur?
  5. Jika kamu sedang mengonsumsi obat, bagaimana penggunaannya? Masihkah konsisten dan sesuai dosis?
  6. Coping. Bagaimana kamu menangani perasaan yang membuatmu tidak nyaman?
  7. Goal. Apa yang kamu targetkan hari ini? Bagaimana perkembangannya?

Daftar tersebut akan membantu memahami kondisi psikis kita. Kita pun dapat memodifikasi daftar dengan menambahkan atau menguranginya sesuai kebutuhan. Ayu sendiri menambahkan poin terakhir berupa daftar kebersyukuran. Metode dialognya pun tidak harus terbatas dengan menulis. Ayu menceritakan bagaimana dia melibatkan temannya untuk mengaplikasikan metode tersebut dengan bercerita kepada satu sama lain.

Jika kita merasakan ada perubahan yang tidak biasa dan sudah tidak dapat kita atasi, jangan ragu untuk menemui tenaga profesional. Hindari self-diagnosis dengan mencari tahu dan mencocokan gejala yang dirasakan sekalipun berasal dari web yang nampak terpercaya. Self-diagnosis hanya akan mengarahkan kita pada penanganan yang tidak tepat dan bisa jadi memperburuk kondisi. Selain itu, jika kita sudah mendatangi pihak profesional dan merasa tidak cocok dengan psikolog atau psikiaternya, jangan ragu untuk pindah konsultasi. Idealnya, menurut Ayu, pihak yang sedang mengakses layanan psikiater juga perlu melakukan konseling dengan psikolog.

Lalu bagaimana jika bukan kita yang mengalami tetapi orang terdekat kita? Menurut Ayu dua kunci yang utama adalah kenali dulu kondisi diri dan jangan menghakimi. Sebelum siap mendengar dan membantu orang lain, kita perlu memastikan diri kita dalam keadaan baik-baik saja. Sekecil apapun emosi yang kita rasakan akan memengaruhi respon kita. Jika kita merasa belum siap, jangan ragu untuk menunda percakapan dan ajukan waktu pengganti.

Setelah kita siap mendengarkan, apapun yang dia ceritakan, respon dengan penuh empati. Ucapkan terima kasih karena telah bercerita. Butuh keberanian bagi seseorang untuk menceritakan hal berat yang sedang dialami. Respon berikutnya yang dapat dilakukan adalah tanyakan apa yang bisa kita bantu. Hindari langsung memberi saran karena bisa jadi dia hanya ingin didengar atau saran yang kita berikan tidak tepat.

Kemudian, bagaimana jika orang terdekat kita menyatakan keinginannya untuk mengakhiri hidup? Apakah dia serius atau tidak? Respon yang disarankan Ayu adalah anggap hal tersebut bukan candaan. Kita dapat mengatakan “Apakah kamu baik-baik saja?”, “Aku khawatir sama kamu”, “Kamu mau cerita sesuatu?” Tidak ada orang cukup perhatian yang akan mencoba menarik perhatian orang lain. Tidak ada pula orang yang tidak butuh pertolongan akan meminta pertolongan.

Manusia memiliki cara yang unik dalam mempersepsikan fenomena yang terjadi dalam hidupnya. Menjadi pribadi yang paham kondisi diri sendiri akan membantu kita tetap terkoneksi dengan diri sendiri dan orang lain. Salah satu masalah kesehatan mental adalah terputusnya koneksi dengan diri. Perlakuan buruk yang dilakukan kepada orang lain juga tidak jarang bersumber dari pribadi yang tidak mindful dengan dirinya sendiri. Jadi, jangan ragu dan malu untuk berbicara jika kita sedang tidak baik-baik saja.



(Lindawati Sumpena)

Kamis, 05 Desember 2019

Penerapan Praktis dari Sekolah Damai Indonesia

Tulisan dari Rhaka Katresna, teman Sekodi Bandung. 

Sudah tiga bulan lebih lamanya saya mengikuti kegiatan Sekolah Damai Indonesia Bandung. Di sini, saya belajar sesuatu yang penting untuk diterapkan dalam kegiatan sehari-hari yaitu toleransi, penerimaan, dan keterlibatan. Untuk mewujudkan Kedamaian artinya seseorang berkoeksistensi bersama manusia yang lainnya terlepas dari identitas yang dimilikinya.

Saya mencoba menerapkan prinsip tersebut untuk menyelesaikan sebuah masalah praktis di sebuah komunitas seni berbasis sekolah di kabupaten Garut. Masalahnya begini, seseorang dari komunitas tersebut terlibat dalam sebuah proyek tari modern kemudian ia tiba-tiba melepaskan kelompok seni tersebut dan mengafiliasikan kelompok tersebut dengan komunitas luar sekolah. Ketika saya tanya dia jawab, "Saya lupa," begitu. Kemudian setelah peristiwa itu saya jadi berkonflik dengan komunitas luar sekolah tersebut, menutup program seni yang berhubungan dengan genre tari yang mereka dalami, dan menemukan bahwa mereka berusaha merekrut calon anggota lewat komunitas sekolah. 

Bagi saya pribadi ini sudah melewati batas sehingga saya membatasi gerak si X dalam komunitas sekolah (dia masih terlibat dalam komunitas sekolah sekaligus komunitas yang membawa kelompok tari yang awalnya milik sekolah) dengan tidak mengizinkan anak buahnya masuk. Hingga pada puncaknya, anak itu dikeluarkan oleh pengurus yang lainnya.

Bagaimana proses kedamaian terjadi pada kasus ini?
Saya berusaha untuk menjalin komunikasi dengan ketua komunitas luar sekolah tersebut. Dari situlah ditemukan bahwa si X itu melepaskan afiliasi sekehendak dirinya bukan atas kemauan si ketua komunitas. Kemudian diketahui pada saat itu bahwa si komunitas luar itu sedang menghadapi konflik dengan si X karena ternyata dia membentuk manajemen sendiri terlepas dari komunitas luar sekolah tersebut. Dari situ kami menyadari masalahnya sehingga masing-masing kami mengeluarkan si X Dan kawanannya dari komunitas.

Ketika suatu kelompok punya tujuan sendiri yang hanya menguntungkan dirinya maka ia akan melakukan berbagai manipulasi supaya orang mengikuti tujuannya. Dalam kasus ini kelompok si X telah merugikan saya maupun komunitas luar sekolah tersebut.

Keterlibatan demikian saya latih untuk menyelesaikan konflik-konflik yang terjadi pada komunitas tersebut. Makin ke sini, saya semakin sadar bahwa adanya konflik mengarah pada diketahuinya kegagalan teknis yang terjadi pada organisasi sehingga berujung pada kegagalan manajemen organisasi. Sehingga strategi pengembangan organisasinya dapat lebih dalam dan terstruktur. Terbenturnya kepentingan, saya temukan, menjadi akar permasalahan dari hampir semua konflik yang saya hadapi di komunitas saya di Garut. Dari situ seseorang melupakan tanggung jawab yang sebenarnya bisa dikelola untuk mencapai kepentingan tersebut.


Selasa, 03 Desember 2019

Fahdi Hasan, Pengajar Pertunjukan Seni Buat Anak-anak Spesial

Bandung - TemanBaik pernah terbayang enggak bagaimana sih rasanya jadi seorang pelatih atau pengajar anak-anak berkebutuhan khusus? BeritaBaik berkesempatan berjumpa dan berbincang dengan seorang pelatih bagi anak-anak spesial nih, namanya Fahdi Hasan atau yang akrab disapa Kak Adi.

Tidak hanya sekadar menjadi pelatih loh. Kak Adi juga hadir sebagai teman bagi sahabat-sahabat-sahabat spesial ini bermain. Sindromnya pun beragam, ada celebral palsy, ADHD, low/high function hingga hyperactive. Bagaimana ya cara bermain dan berlatih ala Kak Adi?

Kak Adi

kunjungan teman-teman Sekodi Bandung ke KPAS 
salah satu orang tua dalam KPAS menunjukkan hasil karya anaknya



Kak Adi menjelaskan kalau dalam mengajar dan melatih anak-anak spesial ini diperlukan metode khusus dan kreatifitas. "Metodenya pakai komunikasi audio, visual, dan gerak. Misalnya merespons ruang dengan memainkan jimbe atau piano lalu membentuk pola-pola yang diinginkan," jelas Kak Adi kepada BeritaBaik, Minggu (20/10/2019).

Pria yang mengajar kelas Seni Pertunjukan di Komunitas Anak Spesial (KPAS) ini juga memberikan kebebasan kepada anak-anak dalam berekspresi. "Memberi kebebasan mereka dalam berekspresi dan juga difasilitasi," ujar pria kelahiran Susupu, Halmahera Barat, 21 April 1983 ini.

Selama mengajar, Kak Adi juga pernah tidak sependapat dengan orangtua anak-anak yang ia ajar loh. Tapi, tenang semua itu didiskusikan atas dasar kekeluargaan.

"Suka berantem dengan orangtua hahaha. Tapi barentem gagasan, ide yang dilakukan atas dasar kekeluargaan dan itu menurut saya romantis yang humanis," papar pria yang sudah mengajar sejak tahun 2013 ini.

Kak Adi juga bercerita tantangan terbesarnya dalam mengajar. Menurutnya, paling sulit adalah menghadapi stigma masyarakat soal keterbelakangan fisik.
"Kesulitan terbesar yang dihadapi adalah menghadapi para akademisi, orangtua dan pemerhati anak yang masih menganggap mereka adalah orang yang tidak mampu, atau keterbelakangan fisik dan lain-lain. Pehamanan dasar soal mereka terlalu ambigu, akhirnya menetapkan anak-anak autis sebagai disabilitas," jelas pria lulusan Musik Bambu di Institute Seni Budaya Indonesia ini.

Kak Adi berharap, kita semua dapat menerima dan tidak mendiskriminasikan anak-anak spesial (berkebutuhan khusus). "Saya berdoa agar kita semua 'cepat sembuh' untuk tidak lagi mendeskriminasi mereka, karena jika anda menyebut mereka orang gila berarti anda bagian dari kegilaan itu," pungkasnya.


(ditulis oleh Nita Hidayati. tulisan serupa juga dimuat di BeritaBaik)

Senin, 02 Desember 2019

Mengunjungi Panti Sosial Tresna Werdha Senjarawi

Pada tanggal 26 Oktober 2019, SEKODI Bandung mengadakan refleksi dengan mengunjungi panti sosial Tresna Werdha Senjarawi yang beralamatkan di Jalan Jeruk, Cihapit, Bandung. Dalam refleksi ini kami mendapatkan banyak sekali hikmah yang kami dapatkan dengan melihat dan mendengar serta berbicara langsung dengan para penghuni panti. Di panti sosial ini terdapat 58 Lansia yang dirawat dan dijaga dengan penuh kasih oleh para suster. Selama ini stigma negatif mengenai panti sosial atau panti jompo dalam benak kita tidak dapat dihindari, seperti halnya yang diungkapkan Ferey Herman dalam jurnalnya, kesan muram dan kusam sampai anggapan membuang orang tua bagi anak yang menitipkan orangtuanya biasa terjadi. Stigma itu pula yang saya bawa sebelum memasuki panti sosial tresna werdha.

Namun kenyataannya setelah berkunjung ke sana dan bertemu langsung bersama para penghuni panti, stigma yang sebelumnya melekat dalam benak saya hilang begitu saja. Pandangan baru tentang panti sosial atau panti jompo menjadi lebih terbuka, mengapa demikian? Setelah berbincang bersama mereka, jelas bahwa stigma itu tidak “selamanya benar”. Nyatanya panti jompo malah menjadi solusi bagi sebagian orang untuk memberikan perawatan terbaik bagi para lansia. Sebab di sana mereka memiliki banyak kawan untuk berinteraksi dan meluapkan kekesalannya dengan bercengkrama bersama. Di usia tua, tubuh kita sudah tidak memiliki kekuatan seperti layaknya di usia muda dulu sehingga kegiatan atau aktivitas yang biasa dilakukan menjadi terhambat dan mereka cenderung lebih banyak berdiam diri, beristirahat karena sudah tidak bisa untuk melakukan banyak atau aktivitas yang berlebihan. Hal itulah yang membuat para lansia memerlukan teman untuk mengisi waktu luangnya.

Kenyataannya kita terkadang melupakan bahwa para lansia tersebut hanya butuh “didengar” namun kebanyakan dari kita tidak menyadari itu, bahkan sulit meluangkan waktu bersama para lansia di sekitar kita akibat kesibukan-kesibukan dalam keseharian kita sendiri. Padahal mereka sangat membutuhkan uluran tangan kita dan menyediakan telinga kita untuk mendengarkan keluh kesahnya. Hal itu juga yang saya dapatkan ketika mencoba untuk mendengarkan mereka, saya jadi banyak mendapat nilai-nilai kehidupan melalui perbincangan bersama oma opa, di mana kisah perjalanan hidup mereka menjadi pembelajaran yang berharga juga untuk kita, dan dengan adanya kita bersama mereka memberikan aura positif, adanya kita membuat mereka bahagia karena merasa mendapat wadah untuk menuangkan kisahnya, dan bertemunya bersama oma opa mengajarkan nilai-nilai kehidupan kepada kita.












Melihat mereka membuat kita sadar bahwa kelak kitapun akan menua dan terus menua, namun hal itu seharusnya menjadi cambukan kepada kita untuk tetap sadar dan terus berjuang melakukan yang terbaik dalam masa muda kita sehingga kita dapat memberikan kontribusi dalam kehidupan ini dengan sebaik-baiknya. Melihat mereka menyadarkan kita juga untuk senantiasa menghormati dan mengasihi serta menyayangi orang-orang lanjut usia di sekitar kita. Intinya kita harus selalu memaknai kehidupan kita dan terus mencoba untuk lebih peduli terhadap hal-hal yang ada di sekitar kita.

(ditulis oleh Rizkiyah Fitri Awaliyah)