Tulisan koordinator kota Sekolah Damai Indonesia Bandung atau Sekodi Bandung, Fanny S Alam, diterbitkan harian umum Pikiran Rakyat tanggal 22 Mei 2019 di kolom Opini.
Tanpa ada angin atau pertanda lainnya, tiba-tiba Indonesia terkena sindrom people power. Kata ini hampir ada di pikiran pemirsa atau warga net yang rajin membaca berita melalui media sosial. Tanggal 22 Mei 2019 merupakan rencana tonggak pecahnya people power. Sontak, hal ini membawa dampak bagi beberapa negara, seperti Amerika, Belanda, bahkan Singapura dan Malaysia untuk merilis travel advisory ke Indonesia untuk lebih waspada di tempat-tempat keramaian di Jakarta. Mereka tidak sembarangan mengeluarkan peringatan tersebut karena adanya rilis Pejabat Kepolisian Republik Indonesia yang menggarisbawahi resiko perilaku terorisme berhubungan dengan finalisasi
hasil pemilihan umum presiden 2019.
Rencana pelaksanaan People Power di Indonesia pada tanggal di atas sudah tentu menimbulkan keheranan tertentu.
Segenting apa kondisi yang ada di indonesia mengenai finalisasi hasil pemilu sehingga sampai perlu ada wacana people power? Sebenarnya People power untuk apa tujuannya dan dalam keadaan apa digunakannya?
People Power, Ideal dan "Ala-ala"
Istilah People Power sebenarnya pernah menggema pada masa 21-22 Mei 1998 dimana kekuatan suara masyarakat yang direpresentasikan kekuatan mahasiswa yang menduduki gedung DPR MPR sebagai bagian menggulingkan kekuasaan otoriter Presiden Soeharto yang kala itu sudah berlangsung selama 32 tahun. Ditandai dengan krisis ekonomi Asia yang pada akhirnya menyerang Indonesia berkepanjangan, membuka borok kesempurnaan pemerintah pada saat itu. People power saat itu juga dipicu karena tragedi Trisakti yang merenggut korban mahasiswa serta semakin memperburuk kondisi dengan kerusuhan Mei 1998 yang berimbas pada segregasi penggunaan politik identitas dan serangkaian kasus kekerasan dan perkosaan terhadap etnis tertentu. Situasi genting itu memaksa People Power bergerak untuk turut menyelamatkan kondisi carut marut tersebut.
Howard Clark, akademisi dan aktivis dalam bukunya People Power: Unarmed Resistance and Global Solidarity, menyatakan bahwa people power dapat direngkuh dengan solidaritas tak bersenjata dengan memperkuat kekuatan akar rumput untuk memperkokoh basis isu yang akan dilawan. Akan tetapi, ia juga menggarisbawahi betapa people power dapat digerakkan dalam bentuk aksi besar yang banyak diidentifikasi sebagai gerakan untuk melengserkan penguasa yang dianggap sudah korup atau banyak melakukan pelanggaran kepada negara dan warganya. Sementara itu, jika kita melihat terminologi demokrasi, melihat bahwa demokrasi merupakan bentuk pemerintahan dari rakyat untuk rakyat, maka terdapat relasi people power yang ada secara krusial dalam jalannya roda pemerintahan berbasis demokrasi. People power melihat keinginan rakyat yang idealnya direpresentasikan oleh para wakil rakyat dalam forum lembaga perwakilan rakyat dan diterjemahkan dalam serangkaian peraturan dan undang-undang yang mengakomodir kepentingan bersama rakyat dan negara.
Ketika media sosial diramaikan dengan wacana People Power akhir-akhir ini, dan ternyata menurut aparat polda metro jaya bahwa yang mengucapkan dua kata di atas adalah Amien Rais yang juga turut berkata tidak mau diintimidasi dengan kekuatan militer pemerintah dan menyerukan people power untuk memprotes hasil pemilu presiden 2019 serta pelanggarannya. Setidaknya pernyataan ini membuat adanya dukungan dari kelompok-kelompok politik tertentu untuk bergerak menyuarakan ini dan dilakukan tanggal 22, tepat saat kejatuhan rejim pemerintah Soeharto pada 1998 silam. Simpang siur tentang rencana people power ini setidaknya berhasil membuat aparat sibuk, menjadi lebih waspada dengan beberapa penangkapan orang-orang tidak bertanggung jawab dengan serangkaian rancangan teror dan sayangnya berimbas terhadap pandangan dunia internasional terhadap negara kita. Itukah yang dimaksud dengan People Power di Indonesia 2019?
Refleksi Tentang People Power
Melihat rencana People Power yang dilaksanakan tanggal 22 Mei 2019 untuk mengusung protes akan hasil final pemilu presiden 2019, sebenarnya inilah bentuk reformasi demokrasi. Bahwa kebebasan berekspresi merupakan hak siapa pun karena itulah bagian hak asasi manusia sebenarnya. Pembatasan terhadapnya merupakan bentuk pelanggaran, walaupun pada prosesnya hal ini menimbulkan banyak kekhawatiran dan gejolak yang tidak perlu terjadi di dalam dan sampai ke luar negeri.
Sebenarnya, untuk siapakah people power 2019 itu? Apakah dampaknya bagi rakyat secara keseluruhan? Elemen rakyat siapa saja yang terlibat di sana? Kepentingan siapa yang akan diperjuangkan? Apakah sudah dianggap kuorum memperjuangkan kepentingan rakyat dalam skala luas atau hanya kepentingan politik kelompok tertentu saja yang merasa dirugikan dari hasil akhir pemilu?
Jika melihat terminologi People Power di atas, mungkin atas nama kebebasan berekspresi bisa saja ketidakpuasan tersebut mendompleng People Power karena dalam kenyataannya ada elemen rakyat di sana, akan tetapi tetap harus dipikirkan konsekuensi ke depannya bagaimana.
Apakah perlu protes mendompleng People Power pada akhirnya menebar kekhawatiran rakyat keseluruhan hingga menghilangkan kepercayaan dunia internasional kepada Indonesia serta kembali memecah belah persatuan rakyat di sini hanya untuk memuaskan nafsu politik sesaat? Pikirkanlah.