Tampilkan postingan dengan label Sekodi Bandung. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sekodi Bandung. Tampilkan semua postingan

Jumat, 21 Februari 2020

Negara dan Aturan Mengenai Keluarga

Akhir-akhir ini di media sosial sedang ramai dibicarakan mengenai beberapa isu yang berkaitan dengan keluarga, yakni RUU Ketahanan Keluarga dan pernyataan seorang menteri tentang anjuran "kawin silang" --maksudnya, orang kaya menikah dengan orang miskin. Kedua topik ini menjadi buah bibir karena beberapa hal dianggap tidak masuk akal. Negara juga dianggap terlalu mencampuri ranah privat dari penduduknya.

Secara khusus, jika kita bicara mengenai RUU Ketahanan Keluarga, terdapat berbagai isu yang dibahas sehingga RUU ini tampak mengurusi terlalu banyak hal yang tidak esensial. Definisi ketahanan keluarga yang dicantumkan dalam RUU tersebut adalah "kondisi dinamik keluarga dalam mengelola sumber daya fisik maupun non-fisik dan mengelola masalah yang dihadapi, untuk mencapai tujuan yaitu keluarga berkualitas dan tangguh sebagai pondasi utama dalam mewujudkan Ketahanan Nasional."

Dari definisi itu, saya menggarisbawahi tiga kata kunci: "sumber daya fisik", "sumber daya non-fisik", "masalah yang dihadapi".

Sumber daya fisik yang dimaksudkan dalam definisi, sepenangkapan saya, diterjemahkan menjadi beberapa pasal yang mengatur mengenai donor sperma, donor ovum, dan surogasi. Dikatakan bahwa setiap warga negara dilarang menjualbelikan sperma atau ovum, memberikan atau menerima donor sperma atau ovum secara sukarela, serta dilarang melakukan surogasi untuk memperoleh keturunan (Pasal 31 dan Pasal 32).

Apa urusan negara dengan pinjam-meminjam rahim? Apa korelasinya antara hal ini dengan ketahanan negara yang menjadi tujuan akhir dari ketahanan keluarga? Apakah penyusun RUU ini memikirkan risiko kesehatan yang seringkali menjadi alasan orang melakukan donor sperma, donor ovum, dan surogasi?

Kata kunci berikutnya adalah sumber daya non-fisik, yang tampaknya justru diterjemahkan sangat luas, namun operasionalisasinya sangat sulit. Dalam Pasal 24 ayat 2, disebutkan bahwa suami-istri adalah pasangan yang terikat sah dalam pernikahan wajib saling mencintai, menghormati, menjaga kehormatan, setia, serta memberi bantuan lahir dan batin yang satu kepada yang lain.

Sejak kapan negara punya kewenangan untuk mengatur tentang perasaan seseorang? Bukankah perasaan (cinta) itu adalah tanggung jawab dan urusan masing-masing individu? Pasal lain yang ramai dibahas adalah Pasal 25 mengenai kewajiban suami dan istri. Terdapat ketidakseimbangan kewajiban antara suami dan istri yang ditulis dalam RUU tersebut, misalnya bahwa istri harus mengurus rumah tangga, sedangkan suami mencari nafkah.

Pembagian peran secara tradisional yang mendiskreditkan perempuan ini sebenarnya sudah cukup usang, dibandingkan dengan semangat kolaborasi dalam rumah tangga dan kesetaraan gender sedang gencar dipromosikan berbagai pihak. Lantas bagaimana dengan pasangan yang istrinya harus bekerja, misalnya karena suami mengalami disabilitas tertentu, atau istri menjadi TKW di luar negeri?

Dalam pasal ini juga terkesan suami dan istri adalah dua pihak yang memiliki kewajiban berbeda dalam keluarga, tidak ada kesan bahwa rumah tangga adalah kerja sama di antara suami dan istri. Jika RUU ini disahkan, relasi antara suami dan istri justru bisa menjadi sangat mekanistis karena mereka memiliki beberapa kewajiban yang harus dipenuhi.

Penjabaran mengenai apa yang dimaksud dengan masalah dalam definisi ketahanan keluarga juga ada yang kurang masuk akal. Meski ada beberapa aspek yang tepat, misalnya perceraian, kemiskinan, dan pengangguran, namun ada beberapa aspek lain yang kurang sesuai, misalnya yang termasuk ancaman non-fisik dan masalah dalam keluarga adalah individualisme, sekularisme, propaganda pergaulan dan seks bebas, propaganda LGBT (Pasal 50), serta penyimpangan seksual (Pasal 74) yang mencakup sadisme, masokisme, homoseks, dan inses.

Saya ingin memberi alternatif acuan tentang krisis keluarga dari Foster (1957) yang menyebutkan bahwa krisis keluarga terbagi atas dua tipe. Pertama, kehilangan dukungan ekonomi, kematian, penyakit parah, kecelakaan, dan sebagainya. Kedua, krisis yang mencakup stigma sosial seperti perang, inflasi ekonomi, masalah kesehatan mental dan gangguan fisik, dan sebagainya.

Dengan demikian, isu-isu yang rasanya lebih tepat dibahas berkaitan dengan krisis keluarga adalah bagaimana aturannya jika terjadi PHK pada pekerja, bagaimana layanan asuransi kesehatan maupun asuransi jiwa, bagaimana layanan yang diberikan negara untuk keluarga yang memiliki anggota keluarga dengan disabilitas tertentu, atau bagaimana pemberdayaan keluarga prasejahtera.

Saya melihat dalam RUU ini penyusun kurang melihat fenomena yang terjadi dalam keluarga secara komprehensif, sehingga beberapa poin yang dihasilkan terkesan bertolak belakang. Contohnya, salah satu krisis keluarga adalah kemiskinan, namun pada Pasal 33 ayat 2 diatur mengenai pemisahan kamar yang berbeda antara anak laki-laki dan anak perempuan. Bagaimana dengan keluarga prasejahtera yang hanya tinggal di rumah petak dengan satu ruangan untuk semua kegiatan?

Pertanyaan lebih lanjutnya, jika negara memiliki standar rumah layak huni, bagaimana upaya negara untuk menyediakan rumah dengan standar seperti itu bagi seluruh warga negara?

Selain itu, terdapat masalah-masalah lain yang sesungguhnya lebih penting dan mendesak terkait dengan keluarga, yang belum diwadahi dalam RUU ini, di antaranya masalah kemiskinan, masalah kesehatan termasuk kesehatan reproduksi, masalah pengasuhan termasuk jika terdapat anggota keluarga dengan disabilitas, pendidikan, dan masih banyak lagi.

Contoh kasus yang sedang marak akhir-akhir ini adalah penculikan dan pelecehan seksual pada anak. Salah satu faktor yang menyebabkan hal ini adalah kurangnya pengetahuan dan keterampilan anak tentang proteksi diri. Mereka tidak tahu seperti apa sentuhan yang layak dan tidak layak, serta bagaimana harus menolak atau meminta bantuan pada orang lain jika mereka mengalami hal yang kurang menyenangkan.

Menanggapi hal ini, keluarga-keluarga dapat diberikan pelatihan mengenai cara mengajarkan pada anak tentang proteksi diri.

Selain itu, isu lain yang sering terjadi di Indonesia adalah perlakuan yang kurang tepat pada anggota keluarga yang mengalami disabilitas tertentu, baik fisik maupun mental. Kisah yang sering kita dengar mengenai beberapa keluarga yang mengurung atau memasung anggota keluarga yang mengalami disabilitas adalah contoh nyata betapa keluarga-keluarga kurang memiliki kapasitas untuk merawat anggota keluarga dengan disabilitas, sehingga mereka melakukan penelantaran.

Fenomena ini menjadi peluang bagi pemerintah jika ingin mengadakan program untuk meningkatkan sumber daya non-fisik yang dimiliki keluarga sehingga dapat berfungsi dengan lebih optimal.

RUU Ketahanan Keluarga memberikan batasan dan aturan yang berisiko membuat ruang privat menjadi makin sempit. Alih-alih memberi sanksi, negara sebaiknya memberikan pemberdayaan dan penguatan sehingga keluarga-keluarga bisa semakin berdaya.


(ditulis oleh Stella Vania, kawan Sekodi Bandung. tulisan serupa juga dimuat di Detik.com

Rabu, 19 Februari 2020

Keterlibatan Muda dalam Politik

"Beri aku 1000 orang tua niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda niscaya akan kuguncangkan dunia" 

Seluruh masyarakat Indonesia pasti sudah mengenal kutipan terkenal di atas oleh proklamator kemerdekaan negara kita, Ir. Soekarno. Betapa beliau ingin melibatkan generasi muda dalam proses kemerdekaan. Betapa mereka mendapat porsi penting dalam pembangunan ke depannya. 

Mantan Sekretaris jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, Ban Ki-Moon, juga menggarisbawahi peran generasi muda dalam menciptakan dunia yang lebih baik dan aman, lalu penggalangan kekuatan mereka dalam pengambilan keputusan, program pembangunan serta kebijakan yang menguntungkan kelompok mereka, masyarakat secara umumnya, serta masa depan negara. 

Presiden Joko Widodo menyadari pentingnya peran generasi muda yang selanjutnya disebut milenial dalam tatanan pembangunan Indonesia, sehingga merefleksikan pada sumpah pemuda tahun 1928 silam, beliau menekankan bahwa persatuan generasi muda dalam melihat negara di bingkai negara kesatuan republik Indonesia merupakan kunci pelaksanaan pembangunan negara dan keterlibatan krusial mereka, sehingga dalam tatanan praktisnya beliau mengangkat beberapa dari generasi milenial berprestasi sebagai bagian staf ahlinya. Ini merupakan kunci penting keterlibatan dan pemberdayaan kelompok milenial muda untuk berkontribusi dalam pembangunan, baik dari level akar rumput hingga negara. 

Keterlibatan muda untuk dapat berperan penting dalam pembangunan salah satunya dimulai dengan politik. Masih banyak generasi muda, terutama dari kelompok usia milenial,yang menunjukkan sifat antipati terhadap hal-hal.yang berhubungan dengan politik. Keengganan mereka dalam memilih pun jelas memberikan dampak krusial bagi masa depan perpolitikan di Indonesia,sehingga jujur hal ini akan memberikan ekses terhadap keberlanjutan politik dalam hal pengambilan keputusan, penyusunan kebijakan politik bagi masyarakat. 

Namun, kondisi ketidakpedulian generasi milenial terhadap politik pun bahkan diperlihatkan oleh salah satu negara terbesar dalam peran demokrasi, yaitu Amerika Serikat, karena mereka mengalami masa di mana hanya 10 persen dari kelompok usia 18 hingga 24 tahun yang memperlihatkan kecenderungan tidak memenuhi syarat keterlibatan penuh dalam pemungutan suara presiden 2012. Dilansir selanjutnya oleh Centre for information and research on civic learning and engagement (CIRCLE). Selain itu, masih banyak orang tua yang menganggap pendidikan kewarganegaraan yang berkaitan dengan politik adalah tabu. Juga, iklim politik nasional turut serta mengalienasi anak-anak muda dalam kehidupan masyarakat publik secara politik.  


Kelompok Muda dalam Politik 

Kehadiran kelompok muda dalam berpolitik di Indonesia tentu merupakan langkah positif untuk mengimbangi kekuatan politik yang selama ini dilaksanakan oleh para politisi berusia senior dengan segala pengalamannya. Keberadaan kelompok muda ini diharapkan akan membawa dampak positif, terutama dalam dinamisnya pengambilan keputusan yang dinilai akan jauh lebih cepat dan energik. Hal ini dikemukakan oleh Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) ketika menganalisa daftar caleg sementara Pemilu Legislatif 2019 silam. Kesimpulannya, menurut peneliti forum ini Lucius Karus, adalah secara jumlah mayoritas calon legislatif adalah berusia 36-59 tahun dengan total 68% serta sekitar 21% berusia 21-35 tahun. Sisanya 11% adalah berusia 60 tahun ke atas.  

Menjadi bagian legislatif pun pasti didasari oleh kepentingan masing-masing individu yang sudah mempersiapkan dirinya secara matang. Latar belakang mereka pun bermacam-macam, seperti ada yang sudah bekerja atau menjadi pengusaha, lalu memutuskan turun ke dunia politik. Di dalam sisi lain, ada juga mereka yang turun ke politik dan berharap akan terus melaju ke legislatif untuk meneruskan jejak keluarga yang sejak awal sudah berkecimpung dalam dunia politik.  Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Amalinda Savarini, dosen fakultas ilmu politik Universitas Gadjah Mada. Dikutip dari wawancaranya Bersama BBC, Amalinda menekankan adanya kehadiran politikus muda dalam setiap pemilihan anggota legislatif, namun sebagian mereka bersaing dalam dunia politik untuk mempertahankan pengaruh politik keluarga, atau bahkan yang hanya sekedar mengadu nasib. kampanye atau membeli suara, itu yang banyak berhasil," ujar dosen ilmu politik Universitas Gadjah Mada, Amalinda Savarani. 

Kondisi yang mungkin berlawanan akan ditemukan di New Hamsphire, salah satu negara bagian di Amerika Serikat, di mana seluruh anggota legislatifnya setingkat DPRD dibayar rendah untuk masa jabatan 2 tahun sejak tahun 1889. Hal ini dikarenakan undang-undang untuk legislatifnya yang menuntut bahwa pekerjaan wakil rakyat adalah merupakan komitmen dedikasi dan kontribusional. Kondisi ini juga membuat mereka tidak berkantor di gedung perwakilan rakyat, tidak memiliki staf ahli atau staf khusus untuk membantu pekerjaan mereka. Hal ini memperlihatkan kenyataan bahwa kebanyakan yang menduduki jabatan wakil rakyat adalah masyarakat dengan dana berlebih atau sudah pensiun. Namun, sejak dua tahun lalu kecenderungan ini agak berubah sejak bertambahnya jumlah kelompok muda bahkan milenial berpartisipasi menjadi bagian legislatif dengan memperhatikan realita pendapatan yang rendah. Salah satunya adalah Joe Alexander, yang berasal dari partai Republik. Lulus kuliah, ia langsung menyatakan minatnya untuk menjadi bagian dari wakil rakyat dan didukung oleh partai Republik yang juga langsung memperlihatkan dukungannya dengan membantu proses kampanye hingga masa pemilihan datang. Isu-isu yang dikemukan Joe sangat berkorelasi dengan situasi yang sangat mengakar kepada kepedulian dan kekhawatiran masyarakat akan regulasi mengenai kepemilikan senjata pribadi, transparansi anggaran, isu keluarga dan remaja, serta perubahan ikllim. Rekan muda lainnya yang juga wakil rakyat, Cam Kenney juga memperlihatkan kekhawatiran mendalam terhadap situasi utang pinjaman kuliah yang semakin meningkat dan kerusakan lingkungan serta dampak negatifnya bagi masyarakat New Hamsphire, khususnya. Dengan penghasilan terbatas tersebut, Cam bahkan tidak ragu untuk bekerja paruh waktu di sebuah kafe dan sering bertemu dengan pelanggan sekaligus konstituen pemilihnya.  

bersama anggota dewan legislasi muda New Hampshire
dan sesama anggota IVLP
ditulis oleh Fanny S. Alam, Koordinator Sekodi Bandung dan Koodinator Bhinneka Nusantara Foundation Region Bandung. tulisan yang sama juga dimuat di AyoBandung.com.

Selasa, 11 Februari 2020

Mengikuti Pelatihan Menciptakan Budaya Damai di Pati, Jawa Tengah


Beberapa waktu lalu, Sekolah Damai Indonesia mendapatkan undangan untuk terlibat dalam International Peace Training. Sekodi mengirimkan dua orang wakilnya, yakni Rhaka dari Sekodi Bandung dan Jati dari Sekodi Jogja. Rhaka membagikan pengalamannya mengikuti kegiatan tersebut dalam tulisan ini.

Jati (Sekodi Jogja) dan Rhaka (Sekodi Bandung)
11 Januari 2020 - 21 Januari 2020 adalah tanggal dilaksanakannya International Peace Training yang diadakan di Peace Place Pati, Kabupaten Pati, Provinsi Jawa Tengah, Indonesia. Saya hadir mewakili Sekolah Damai Indonesia Bandung. Pelatihan ini diikuti oleh 45 peserta dari 9 negara termasuk Indonesia, Amerika Serikat, Nepal, Kenya, Inggris, Korea Selatan, Rusia, Selandia Baru, dan Filipina; dan latar belakang juga komunitas yang beragam. Usia peserta yang mengikuti pelatihan ini adalah 13 – 80 tahun.

Setibanya di Peace Place Pati, saya bertemu dan berkenalan dengan orang-orang baru dari berbagai negara dan juga berjumpa dengan kawan dari Sekodi (Sekolah Damai Indonesia) Yogya, namanya Jati. Saya kemudian mengambil makan siang dan tak lama setelah itu, saya mendapatkan tempat tidur dan untuk menyimpan barang-barang ku. Saya menyaksikan bagaimana teman-teman fasilitator mempersiapkan kegiatan. Lalu saya membantu untuk mengepel lantai di sana. Malamnya, peserta yang hadir berkumpul di tempat pelatihan dan memperkenalkan diri. Bagi saya, ini adalah menyenangkan untuk dapat kenal satu sama lain. Kami pula berbagi tugas sukarela sehingga bisa bekerjasama dengan panitia kegiatan.

Pelatihan yang diberikan adalah mengenai Creating Cultures of Peace, Menciptakan Budaya Damai. Setiap harinya ada kegiatan pelatihan dan malamnya ada kegiatan malam budaya.  Pelatihan mengenai Transformasi Diri dilaksanakan pada hari 1 – hari 4 pelatihan, kunjungan komunitas di Tondo Mulyo pada hari 5, Pelatihan Transformasi diri pada hari 6 – 9, dan topik-topik khusus pada hari 9 – 11.

Pelatihan transformasi diri dimulai pada hari ini

Saya mau berbagi hal-hal yang jadi sorotan saya selama mengikuti Pelatihan Perdamaian Internasional di Pati.

Makanan
Makanan yang disediakan di pelatihan ini semuanya adalah organik. Karena kami peduli soal pembakaran lahan untuk minyak sawit yang terjadi di Indonesia maka kami memutuskan untuk menggunakan minyak kelapa. Menu-menu lokal yang disajikan sangat enak dan menggugah.

Bermain
Bermain menjadi hal yang sentral di pelatihan ini. Bermain membuat pikiran jadi lebih segar dan kreatif. Kami bermain di PAUD Joglo. Terdapat lima sentra bermain yang ada di sana dengan mainan yang mengasyikkan bagi saya sendiri.

Transformasi
Pelatihan ini menekankan bahwa untuk mencapai perubahan sosial maka dimulai dari perubahan diri. Proses ini dilalui secara sistematis dari diri hingga bisa bicara untuk menyampaikan kebenaran. Bagi saya, ini adalah personal dan dapat dibagikan pada semua orang.
Di pelatihan transformasi diri, kami dikenalkan pada peta perdamaian yakni:
1. Persaudaraan & Kesepakatan
2. Memunculkan yang Baik & Kenyamanan
3. Komunikasi & Ingat Kembali
4. Kerjasama & Terhubung Kembali
Di pelatihan transformasi sosial, peta itu bertambah hingga 8 poin, yaitu:
5. Keyakinan & Kesetaraan
6. Kepercayaan & Kesederhanaan
7.  Perubahan & Ketajaman
8.  Arahan & Penyelesaian Sengketa
Prinsipnya, pembacaan bisa dibalik dari 8 ke 1. Misalkan arahan tidak tercapai maka lakukan perubahan, jika tidak ada perubahan maka bangun kepercayaan, dan seterusnya.

Malam Budaya

Di malam budaya kami berbagi pertunjukan dan nyanyian budaya. Ini semua diawali dari presentasi dari peserta mengenai gerakan dan komunitas yang mereka kembangkan. Saya mulai memahami bagaimana situasi dan kondisi di Negara lain. Hal yang bagi saya krusial adalah ketika memahami situasi pulau Jeju di Korea Selatan. Itu mengubah pandangan saya mengenai Korea Selatan seutuhnya.
Ketika malam budaya Indonesia, saya melakukan tari Merak Sunda.

Fasilitator
Fasilitator di sini sangat baik dan menyenangkan. Alur kegiatan mengalir dengan lancar sehingga seringkali saya merasa hari cepat berlalu begitu saja. Dedikasi dan komitmen yang sangat baik ditunjukan oleh mereka. Saya ucapkan terima kasih kepada seluruh fasilitator yang bekerja dengan sangat baik.

Akhir, Langkah ke Depan
Dengan langkah yang telah dibuat di akhir pelatihan, saya menemukan pengarahan kembali hidup saya. Secara personal, ini memberikan makna tujuan hidup. Dan juga beberapa pemuda yang terlibat di pelatihan ini akhirnya menyadari bahwa penting untuk memulai inisiasi supaya lingkungan sekitar menjadi tempat yang baik untuk hidup.
Peserta diberikan panduan mengenai langkah-langkah berikutnya yang dapat dilakukan setelah mengikuti pelatihan. Hal penting yang saya catat adalah terus berlatih, buat inisiasi, dan kader fasilitator untuk CCP.
Setelah disampaikan langkah-langkahnya, perumusan langkah berikutnya ini dilanjutkan setelah penutupan pelatihan transformasi sosial.

Tim Indonesia
Kami merencanakan untuk membuat jejaring untuk berlatih CCP di Indonesia yang kini ada di Pati, Solo, Yogyakarta, dan Bandung. Berlatih dengan mengundang orang yang berpengalaman dalam CCP untuk bantu buatkan pelatihan bersama.

Proyek Saya
Saya merencanakan untuk melakukan kolaborasi lintas komunitas untuk menerapkan CCP menjadi bentuk karya seni pertunjukan tari yang dapat menjadi media pembangunan perdamaian di masyarakat. Oleh karena itu, saya sampaikan kepada Ibu Nadine ketertarikan saya untuk mengembangkan karya seni yang demikian. Permintaan saya disetujui. Melalui Sekolah Damai Indonesia saya membentuk kolaborasi tersebut.
Sekian kisah saya ketika mengikuti Pelatihan Perdamaian Internasional yang diadakan di Pati pada 10 Januari 2020 – 22 Januari 2020.



Kamis, 30 Januari 2020

Halaqah Damai XXVI: Akar Kekerasan dalam Perspektif Women Studies

Sekolah Damai Indonesia - Bandung (Sekodi Bandung) terus berupaya membangun kerja sama dengan berbagai komunitas yang berada di Bandung. Salah satu kegiatan yang secara rutin didukung oleh Sekodi Bandung adalah Halaqah Damai, sebuah forum diskusi bulanan yang membahas tentang berbagai isu sosial dari berbagai perspektif. Pada hari Rabu, 29 Januari 2020 diadakan diskusi bulanan Halaqah Damai ke XXVI. Topik yang dibahas pada Halaqah Damai bulan ini adalah Akar Kekerasan dalam Perspektif Women Studies, dengan narasumber Dr. Yeni Huriani, M.Hum. Berikut adalah tulisan dari seorang teman Sekodi Bandung, Ridwan, yang mengikuti diskusi Halaqah Damai tersebut. 

AGAMA SEBAGAI AKAR KEKERASAN
(Dalam Perspektif Studi Wanita)

Dalam pandangan Agama, khususnya agama Islam dan umumnya Agama lainnya, wanita itu cenderung lebih dibedakan dengan laki-laki, dan bahkan dalam konstruk Teologis untuk perempuan itu contoh dalam Kisah Penciptaan Pertama dan Penciptaan Kedua, laki-laki (Adam) itu lebih awal diciptakan daripada Wanita (Hawa), bahkan Wanita sendiri disebutkan diciptakan dari Tulang Rusuk Laki-laki dan  ini memang dipandang benar oleh Abrahamic Religion (Islam,Yahudi, dan Kristen), jadi seakan-akan wanita ini drajatnya lebih rendah daripada laki-laki menurut padangan agama. Begitujuga dalam Kisah (pandangan) Drama Kosmis tentang dosa asal yang menyebabkan manusia terlempar dari Surga (Taman Eden), dalam kisah Abrahamic Religion wania itu adalah penyebab terlemparnya manusia dari surga, karena wanita bersekutu dengan Setan/Iblis dan mudah sekali digoda oleh Iblis untuk memakan Buah dari Pohon Terlarang, sehingga seakan-akan wanita ini adalah temannya Setan, sebagaimana Setan menggoda manusia begitu juga wanita sering menggoda laki-laki.

Lalu Bagaimana Agama Melihat Perempuan?
Dalam citra tentang Tuhan yang laki-laki, dalam agama Yahudi Tuhan itu disebut "Yehovah" atau "YAHWEH", dalam agama Kristen Tuhan itu disebut Bapa, Bapa Sorgawi, Allah Bapa. Dalam Islam, Al-Qur'an menyebut Allah itu "Huwa" yang kalau diartikan Dia (Maskulin) dan bukan "Hiya" yang bersifat Feminim, bahkan di agama lainpun sama dalam memandang kemaskulinan Tuhan.

Dan agama juga mengucilkan perempuan dari wilayah publik, zaman dulu perempuan itu dilarang untul ikut beribadah di gereja, yanh diperbolehkan itu hanya laki-laki saja, jadi kalau seorang istri menunggu di rumah dan ketika suaminya pulang dari gereja,si istri ini akan menanyakan apa saya yang dikhotbahkan oleh pemimpin agama di Gereja, begitu juga dengan Yahudi, dan dalam pandangan Islam, perempuan ini dilarang keluar, dan ini masih menjadi perdebatan dikalangan ulama-ulama Islam, ada yang memperbolehkan asalkan ada pendamping yang "Muhrim" ada juga yang melarangnya, bahkan dalam islam kalau seorang istri keluar rumah tanpa sepengetahuan suaminya, maka sang istri tersebut dicap berdosa.

Arab Saudi saja baru mengeluarkan izin bahwa seorang perempuan itu boleh keluar dan mengemudikan mobil sendiri itu baru setahun kebelakang, sehingga dalam pemahaman ini islam cenderubg lebih ketinggalan dalam menafsirkan penyetaraan kedudukan wanita, tapi di agama lainpun selain Abrahamic Religion juga ada yang demikian.

Dalam Kepemimpinan, agama memandang bahwa laki-laki itu lebih pantas dalam memimpin, karena memang citra laki-laki yang dari awal itu lebih berkuasa daripada perempuan, bahkan dalam keluarga sekalipun laki-laki (suami) yang berhak memimpin keluarganya.

Dalam Hukum Keluarga, wanita pun hanya jadi pengikut apa yang dikatakan suaminya, dan suami menjadi sang pemimpin bagi anak dan istrinya, sang istri hanya harus berdiam di rumah mengurus segala urusan rumah tangga, sedangkan suami mencari nafkah dan memberikan kepada istrinya seberapapun nafkah yang dikehendaki suaminya, dan seorang istri harus mau menerimanya, mau besar ataupun kecil tak ada kuasa untuk meminta lebih, bahkan dalam islam, Istri yang tidak mau diajak "main di ranjang" maka suami punya hak untuk memukul istrinya, hukum islam ini disebut "Nuzuz", ini diperbolehkan bagi suami untuk memukul istri yang tidak mau menuruti kehendak suaminya.

Dalam Perkawinan, agama memandang laki-laki itu lebih bebas, laki-laki bebas mau menikah di usia berapapun, mau dia usianya 15, 17, 19, 25, bahkan 40 sekalipun laki-laki tidak ada kendala atau halangan apapun kalau dia mau menikah, tapi kalau perempuan banyak sekali kendalanya, kalau wanita belum menikah dalam usia 30 tahunan saja sudah ribut keluarga besarnya, dan ada istilah "Perawan Tua" bagi wanita yang belum menikah melewati usia 25 sampai 30 tahun.

Dalam hak Kepemilikan, itu wanita tidak punya hak dalam memiliki seauatu pasti hanya suaminya saja yang disebut memiliki hak dalam kepunyaanya, rumah, mobil, motor itu pasti disebut milik suaminya, bahkan dalam hukum warisan Laki-lakilah yang berhak mendapat banyak dari warisan yang diwariskan kepadanya, sedangkan wanita itu mendapat setengah dari apa yang diperoleh laki-laki.

Dan agama juga menanamkan konsep istri patuh kepada suami, namun tidak ada konsep suami patuh kepada istri, dalam Abrahamic Religion, ini memang diakui, bahkan istri yang tidak mau menurut kepada suaminya itu dicap sebagai istri yang durhaka atau istri pembangkang, dan dalam budaya Minang, apabila seorang istri menyuruh suaminya itu adalah sebuah pelecehan, dan sang suami memiliki hak apapun untuk dilakukan kepada istrinya.

Perempuan dan Kekerasan
Wanita sering menjadi mengalami berbagai kekerasan, di antaranya sebagai berikut: 
  • Kekerasan Fisik, seorang istri sering menjadi baku hantaman pukulan dari suaminya, dan iniemang sering terjadi, bukan hanya di satu agama tapi disemua agama demikian, istri yang tidak mau nurut kepada suami, maka sang suami punya hak dalam memukul istrinya.
  • Dalam kekerasan Psikis, wanita sering menjadi bahan olok-olokan dari suaminya bahkan dari pihak umum, dan wanita itu sering ditekan oleh suaminya atau keluarganya siapapun itu, di Indonesia, wanita yang bertubuh gemuk, atau berkulit hitam, atau berambut kriting, itu dipandang sudah bukan seperti wanita lagi, padahal kriteria kecantikan setiap negara itu berbeda-beda.
  • Wanita juga sering mendapat perlakuan kekerasan seksual, bahkan lebih sering daripada laki-laki, banyak sekali beredar berita pemerkosaan, dan yang menjadi korbannya adalah wanita.
  • Wanita juga sering mendapat kekerasan ekonomi, wanita sering ditelantarkan, dan sang suami yang mencari nafkah lalu memberikan nafkah kepada istrinya itu dengan anggapan "cukup tidak cukup ya terserah, asalkan suami sudah kerja dan mampunya hanya segitu", istri juga sering dijadikan kuda, suami diam dirumah, dan istri bekerja keluar, lalu kalau si istri mendapat uang, maka uang itu juga dikasihkan kepada suami, dan ini yang menjadi problem masyarakat sekarang.

Jadi bagaimana kita harus menanggapi hal-hal ini?
Kita harus membaca kembali Teks Suci, dan menafsirkannya bukan secara harafiyyah, tapi secara maknawiyyah, sehingga makna asli dari ayat-ayat dari Teks Suci itu dapat kita fahami, khususnya bagi wanita yang religion.
Kita juga butuh penafsiran baru terhadap Teks Suci, karena memang penafsiran itu harus menyesuaikan dengan apa yang ada dilingkungan kita, khusunya mengenai pandangan terhadap wanita, sehingga tidak ada lagi anggapan "agama mendeskriminasi wanita", kita harus menjadikan agama ini menjadi kereligiusan pada diti wanita dengan penafsiran baru akan Teks Suci tersebut, sebagaimana Agama membutuhkan Wanita, begitu pula wanita membutuhkan Agama.
Kalau kita lihat dalam sejarah, wanita juga berperan penting dalam penyebaran agama, begitu juga agama sangat berpengaruh pada diri wanita.


Selasa, 07 Januari 2020

Dilema Kebijakan Publik untuk Masyarakat

AYOBANDUNG.COM -- Munculnya rencana Pemerintah Kota Bandung untuk mengesahkan rancangan peraturan daerah (perda) Pencegahan dan Peningkatan Kualitas Permukiman Kumuh Perkotaan, lalu dalam skala nasional rancangan undang-undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual yang pembicaraannya serta pengesahannya masih tertunda merupakan dua contoh inisiasi rencana kebijakan publik yang diajukan untuk memenuhi target kerja legislasi. Target ini tentunya diusahakan agar bersifat adaptif dengan kebutuhan masyarakat secara ideal. Di satu sisi lain, banyak yang masih mempertanyakan efektivitas kebijakan publik yang akan disahkan maupun yang telah disahkan. Kebijakan publik lahir dari suatu keputusan politik yang menjadi suatu konsensus bersama para pengambil keputusan berdasarkan hasil observasi kepada masyarakat mengenai apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh mereka. Keputusan politik ini akan bergerak lurus dengan pelaksanaan serta bagaimana kinerja kebijakan politik dievaluasi untuk melihat skala keberhasilan atau bahkan kegagalan kebijakan publik yang telah dihasilkan.

Bagaimana sebenarnya kebijakan publik direncanakan agar tepat sasaran bagi masyarakat serta manfaatnya dapat dirasakan itulah yang menjadi tantangan berikutnya. Tidak jarang kebijakan publik terlihat sempurna ketika berada dalam tahap perencanaan hingga tahap rilis, namun menjadi lemah dalam implementasinya (Hill and Hupe, 2015), serta bagaimana kebijakan publik hanya menjadi pemuas target kerja politik saja. Ketidaklinieran, kesulitan prediksi, serta ketidakmampuan untuk adaptasi (Braithwaite, 2018) menimbulkan jurang lebar antara tahap perencanaan dan formasi kebijakan publik dan pelaksanaannya di waktu mendatang. Dengan begitu, hal ini jelas menimbulkan pemborosan anggaran serta gagalnya penerimaan manfaat kebijakan publik bagi masyarakat secara luas. Formasi Kebijakan Publik Tentunya politik kebijakan dimulai dari model masyarakat secara politis sudah ada dan mempertahankan elemen penting dari sisi politik itu sendiri (Stone, Deborah, 2002).

Masyarakat memiliki kekuatan serta keinginan politik yang ingin diwujudkan dalam bentuk regulasi yang bisa mengakomodasi kepentingan-kepentingannya. Memang tidak akan seluruh kepentingan masyarakat akan dapat dijangkau kebijakan publik karena ada intervensi pemerintah sebagai perpanjangan tangan masyarakat untuk merangkum semua kepentingan personal menjadi kepentingan kolektif. Peran kuasa pemerintah dalam memilah kepentingan-kepentingan tersebut, menurut John Stuart Mill dalam esainya "On Liberty", akan mengurangi tarikan personal dalam pengambilan keputusan untuk kebijakan publik dan akan mencegah "risiko bahaya politis" demi pemenuhan tujuan kepuasan publik. Resiko bahaya politis merupakan dampak dari proses formasi kebijakan publik. Di Indonesia dengan iklim keterbukaaan politik yang besar melibatkan jumlah partai politik yang akhirnya menyempit menjadi koalisi, tidak dapat disanggah bahwa kebijakan publik yang dihasilkan dapat berupa hal, yaitu mengakomodasi kepentingan masyarakat atau justru berpihak kepada kepentingan partai yang membawa nama masyarakat. Untuk mencegah hal tersebut, dibutuhkan mobilisasi isu yang akan diangkat dalam kebijakan publik, yang akan mempertimbangkan bagaimana perwakilan masyakarat dalam koalisi partai politik dalam legislatif terlibat dan mengembangkannya.

Bahkan, dalam bukunya Political Organization, James Q Wilson, menekankan bahwa dampak baik dan buruk dari proses formasi kebijakan publik yang didistribusikan di antara masyarakat sebagai konsensus bersama perwakilan masyakarat akan memperlihatkan apakah peran sebenarnya yang dilakukan perwakilan tersebut untuk membentuk dan aktif mengawal isu untuk formasi kebijakan publik. Realita Dilema Kebijakan Publik Contoh dua kebijakan publik di Indonesia, yaitu rancangan perda Pencegahan dan Peningkatan Kualitas Permukiman Kumuh Perkotaan di Bandung dan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, merupakan hal krusial yang mendapatkan perhatian publik secara intens. Rancangan perda yang pertama merupakan dasar hukum yang muncul untuk mendukung skema pembangunan Kotaku atau kota tanpa kumuh, sedangkan ironisnya walaupun rancangan perda ini muncul sejak tahun 2015 dan belum selesai hingga sekarang, tetapi proses penanganan sementara dan relokasi terhadap daerah yang dianggap kumuh, contohnya Tamansari Bandung RW 11. Hal ini sempat mencuri perhatian banyak karena proses relokasi dan penggusuran justru dilakukan saat status tanah bersifat tanah sengketa, serta Badan Pertanahan Nasional hingga sekarang belum menerbitkan sertifikat atas nama siapa pun, termasuk atas nama Pemerintah Kota Bandung. RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sempat mandek sejak 2016 pengesahannya, dan sekarang kembali masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional DPR untuk kedua kalinya. Penundaan proses pengesahannya pada 2019 ini bukannya tanpa alasan pula. Tantangan terletak pada protes dari beberapa kelompok partai tertentu yang menganggap RUU ini lebih mendukung sekularisasi dan nilai-nilai liberalisme tanpa memperhatikan bahwa RUU ini disusun secara komprehensif melibatkan tokoh-tokoh lintas agama, akademisi, dan pakar-pakar hukum dan gender dan kekerasan seksual serta tokoh-tokoh publik, dan elemen masyarakat. Dua contoh tadi jelas-jelas mengabaikan prinsip akomodasi bagi masyarakat karena dalam skema rancangan perda Pencegahan dan Peningkatan Kualitas Permukiman Kumuh Perkotaan perlu dipertanyakan apakah masyarakat pernah dilibatkan dalam penyusunannya, serta mempertanyakan kepada mereka apakah sebenarnya yang dibutuhkan masyarakat dalam penataan kawasan yang dianggap kumuh. Standar apakah yang dikenakan sehingga kumuh menjadi patokan untuk dilakukan relokasi dan penataan. 

Dikutip dari PR FM news, anggota Komisi C DPRD Kota Bandung dari Fraksi PDIP, Folmer Silalahi menitikberatkan tidak integratifnya pemerintah daerah dan kota dalam melakukan penanganan kawasan kumuh sehingga terkesan jalan terpisah berbasis anggaran yang dimiliki dan wewenangnya, serta keraguan atas status hukum tanah. Sementara itu, yang terjadi pada RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ketika semua elemen sudah lengkap dalam prosedur dan kajian akademik serta riset, kepentingan politiklah yang menjegal pengesahannya. Akibatnya, hingga sekarang kasus-kasus kekerasan seksual terhadap masih ditangani dengan KUHP tanpa adanya usaha-usaha yang lebih komprehensif karena belum adanya payung hukum yang lebih signifikan. Inilah dilema yang sangat jelas terlihat terhadap rencana kebijakan publik yang justru kebijakan tersebut seharusnya berpihak kepada kepentingan masyarakat dengan dukungan politik yang lebih dari sekedar niat baik mencapai target kerja legislatif.

---------

Ditulis oleh Fanny S Alam, koordinator Sekodi Bandung.

Artikel ini sudah Terbit di AyoBandung.com, dengan Judul Dilema Kebijakan Publik untuk Masyarakat, pada URL https://www.ayobandung.com/read/2020/01/06/75511/dilema-kebijakan-publik-untuk-masyarakat#.XhMPPTOe9Cc.whatsapp 

Penulis: Redaksi AyoBandung.Com
Editor : Redaksi AyoBandung.Com

Diskusi Kelompok Terarah dengan SOFI Initiative

Menerima Undangan
Pada 30 Desember 2019, saya menerima surat undangan dari SOFI Institute untuk mengikuti diskusi kelompok terarah mengenai Penguatan Pendidikan Gender dan Seksualitas untuk Pemuda. Dalam suratnya tertera bahwa kegiatan ini akan dilaksanakan di Cirebon pada hari Sabtu, 4 Januari 2020. Tepat setelah pesta tahun baru diadakan.

Perjalanan 4 Januari 2020
Saya pergi ke Cirebon bersama Alaena dari Garut, dan Hobie dari Garut. Alaena mewakili pemuda dari Garut sementara Hobie dan saya mewakili Sekolah Damai Indonesia dan Arjuna Pasundan. Kami berjumpa pada dini hari dari Buah Batu, kemudian berangkat menaiki shuttle bus. Setibanya di Cirebon kita segera memesan angkutan daring menuju lokasi kegiatan di Metland Hotel Cirebon.

SOFI Initiative sedang merencanakan program kerja terkait pendidikan gender dan séksualitas di Ciayumajakuning dan Jawa Barat. Terdiri dari dua sesi yaitu sesi pertama focused group discussion (FGD) untuk ahli dan komunitas dan sesi kedua FGD untuk pemuda umum. FGD ini dibuka oleh MC Teh Iqoh dari SOFI kemudian difasilitasi oleh Ael dari YIFOS.

Pertanyaan yang diajukan untuk FGD mencakup beberapa poin berikut:
1. Apa yang terbayang mengenai Pendidikan Gender dan Seksualitas?
2. Dari mana Anda mendapatkan pelatihan Gender dan Seksualitas?
3. Manfaat dari Pendidikan Gender dan Seksualitas
4. Sejak kapan mendapatkan Pendidikan Gender dan Seksualitas?
5. Persoalan yang muncul mengenai Gender dan Seksualitas
6. Kebijakan daerah mengenai gender dan seksualitas
7. Situasi institusi pendidikan terkait gender dan seksualitas
8. Tantangan di institusi pendidikan terkait gender dan seksualitas
9. Hal baik apa yang dimiliki mengenai Pendidikan Gender dan Seksualitas?
10. Konten rekomendasi untuk Pendidikan Gender dan Seksualitas
11. Layanan sipil mengenai Gender dan Seksualitas

Pertanyaan-pertanyaan tersebut disampaikan di kedua sesi tersebut. Untuk sesi kedua ada satu pertanyaan yang ditambahkan yaitu mengenai situasi terkait gender dan seksualitas di komunitas daring.

Dalam forum tersebut saya menyampaikan pengalaman saya selama di Bandung dan Garut. Mendengarkan cerita dari teman-teman di forum membuat diri saya mengenali situasi dan kondisi pendidikan gender dan seksualitas terutama di daerah Cirebon, Indramayu, Majalengka, Kuningan, dan Jawa Barat. Adalah kesempatan yang menyenangkan untuk dapat berbagi dalam forum ini dan berkenalan dengan berbagai pihak yang memperhatikan gender dan seksualitas. 

Hobie menambahkan pada diskusi dalam grup Sekodi mengenai kegiatan FGD:
Di sana ada sharing mengenai masalah gender dan seksualitas menurut wilayah, pengalaman pribadi, bagaimana fasilitas penunjang dan hukum hukum yang terkait gender dan seksualitas di institusi pendidikan maupun pemerintahan, sempet ngobrol juga sama anak anak muda di Cirebonnya mengenai kondisi gender dan seksualitas di Cirebon seperti apa. 

Hasil FGD yang dilakukan ini akan mejadi bahan pertimbangan mereka untuk pengembangan program SOFI Initiative dan komunitas lain, termasuk Sekodi Bandung.

(Rhaka Katresna)

Mari Bicara Kesehatan Mental


Gangguan Jiwa. Kalau muncul dua kata itu, hal pertama yang terlintas di pikiran kebanyakan orang adalah seseorang pakai baju compang-camping, rambut gimbal berantakan, dan tertawa tanpa sebab. Kemudian, bayangan berikutnya adalah seseorang berseragam dan ditempatkan di ruang isolasi karena mengamuk tak karuan. Dua gambaran tersebut memang tidak salah, tapi kurang lengkap. Komunitas Sekolah Damai Indonesia berkesempatan melakukan diskusi santai bersama Ayu Regina Yolandasari, alumni Psikologi UI dan Women’s Studies dari Ewha Womans University, serta penyintas gangguan jiwa.

Gangguan jiwa menurut Ayu banyak macamnya, mulai dari gangguan yang gejalanya mudah disadari hingga sulit disadari penderita. Kedua bayangan orang di atas bisa jadi hanya salah satu jenis gangguan jiwa bernama Skizofrenia. Skizofrenia pun memiliki tingkat keparahan yang berbeda-beda. Penderita skizofrenia ada yang perlu dirawat di rumah sakit secara intensif. Namun, banyak pula penderita yang masih dapat menjalankan fungsi kesehariannya walaupun pada lingkup yang terbatas. Jenis gangguan jiwa lainnya tercantum dalam daftar panjang DSM-V, sebuah buku panduan bagi para psikolog dan psikiater di seluruh dunia. Stigma masyarakat tentang gambaran kesehatan mental yang kurang lengkap menjadi tembok besar penanganan penderita untuk mengakses dan memperoleh perawatan yang tepat.

Ayu menceritakan pengalamannya memperoleh diagnosis gangguan jiwa ketika berada di Amerika Serikat. Ayu sempat melakukan upaya bunuh diri lebih dari sekali. Atas dorongan teman, Ayu kemudian dapat mengakses bantuan profesional di salah satu rumah sakit. Dia pun didiagnosis dengan dua jenis gangguan depresi, Major Depression dan PMDD (Pre-menstrual Dysphoric Disorder). Jenis gangguan depresi kedua mungkin belum banyak diketahui oleh tenaga profesional di Indonesia. PMDD adalah salah satu jenis gangguan depresi yang terkait dengan hormon perempuan. Bagi yang memiliki gangguan ini, PMDD dialami saat memasuki masa menstruasi dengan gejala terutama psikologis yang lebih parah dibandingkan PMS biasa. Proses pemulihan dengan konseling dan terapi rutin hingga saat ini masih dijalani Ayu. Adapun penggunaan obat juga sempat dilakukan dalam supervisi psikiater hingga dinyatakan boleh terputus. Dari tampilan atau perilaku secara sekilas, hal-hal yang umum dipahami oleh masyarakat tentang gangguan jiwa tidak berlaku padanya.

Gejala-gejala yang dianggap remeh bisa menjadi indikasi awal kehadiran gangguan jiwa, misalnya cemas berlebihan, kekurangan atau kelebihan tidur ekstrem, tidak bisa fokus, atau kehilangan nafsu makan. Ayu memperkenalkan suatu metode evaluasi sebagai langkah mengenali kondisi diri bernama “Check In” yang ia peroleh saat menjalani proses pemulihan di Amerika Serikat. Metode ini secara sederhana adalah dialog kepada diri sendiri dengan mempertanyakan beberapa hal berikut dan mencatat atau merekamnya di jurnal harian.
  1. Mood. Dari skala 1-10, bagaimana mood kamu hari ini? 1 berarti sangat buruk sedangkan 10 berarti sangat baik
  2. Feeling. Apa perasaan yang kamu rasakan saat ini? Berapa persen intensitasnya? Perasaan yang dirasakan tidak harus sejalan dan presentasenya pun tidak perlu akumulasi nilai 100. Misalnya, kamu bisa mengatakan kecewa 70% dan senang 80%
  3. Nafsu makan. Apakah kamu punya keinginan makan? Bagaimana berat badanmu? Apakah kenaikan atau penurunannya drastis? Apakah disengaja atau tidak disengaja?
  4. Tidur. Seperti apa kuantitas dan kualitas tidurmu? Apakah mimpimu baik atau tidak? Bagaimana perasaanmu setelah bangun tidur?
  5. Jika kamu sedang mengonsumsi obat, bagaimana penggunaannya? Masihkah konsisten dan sesuai dosis?
  6. Coping. Bagaimana kamu menangani perasaan yang membuatmu tidak nyaman?
  7. Goal. Apa yang kamu targetkan hari ini? Bagaimana perkembangannya?

Daftar tersebut akan membantu memahami kondisi psikis kita. Kita pun dapat memodifikasi daftar dengan menambahkan atau menguranginya sesuai kebutuhan. Ayu sendiri menambahkan poin terakhir berupa daftar kebersyukuran. Metode dialognya pun tidak harus terbatas dengan menulis. Ayu menceritakan bagaimana dia melibatkan temannya untuk mengaplikasikan metode tersebut dengan bercerita kepada satu sama lain.

Jika kita merasakan ada perubahan yang tidak biasa dan sudah tidak dapat kita atasi, jangan ragu untuk menemui tenaga profesional. Hindari self-diagnosis dengan mencari tahu dan mencocokan gejala yang dirasakan sekalipun berasal dari web yang nampak terpercaya. Self-diagnosis hanya akan mengarahkan kita pada penanganan yang tidak tepat dan bisa jadi memperburuk kondisi. Selain itu, jika kita sudah mendatangi pihak profesional dan merasa tidak cocok dengan psikolog atau psikiaternya, jangan ragu untuk pindah konsultasi. Idealnya, menurut Ayu, pihak yang sedang mengakses layanan psikiater juga perlu melakukan konseling dengan psikolog.

Lalu bagaimana jika bukan kita yang mengalami tetapi orang terdekat kita? Menurut Ayu dua kunci yang utama adalah kenali dulu kondisi diri dan jangan menghakimi. Sebelum siap mendengar dan membantu orang lain, kita perlu memastikan diri kita dalam keadaan baik-baik saja. Sekecil apapun emosi yang kita rasakan akan memengaruhi respon kita. Jika kita merasa belum siap, jangan ragu untuk menunda percakapan dan ajukan waktu pengganti.

Setelah kita siap mendengarkan, apapun yang dia ceritakan, respon dengan penuh empati. Ucapkan terima kasih karena telah bercerita. Butuh keberanian bagi seseorang untuk menceritakan hal berat yang sedang dialami. Respon berikutnya yang dapat dilakukan adalah tanyakan apa yang bisa kita bantu. Hindari langsung memberi saran karena bisa jadi dia hanya ingin didengar atau saran yang kita berikan tidak tepat.

Kemudian, bagaimana jika orang terdekat kita menyatakan keinginannya untuk mengakhiri hidup? Apakah dia serius atau tidak? Respon yang disarankan Ayu adalah anggap hal tersebut bukan candaan. Kita dapat mengatakan “Apakah kamu baik-baik saja?”, “Aku khawatir sama kamu”, “Kamu mau cerita sesuatu?” Tidak ada orang cukup perhatian yang akan mencoba menarik perhatian orang lain. Tidak ada pula orang yang tidak butuh pertolongan akan meminta pertolongan.

Manusia memiliki cara yang unik dalam mempersepsikan fenomena yang terjadi dalam hidupnya. Menjadi pribadi yang paham kondisi diri sendiri akan membantu kita tetap terkoneksi dengan diri sendiri dan orang lain. Salah satu masalah kesehatan mental adalah terputusnya koneksi dengan diri. Perlakuan buruk yang dilakukan kepada orang lain juga tidak jarang bersumber dari pribadi yang tidak mindful dengan dirinya sendiri. Jadi, jangan ragu dan malu untuk berbicara jika kita sedang tidak baik-baik saja.



(Lindawati Sumpena)

Kamis, 05 Desember 2019

Penerapan Praktis dari Sekolah Damai Indonesia

Tulisan dari Rhaka Katresna, teman Sekodi Bandung. 

Sudah tiga bulan lebih lamanya saya mengikuti kegiatan Sekolah Damai Indonesia Bandung. Di sini, saya belajar sesuatu yang penting untuk diterapkan dalam kegiatan sehari-hari yaitu toleransi, penerimaan, dan keterlibatan. Untuk mewujudkan Kedamaian artinya seseorang berkoeksistensi bersama manusia yang lainnya terlepas dari identitas yang dimilikinya.

Saya mencoba menerapkan prinsip tersebut untuk menyelesaikan sebuah masalah praktis di sebuah komunitas seni berbasis sekolah di kabupaten Garut. Masalahnya begini, seseorang dari komunitas tersebut terlibat dalam sebuah proyek tari modern kemudian ia tiba-tiba melepaskan kelompok seni tersebut dan mengafiliasikan kelompok tersebut dengan komunitas luar sekolah. Ketika saya tanya dia jawab, "Saya lupa," begitu. Kemudian setelah peristiwa itu saya jadi berkonflik dengan komunitas luar sekolah tersebut, menutup program seni yang berhubungan dengan genre tari yang mereka dalami, dan menemukan bahwa mereka berusaha merekrut calon anggota lewat komunitas sekolah. 

Bagi saya pribadi ini sudah melewati batas sehingga saya membatasi gerak si X dalam komunitas sekolah (dia masih terlibat dalam komunitas sekolah sekaligus komunitas yang membawa kelompok tari yang awalnya milik sekolah) dengan tidak mengizinkan anak buahnya masuk. Hingga pada puncaknya, anak itu dikeluarkan oleh pengurus yang lainnya.

Bagaimana proses kedamaian terjadi pada kasus ini?
Saya berusaha untuk menjalin komunikasi dengan ketua komunitas luar sekolah tersebut. Dari situlah ditemukan bahwa si X itu melepaskan afiliasi sekehendak dirinya bukan atas kemauan si ketua komunitas. Kemudian diketahui pada saat itu bahwa si komunitas luar itu sedang menghadapi konflik dengan si X karena ternyata dia membentuk manajemen sendiri terlepas dari komunitas luar sekolah tersebut. Dari situ kami menyadari masalahnya sehingga masing-masing kami mengeluarkan si X Dan kawanannya dari komunitas.

Ketika suatu kelompok punya tujuan sendiri yang hanya menguntungkan dirinya maka ia akan melakukan berbagai manipulasi supaya orang mengikuti tujuannya. Dalam kasus ini kelompok si X telah merugikan saya maupun komunitas luar sekolah tersebut.

Keterlibatan demikian saya latih untuk menyelesaikan konflik-konflik yang terjadi pada komunitas tersebut. Makin ke sini, saya semakin sadar bahwa adanya konflik mengarah pada diketahuinya kegagalan teknis yang terjadi pada organisasi sehingga berujung pada kegagalan manajemen organisasi. Sehingga strategi pengembangan organisasinya dapat lebih dalam dan terstruktur. Terbenturnya kepentingan, saya temukan, menjadi akar permasalahan dari hampir semua konflik yang saya hadapi di komunitas saya di Garut. Dari situ seseorang melupakan tanggung jawab yang sebenarnya bisa dikelola untuk mencapai kepentingan tersebut.


Selasa, 03 Desember 2019

Fahdi Hasan, Pengajar Pertunjukan Seni Buat Anak-anak Spesial

Bandung - TemanBaik pernah terbayang enggak bagaimana sih rasanya jadi seorang pelatih atau pengajar anak-anak berkebutuhan khusus? BeritaBaik berkesempatan berjumpa dan berbincang dengan seorang pelatih bagi anak-anak spesial nih, namanya Fahdi Hasan atau yang akrab disapa Kak Adi.

Tidak hanya sekadar menjadi pelatih loh. Kak Adi juga hadir sebagai teman bagi sahabat-sahabat-sahabat spesial ini bermain. Sindromnya pun beragam, ada celebral palsy, ADHD, low/high function hingga hyperactive. Bagaimana ya cara bermain dan berlatih ala Kak Adi?

Kak Adi

kunjungan teman-teman Sekodi Bandung ke KPAS 
salah satu orang tua dalam KPAS menunjukkan hasil karya anaknya



Kak Adi menjelaskan kalau dalam mengajar dan melatih anak-anak spesial ini diperlukan metode khusus dan kreatifitas. "Metodenya pakai komunikasi audio, visual, dan gerak. Misalnya merespons ruang dengan memainkan jimbe atau piano lalu membentuk pola-pola yang diinginkan," jelas Kak Adi kepada BeritaBaik, Minggu (20/10/2019).

Pria yang mengajar kelas Seni Pertunjukan di Komunitas Anak Spesial (KPAS) ini juga memberikan kebebasan kepada anak-anak dalam berekspresi. "Memberi kebebasan mereka dalam berekspresi dan juga difasilitasi," ujar pria kelahiran Susupu, Halmahera Barat, 21 April 1983 ini.

Selama mengajar, Kak Adi juga pernah tidak sependapat dengan orangtua anak-anak yang ia ajar loh. Tapi, tenang semua itu didiskusikan atas dasar kekeluargaan.

"Suka berantem dengan orangtua hahaha. Tapi barentem gagasan, ide yang dilakukan atas dasar kekeluargaan dan itu menurut saya romantis yang humanis," papar pria yang sudah mengajar sejak tahun 2013 ini.

Kak Adi juga bercerita tantangan terbesarnya dalam mengajar. Menurutnya, paling sulit adalah menghadapi stigma masyarakat soal keterbelakangan fisik.
"Kesulitan terbesar yang dihadapi adalah menghadapi para akademisi, orangtua dan pemerhati anak yang masih menganggap mereka adalah orang yang tidak mampu, atau keterbelakangan fisik dan lain-lain. Pehamanan dasar soal mereka terlalu ambigu, akhirnya menetapkan anak-anak autis sebagai disabilitas," jelas pria lulusan Musik Bambu di Institute Seni Budaya Indonesia ini.

Kak Adi berharap, kita semua dapat menerima dan tidak mendiskriminasikan anak-anak spesial (berkebutuhan khusus). "Saya berdoa agar kita semua 'cepat sembuh' untuk tidak lagi mendeskriminasi mereka, karena jika anda menyebut mereka orang gila berarti anda bagian dari kegilaan itu," pungkasnya.


(ditulis oleh Nita Hidayati. tulisan serupa juga dimuat di BeritaBaik)

Senin, 02 Desember 2019

Mengunjungi Panti Sosial Tresna Werdha Senjarawi

Pada tanggal 26 Oktober 2019, SEKODI Bandung mengadakan refleksi dengan mengunjungi panti sosial Tresna Werdha Senjarawi yang beralamatkan di Jalan Jeruk, Cihapit, Bandung. Dalam refleksi ini kami mendapatkan banyak sekali hikmah yang kami dapatkan dengan melihat dan mendengar serta berbicara langsung dengan para penghuni panti. Di panti sosial ini terdapat 58 Lansia yang dirawat dan dijaga dengan penuh kasih oleh para suster. Selama ini stigma negatif mengenai panti sosial atau panti jompo dalam benak kita tidak dapat dihindari, seperti halnya yang diungkapkan Ferey Herman dalam jurnalnya, kesan muram dan kusam sampai anggapan membuang orang tua bagi anak yang menitipkan orangtuanya biasa terjadi. Stigma itu pula yang saya bawa sebelum memasuki panti sosial tresna werdha.

Namun kenyataannya setelah berkunjung ke sana dan bertemu langsung bersama para penghuni panti, stigma yang sebelumnya melekat dalam benak saya hilang begitu saja. Pandangan baru tentang panti sosial atau panti jompo menjadi lebih terbuka, mengapa demikian? Setelah berbincang bersama mereka, jelas bahwa stigma itu tidak “selamanya benar”. Nyatanya panti jompo malah menjadi solusi bagi sebagian orang untuk memberikan perawatan terbaik bagi para lansia. Sebab di sana mereka memiliki banyak kawan untuk berinteraksi dan meluapkan kekesalannya dengan bercengkrama bersama. Di usia tua, tubuh kita sudah tidak memiliki kekuatan seperti layaknya di usia muda dulu sehingga kegiatan atau aktivitas yang biasa dilakukan menjadi terhambat dan mereka cenderung lebih banyak berdiam diri, beristirahat karena sudah tidak bisa untuk melakukan banyak atau aktivitas yang berlebihan. Hal itulah yang membuat para lansia memerlukan teman untuk mengisi waktu luangnya.

Kenyataannya kita terkadang melupakan bahwa para lansia tersebut hanya butuh “didengar” namun kebanyakan dari kita tidak menyadari itu, bahkan sulit meluangkan waktu bersama para lansia di sekitar kita akibat kesibukan-kesibukan dalam keseharian kita sendiri. Padahal mereka sangat membutuhkan uluran tangan kita dan menyediakan telinga kita untuk mendengarkan keluh kesahnya. Hal itu juga yang saya dapatkan ketika mencoba untuk mendengarkan mereka, saya jadi banyak mendapat nilai-nilai kehidupan melalui perbincangan bersama oma opa, di mana kisah perjalanan hidup mereka menjadi pembelajaran yang berharga juga untuk kita, dan dengan adanya kita bersama mereka memberikan aura positif, adanya kita membuat mereka bahagia karena merasa mendapat wadah untuk menuangkan kisahnya, dan bertemunya bersama oma opa mengajarkan nilai-nilai kehidupan kepada kita.












Melihat mereka membuat kita sadar bahwa kelak kitapun akan menua dan terus menua, namun hal itu seharusnya menjadi cambukan kepada kita untuk tetap sadar dan terus berjuang melakukan yang terbaik dalam masa muda kita sehingga kita dapat memberikan kontribusi dalam kehidupan ini dengan sebaik-baiknya. Melihat mereka menyadarkan kita juga untuk senantiasa menghormati dan mengasihi serta menyayangi orang-orang lanjut usia di sekitar kita. Intinya kita harus selalu memaknai kehidupan kita dan terus mencoba untuk lebih peduli terhadap hal-hal yang ada di sekitar kita.

(ditulis oleh Rizkiyah Fitri Awaliyah)

Senin, 18 November 2019

Bandung School of Peace Indonesia collaboration with Global Interfaith Network

Fanny S. Alam, city coordinator for Bandung School of Peace Indonesia has been chosen to be a scholar for the General Meeting of Global Interfaith Network in Columbia. Unfortunately, he could not come to the conference due to some technical issues. With respect to collaborate with Global Interfaith Network, who cares about gender identity and sexual orientation, this video explains Bandung School of Peace Indonesia's movement related to gender identity and sexual orientation issues. This video represents Bandung School of Peace Indonesia at that conference.



Minggu, 03 November 2019

Mengenal Agama Hindu

Sabtu, 28 September 2019, Sekodi Bandung kembali berkumpul dan berdiskusi. Hari itu, kami berkunjung ke Pura Vira Chandra Dharma di dalam kompleks Secapa AD untuk mengenal lebih dalam tentang agama Hindu. Kami disambut oleh Bapak Ketut Wiguna selaku ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia - Kota Bandung, bersama dengan teman-teman muda. Pak Ketut memberikan penjelasan tentang agama Hindu, sekaligus menjawab beberapa mitos dan pertanyaan yang disampaikan oleh teman-teman Sekodi. 

Selama ini beredar anggapan bahwa dalam ajaran Hindu dikenal ada banyak Tuhan, sebenarnya hal ini keliru. Ajaran Hindu hanha mengenal satu Tuhan, yang disebut sebagai Brahman dan memiliki tiga sifat dasar yakni keindahan, kesucian, dan keindahan. Karena kemahaan Tuhan dan karena terbatasnya pengetahuan dan kemampuan manusia untuk memahami-Nya, maka manusia berusaha menggunakan berbagai cara untuk menyembah Tuhan, salah satunya dengan perantaraan para dewa, dan dengan menggunakan benda-benda di sekitar mereka. Pada praktiknya, ritual dan ibadah agama Hindu banyak dipengaruhi dan disesuaikan dengan budaya setempat. Seni dan budaya memberi bentuk pada agama, sehingga setiap simbol yang digunakan sebenarnya memiliki makna mendalam yang membantu kita untuk bertemu dengan Tuhan sendiri.

Perjumpaan dengan Pak Ketut dan teman-teman Hindu hari itu membuat hati saya tergetar karena tersadar bahwa setiap agama memiliki ajaran yang baik dan indah. Esensi dari ajaran tiap agama itu sama, yakni untuk memuji dan memuliakan Tuhan, hanya caranya yang beragam. Ketidaktahuan kita akan cara yang digunakan orang lain seringkali menimbulkan asumsi dan stigma. Dibutuhkan kerendahan hati untuk membuka diri mengenal mereka yang berbeda, dan menemukan kebenaran, kesucian, serta keindahan dari sudut pandang mereka.




(Stella Vania Puspitasari)

Senin, 07 Oktober 2019

Gender dan Seksualitas: Sebagai Spektrum Dinamis dan Continuum Statis

Membahas isu gender dan seksualitas masih menjadi suatu hal yang tabu di Indonesia. Gender dan seks (jenis kelamin) sering diinterpretasi sebagai suatu kondisi yang sama, sehingga muncul stereotipe maupun stigma terhadap individu dan dianggap melanggar norma sosial, sedangkan secara teori dua kondisi tersebut mempunyai penjelasan yang berbeda.

Gender merupakan kondisi laki-laki, perempuan, maupun spektrum lain yang muncul karena proses identifikasi oleh diri sendiri, lingkungan sosial, budaya, atau adat yang berlaku. Seks atau jenis kelamin merupakan keadaan biologis pada manusia seperti laki-laki mempunyai penis, hormon testosteron, mengeluarkan sperma, mempunyai kromosom XY, sedangkan perempuan mempunyai vagina, hormon estrogen, mempunyai rahim, dan mempunyai kromosom XX.

Di sisi lain, masih terdapat pro dan kontra terhadap identifikasi gender laki-laki maupun perempuan karena memang gender adalah spektrum yang hanya dapat dirasakan oleh individu itu sendiri. Individu mempunyai hak atas identitas gender yang telah dipilih, meskipun norma budaya sosial di Indonesia memegang heteronormatif atau norma bahwa laki-laki memiliki penis dan maskulin serta perempuan memiliki vagina dan feminin.

Bahasan gender dan seksualitas mempunyai ruang lingkup yang luas dan mempunyai definisi yang beragam, tetapi terdapat empat bahasan menarik sebagai dasar pengetahuan topik gender dan seksualitas yang dijelaskan oleh Teh Hani Yulindrasari, M. Gendst., PhD., yaitu identitas gender, orientasi seksual, ekspresi gender, dan perilaku seksual.

Identitas gender merupakan kondisi individu secara sadar bahwa dia memilih sebagai laki-laki atau perempuan atau spektrum gender lainnya. Identitas gender terbagi atas pemberian label laki-laki, perempuan, atau spektrum gender lainnya oleh diri sendiri serta pemberian label oleh masyarakat. Identitas gender tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin biologis, apabila individu mempunyai penis tapi merasa bahwa dia perempuan, hal tersebut merupakan identitas gender yang dirasa oleh individu itu sendiri tanpa ada pengaruh dari masyarakat. Pemberian label laki-laki dan perempuan oleh masyarakat memang tidak terlepas dari norma sosial yang dianut. Norma di Indonesia menekankan bahwa individu dengan penis pasti memiliki identitas gender laki-laki dan vagina pasti perempuan, sedangkan pada beberapa orang ada yang merasa tidak nyaman dengan jenis kelamin mereka karena tidak sesuai dengan identitas gender. Tuntutan norma yang berlaku dapat menekan individu yang mempunyai identitas gender berbeda dengan jenis kelamin sehingga menimbulkan frustrasi atas dirinya sendiri. 

Identitas gender individu ditunjukkan lewat ekspresi gender, ekspresi gender merupakan perilaku untuk mengekspresikan diri dari cara berpakaian, berjalan, berbicara, dan berbagai macam hal lainnya yang menunjukkan ekspresi maskulin, feminin, maupun androgini (diantara maskulin maupun feminin). Ekspresi ini mempunyai norma yang berbeda-beda, ekspresi maskulin sering ditunjukkan sebagai suatu sifat gagah, baku, statis, sedangkan feminin merupakan sifat yang lemah lembut dan dinamis. Individu yang mempunyai penis dengan identitas gender laki-laki serta ekspresi gender maskulin serta individu yang mempunyai vagina dengan identitas gender perempuan serta ekspresi gender feminin merupakan norma yang sangat terpatri di Indonesia yang memang heteronormatif. Sayangnya ekspresi gender hanya menampilkan apa yang ingin dilihat orang tanpa menjadi dirinya sendiri. Apabila sedikit saja ada ekspresi gender yang berbeda dengan norma, pasti dikaitkan dengan perilaku menyimpang. Laki-laki yang menunjukkan ekspresi gender ‘melambai’ layaknya perempuan pasti mendapat label bahwa laki-laki tersebut mempunyai orientasi seksual sejenis. Perempuan yang memotong rambutnya hingga pendek dan memakai pakaian tomboy layaknya pria mendapat label lesbian. 

Padahal, orientasi seksual seseorang tidak bisa ditafsirkan hanya dengan melihat pakaian yang dipakai, cara orang berjalan, warna kesukaan, intonasi suara, dan berbagai macam aspek ekspresi gender lainnya. Individu bebas menentukan kondisi nyaman terhadap orientasi seksual yang dipilihnya, baik heteroseksual (beda jenis) maupun homoseksual (sama jenis).

Pertanyaan yang paling sering muncul adalah, “Apakah orientasi seksual lesbian, gay, biseksual merupakan penyakit?”. Jawabannya: sama sekali bukan, bahkan Asosiasi Psikiatrik Amerika telah menghapus homoseksual dari DSM-V (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder) sebagai gangguan jiwa. Pedoman Penggolongan Gangguan Jiwa – III yang dipakai untuk mendiagnosa gangguan jiwa di Indonesia menunjukkan bahwa orientasi seksual yang berbeda (baik heteroseksual maupun homoseksual) dapat disebut gangguan karena individu tidak nyaman dengan orientasi yang dia pilih, bahkan individu dengan orientasi heteroseksual dapat terkena gangguan apabila dia tidak nyaman saat menyukai beda jenis kelamin.

Muncul stigma bahwa mempunyai orientasi seksual minoritas di Indonesia seringkali dicap sebagai ‘predator sex’ seperti individu dengan orientasi seksual gay. Padahal dalam kenyataan banyak sekali pasangan homoseks yang sulit mencari pasangan dan merasakan patah hati sama halnya dengan pasangan heteroseksual. Perlu digarisbawahi bahwa menjadi homoseksual bukan berarti mereka melakukan hubungan seksual secara terus menerus. Individu homoseksual dapat melakukan aktivitas seksual maupun perilaku seksual pada beda jenis, begitupun sebaliknya. Perilaku seksual dapat dilakukan pada setiap orang tanpa memandang orientasi seksual. Perilaku seksual yang paling sering ditemui adalah menggandeng tangan, mencium kening, memeluk, dan membelai rambut. Perilaku yang ditunjukkan tidak merujuk pada orientasi seksual manapun, perempuan dapat menggandeng tangan perempuan lainnya tanpa stigma, tapi ketika laki-laki menggandeng tangan laki-laki lain akan muncul stigma bahwa pasti mereka merupakan pasangan gay, padahal bisa saja kedua laki-laki itu merupakan adik kakak.

Pengetahuan mengenai gender dan seksualitas sangat beragam, sehingga tidak bisa kita membuat simpulan yang sama. Seperti yang telah dipaparkan bahwa identitas gender, ekspresi gender, orientasi seksual, dan perilaku seksual tidak ada yang berhubungan satu sama lain. Identitas gender perempuan dengan ekspresi anggun bukan berarti heteroseksual, laki-laki yang senang dandan bukan berarti dia homoseksual atau transgender.

Memahami gender dan seksualitas memang tidak mudah, tapi setidaknya kita belajar bahwa setiap individu itu unik dan mempunyai keberagaman masing-masing. Kita tidak mempunyai hak untuk melakukan diskriminasi maupun merugikan orang lain, hidup kita berharga ketika kita tidak menghakimi orang lain. Salam damai!

Hobie Fauzan