Minggu, 13 Agustus 2023

PERNIKAHAN BEDA AGAMA, HAK DAN HARAPAN



Oleh : Kaana Putra Mahatma 
(Fasilitator SEKODI Bandung/ Mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati, Bandung)

Pernikahan beda agama, fenomena yang akhir-akhir ini sering ramai di Indonesia, negara dengan beragam latar belakang agama dan budaya. Meskipun dianggap sebagai tanda inklusivitas dan toleransi, pernikahan beda agama juga menghadirkan tantangan tersendiri bagi pasangan beda agama di indonesia. Salah satunya adalah masyarakat terkadang masih menilai pernikahan beda agama sebagai langkah yang kurang mendukung nilai-nilai tradisional. Ini bisa menghasilkan tekanan sosial, bahkan diskriminasi, terutama dari lingkungan sekitar atau keluarga.

Selain itu, keluarnya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 2023 tentang Petunjuk bagi Hakim dalam Mengadili Perkara Permohonan Pencatatan Perkawinan Antar- Umat Beragama yang Berbeda Agama dan Kepercayaan yang diterbitkan Mahkamah Agung membuat kian sulit rasanya melangsungkan pernikahan beda agama di negara ini.

Pasalnya, lewat edaran tersebut, MA melarang para hakim untuk mengabulkan permohonan pencatatan pernikahan beda agama. Untuk itulah, dalam kelas agama-agama, Sekolah Damai Indonesia (SEKODI) Bandung, tanggal 6 Agustus 2023, membahas  “Seluk beluk pernikahan beda agama, menghadirkan  narasumber yang secara langsung mengalaminya (Hamal Pangestu dan Amelia Samulo). Mereka menceritakan bagaimana proses dan tantangan yang mereka hadapi dalam memperoleh hak sebagai warga negara.






Menurut cerita narasumber kami, kurangnya dukungan dari keluarga salah satu pasangan terkadang menjadi salah satu tantangan yang harus dilewati bersama dengan keputusan berani. Bagaimana akhirnya membuat komunikasi yang terbuka dan jujur antara pasangan dan keluarga sangat penting. Mereka membahas semua aspek pernikahan, termasuk perbedaan agama, budaya, dan harapan mereka untuk masa depan.

Pernikahan beda agama memerlukan penghargaan yang tinggi terhadap keyakinan agama masing-masing pasangan. Keluarga dan masyarakat sekitar juga perlu mendukung pasangan tersebut dengan memahami bahwa pernikahan ini adalah pilihan pribadi yang harus dihormati. Seperti yang dialami narasumber kami, mereka berkomitmen untuk tetap teguh pada agamanya masing-masing, bahkan ada satu cerita tentang bagaimana pemuka agama dari Amelia yang beragama katolik, mewanti-wanti Hamal untuk tidak berpindah agama yang disebabkan karna hubungan mereka. Pun begitu dengan pendidikan agama yang diberikan Amel dan Hamal pada ketiga anaknya, mereka tidak memaksa anak anaknya untuk mengikuti atau memeluk salah satu agama dari dua agama yang mereka peluk.


                                      
(Suasana diskusi santai terkait pernikahan beda agama oleh Sekodi Bandung dan Hamal beserta Amelia)

Terkait pernikahan beda agama, Undang-Undang Perkawinan di Indonesia memberikan kerangka hukum bagi pasangan untuk melangsungkan pernikahan mereka secara sah. Namun, seringkali terjadi hambatan administratif yang harus diatasi untuk memenuhi persyaratan pernikahan beda agama. Oleh sebab itu pernikahan beda agama di Indonesia melibatkan hak dan harapan yang kompleks. Sementara ada tantangan yang harus diatasi, seperti perbedaan agama dan tekanan sosial, banyak pasangan yang berhasil membangun pernikahan yang harmonis dan bahagia. Dengan penghormatan, keterbukaan, komunikasi yang baik, dan dukungan dari lingkungan sekitar, pasangan beda agama dapat mengatasi hambatan dan membangun ikatan yang kuat yang mencerminkan nilai-nilai keragaman yang kaya di Indonesia.

 

Kamis, 03 Agustus 2023

Seberapa Demokratis Kita di indonesia

 


Sebagai salah satu negara demokrasi terbesar di dunia, Indonesia menjamin kebebasan berpendapat dan hak berpolitik pada umumnya. Namun demikian, kekhawatiran mulai merebak ketika Pemerintah bertendensi menekan kehidupan demokratis masyarakat dengan berbagai sanksi atau tindakan hukum, terutaman untuk mengantisipasi protes atau pendapat masyarakat di ruang publik.

Dunia sedang mengalami penurunan tingkat demokrasi pada tahun 2021, mengacu kepada Laporan Indeks Demokarasi oleh The Economist Intelligence Unit (EIU). Laporan tersebut juga menlansir indeks demokrasi Indonesia yang berada dalam posisi terendah selama 14 tahun terakhir, dengan skor 6.3 tahun 2021 dan 6.71 tahun 2022, peringkat 54 dengan kategori ‘demokrasi dengan kelemahan signifikan’ (flawed democracy). 


Ancaman terhadap Masyarakat Indonesia 

Undang-Undang Dasar (UUD 1945) dan Deklarasi Hak Asasi Manusia menjamin hak kebebasan berpendapat di ruang public sebagai hak asasi manusia. Kebebasan tersebut menandakan realisasi demokrasi bagi masyarakat dan bangsa Indonesia. Lebih jauh lagi, Pemerintah telah menerbitkan Undang-Undang tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum (UU no 9 tahun 1998) serta kemerdekaan tersebut dijamin dalam pasal 5 ayat 1, pasal 20 ayat 1, dan pasal 28 UUD 1945. 

Terkait prinsip demokrasi, yang menyatakan bahwa suatu negara demokrasi harus melindungi dan menegakkan kebebasan berpendendapat, Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internastional untuk Hak Sipil dan Politik (ICCPR) menjadi UU No. 12/2005. Pasal  19 ayat 2 yang menggarisbawahi hak individu untuk mengungkapkan pendapat mereka, termasuk hak untuk mencari, menerima, dan membagikan informasi dan pemikiran, serta menjamin hak untuk menyampaikan pendapat mereka dalam media yang diinginkannya. Sehingga, seharusnya Pemerintah dan aparatnya dapat mematuhi aturan undang-undang terkait hal ini untuk menjamin kehidupan demokrasi. Kebebasan berdemokrasi di Indonesia secara historis tidak terlepas dari kejatuhan rezim otoriter Suharto di tahun 1998 yang mengubah tatanan demokrasi menjadi lebih plural dalam kehidupan politik, tercermin dalam sistem transfer kekuasaan yang lebih damai di antara partai politik yang berkuasa.

Terlepas dari kemajuan demokrasi Indonesia, beberapa tantangan tetap muncul, terutama ketika beberapa kasus terkait kebebasan berpendapat mulai diperkarakan beberapa pihak dengan menggunakan  UU no 11 tahun 2008 terkait Informasi dan Transaksi Elektronik serta UU KUHP yang telah direvisi. Masih teringat dalam benak kita bagaimana Bima Yudho Saputro terkena jerat pasal 28 ayat 2 junto pasal 45A  ayat 2 UU ITE setelah ia menyebarkan video Tiktoknya yang mengkritik Gubernur Lampung terkait buruknya infrastruktur dan lambannya pembangunan di sana.

Kata ‘Dajjal’ yang disematkan Bima membuatnya terseret tuduhan ujaran kebencian yang melibatkan suku, agama, dan golongan di Indonesia. Kasus lainnya menimpa SFA, seorang murid SMP di Jambi, yang menghadapi tuntutan hukum terkait ujaran kebencian terhadap suatu golongan melalui video Tiktoknya berdasarkan pasal 28 UU ITE karena mengkritik walikota Jambi yang dianggap mengancam seorang warga berusia senior dengan cara merusak rumahnya perlahan-lahan.  

Di sisi lain, anggapan represi aparat pemerintah terhadap aktivis terkait kebebasan berpendapat juga meningkat. Pada tanggal 19 Maret 2022, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Fatia Maulidiayanti dan mantan Koordinator Kontras, Haris Azhar, diperkarakan oleh Luhut Binsar Panjatian, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Indonesia terkait tuduhan atas keterlibatannya dalam operasi militer dan hubungan ekonomi dengan Intan Jaya lewat kanal Youtube milik Haris Azhar. 

Masa Depan Demokrasi Indonesia 

Indonesia sebenarnya memainkan peranan penting dalam kehidupan demokrasi baik di dalam dan luar negeri. Setidaknya di lingkup ASEAN, contohnya seperti yang dikutip dari Ted Piccone dan Ashley Miller, Indonesia memainkan peranan demokrasi penting dalam Komisi Hak Asasi Manusia Antar Negara ASEAN (AICHR) dan Forum Demokrasi Bali sebagai cara untuk mengaspirasi kepemimpinan global dan memberdayakan pendekatan multilateral terkait demokrasi dan aturan hukum/undang-undang. 

Namun demikian, fakta-fakta di atas terkait dengan pelanggaran kebebasan berpendapat di Indonesia telah menyebabkan kekacauan dalam kehidupan berdemokrasi negara. Pengenaan tuntutan hukum berdasarkan UU ITE secara agresif terkait pencemaran nama baik terhadap pejabat negara mengindikasikan penyimpangan dari maksud UU tersebut, yaitu menjamin kepastian hukum bagi masyarakat dalam pelaksanaan transaksi elektronik, mendorong pembangunan negara, perlindungan masyarakat dari kejahatan berbasis internet.

Lebih jauh lagi, UU ini mencegah terjadinya pencemaran nama baik serta publikasi konten yang menentang standar moral dan nilai religius di Indonesia. Sayangnya, terjadi peningkatan signifikan bagi para pejabat negara yang mengkategorikan kritik menjadi pencemaran nama baik, dan selanjutnya mengkriminalisasi para pelakunya. Terkait hal ini, Suwarno mewakili Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menyatakan kekhawatiran akan pengkategorian hal tersebut di atas, sehingga akhirnya tindakan para pejabat tersebut akan mencegah kebebasan berpendapat dan berpotensi mengkriminalisasi masyarakat, jurnalis, dan media. 

Untuk inilah, sebaiknya Indonesia dan para pejabat publiknya seharusnya paham bahwa masyarakat, sama halnya dengan media dan jurnalis bukanlah musuh negara ketika mereka mengkritik terkait tugas dan kinerja para pejabat publik, apalagi Negara telah menjamin kehidupan berdemokrasi melallui UUD 1945 dan aturan hukum lainnya.

Pada akhirnya, mari kita lihat apakah ke depannya para pejabat publik ini masih menganggap kritik sebagai cara untuk meningkatkan kinerja mereka atau justru mengkriminalisasi masyarakat atas nama pencemaran nama baik dan ucapan kebencian. 

(tulisan telah ditayangkan Times Indonesia : https://timesindonesia.co.id/kopi-times/463110/seberapa-demokratis-kita-di-indonesia )


Rabu, 12 Juli 2023

Apa Kabar Media dan Inklusi?



Oleh : Choirunisa Wanda 

Bandung- Kelas rutinan yang diselenggarakan oleh Sekolah Damai Indonesia (SEKODI) setiap hari Sabtu, pada minggu ini 24 Juni 2023, didampingi pemateri dari Reporter Bandung Bergerak, Emi La Pau. Kegiatan ini bertemakan “Apa Inklusif dari perspektif media dan nilai dasa Sila Bandung”. Berawal dari menjelajahi Museum Konferensi Asia Afrika (KAA) dan mempelajari sejarah KAA, kemudian dilanjutkan dengan diskusi di halaman Masjid Raya Bandung.

Kurangnya inklusi yang ada di Kota Bandung, membuat kelompok masyarakat yang dianggap minoritas merasa terdiskriminasi karena kurangnya hak yang didengar. Dari hasil penelitian yang ditemukan oleh Konde.co, narasumber utama yang digunakan media berasal dari pihak kepolisian untuk memberitakan kasus kriminalitas seperti yang terkait dengan komunitas “LGBT”. Namun, hanya sedikit media yang mewawancarai korban atau tim advokasi dari komunitas “LGBT”. Kebanyakan media hanya mewawancarai orang di luar ruang lingkup tersebut dan tidak terjun langsung kepada korban. Padahal, kelompok minoritas tersebut juga memiliki hak untuk didengar suaranya. Pada kejadian yang terjadi di lapangan, mereka  ini kurang didengar.




Hasil penelitian dari Konde.co juga melihat bahwa masih banyak diksi dan sudut pandang yang digunakan berkonotasi negatif yang dilakukan oleh media seperti diksi "segolongan sama", "ada belok-beloknya" untuk menggambarkan komunitas gay.

Sebaiknya, media bersifat objektif dan tidak bermaksud untuk memojokkan komunitas tertentu yang mengakibatkan diskriminasi terhadap komunitas tertentu. Dari pihak penulis dan editornya pun sebaiknya lebih meneliti lagi diksi yang digunakan untuk berita yang akan diterbitkan.

Ruang kebebasan untuk berekspresi semakin sempit. Angela Lenes, aktivis transpuan dari Gaya Warna Lentera Indonesia mencontohkan kejadian yang menimpa kelompok transpuan seperti pembakaran transpuan yang hidup di Cilincing dan juga prank yang dilakukan Ferdian kepada kaum transpuan dengan niat memberi dus mie yang isinya batu dan sampah.

Mengutip voaindonesia.com, seorang akitivis perempuan dan LGBTQ, Lini menyebutkan “Mereka dikeluarkan dari sekolah, kampus, tempat kerja, bahkan dari rumah sendiri. Karena pelanggengan sigam-stigma, karena keberadaan mereka tidak diakui. Hal ini pun menyebabkan sebagian kaum transgender mencari nafkah di jalanan.

Sebagian besar media hanya mengangkat isu yang sedang viral saja, atau hiburan gosip semata. Media hendaknya perlu mengolah lagi dampak dari berita yang diberikan kepada masyarakat. Dari pihak media pun bukan hanya mengejar viewers saja, tetapi perlu mempertimbangkan kualitas dari tulisan tersebut. Seperti berita Sahnaz Sahdiqah dan Virgoun yang sedang viral karena selingkuh lebih banyak diangkat daripada berita yang lebih banyak mengandung unsur moralnya.

Diharapkan Kota Bandung semakin inklusif dengan adanya toleransi. Toleransi bukan hanya di dalam ruang lingkup agama, toleransi juga memberikan hak hidup kepada semua orang dengan selayaknya. Karena pada hakikatnya, setiap manusia berhak mendapatkan hak untuk hidup yang sama tanpa adanya halangan apapun dan juga berhak menyuarakan hak dan pendapatnya. Masih banyak tugas besar yang harusvdikerjakan untuk membuat Bandung lebih inklusif.

#wefriends #friendswithoutprejudice #inklusi #media #sekodibandung


Jumat, 06 Januari 2023

Movie Screening “Iron Jawed Angels” dan Diskusi Bersama

                                                                              Oleh 


Anindya Ghina 
(Anggota Sekolah Damai Indonesia-SEKODI Bandung, Batch IV)




Selasa, tanggal 6 Desember 2022, sejak pukul 16.00 sore, suasana di Ruang Audio Visual, Museum Konferensi Asia Afrika, Bandung, terasa lebih 'meriah' dengan kedatangan Sekolah Damai Indonesia (SEKODI) Bandung, diwakili Aries Hardianto, sebagai salah satu pembicara. SEKODI Bandung turut mengundang Tobing Jr mewakili LayarKita, serta Miftahul Huda untuk Intitiatives Of Changes (IOfC) Indonesia sebagai pembicara dalam movie screening “Iron Jawed Angels”.



Review Iron Jawed Angels

Film Iron Jawed Angels adalah film biopic tentang gerakan perjuangan wanita-wanita di US untuk mendapatkan hak pilih. Berfokus pada Alice Paul (Hilary Swank) dan Lucy Burns (Frances O’Connor), dua orang aktivis yang memperjuangkan hak-hak perempuan di era First-Wave Feminism yang berlangsung di awal abad ke 20.

Kisah Paul dan Burns dalam film ini diawali dengan rencana mereka untuk berkampanye di Washington D.C. dibawah nama Komite Kongres National American Woman Suffrage Association atau NAWSA dengan izin dari Carrie Chapman Catt yang diperankan oleh Anjelica Huston saat inagurasi Presiden US ke 28, Woodrow Wilson.  Film ini menceritakan perjuangan mereka dalam gerakan Suffrage, pembentukan Partai Nasional Wanita (NWP), dan aksi Silent Sentinels yang melibatkan 2000 orang lebih wanita di depan Gedung Putih. Sutradara Katja Von Garnier mengemas kisah perjuangan ini dalam pandangan yang lebih kontemporer. Dengan lagu-lagu modern, camerawork yang membingungkan, dan teknik edit yang terlihat seperti sebuah musik video, rasanya keseriusan kisah perjuangan itu pun kurang tersampaikan. Meskipun memiliki kelemahan dalam teknis pengemasan, film ini menampilkan penampilan memukau dari Julia Ormond sebagai Inez Milholland dan Vera Farmiga sebagai Ruza Wenclawska.

Banyak sekali karakter dan adegan-adegan fiksi singkat namun sangat penting dan relevan. Salah satu adegan fiksi yang berkesan adalah ketika Ida B. Wells (Adilah Barnes) menolak arahan Paul tentang wanita Afrika-Amerika untuk berdiri di belakang barisan saat pawai. Adegan ini menunjukan bahwa dalam gerakan Suffrage pun masih melekat dengan isu rasisme dan jalan wanita Afrika-Amerika menuju kesetaraan pun masih sangat jauh dan sulit. Adegan berkesan lainnya adalah ketika Emily Leighton (Molly Parker) datang ke kantor NWP untuk memberikan sumbangan, Paul berkata bahwa ia adalah beban dari perjuangan wanita karena Emily tunduk pada suaminya yang adalah seorang senator. Adegan ini menjadi relevan karena tidak sedikit wanita yang memandang rendah peran seorang ibu rumah tangga dan lupa adanya peran budaya patriarki yang memaksa mereka untuk tunduk pada keadaan sehingga kesempatan mereka untuk berkembang pun sulit didapat. Emily Leighton adalah karakter menarik yang mewakili perjuangan ibu rumah tangga dengan sangat baik. Selain itu, karakter fiksi Ben Weissman (Patrick Dempsey) yang terlibat dalam kisah cinta sesaat dengan Alice Paul pun sangat penting dalam menunjukan dedikasi seorang Alice Paul untuk terus berjuang sampai semua wanita mendapatkan haknya.

Film yang berdasarkan pada kisah bagaimana perempuan-perempuan mendapatkan haknya adalah ide dan sarana pemberdayaan wanita yang bagus, namun kisah paling luar biasa pun butuh dikemas dengan baik dan menarik.





    
                        (Suasana diskusi dalam Movie Screening Iron Jawed Angels) 



                                                       
                                                   (Aries Hardiyanto, SEKODI Bandung)


Apa yang Kita Bicarakan?

Diskusi mengenai penayangan film “Iron Jawed Angels” memberi kesempatan untuk para peserta untuk merenung dan memikirkan kembali betapa hebatnya perjuangan perempuan untuk mendapat hak-haknya.

Para pembicara mengajak peserta untuk mencari siapa Alice Paul dalam kehidupan kita. Bagi Miftahul Huda ( IOFC ), Alice Paul dalam kehidupannya adalah Marsinah, seorang aktivis dan buruh pada masa Orde Baru, yang dibunuh dan ditemukan pada tanggal 9 Mei 1993. Menempuh jalan yang sama seperti Alice Paul, Marsinah selalu memperjuangkan hak dan nasib rekan-rekannya.

Salah satu peserta pun memberikan poin menarik bagaimana US butuh 200 tahun untuk memberikan hak pilih pada wanita dan masih belum mempunyai presiden wanita, sedangkan Indonesia yang baru merdeka di tahun 1945 sudah mempunyai aturan bahwa semua warganya berhak untuk memilih dan pernah memiliki presiden wanita. Memang betul hal tersebut adalah hal yang membanggakan, namun warga pun tidak boleh lupa akan adanya privilege yang diberikan oleh para pendahulu.

 

Perjuangan Alice Paul, Lucy Burns, Marsinah, dan wanita-wanita lainnya bukanlah hal yang mudah. Jalan yang mereka tempuh adalah jalan yang jauh dan sulit namun bukanlah suatu ketidakmungkinan. Kesetaraan dapat dicapai jika semua kalangan turut andil untuk berjuang untuk mendapatkan hak-haknya. Karena bagaimanapun juga, kita semua adalah manusia dengan hak asasi yang sama dan setara.





(Para peserta dan pembicara dalam acara Movie Screening Iron Jawed Angels)









Senin, 07 November 2022

 


Foto : free resource. Tulisan diterbitkan oleh Geotimes 27 January 2022, tautan : 

                               https://geotimes.id/opini/tantangan-moderasi-beragama-tahun-2022/


Tantangan Moderasi Beragama

oleh : Fanny Syariful Alam, Koordinator Regional Bandung School of Peace Indonesia, Fellows of IVLP the US. Dept of State 2020, Australia Awards for Indonesia STA 2020


Beberapa hari lalu tersiar kabar mengenai seorang pria yang menendang sesajen di kawasan Desa Supiturang, Kecamatan Pronojiwo, Lumajang. Lokasi yang dimaksud adalah lokasi terdampak erupsi Gunung Semeru. Sontak hal tersebut memancing reaksi negatif dari warga net karena hal tersebut memperlihatkan suatu bentuk hilangnya rasa hormat terhadap penganut kepercayaan serta memicu sentimen intoleransi.

Sementara, di Twitter, akun @Fahmiherbal sempat viral dengan muncul cuitan yang menggambarkan ucapan kebencian yang mengarah kepada kelompok etnis tertentu serta bertendensi mendiskreditkan kepercayaan yang dianut kelompok masyarakat lainnya. Akun ini sudah ditutup oleh pemiliknya.

Sementara itu, kasus pengadilan untuk perusakan Masjid Miftahul Huda milik komunitas muslim Ahmadiyah di Sintang, Kalimantan Barat ditenggarai mengalami penyimpangan. Tim Advokasi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan melalui juru bicaranya, Fitria Sumarni melihat majelis hakim justru tidak mendalami tindak pidana perusakan dan penghasutan kekerasan, melainkan berfokus mempertanyakan identitas agama dan keyakinan para korban (Tirto, 2021).

Sebagai tambahan, kasus pembangunan Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin di Bogor masih terkatung-katung walau pun sudah mengantongi ijin pembangunan serta rekomendasi Mahkamah Agung (MA) untuk berjalannya pembangunan gereja di lahan sendiri tersebut sejak tahun 2011. Dan kejadian pembongkaran terjadi kembali ketika jemaat mengajukan pengaduan terhadap proses relokasi dan hibah tanah yang dilakukan oleh Pemerintah kota Bogor (Kabar Sejuk, 2021)

2022 sudah sama sama dilewati beberapa minggu, namun kasus-kasus terkait dengan relasi antar agama semakin hari semakin meruncing seakan-akan tidak ada solusi terintegrasi yang dilakukan atau bahkan terpikirkan oleh pemerintah daerah dari level atas hingga level masyarakat.

Sementara itu, teringat bagaimana Pemerintah, melalui Kementerian Agama Republik Indonesia, telah memiliki program Moderasi Beragama. Ini menggarisbawahi cara pandang, sikap, dan praktik beragama dalam kehidupan bersama, dengan cara mengejawantahkan esensi ajaran agama yang melindungi martabat kemanusiaan  dan membangun kemaslahatan umum, berlandaskan prinsip adil, berimbang, dan menaati konstitusi sebagai kesepakatan berbangsa (Kemenag, 2021). Bagaimanakah hal ini berjalan ketika masih banyak tindak intoleransi dalam lapisan masyarakat masih terjadi begitu saja?

Tantangan Moderasi Beragama

Toleransi menjadi dasar harmoni hubungan masyarakat dengan perbedaan agama, etnis, suku, warna kulit, serta menjadi fitrah yang berdasar dari firman Allah dalam QS. Al-Hujurat ayat 13 yang menggambarkan bagaimana manusia diciptakan dari seorang laki-laki dan perempuan, berbangsa-bangsa supaya saling mengenal (Mukzizatin, Siti, 2019).

Sementara itu, dalam iman Kristen pun dijabarkan bagaiman kerukunan hidup masyarakat antar agama dan perbedaan dijalankan dengan dasar kasih, yang nantinya akan menumbuhkan kesejahteraan dan berdoa. Hal ini merupakan tindakan aktif dalam membangun kebersamaan serta mengupayakan kerukunan  (Yeremia 29:7; Galatia 6:10, Arifianto, Alex, 2021).

Dalam suatu negara, kehidupan suatu komunitas masyarakat harus mendapatkan jaminan hidup tanpa diabaikan nilai kemanusiaannya. Ini merujuk kepada bagaimana pemerintahan suatu negara juga berperan dalam membangun toleransi antar masyarakat berbeda agama, tercermin dalam undang-undang yang melindungi warga negaranya tanpa terkecuali.

Program Moderasi Beragama diluncurkan oleh Menteri Agama sebelumnya H. Lukman Hakim Saifuddin dan dilanjutkan Menteri berikutnya. Tujuannya adalah menjadikan proses pendalaman nilai agama dan kebangsaan menjadi bentuk kebiasaan dan perilaku bagi bangsa Indonesia.

Merujuk peristiwa-peristiwa di atas mengenai sesajen yang ditendang lalu ucapan kebencian di Twitter, serta pembongkaran gedung gereja Yasmin menandakan bagaimana masyarakat dan aparat pemerintah belum memiliki perspektif moderasi beragama yang justru bertendensi memaksakan cara pandang beragama yang paling benar serta memaksakan pahamnya dengan cara kekerasan dan kebencian. Hal ini juga mengarah kepada cara memahami agama dan kepercayaan yang berlebihan sehingga melupakan hak beragama dan kepercayaan masyarakat lainnya dan nilai hak asasi manusia secara umumnya.

Belum Terlambat untuk Perbaikan 

Sebelum adanya program moderasi beragama, Konstitusi UUD 1945 sejak lama telah menjamin hak beragama serta pelaksanaannya. Pasal 29 UUD 1945 ayat 2 menyatakan Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. Hak ini diperjelas ulang dalam ratifikasi Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR) ke dalam UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan ICCPR yang mengakui hak sipil dan politik setiap orang, termasuk di dalamnya hak kebebasan beragama.

Ketika langkah moderasi beragama akhirnya dilakukan Kementerian Agama, hal ini menandakan upaya serius Negara untuk hadir dalam kasus-kasus bermuatan nilai-nilai agama yang berpotensi memecah belah harmoni keberagaman beragama dan kepercayaan di Indonesia.

Langkah yang dapat dilakukan unsur aparat pemerintah adalah menjadikan program moderasi beragama ini untuk disosialisasikan ke seluruh jenjang pemerintahan dan memperkuat kurikulum pendidikan di lembaga pendidikan, baik formal dan non formal keagamaan. Program ini tidak seharusnya berhenti di level pemerintahan, namun harus turun ke seluruh lapisan masyarakat tanpa terkecuali. Belum terlambat untuk kembali melakukan program ini sesuai dengan kebutuhan dan melihat sisi-sisi kemanusiaan dalam masyarakat secara umumnya.

 


Bias KDRT dalam Media


Foto diambil dari free resource. Tulisan dimuat di Harian Rakyat Merdeka On-line Edisi 26 Oktober 2022

Bias KDRT dalam Media

Fanny S. Alam, Regional Coordinator of Bandung School of Peace Indonesia, Fellows of Australia Awards STA 2021 and IVLP Dept. of State USA 2020, and Nuffic OKP Netherlands 2022

Apa yang Terjadi?

Beberapa hari ini masyarakat dan jurnalis warga tampak disibukkan dengan berita Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang dialami oleh selebriti Lesti Kejora yang dilakukan oleh suaminya, Rizki Billar. Dalam pengakuannya. Lesti menyatakan bahwa dirinya mengalami kekerasan, seperti dibanting dan mengalami kondisi fisik yang tidak normal setelahnya. Sontak, masyarakat serta jurnalis warga memberikan simpati terhadap Lesti serta hujatan terhadap Rizki. Setelah Lesti melakukan pelaporan resmi ke Kepolisian, tiba-tiba saja ia mencabut laporan resmi tersebut dan seluruh upaya berakhir dengan damai. Hal ini pun menimbulkan kekecewaan terhadap masyarakat dan jurnalis warga yang sudah mendukung Lesti dan keputusan awalnya.

Di satu sisi lain, masyarakat dan jurnalis warga pun dikejutkan dengan berita kejahilan dalam konten video Youtube yang dilakukan selebriti Baim Wong dan istrinya, Paula Verhoven, ketika Paula disorot sedang melaporkan kasus KDRT yang dialaminya. Setelah beberapa saat, Baim datang dengan tertawa lalu menginformasikan kepada polisi yang sedang menangani laporan istrinya bahwa ia sedang melakukan kejahilan dan disorot dalam konten videonya. Puncaknya adalah keduanya harus menjalani proses hukum karena dianggap melakukan pelaporan palsu.

Bingkai Nyata KDRT

Rilis Catatan Tahunan (CATAHU) tahun 2022 Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (KOMNAS Perempuan) menyatakan terjadi lonjakan signifikan jumlah kekerasan berbasis gender (KBG) sebesar 50% terhadap perempuan, sementara itu data pengaduan ke dalam pusat data KOMNAS sendiri meningkat hingga 80% selama tahun 2021. Terkait dengan KDRT, kasus yang masuk ditangani oleh Badan Peradilan Agama (BADILAG) juga meningkat tajam sekitar 52%.

Fenomena KDRT merupakan hal nyata yang dapat terjadi pada siapa pun, masyarakat hingga selebriti atau tokoh publik mana pun. Fenomena ini seperti gunung es yang terus membesar karena banyak yang masih menganggap KDRT sebagai hal yang tidak perlu dilaporkan sebagai hal kriminal, hal yang harus ditutupi karena dianggap aib keluarga. KOMNAS Perempuan dalam Instrumen Monitoring dan Evaluasi UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga melansir korban KDRT menemukan banyak masalah untuk mendapatkan keadilan ketika melaporkan kasusnya, seperti sulit untuk melaporkan kasusnya ataupun tidak mendapat tanggapan positif dari aparat penegak hukum, dan ketentuan hukum acara pidana atau perundang-undangan lainnya sejauh ini terbukti tidak mampu memberikan perlindungan bagi korban kekerasan dalam rumah tangga. Sebagai tambahannya, tidak mudah juga bagi korban KDRT melakukan pelaporan secara terbuka karena banyak yang menganggap urusan rumah tangga sebagai urusan privat, adanya ketergantungan ekonomi terhadap pelaku (suami). Kondisi sosial dalam masyarakat yang menganggap kekerasan terhadap perempuan dalam hal ini istri merupakan hal yang dianggap wajar sebagai bentuk mendidik juga membuat korban KDRT bisa berpikir ulang untuk melaporkan kasusnya karena alih-alih akan menjadi pihak yang dipersalahkan (Sukerti, 2005)

 

Sementara itu, semakin mengherankan ketika beberapa media di Indonesia justru tampak tidak mengedepankan hal-hal di atas dan lebih berusaha menarik kegaduhan dan opini publik masyarakat dan jurnalis warga. Sehingga, masyarakat justru malah tidak mendapatkan esensi apa itu KDRT serta bagaimana caranya bersikap secara bijaksana menghadapinya.

Bagaimana Media Seharusnya Bersikap

Media memiliki peran penting untuk sebaran informasi serta membantu masyrakat serta jurnalis warga mengetahui informasi terkini apa saja yang relevan untuk mereka. Media berperan sebagai penguat atau pelemah konstruksi masyarakat, salah satunya karena berfungsi sebagai alat pembentuk prasangka (Sivani). Di sinilah terjadi proses pemisahan masyarakat dan juga terjadi pada jurnalis warga dengan pendapatnya untuk saling menguatkan atau melemahkan. Ini yang terjadi pada pemberitaan kasus KDRT yang dialami oleh Lesti Kejora dan akhir berita tersebut yang justru membuat gaduh masyarakat dan jurnalis warga, dan secara tidak langsung menghilangkan esensi dari pentingnya mencegah KDRT dan mengurangi fungsi sosial untuk advokasi dan edukasi terhadap mereka. Terlebih lagi, ketika ada konten YouTube Baim Wong dan Paula Verhoven yang melakukan kejahilan dengan berpura-pura melaporkan KDRT, serta ada dalih dari Baim yang menyatakan bahwa konten tersebut merupakan edukasi bagi masyarakat (CNN). Dalam kasus ini, nyaris masyarakat dan jurnalis warga bersepakat bahwa konten tersebut merupakan bentuk tidak adanya empati terhadap korban KDRT.

Terkait KDRT, media berperan signifikan untuk memberikan informasi yang tepat dan tidak bias kepada masyarakat sebagai bagian dari strategi edukasi yang akan memberdayakan masyarakat untuk bersikap dan bertindak bijaksana ketika melihat kasus KDRT di lingkungan mereka sendiri dan di luar lingkarannya. Media dapat berstrategi melibatkan kampanye advokasi terkait KDRT yang akan memajukan inisiatif kebijakan dan pendidikan, sekaligus mengangkat kekuatan media sendiri di mata publik (Selvik). Para jurnalis seharusnya dibekali perspektif jender kuat sehingga dapat memosisikan diri untuk menghasilkan informasi objektif dan memberdayakan masyarakat mengenai KDRT. Sehingga, masyarakat dan juga jurnalis warga dapat menjadi lebih kritis dalam berpikir jernih ketika menerima informasi terkait KDRT melalui konsumsi media publik.

 

 

 

 

 


 

Kepedulian Pemuda Indonesia


Foto : oleh Anton Derawan, 4 November 2022. Tulisan di bawah diterbitkan oleh Harian Umum Pikiran Rakyat (PR) edisi 4 November 2022

Kepedulian Pemuda Indonesia 

Fanny S. Alam. Koordinator Regional Bandung School of Peace Indonesia, Fellows of IVLP the US. Dept. of State 2020, Australia Awards for Indonesia STA 2021, and Nuffic OKP the Netherlands 2022

Sumpah Pemuda 1928 lahir bukan tanpa sebab. Ia lahir atas kepedulian para pemuda yang terhimpun dalam Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) dari seluruh daerah di Indonesia. Mereka menghasilkan Kongres Pemuda Kedua, yang dimulai tanggal 27 Oktober 1928 yang mendiskusikan semangat persatuan dan pemuda, lalu 28 Oktober 1928 membahas masalah pendidikan, terutama kebangsaan dan keseimbangan pendidikan di sekolah dan di rumah, serta pendidikan secara demokratis. Lalu, kongres juga menggarisbawahi pentingnya nasionalisme dan demokrasi selain kepanduan yang sejak dini mendidik anak-anak untuk dispilin secara mandiri. Hal-hal tersebut dibutuhkan untuk mendukung pergerakan nasional yang saat itu sudah menyadari bahwa kemerdekaan di Indonesia merupakan hal yang tidak dapat ditawar.

Kongres ditutup dan lahirnya Sumpah Pemuda dengan ikrarnya yang dapat diperdengarkan hingga saat ini. Sumpah Pemuda ini lahir dari diskusi-diskusi pada kongres, dan pada rapat pertama tanggal 27 Oktober 1928, Moehammad Jamin mengungkapkan lima hal yang dapat memperkuat persatuan Indonesia, yaitu sejarah, bahasa, hukum adat, pendidikan, dan kemauan.

Pada masa sekarang, Indonesia sudah merdeka selama 77 tahun. Berbagai kemajuan telah dicapai oleh Indonesia, baik di mata sendiri dan internasional. Menjadi tuan rumah G-20 menjadi salah satu pencapaian penting bagi Indonesia. Dari Indonesia lah dunia akan berusaha pulih dan bangkit, terutama setelah dihantam pandemi Covid-19 yang ternyata hingga sekarang masih belum berakhir. Indonesia pun sempat dianggap sebagai model negara yang berhasil dalam mengantisipasi pandemi dengan baik. G20 sendiri terdiri dari banyak forum, salah satunya adalah Y20 Indonesia yang merupakan forum dialog resmi kepemudaan seluruh dunia dengan fokus terhadap empat isu utama, yaitu ketenagakerjaan, transformasi digital, planet berkelanjutan dan layak huni, dan keberagaman dan inklusi. Di samping itu, data Badan Pusat Statistik memperkirakan bahwa 2025 adalah puncak dari bonus demografi yang selalu dikaitkan dengan sumber daya dalam suatu negara, dan Indonesia sendiri akan mendapatkannya dengan dominasi pemuda berusia produktif. Hal ini merupakan sesuatu yang dapat berguna bagi Negara, terkait peran pemuda sebagai tulang punggung pembangunan.

Tahukah Pemuda Indonesia ?

Bonus demografi yang memprediksikan bahwa pemuda usia produktif akan lebih mendominasi jumlah penduduk Indonesia secara keseluruhan dapat dimaknai dengan kemungkinan Indonesia akan jauh lebih berdaya dengan sumber daya untuk membangun. Terbayang, kelompok pemuda ini akan mengisi lebih banyak lapangan pekerjaan. Prediksi bonus demografi ini sebenarnya memperlihatkan kontra karena para pemuda baru memasuki masa pemulihan setelah dua tahun bergelut dengan pandemi Covid-19. Secara global, pemuda memasuki masa di mana memperlihatkan resiliensi karena banyaknya tantangan selama pandemi berlangsung. Banyak pemuda, terutama dari kelompok rentan, beresiko terpapar tidak hanya Covid-19 itu sendiri, namun diiringi hal-hal negatif lainnya, seperti kerentanan dipecat dari dunia kerja, tidak dapat melanjutkan pendidikan, terganggunya kesehatan mental (OECD, 2020). Selanjutnya, riset dari International Labour Organization (ILO) yang menyasar pada kelompok muda di Indonesia pada tahun 2021 memperlihatkan kerentanan mereka dalam mendapatkan pekerjaan atau dipecat dari pekerjaan karena ketidaksiapan dalam pekerjaan berbasis digital, ditambah penundaan akses terhadap dunia pendidikan.

Jika kita ingin mengaitkan dengan peristiwa Sumpah Pemuda tahun 1928, di mana pada Kongres Pemuda, para pesertanya mendiskusikan semangat persatuan dan pemuda, pendidikan yang demokratis sehingga menghadirkan pemuda yang paham pentingnya menjaga persatuan untuk Indonesia merdeka dan pembangunan selanjutnya, maka mereka juga  menghadapi kondisi naiknya perilaku radikalisme karena selama masa pandemi kelompok terorisme banyak merekrut kelompok muda secara daring (Amar). Kondisi ini juga memperlihatkan kerentanan mereka dalam bersikap untuk mempertahankan ideologi persatuan di Indonesia dan bagaimana mereka terpapar ideologi yang dapat merusak persatuan tersebut. Di samping itu, Indonesia juga mengalami narasi intoleransi yang signifikan selama masa pandemi. Terdapat beberapa kasus intoleransi sejumlah 422 tindakan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) yang terjadi di 29 provinsi. Hal ini merupakan dampak dari polarisasi dalam masyarakat, politisasi COVID-19, pelipatgandaan marjinalisasi kelompok yang terdiskriminasi terutama perempuan, dan pembatasan/pembatalan kegiatan keagamaan (SETARA, 2020)

Menjadi suatu pertanyaan juga bagaimana pemuda Indonesia melihat hal-hal di atas?

Kepedulian Pemuda Indonesia

Tidak dapat disangkal bahwa ketika pemuda Indonesia akan menjadi bagian bonus demografi dalam kunci populasi Indonesia, mereka tidak hanya ditantang untuk berdaya guna dalam unsur pembangunan, tetapi juga bagaimana mereka peduli dengan isu-isu sosial di hadapan mereka. Tidak hanya isu sosial terkait marjinalisasi secara ekonomi, namun juga terkait dengan kondisi hubungan lintas agama yang berpotensi dapat mengurangi harmoni persatuan Indonesia, yang seharusnya dapat ditingkatkan dengan keterlibatan aktif para pemuda Indonesia.

Pandemi Covid-19 merupakan gerbang yang menunda serta merusak banyak aspek kehidupan, termasuk bagi kelompok muda yang terhambat dalam masalah pendidikan, ketenagakerjaan, serta hubungan sosial yang nantinya keseluruhan terkait dengan kesehatan mental mereka. Transformasi beberapa aspek tersebut berubah menjadi bentuk digitalisasi dan hal tersebut memerlukan banyak bentuk penyesuaian agar mereka dapat bertahan di dalamnya. Untuk mengantisipasi kerentanan tersebut, sebagai salah satu contohnya adalah inisiasi Ruang Ramah Remaja yang terbentuk atas dukungan UNFPA untuk memberdayakan kelompok muda keterlibatan dan pemberdayaan dalam merespon pembangunan jangka panjang serta membentuk resiliensi pada masa tanggap darurat. Selain itu, transformasi digital memunculkan potensi e-commerce yang terus meningkat pelakunya di Indonesia, dan pelakunya didominasi kelompok muda.

Kepedulian kelompok muda dalam merespon isu intoleransi demi menjaga hubungan lintas agama dan harmoni di Indonesia lebih baik banyak muncul, bahkan selama masa pandemi hingga sekarang. Banyak ruang-ruang aman untuk menyuarakan kegelisahan serta melakukan proses advokasi kepada sesama kelompok muda terkait hal ini. Beberapa komunitas, seperti Sobat KBB (Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan), Jaringan kerja Antar Umat Beragama (JAKATARUB), serta Sekolah Damai Indonesia (SEKODI) membuktikan bahwa kerja-kerja advokasi terkait toleransi antar agama dan membentuk wadah kerja sama teman-teman muda untuk mempertahankan harmoni lintas iman terus ada melalui pertemuan-pertemuan secara digital dan berlangsung hingga sekarang.

Sumpah Pemuda adalah nafas pemuda Indonesia untuk terus menginspirasi pemuda dalam persatuan, terutama dalam kondisi yang rentan mengalami perubahan pada masa sekarang. Unsur-unsur pemersatu, seperti Bahasa Indonesia, konsep tanah air satu, serta nilai kebangsaan Indonesia, merupakan perekat bagi keberlangsungan bangsa yang seharusnya terus dihidupkan oleh kelompok muda. Dalam kehidupan ekonomi, pendidikan, serta hubungan lintas agama yang terus bertransformasi saat sekarang, tantangan untuk tetap “mempertahankan” identitas kebangsaan semakin terus muncul. Hal-hal seperti ini yang seharusnya tetap ada dalam konteks pemikiran pemuda Indonesia, apalagi dengan usaha mempertahankan resiliensi selepas pandemi, hubungan lintas agama yang masih mengalami ancaman disharmoni dalam kenyataannya. Seperti disebutkan dalam bagian sebelumnya ketika Kongres Pemuda menyebutkan pentingnya nasionalisme dan demokrasi serta pendidikan secara demokratis, maka pendidikan dalam lingkungan keluarga dan pendidikan sipil formal sekolah merupakan salah kunci penting bagi pemuda Indonesia saat ini. Kalau bukan mereka yang bergerak untuk melakukan dan mempertahankannya, bukan mungkin Sumpah Pemuda hanya akan tinggal simbol yang hanya dirayakan melalui twibbon bingkai foto, seremoni belaka karena wajib tanpa mengetahui makna dalamnya.