Rabu, 25 November 2020

Tulisan-tulisan Hadi Yonathan, anggota Sekodi Bandung Batch III. Silakan disimak jika berkenan

(diambil dari blog yang bersangkutan dengan permohonan ijin sebelumnya)


PENTINGNYA MEMAHAMI DIRI

😉Aku Adalah Aku😉
 
Orang terkadang ingin mengerti tentang diri orang lain tetapi dirinya sendiri tidak dimengertinya, inilah salah satu problem dalam diri setiap individu muda, yang dengan hastrat ingin terlihat tak ketinggalan zaman sampai lupa dirinya siapa, bagaimana dan seperti apa...
 Sob, selalu ingat, sebelum kita memahami diri orang disekitar kita, terlebih dahulu fahami dan kenalilah dirimu sendiri, maka apabila kita telah memahami diri pribadi, tabir penghalang mata kalbu pun akan terbuka sehingga hati kita mudah untuk memahami rasa, keadaan, perasaan kepada orang lain, baik orang dekat maupun orang yang memang hanya sepintah melewat didalam kehidupan kita.
 
Saya tahu, memahami diri sendiri itu bukanlah suatu hal yang mudah, tetapi apabila kita mau bertafakur diri, mengkaji jiwa kita, God Willing, semuanya akan terbuka dan akan kamu temui siapa diri kamu yang sesungguhnya...

Dan apabila seorang insan telah mengetahui siapa dirinya, maka akan timbul rasa malu dan rendah hati, karena akan ditemuinya wadah-wadah kesalahan dan kekurangan diri, namun dibalik itu semua manfaatnya kita bisa menjaga diri kita dari segala hal-perkara yang sungguh tidak cocok bagi diri kita.
 
Orang yang mengenal dirinya sendiri akan bisa merasakan dengan hati terlebih dahulu sebelum bertindak dengan jasmaninya, karena hati adalah pusat rasa jiwa, sedangkan tubuh hanya rasa raba saja.

Orang yang tahu jati dirinya seperti apa dan bagaimana dirinya yang sesungguhnya akan tahu dan paham bagaimana seharusnya dia berpenampilan dan berbicara, dengan bertindak sesuai dengan keadaan dirinya dan seadanya (real) tanpa mau mengikuti gaya dan image orang lain (dalam arti hal-hal yang kurang bergunanya).
 
Aku mengajak kamu sob, ayo kita berkenalan sama diri kita, dan aku nyaranin kamu jangan terlalu banyak (lama) berkaca dihadapan cermin kaca karena itu akan membuatmu sibuk merias diri dan malahan bisa membuatmu iri hati kepada orang lain yang menurutmu lebih (cantik/tampan) daripadamu, tetapi berkacalah dihadapan cermin hidup dan kebaikan, agar diri dan jiwa kita bisa mengikuti jalur hidup yang sesuai dengan hak-dan norma kemanusiaan.

(sumber: https://damaimudaku.blogspot.com/2020/08/pentingnya-memahami-diri.html)

FILOSOFI TERAS/FILSAFAT STOICISM

Halo Sahabat Web ku terkasih, puji Tuhan saya memiliki kesempatan ditengah kesibukan pribadi untuk menulis artikel di laman blogger Damai Mudaku yang diadmini oleh saya, so, akhir-akhir ini saya suka sekali belajar dasar ilmu Filsafat, dan saya banyak mengenal beberapa aliran dari ilmu filsafat tersebut, salah satunya aliran filsafat Stoicism/Stoik, yang dikenal di Indonesia dengan nama Filosofi Teras sesuai dengar arti kata Stoa [Greek:Στοά] yang dapat diartikan Beranda.

 


Madzhab Filsafat Stoik ini adalah salah satu aliran filsafat kuno yang lahir di awal abad ke-3 Sebelum Masehi, di kota Atena oleh seorang filsuf bernama Zeno orang Citium, beberapa menuliskan bahwa Filosofi Stoik ini resmi terbentuk pada abad ke 108 Sebelum Masehi.

Pada masanya aliran ini banyak sekali diikuti dikarenakan tidak bertentangan dengan norma-norma agama dan manusia, juga amat mudah difahami oleh orang awam, terlebih orang-orang yang menderita [kemiskinan] banyak mengikuti aliran ini yang bertujuan memperoleh kebahagiaan sejati ditengah jeratan kehidupan.

Setelah Bapa Zeno orang Citium mendirikan aliran filsafat Stoa ini, kedepannya mulai bermunculan filsuf-filsuf lainnya yang meneruskan aliran filosofi Stiokisem ini, yakni; Chrissipus dari Soli, Cleanthes dari Assos, SEneca MUda, Cicero, Epictetus, dan Marcus Aurelius. Kamus Filsafat Terbitan Cambridge membagi para filsuf-filsuf ini menjadi tida bagian;

Pertama angkatan Stoa awal terdiri dari Zeno orang Citium (334-262SM), Chrisipus (280-206), dan Cleanthes (331-232).

Kedua angkatan Stoa tengah yang terdiri dari Panaetius (185-110 SM) dan Posidonius (135-50 SM) dari Rhodes, yang mempengaruhi Cicero (106 SM -43 M).

Dan Ketiga angkatan Stoa akhir  atau Stoa Romawi, yakni
icero (106 SM -43 M), Seneca Muda (1-65M), Epictetus (55-135M), dan Marcus Aurelius (121-180M)

Jujur saya sangat suka dengan filosofi ini, karena bisa dianut oleh semua kalangan baik kalangan konglomerat, menengah bahkan bawah sekalipun, dimana filosofi ini mencoba menggapai kebahagiaan walaupun kita dalam keadaan susah tanpa memikirkan rasa susah tersebut.

Filosofi ini juga lebih menekankan moralitas manusia, yang mengajarkan agar kita selaku penganut Stoa menemima "narimakeun" apa yang ada, dan apa yang sudah mutlak tidak bisa dirubah gak udah dipaksakan untuk diiubah karena itulah salah satu penyebab manusia bersedih hati, filosofi teras ini menuntut kita untuk hidup sesuai hukum alam sebab dan akibat, dimana kita menghindari rasa takut akan segala hal dan menumbuhkan rasa cinta kasih dan persaudaraan sesama manusia.

Contoh apabila kita dihina orang seorang stoa tidak boleh menghina balik justru lebih baik diam saja dan gak usah dipedulikan, karena sudah hukum alam bahwa sifat manusia memang demikian, tetapi sifat seperti itu bukanlah sifat yang baik bagi seorang stoa.

Seorang stoa dituntut untuk tidak menginginkan hal-hal yang diluar kemampuannya, karena dengan keinginan yang luhur melebihi batas kemampuan pribadi dapat mempengaruhi keadaan hati sehingga apabila sudah diusahakan namun tidak berhasil malah akan membuat diri bersedih dan tidak berbahagia, stoikisem lebih menekankan kerendahan hati, menerima apa yang ada, menghilangkan fikiran-fikiran negatif dan jangan mudah terpengaruh dengan hal-hal diluar batas dirinya, selalu berfikir baik dan menghibur diri dengan kebaikan.

Para stoik meyakini bahwa Yang Mutlak memberikan nalar kepada manusia dan hewan , dimana dengan nalar manusia bisa manata kehidupan didunia, so jadi manusia ini salah satu makhluk yang penting dalam tatanan ciptaan Yang Mutlak, untuk mengatur dan mengolah segala ciptaan-Nya ini, yang berarti apabila manusia merusak tatanan alam yang ada berarti itu sama artinya mengancam kelangsungan hidupnya sendiri, dapat dfahami pula bahwa eksistensi manusia ini berkaitan eratnya dengan eksistensi lain disekitarnya.

Seorang sophis yang bijak yang diliputi ide-idenya itu harus hidup sesuai dengan idenya tersebut, para stoik dituntut untuk tidak berangan-angan dengan ide-ide yang tinggi tanpa mencoba mewujudkan ide-idenya tersebut, karena dengan demikian dapat mempengaruhi kebahagiaan diri, menyiksa batin dengan ketidak puasan karena tiada wujudnya hal yang tak dikehendaki.

Seorang Stoik juga jangan merasakan takut akan adanya kematian, hantu, kejahatan, peristiwa-peristiwa buruk yang mengganggu kebahagiaan, karena itu sudah menjadi hukum alam, bukan berarti seorang stoik melepaskan kepercayaan kepada hal-hal tersebut, tetapi mencoba meluruskan nalar kita agar tidak dikendalikan oleh emosi dan nafsu yang muncul karena hal-hal itu, dan dengan meluruskan nalar kita ini dapat mengendalikan perilaku diri dalam menghadapi segala hal tersebut.

Hidup stoik juga tidak lupa selalu melibatkan Tuhan/Sang Theos dalam kehidupan sehari-hari, sebab hidup kita ini merupakan tatanan dan ketetapan Sang Mutlak, dimana manusia juga diberikan-Nya kuasa untuk bertindak sesuai kebaikan-Nya.

 Mungkin sekian dari tulisan saya tentang Aliran Filsafat Stoicism ini, kedepannya bakal kita kupas lebih dalam lagui tentang aliran filsafat paling populer ini. Ini sekedar dasarnya saja, dan saya still have to read about it supaya bisa lebih faham dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.

So, moga manfaat.

Makasih

Salam Damai!

(sumber: https://damaimudaku.blogspot.com/2020/10/mengenal-filosofi-teras-filosofi.html)



 

 




Tulisan ini telah diterbitkan di Organise! edisi 93 by Anarchist Federation (AFED) Britain pada bulan November 2020

Mystification of Clothes as Cause of Sexual Violence and Harassment

By Fanny Syariful Alam

Regional coordinator of Bandung School of Peace Indonesia, a safe place for the youth to acknowledge social and human rights issues as well as to express themselves freely for peace and social justice

fannyplum@gmail.com www.bsopindonesia.org

 

2018, in one narrow aisle in Bekasi Timur street, Jatinegara, Jakarta, Indonesia, RA met a girl, continuing with sexual assault after hitting her head. He claimed to conduct it spontaneously due to her revealing clothes[1]. The latest was in July 2020 when a video shows Starbucks’ male employees[2] who peeped the women’s customers’ breasts through their CCTV in one of the outlets in Jakarta, Indonesia, making most people on their social media comment on the women’s clothes, seemingly to be ‘inviting’ the perpetrators to do so.

Furthermore, there is a tendency that women with revealing clothes are seen to have a strong potential object for sexual harassment and rape. This statement directly implies that the ones with more covering clothes are safer. According to one of the protection institutions for women, Rifka Annisa[3] through their spokesperson, Defirentia Muharomah,  in Jogjakarta, Indonesia, the above statement is according to one of their researches underlying that the actors do the actions because they deserve to be “the righteous” to see women with such clothes, and even they never feel guilty to conduct them

Everywhere, women are vulnerable for sexual harassments and violence with the skyrocketing number across the world. No matter how many international covenants about human rights and equal rights for women as well as some improvement of applicable laws to support and to prevent them from those above-mentioned misconduct have been signed, they cannot prevent them to be still easily exposed with various undermining actions, while the societies and authorized officials tend to blame them as well. The main victimization definitely leads to what they are wearing when the events emerge. Clothes are one of the visible yet easiest causes to re-accuse women for encountering sexual misconduct. Furthermore, it is still effortful to raise public awareness to see the reality that sexual harassments and violence occur to women merely on account of perpetrators’ pure crime and negative mindsets, not because of the victims. This circumstance stirs most people to dismiss the victims’ perspectives despite their condemns against their experience.

 

 

 

Clothes as Moral Standard Time to Time : Indonesian Religion-Based Perspective

Clothes usually symbolize certain parts of traditions, or even stories, and have maintained ancient stories of rituals, values of the countries, the identity of people. At first in general, identities are constructed through use of building materials, starting from history, geography, biology, productive and reproductive institutions, collective memories, personal fantasies, power apparatuses, and religious revelations (Castells,2010)[4].

Time develops and clothes improve as fashion ideology. Clothes and fashion appear to be simultaneously inter-exchanged in terminology, however, in sociology terms, clothes mutates to broader definition to fashion as the non-cumulative change of cultural features, originating from a basic tension specifically to the condition of the human being which underlies the tendency to imitate somebody else or to distinguish ourselves from others (Simmel, 1904)[5].

Simmel’s statement about fashion assists to identify clothes as a part of cultural traits, one of them is religion. Specifically, most the institutionalized religions provide their values as codes for societies for defining morality standards, even towards the existence of clothes that are supposed to be worn by societies. By following their conduct, the societies have an imperative role to maintain their religions’ traditions as well as to control them symbolically. Gradually, the value alters to be the obligation which must be accepted everywhere, and soon it will be a new justification for people to blame those improperly dressed according to it.

Clothes implies main religions’ conducts described through the religion principles, for example here Islam (Arthur, Linda.B)[6]. When it comes to Islam, whose followers are referred to as Muslims, and according to The Koran as their holy book, Muslim women are required to dress modestly, in this case, to cover their bodies, which actually encompasses the principle of restricting their behaviors as well as to anticipate disrespectful actions sexually.  Islam itself is segregated to moderate and conservative groups, which affect the code of clothing for the women in particular. The conservative requires them to comply with the tradition, as a way to combat the cultural assimilation from westernization through Islam societies since the end of World War II.  

In Indonesia, the idea of assimilating religion principle, in this case Islam, as moral standard for people’s life emerges as an accepted value when later to be an imposed norm through some of  formal provincial and regional regulations. In contrast, for example, while women in the country might enjoy openness based on a fair gender perspective to make them equal to men, yet they have currently been facing conservatism in Islam to shift some values, one of which relies on how to rule women’s clothes in public. The tendency to adhere to Islamic values gets to be certain when recently it has been the likely story to see women in veil in various terms of jobs, mostly in government instances and other public institutions. For example, on 26 June 2020, The Regent of Central Lombok, Moh.Suhaili Fadhil Thohir, instructed all Moslem women civil servants to wear chador[7] instead of health masks to combat COVID pandemic. All of them, for the first time on 3 July 2020, participated in the Friday’s routine sport wearing their chador. The regent himself checked them one by one based on the chador requirement on behalf of the Islamic value, and started to criticize the ones who were still wearing long trousers instead of long dress as a part of chador requirements. Throwing back in 2012, the similar regulation was applied in the regency area of Bone Bolango in the province of Gorontalo,[8] explaining that all women civil servants had to wear formal Muslim attire as instructed by the Regent through his deputy, Hamim Pou. He underlined that it was a must in a purpose to support the regional principle of Bone Bolango Bermartabat (the dignified Bone Bolango) as well as to provide the polite impression in front of public.

The circumstance eventually segregates Islamic women and non-Islamic ones despite the country’s obligation to respect both of their rights with no exceptions. As well, it directs women to comply with the principle when dressing appropriately. Unfortunately, the conduct tends to be forced to non-Islamic women[9], particularly students of high schools where the regions adopt the conduct, for example in Aceh, where the Syariah principle is applied onto the regional law completely, in Padang, West Sumatera, and some regions in Central Java[10] as well as other 21 provinces in Indonesia.

 

“Inappropriate “ Clothes Means Justification for Sexual Violence and Harassments?

In accordance with the above-mentioned religion value, clothes become another new moral standard which particularly  applies to women. They thrive to be a parameter when seeing most cases of sexual violence and harassment. The principle of women’s wearing any they prefer for their own comfort is found against the applicable value in public (whether it is accepted by collaborative consent or forced on behalf of the society’s will), and it is very usual when religious value is promoted to support moral standardization through the tools, such as clothes.  It is taken as a must, which actually for some women it is the optional matter because it is a personal thing other people cannot interfere despite carrying the religion behind.

What is taken ‘inappropriate’ in terms of clothes? Inevitably, religions inspire their followers to act, to behave, and  lately, seldom do they treat them as personal conducts, but more than that, they exactly prefer their peers or other parts of public to conduct the same principle. This process somehow gains a politicization, supported by politicians and  religious leaders, as a result, not only can it be another law product, but also a guidance which allows the justification to victimize women through their clothes when encountering sexual violence and harassments. In order to contrast the existence of westernization in daily attire, clothes usually are directed to follow the religion values, imposed to more women to do so.

The tendency to justify the reason most women are assaulted and harassed sexually as well as to victimize them due to their clothes shows lack of human right and victim perspectives since they keep being blamed no matter how bad the experience they have gained. Most people ignore the circumstance of religious environment where the people are openly prone to sexual violence and harassment, as said by Fathkhurozi, a director of Legal Resources Centre for Gender and Human Rights [11]that around the period of 2009-2012 approximately 85 girls and children were assaulted sexually in the environment of Islamic boarding schools in Central Java. Not only the assaults such as sodomy, rape, but also other forms of violence, such as underage and forced marriage took place at most of the places.

The perspective of attention towards victims of sexual violence and harassment is on the need to be acknowledged without focusing on their clothes and it should be properly introduced to all people, not only the ones who are relevant to anticipate such cases. No women or men should be facing any undermining practice. The thought to see anyone to get such experience on account of their inappropriateness of their clothes should be eliminated distantly from everybody’s mind.

Are we still going to blame the victims on what they are wearing? Or are we going to start to listen to their perspectives?

Bibliography :

1.       https://www.liputan6.com/news/read/3295673/pelaku-pelecehan-seksual-di-jatinegara-tergiur-pakaian-seksi-korban

2.      https://news.detik.com/berita/d-5077990/baju-pelanggan-starbucks-yang-diintip-disorot-ini-kata-komnas-perempuan/2

3.      https://lifestyle.kompas.com/read/2018/11/09/070700020/pakaian-korban-kerap-disalahkan-dalam-kasus-pemerkosaan-pantaskah-?page=all

4.      Castells,  M.(2010). The  power  of  identity  with  a  new  preface,  Second  edition.  Oxford: Blackwell Publishing

5.      Benvenuto, Sergio, Book Review of Georg Simmel ‘Fashion’, Journal of Artificial Societies and Social Simulation (JAASS), Volume 3-Issue 2, March 2000

6.      Arthur, Linda.B, Religion and Dress,  https://fashion-history.lovetoknow.com/fashion-history-eras/religion-dress

7.      https://www.hrw.org/id/news/2020/07/08/375744 Diskriminasi Aturan Berpakaian Di Lombok Tetap Berlaku Selama Pandemi COVID-19

8.      https://republika.co.id/berita/nasional/umum/12/02/08/lz2nuk-di-bone-pns-wanita-wajib-berjilbab

9.      https://independensi.com/2018/08/25/siswi-kristen-wajib-pakai-jilbab-di-riau/

10.  https://www.vice.com/id_id/article/neayeg/kasus-sekolah-negeri-paksa-pelajar-pakai-hijab-terdeteksi-di-24-provinsi-indonesia

11.  https://ecpatindonesia.org/berita/terjadi-pelecehan-seksual-di-pesantren/

 



[4] Castells,  M.(2010). The  power  of  identity  with  a  new  preface,  Second  edition.  Oxford: Blackwell Publishing

[5] Benvenuto, Sergio, Book Review of Georg Simmel ‘Fashion’, Journal of Artificial Societies and Social Simulation (JAASS), Volume 3-Issue 2, March 2000

[7] https://www.hrw.org/id/news/2020/07/08/375744 Diskriminasi Aturan Berpakaian Di Lombok Tetap Berlaku Selama Pandemi COVID-19

 




 

Selasa, 27 Oktober 2020

Envisioning Peace

Rhaka Katresna menceritakan partisipasi dirinya di Sekolah Damai Indonesia dalam kampanye yang diadakan oleh Envisioning Peace.

https://youtu.be/S3i2DpTdy2U

Minggu, 25 Oktober 2020

Pentingnya SOGIESC bagi Pemimpin Muda untuk Menjembatani Isu Gender dan Seksualitas

Sabtu (24 Oktober 2020) pukul 15, Peace Leader Indonesia bekerjasama dengan Sekolah Damai Indonesia, (Re)aksi Remaja, Pemuda Tapal Batas dan Duta Damai Jatim mengadakan kegiatan Ngopeace Online bertajuk Pentingnya SOGIESC bagi Pemimpin Muda untuk Menjembatani Isu Gender dan Seksualitas.
Rhaka Katresna mewakili Sekolah Damai Indonesi berbagi mengenai Pengenalan SOGIESC kepada Remaja sebagai Bentuk Perdamaian
Video kegiatan bisa dilihat melalui tautan di bawah.
https://youtu.be/VLorWVq-Sws

Rabu, 19 Agustus 2020

Rhaka dan Wina dari Sekodi Bandung Melakukan Orasi Puisi dan Tubuh di Aksi RUU PKS Bandung

oleh Rhaka Katresna, Mahasiswa Departemen Psikologi Universitas Pendidikan Indonesia dari Sekodi Bandung

Saya (Rhaka Katresna) dan Wina Hasna Vania melakukan orasi tubuh dan puisi di kegiatan Aksi Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) di depan Gedung Sate, Bandung pada Selasa, 21 Juli 2020. Kami mewakili Sekolah Damai Indonesia bersama dengan pendukung RUU PKS lainnya dari berbagai wilayah di Bandung Raya.

Metode yang saya lakukan dalam tari adalah Embodied Justice. Itu adalah sebuah metode yang saya pelajari langsung dari Alexia Buono. Metode ini muncul dari presentasi performatif Dr. Buono di International Congress of Qualitative Inquiry Mei 2019 bertajuk "A Restorative Justice for Body in Research Scholarship".

Buono (2020) menjelaskan bahwa keadilan restoratif adalah perbaikan kooperatif atas kerugian yang disebabkan oleh perilaku kriminal yang dapat mengarah pada transformasi diri, relasional, dan komunal. Latihan ini mencakup praktik koreografi penyelidikan, dialog, dan kreativitas multimodal (frase tarian, peta tubuh, dan kata-kata tertulis).

Embodied justice mengundang semua orang yang terlibat (penari, koreografer, penonton) untuk bersama-sama mengakui, mengubah pola, dan memperbaiki kerusakan yang telah terjadi pada tubuh (fisik, emosional, kognitif, sejarah, sosial, dll.) dengan berbagi dalam pertunjukan dan pengalaman koreografi bersama.

Penampilan

Rhaka Katresna sebelum Penampilan

Saya meminta Wina dan Sapitri untuk menyiapkan teks orasi 3 hari sebelum tampil. 

Kemudian malam sebelum penampilan, saya bertanya pada diri saya sendiri mengenai hal-hal berikut:
  1. Apa yang saya rasakan sebagai penyintas kekerasan seksual?
  2. Bagaimana saya memaafkan dan mengakses pengalaman itu?
  3. Apa yang rusak?
  4. Gerakan apa yang berhubungan dengan pengalaman saya?
  5. Apa refleksi saya setelah menjawab 1 - 4?
Saya menyimpulkan bahwa saya dapat menghubungkan diri saya dan tubuh saya dengan pengalaman pelecehan seksual. Proses itu lebih jauh mengingatkan diri saya sendiri tentang pengalaman saya sendiri tentang pelecehan seksual. Mengejutkan karena tubuh benar-benar mengingat apa yang terjadi secara detail.

Rhaka dan Wina melakukan Orasi Tubuh dan Puisi

Pada hari pertunjukan, saya membaca kembali apa yang saya tulis. Saya minta Wina berpidato sambil menari. Kemudian, saya tampil. Saya menemukan bahwa gerakan saya dipengaruhi oleh pidato. Itu membuat gerakan saya menjadi gerakan terpaku saat saya merasa kaki saya tertekan di jalan. Saya mengubah gerakan saya melalui tangan dan kaki saya. Saya malah memikirkan sesuatu yang menyakitkan dan mengalaminya. Pola yang berulang adalah membungkuk ke belakang, tangan meraih bantuan, menghentikan gerakan, dan menarik bagian tubuh lain dengan tangan.

Referensi

Buono, Alexia. (2020). Undergraduate Faculty Mini-Grant Application Project Description: Body Concept. Tidak diterbitkan.

Obrolan Ringan Seputar Kejawen

oleh Aries Hardianto, mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati dari Sekodi Bandung

Bhinneka tunggal ika adalah semboyan “resmi” bangsa Indonesia yang merangkum sekaligus memotret kondisi sosiokultural rakyat Indonesia sejak dahulu kala yaitu keberagaman masyarakatnya atau dalam istilah lain masyarakat majemuk. Kemajemukan yang dimaksud ialah dalam aspek sosial dimana begitu banyak suku, ras dan adat tradisi yang mewarnai kehidupan sehari-hari. Diantara begitu banyak suku bangsa yang ada suku jawa cukup menarik untuk saya sorot dalam tulisan kali ini.

Bukan tanpa sebab karena setidaknya ada 2 hal yang melatar belakangi keinginan diatas. Yang pertama karena suku jawa adalah suku bangsa dengan jumlah yang sangat besar dan tersebar ke berbagai penjuru daerah lain. Yang kedua karena saya sendiri merupakan keturunan suku jawa tapi lama menetap diluar jawa. Sehingga tak mengherankan saya tidak mengetahui kebiasaan atau tradisi lain yang berkenaan dengan suku jawa. Semua yang saya tau hanyalah berdasar pengamatan terhadap orang tua dan berkunjung ke kampung halaman saat mudik tiba.

Ada satu pengalaman yang unik ketika saya mudik ke daerah madiun saat salah satu saudara menyebut saya dengan sebutan “wong bandung” atau “orang bandung”, akan tetapi disini (Bandung, Jawa Barat) saya disebut sebagai orang jawa karena orang tua saya yang berasal dari jawa. Memang kata “Jawa” disini agak bias karena penggunaannya bisa merujuk pada kelompok suku bangsa, Bahasa daerah atau bahkan pulau tergantung konteks. terlepas dari konteks yang saudara saya pakai tadi terkadang saya pun bertanya pada diri sendiri apakah saya orang Jawa atau orang Bandung (Sunda)?

Berangkat dari pertanyaan “aneh” tersebut saya menghadiri diskusi rutinan komunitas Sekolah Damai Indonesia pada Sabtu, 15 Agustus 2020. Narasumber diskusi ini ialah mas Anto W. Nugrahanto, seorang dosen sejarah salah satu universitas terkemuka di kota Kembang. Tema yang diusung ialah kejawen. Namun tulisan ini tidak akan membahas kejawen secara mendalam namun berupa pengenalan singkat saja sebagai ajang menambah wawasan nasional.

Berbicara perihal kejawen biasanya yang terlintas di benak orang awam ialah ritual-ritual yang kental dengan nuansa spiritual atau bahkan Supranatural. Pandangan tersebut bisa jadi karena prasangka sepintas yang ditunjang oleh kurangnya akses informasi terkait kejawen secara kredibel. Lantas apa yang dimaksud oleh kejawen itu sendiri ?

Secara sederhana kejawen adalah sebuah ajaran hidup, aliran kepercayaan dan prinsip  yang dianut dan dilestarikan oleh suku Jawa yang (masih) mempercayainya. kejawen amat dekat dengan kehidupan orang jawa (dahulu/leluhur) dalam membangun tata karma, pola pikir dan ketenangan jiwa dengan cara mematuhi sosok “yang maha kuasa”. Meski tampak seperti agama namun penganut ajaran kejawen biasanya tak mengartikan kejawen sebagai sesuatu yang “mirip” dengan agama pada umumnya (islam, Kristen, buddha, dll.).

Hal ini terjadi oleh sebab kejawen lebih tepat dipahami sebagai world view atau weltanschauung alias cara pandang yang membuahkan seperangkat nilai-nilai bertabur kearifan lokal masyarakat tradisional jawa tempo dulu yang bersifat abstrak. Berdasarkan kumpulan naskah kuno peninggalan para tokoh masyur tanah jawa seperti Rangga Warsita (ronggo warsito) tergambar bahwa kejawen termanifestasikan sebagai seni, filsafat, moral, etika dan kebiasaan yang dikomando oleh ide dan local belief atau kepercayaan lokal. Oleh karena penekanan terhadap aspek keseimbangan itulah kejawen biasanya dapat bersanding dengan agama-agama yang ada seperti Islam, Kristen atau Hindu. Artinya seseorang bisa memeluk Kejawen disamping agama lain dalam perjalanan spiritual nya. Namun terkadang ada pihak-pihak tertentu yang menuduh kejawen sebagai ajaran  sesat atau bid’ah. Apapun alasan yang dipakai tak pernah dibenarkan untuk mendiskreditkan sampai mendiskriminasi suku, agama dan antar golongan (SARA).

Saya sempat bertanya “apakah pemeluk ajaran kejawen diharuskan memiliki keturunan darah secara langsung atau tidak dengan suku jawa seperti Yudaisme (agama bangsa yahudi)?”. Mas Anto pun menjawab bahwa tidaklah harus. Walau begitu akan mengherankan kalau ada orang Israel menjadi penganut Kejawen dibarengi dengan gelak tawa saya beserta yang lainnya. Dari situ mas Anto pun menambahkan bahwa tujuan akhir dari ajaran kejawen ialah menyatu dengan tuhan ketika ajal menjemput (manunggal).

Bila memang ajaran tersebut telah ada sejak dahulu lalu mengapa nama kejawen sendiri terasa asing di telinga masyarakat kebanyakan ? hal tersebut berkaitan dengan legalitas dari kejawen itu sendiri yang belum “diakui” oleh pemerintah. Meskipun angin segar mulai berembus tatkala pemerintah mulai mengakui kepercayaan lain diluar “agama resmi” yang ada. Mas Anto pun menjelaskan bahwa proses “legalisasi” itu pun tidaklah mudah. Salah satunya harus diorganisir telebih dahulu baik secara struktur organisatoris maupun secara “konseptual” (apa yang disembah?, tempat ibadah, hari raya, dll.).

Memang kolom agama pada KTP kerap menuai polemik karena terkesan “mengkotak-kotakkan” manusia berdasarkan kepercayaan yang sejatinya ranah pribadi. Padahal kolom agama pada KTP hanya berfungsi untuk mengidentifikasi data diri seseorang secara administratif. Oleh karena kemelut yang ada penganut kejawen tak leluasa dalam mengekspresikan dirinya. Mas Anto menyebut bahwa banyak orang tua yang menutupi jati diri mereka dan memeluk agama yang telah diakui. Sontak anak-anak mereka pun tak pernah tahu tentang inti ajaran kejawen karena persoalan yang menurut saya amat politis.

Diskusi berlanjut sampai merembet ke banyak topik seperti perang Padri dan sejarah agama kuno di Mesir (dewa Seth). Tak terasa hampir 2 jam diskusi telah berlangsung dibarengi dengan rintik hujan yang menahan kami untuk tak cepat-cepat pergi. Banyak hal yang saya bisa petik dari seluruh alur diskusi mulai dari sejarah, konflik, agama sampai perdamaian sebagai puncak toleransi antar umat manusia.

Penulis: Aries Hardianto