Sabtu, 25 April 2020

Refleksi 9 Bulanan di Sekolah Damai Indonesia Bandung


Setelah mengikuti kegiatan Sekolah Damai Indonesia selama 9 bulan lebih lamanya, saya meluangkan waktu bagi diri saya merefleksikan partisipasi saya selama di Sekolah Damai Indonesia. Kegiatan yang menyenangkan, lokal, informatif, dan penuh tilikan adalah ciri khas yang dimiliki oleh Sekolah Damai Indonesia Bandung.

Saya datang dengan sebuah pertanyaan mengenai “apakah saya layak untuk mendapatkan kekerasan?” Mengingat pengalaman kekerasan yang menetap dalam kenangan saya dan cukup mengganggu produktivitas saya. Proses itu dilalui dengan pertanyaan mengenai perdamaian, menjangkau orang-orang dari berbagai latar belakang, terlibat dalam kegiatan bersama orang yang bermacam-macam, hingga baru saja terjadi kemarin mempertanyakan mengenai makna keadilan itu seperti apa.

Proses yang saya lalui di Sekodi Bandung melibatkan refleksi yang melibatkan pengalaman personal dengan masalah yang muncul di lingkungan sekitar. Pertanyaan dan pemahaman yang sudah terproses selama beberapa bulan memberikan pemahaman baru bagi saya terhadap peristiwa kekerasan dan pejuangan perdamaian yang ternyata pernah saya lakukan di beberapa kesempatan dalam hidup saya.

Pemahaman soal peristiwa dulu yang kini sudah terbaca baik mendorong saya pada pertanyaan berikutnya, yaitu “apa yang akan saya lakukan berikutnya setelah saya beres dengan diri saya sendiri?” Jawaban untuk itu adalah mulai melangkah pada sesuatu yang lebih besar, kegiatan dan lingkungan. Proses pemulihan personal yang saya lalui telah mengantar saya untuk kembali produktif dan mudah bagi saya kini untuk terlibat atau mengerjakan kegiatan-kegiatan dengan mudah dan bergembira. Kemudian bersama lingkungan, mendorong diri saya untuk memulai proyek di lingkungan sekitar saya dengan cara saya sendiri.

Pada saat ini, saya sedang dalam pelatihan intensif Tari Somatik bersama Alexia Buono dari Bufallo, Amerika Serikat. Dari beliau saya mempelajari Restorative Justice of Body, yaitu perbaikan yang kooperatif atas kerugian yang disebabkan oleh perilaku kriminal yang dapat menyebabkan transformasi diri, relasional, dan komunal. Proses itu berorientasi pada keadilan dan terlibat dalam praktik koreografi penyelidikan, dialog, dan kreativitas multimodal. Pelatihan ini berlangsung hingga akhir Mei 2020. Selain itu, saya akan mengikuti Liberated Body Intensive Study yang diberikan oleh Monika Volkmar untuk saya bisa mempelajari dan memaknai kebebasan dalam gerak.

Latihan-latihan yang saya lalui dari Embodied Peace Training dari Paul Linden, Restorative Justice of Body dari Alexia Buono, dan pelatihan Liberated Body dari Monika Volkmar akan menjadi landasan saya untuk proyek Sekolah Damai Indonesia berikutnya pada tahun 2021. Saya akan berkolaborasi dengan berbagai komunitas untuk menciptakan pembangunan perdamaian melalui seni pertunjukan. Dukungan dari teman-teman Sekolah Damai Indonesia sangat bermakna bagi saya.

Di situasi COVID-19 saat ini, tak banyak yang bisa saya lakukan selain secara aktif mengikuti pembelajaran dan kegiatan di Sekolah Damai Indonesia. Momen ini tepat digunakan bagi saya untuk belajar, berlatih, dan merefleksikan peristiwa dalam hidup saya.














(Rhaka Katresna)

Rabu, 25 Maret 2020

Kami (Tenaga Medis) Tetap Kerja, Kalian Tetap di Rumah

AYOBANDUNG.COM -- Akhir-akhir ini banyak masyarakat di Indonesia mulai ketakutan terhadap virus covid 19. Setiap harinya adanya peningkatan jumlah masyarakat tercatat positif covid 19. Pembaharuan data setiap harinya tentang virus covid 19 biasanya dilakukan pemerintah serta pihak Kementerian Kesehatan yang bisa dipercaya dan diakses oleh seluruh masyarakat. 

Penanganan untuk virus covid 19 ini harus dilakukan secara bersama, mulai dari kesadaran setiap masyarakat terhadap pentingnya pola hidup bersih dan sehat, menjaga imunitas kuat dan mengurangi aktivitas-aktivitas sosial masyarakat dengan salah satunya bekerja di rumah, menjaga jarak 1 meter dengan orang lain, dan belajar mengajar juga dilakukan di rumah sampai ibadah pun dilakukan di rumah. 

Menurut data Kementerian Kesehatan terbaru per tanggal 24 Maret 2020 sudah ada 686 Jiwa dari 24 Provinsi di Indonesia yang positif Covid 19,  30 jiwa sembuh dan 55 jiwa meninggal. Melihat banyaknya jiwa yang positif covid 19 dan beberapa tenaga kesehatan di antaranya ada yang meninggal, saya merasa sedih dan prihatin atas kejadian tersebut. Di sisi lain, saya merasakan sedikit tenang dan bahagia karena di antara pasien yang sudah dinyatakan positif covid 19 sekarang menjadi negatif dan dinyatakan sembuh kembali sehat seperti sediakala. 

Tenaga Kesehatan Tetap Bekerja 
Mewabahnya pandemi virus covid 19 ini menjadikan tenaga kesehatan harus tetap bekerja dan menangani pasien agar dapat ditangani segera. Tim kesatuan medis ini meliputi tenaga kesehatan, seperti Dokter Umum dan Spesialis, Perawat, Ahli Teknologi Laboratorium Medik, Sanitarian, Radiografer, Apoteker dan Asisten Apoteker, Ahli Gizi, Bidan, Survelians Epidemiologi dan lain-lain. Mereka berjuang setiap harinya menangani pasien yang terpapar dan terjangkit virus covid 19 ini. Mereka bekerja tanpa mengenal lelah, melayani pasien dengan sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab ditengah wabah pandemi virus covid 19 ini. 

Tenaga kesehatan saat ini menjadi pemegang peran penting terhadap penanggulangan virus covid 19 ini. Mereka terjun langsung menangani pasien yang terinfeksi virus covid 19, dimulai pada saat pengambilan spesimen pasien melalui nasofaring, swab tenggorokan, darah, pemeriksaan laboratorium yang dapat mengeluarkan hasil pasien positif atau negatif, perawatan di ruangan, pemberian obat serta pemeriksaan penunjang lainnya. Semuanya  dilakukan oleh tenaga kesehatan sesuai dengan profesi tugas dan kewenangannya. 

Ada beberapa hal yang sekarang ini dibutuhkan oleh para tenaga kesehatan yang sedang bekerja menangani virus covid 19 ini, yaitu  pasokan masker bedah, masker N95, handscoon/sarung tangan kesehatan nitril/free powder, kacamata google laboratorium untuk pelindung mata, sepatu lark/sepatu karet boot, helm penutup wajah, asupan supplement vitamin untuk mempeekuat imunitas tubuh, hand sainitaizer dan berbagai cairan alkohol. 

Di antara kebutuhan yang dibutuhkan oleh tenaga medis, yaitu Alat Pelindung Diri (APD)  justru saat ini ketersediannya sangat minim, di antaranya masker dan handscoon/sarung tangan kesehatan. Padahal Alat Pelindung Diri (APD) wajib digunakan oleh seorang tenaga medis ketika menangani pasien, namun pada kenyataannya justru sekarang ketersediaanya sangat minim dan banyak disalahgunakan oleh orang-orang non medis. Banyak di antara masyarakat sekarang yang sudah menerapkan Alat Pelindung Diri (APD) medis yang salah, salah satunya sekarang banyak orang yang memakai handscoon/sarung tangan kesehatan di setiap aktivitas seharinya yaitu digunakan saat memegang uang, dipakai saat berkendara motor bahkan sekarang ada sebagian orang menggunakan alkohol swab untuk membersihkan ponsel selulernya. Hal-hal demikian seharusnya tidak dilakukan oleh masyarakat di luar medis. 

Sebagai tenaga kesehatan, saya memohon untuk masyarakat tidak bepergian terlebih dahulu keluar rumah, menaati aturan–aturan yang diterapkan pemerintah dengan melakukan social distancing. 

Aktivitas di Rumah 
Aktivitas di rumah untuk saat ini adalah hal signifikan untuk dilakukan. Banyak surat edaran yang dikeluarkan oleh pemerintah setempat yang mewajibkan warga diam di rumah selama 14 hari. Tujuannya sangatlah baik, yaitu bisa membantu memutuskan rantai penularan virus covid 19 ini. Semakin banyak orang yang melakukan aktivitas di rumah, semakin cepat kita bisa beraktivitas seperti biasa. 

Banyak hal yang menarik saat kita berada di rumah, kita bisa lakukan dengan hal-hal yang baik, seperti membaca buku sesuai dengan kesukaanya, belajar menulis artikel dengan hal-hal yang menarik, mendengarkan musik yang dapat membuat jiwa menjadi senang, menonton film kesukaan sesuai dengan jenis dan klasifikasi umur tepat yang dapat ditonton, berolahraga  secukupnya, membersihkan area rumah dengan leluasa, mulai dari kamar tempat tidur, halaman rumah dan ruangan lainnya, sehingga dapat beristirahat dengan nyaman,  berkumpul bersama keluarga, mengakses informasi seluas-luasnya dengan mudah dan nyaman menggunakan gawai masing-masing dan terakhir kita juga di rumah dapat  memanfaatkan waktu yang banyak untuk beribadah. 

Selama di rumah, kita harus tetap menjaga kesehatan setiap harinya. Menerapkan pola hidup bersih dan sehat (PHBS) dapat  kita mulai dengan seringnya mencuci tangan dengan menggunakan sabun dan air mengalir, minum air putih serta mengkonsumsi  buah, sayur dan makanan dengan gizi seimbang agar imunitas menjadi kuat. 

*** 

Diksi Paisal, STr.Kes, Praktisi Kesehatan dan Penggiat Sekolah Damai Indonesia Bandung.


---------
Artikel ini sudah Terbit di AyoBandung.com pada Rabu, 25 Maret 2020, dengan Judul Kami (Tenaga Medis) Tetap Kerja, Kalian Tetap di Rumah, pada URL https://www.ayobandung.com/read/2020/03/25/83833/kami-tenaga-medis-tetap-kerja-kalian-tetap-di-rumah

Penulis: Redaksi AyoBandung.Com
Editor : Redaksi AyoBandung.Com

Minggu, 22 Maret 2020

Serba-serbi Social Distancing


AYOBANDUNG.COM -- Hari-hari ini ramai dibicarakan tentang social distancing sebagai upaya pencegahan penyebaran wabah virus corona. Seperti kita tahu, social distancing adalah perilaku menjaga jarak fisik dengan orang lain, terutama orang asing, sejauh minimal 1 meter. Beberapa implikasi social distancing yang dilakukan secara massal adalah gerakan bekerja, belajar, dan beribadah di rumah yang diserukan oleh Presiden Jokowi dan didukung oleh berbagai pihak. Hal ini mungkin lebih tepat disebut sebagai physical social distancing. 

Akan tetapi, pembatasan jarak dan perjumpaan tatap muka dengan orang lain dapat berdampak negatif bagi sebagian orang. Perasaan kesendirian dan kesepian menjadi ancaman nyata yang kita hadapi. Celakanya, perasaan ini dapat berkembang menjadi perasaan depresif, bahkan mungkin pula berkembang menjadi gangguan depresi atau masalah kesehatan mental yang lain. 

Emotional distancing 
Secara logika, orang dengan kecenderungan ekstrover cenderung lebih riskan mengalami perasaan tidak nyaman akibat kebijakan-kebijakan dalam upaya social distancing. Orang-orang ekstrover adalah mereka yang mendapatkan energi dari luar dirinya, dalam interaksi dengan banyak orang. Hari-hari ini, karena interaksi tatap muka dikurangi bahkan dinihilkan, kesempatan para ekstrover untuk “mengisi energi” mereka pun semakin sedikit. 

Meski demikian, mereka yang introver pun dapat mengalami perasaan tidak nyaman akibat social distancing ini. Walaupun mereka cenderung mendapatkan energi dari waktu menyendiri, namun informasi yang bertubi-tubi, dan situasi yang terjadi akhir-akhir ini dapat menimbulkan perasaan mencekam, tidak aman, bahkan terancam. 

Perasaan tidak aman, kecemasan, dan perasaan terancam dapat dikatakan wajar dialami oleh setiap orang di tengah pandemi seperti ini. Ada yang cemas karena tetap harus bekerja di luar rumah demi sesuap nasi, ada yang cemas karena tetangganya sakit dan dikhawatirnya sudah terinfeksi virus, ada yang cemas karena orang terkasihnya tenaga kesehatan yang bisa sewaktu-waktu terinfeksi dan kekurangan alat perlindungan diri. Ada yang cemas karena orang tuanya memiliki penyakit bawaan sehingga lebih rentan terinfeksi virus ini, ada yang cemas karena penghasilannya berkurang, ada yang cemas karena terlalu lama berada di rumah sendirian, ada yang cemas tidak memiliki bahan pokok untuk kebutuhan hidupnya. Semua orang cemas, semua orang khawatir, semua orang panik, meski dengan berbagai alasan yang berbeda. Satu hal yang perlu diingat: bukan hanya Anda yang cemas. Saya juga, dan banyak orang lain demikian. 

Salah satu hal yang bisa dilakukan untuk membantu mengurangi perasaan tidak nyaman di tengah pandemi ini adalah dengan tidak melakukan emotional distancing. Jika (physical) social distancing diartikan sebagai menjaga jarak fisik, maka bolehlah kita mengartikan emotional distancing sebagai jarak emosional antara satu orang dengan orang yang lain. Kita disarankan untuk menjaga jarak sosial secara fisik dengan orang lain sejauh minimal 1 meter, namun sebaliknya, kita perlu mendekatkan jarak emosional kita dengan orang lain. 

Kita bisa menyapa, menanyakan kabar, bahkan berbagi kecemasan dengan keluarga, sahabat, teman, kolega, atau kenalan. Jika dengan pesan teks dirasa kurang, kita bisa menelepon atau melakukan panggilan video sehingga kehadiran orang lain terasa lebih nyata bagi kita. Hal sederhana semacam ini membuat kita dan orang yang kita sapa merasa tidak sendiri. Setidaknya kita merasa punya teman dalam menghadapi masa sulit ini. Lebih lagi, kita merasa punya teman senasib sepenanggungan yang juga merasa tidak aman dan cemas. Perasaan lega karena tahu bahwa tidak sendiri ini dapat menimbulkan ketenangan. 

Social media distancing 
Bagi sebagian orang, informasi yang riuh dan bertubi-tubi di media sosial adalah salah satu faktor yang memicu kecemasan dan kelelahan mental. Untuk itu, konsep social distance perlu juga kita terapkan ketika menggunakan media sosial. Dengan kata lain, kita perlu melakukan social media distance. 

Salah satu cara yang paling efektif adalah dengan berusaha menyaring informasi apa saja yang ingin kita ketahui. Kita juga bisa membatasi waktu-waktu tertentu yang ingin kita gunakan untuk mengakses media sosial. Selain itu, kita bisa mencari alternatif media atau kegiatan lain yang bisa memberikan hiburan sekaligus ketenangan, misalnya membaca buku, menonton film, mendengarkan musik, memasak, membersihkan rumah, berolahraga, atau melakukan hobi. Ada banyak hal yang masih bisa kita lakukan di tengah imbauan untuk social distance. 

Perlebar jarak sosial secara fisik. Perlebar jarak dengan sosial media. Persempit jarak emosional dengan orang lain, khususnya orang-orang terkasih. Mari memperlebar empati dan belarasa. Semoga akal budi dan hati nurani kita tetap jernih dan tidak terinfeksi. 


Stella Vania Puspitasari, Seorang calon psikolog klinis anak dan remaja yang masih belajar untuk menjadi pembelajar, dan menjadi sahabat bagi sesama.

---------
Artikel ini sudah Terbit di AyoBandung.com pada Minggu, 22 Maret 2020, dengan Judul Serba-serbi Social Distancing, pada URL https://www.ayobandung.com/read/2020/03/22/83418/serba-serbi-social-distancing

Penulis: Redaksi AyoBandung.Com
Editor : Redaksi AyoBandung.Com


Jumat, 13 Maret 2020

Masyarakat Indonesia Menghadapi Corona



AYOBANDUNG.COM -- Masuknya virus korona ke wilayah Indonesia akhir-akhir ini suka atau tidak membuat kegemparan sendiri pada masyarakat Indonesia. Hal ini juga merupakan bagian dampak dari berita-berita yang secara simpang siur beredar di berbagai media. Sebenarnya, tujuan pemberitaan itu masih ingin memberitakan tentang virus tersebut dengan jelas, namun perkembangan berita selanjutnya tampak memperlihatkan kepanikan yang makin meluas mengenai virus tersebut di Indonesia.    

Baru-baru ini, juru bicara Kementerian Kesehatan RI menginformasikan melalui sebaran media bahwa sudah ada 6 Warga Negara Indonesia yang dinyatakan positif Covid-19. Pemeriksaan suspect pasien virus corona dilakukan dengan serangkaian pemeriksaan laboratorium dengan menggunakan teknik metode Polymerase Chain Reaction (PCR) dan Genom Sekuensing sehingga dapat dinyatakan positif Covid-19. 

Juru bicara Kementerian Kesehatan RI pun menyatakan bahwa 2 di antaranya Warga Negara Indonesia yang positif Covid-19 itu mempunyai riwayat kegiatan sebelumnya kontak langsung dengan penderita Warga Negara Jepang. Setelah kita mengetahui adanya warga negara Indonesia yang dinyatakan positif Covid-19, masyarakat semakin banyak membicarakan virus ini serta menambah perasaan khawatir mengenai dampak dari perkembangan virus ini semakin banyak virus ini dibicarakan oleh setiap orang. 

Mekanisme Virus Corona
Kementerian Kesehatan RI mengemukakan bahwa Novel Coronavirus (2019-nCoV) merupakan kategori virus baru yang dapat menyebabkan penyakit pada pernapasan manusia. Novel Coronavirus ini masih 1 keluarga dengan virus penyebab SARS dan MERS, dan seperti kita ketahui virus ini berasal dari Wuhan, Cina. Pada umumnya, pasien yang terpapar Novel Coronavirus memilki gejala klinis, seperti demam disertai batuk dan pilek bahkan mengalami kesulitan bernapas, sakit tenggorokan, hingga keadaan badan terasa letih dan lesu. 

Berbagai cara penularan virus corona bisa melalui ketidaksengajaan menghirup percikan ludah dari bersin atau batuk pasien, bersentuhan atau berjabat tangan dengan mereka, menyentuh benda yang terkena cairan air liur pasien sehingga setelahnya kita tidak sadar memegang mulut atau hidung sendiri tanpa sebelumnya mencuci tangan terlebih dulu. 

Dengan berbagai cara penularan di atas, sebenarnya virus corona dapat dicegah melalui upaya pencegahan yang tentunya sangat mudah dilakukan sehari-hari dan dapat diterapkan pada diri kita sendiri, keluarga dan lingkungan sekitar. Cara ini sangat baik dilakukan karena dapat meningkatkan dan mempertahankan imunitas yang kuat dalam tubuh kita. 

Mempertahankan Imunitas 
Pada dasarnya mempertahankan imunitas tubuh dapat berdampak terhadap kondisi tubuh yang setiap saat dapat melawan segala virus dan penyakit didalam tubuh. Pencegahan masuknya virus corona ke tubuh kita juga relatif mudah untuk dilakukan, yaitu dengan sering mencuci tangan menggunakan sabun dan bilas dengan air mengalir, pergunakanlah masker bila batuk atau pilek, mengonsumsi makanan gizi seimbang dengan memperbanyak asupan buah dan sayur, berhati-hati kontak langsung dengan hewan, rajin teratur berolahraga dan tentunya istirahat yang cukup. Juga perlu diperhatikan agar tidak mengonsumsi daging yang masih mentah yang tidak dimasak dengan matang dan jika mengalamai batuk, pilek dan sesak napas segeralah ke fasilitas pelayanan kesehatan terdekat. 

Peran Kita Semua 
Penanggulangan virus corona yang sudah masuk ke Indonesia memerlukan antisipasi dari banyak pihak, mulai dari masyarakat umum, pemerintah, dinas terkait, dalam hal ini dinas kesehatan. Data terbaru tentang virus corona di Indonesia sudah seharusnya bersumber pada data valid yang dipublikasikan oleh pihak relevan, dalam hal ini adalah Kementerian Kesehatan Republik Indonesia atau dinas perwakilannya di wilayah masing-masing. 

Selain itu, kita diharapkan tetap tenang, tidak ada halangan untuk beraktivitas sehari-hari, tidak perlu merasa khawatir, merasa cemas, dan ketakutan secara berlebihan serta jangan menyalahgunakan serta menyalahartikan tentang virus corona ini dengan upaya-upaya yang berlebihan. Upaya tersebut di atas dilakukan oleh segelintir orang dengan tujuan tertentu. Sangat disayangkan melihat masih banyak oknum yang memanfaatkan celah peristiwa merebaknya virus corona di Indonesia untuk mengambil keuntungan bagi mereka. Hal ini menimbulkan banyak masalah baru, seperti panic buying memborong banyak barang, contohnya masker dan pembersih tangan praktis, sehingga menjadikan ladang bisnis baru dengan  meraup keuntungan tinggi, lalu memasok persediaan bahan pokok makanan sehari-hari dalam jumlah banyak seolah-olah mereka nanti akan dikarantina karena tidak bisa melakukan aktivitas di luar. Hal tersebut sangatlah tidak tepat untuk dilakukan, karena virus corona ini bukan menjadi ajang untuk memenuhi untuk kepentingan diri sendiri tanpa memikirkan orang lain. 

Pada akhirnya, dalam perspektif tenaga kesehatan, masyarakat perlu diingatkan untuk   tidak melakukan kegiatan yang berlebihan, tidak perlu merasakan panik dan ketakutan yang berlebihan sehingga menganggu aktivitas sehari-hari. Selanjutnya, masyarakat diharapkan untuk selalu menerapkan pola hidup yang sehat sebagai upaya pencegahan terhadap virus corona dengan cara yang telah ditentukan. 

“Sehat itu milik kita bersama, berawal dari pencegahan, dan mudah dilakukan.” 

Diksi Paisal,  STr. Kes, Praktisi Kesehatan dan Penggiat Komunitas Sekolah Damai Indonesia Bandung.



---------

Artikel ini sudah Terbit di AyoBandung.com pada Jumat, 13 Maret 2020, dengan Judul Masyarakat Indonesia Menghadapi Corona, pada URL https://www.ayobandung.com/read/2020/03/13/82433/masyarakat-indonesia-menghadapi-corona



Penulis: Redaksi AyoBandung.Com

Editor : Redaksi AyoBandung.Com

Minggu, 08 Maret 2020

Yuk Menulis!


Setelah rangkaian kelas critical thinking selama bulan Februari 2020, Sekodi Bandung melanjutkan rangkaian kelas tools for peace dengan membicarakan mengenai tulisan. Bersama Rinda Aunillah, seorang dosen jurnalistik yang juga penulis, serta Fanny S. Alam, koordinator regional Sekodi Bandung yang juga aktif menulis beberapa artikel, kami membicarakan tentang kekuatan sebuah tulisan dan bagaimana mengekspresikan ide dalam tulisan.

Diskusi mulai dengan sharing dari salah seorang anggota sekodi, Stella Vania, yang baru-baru ini menulis tentang RUU Ketahanan Keluarga dan dimuat di sebuah media. Kami berdiskusi apa yang melatarbelakangi tulisan itu dibuat dan bagaimana proses yang dilakukan saat menulis. Dua narasumber juga membagikan pengalamannya saat membuat beberapa tulisan, terutama tulisan opini.

Ada beberapa kesamaan di antara beberapa pengalaman yang dibagikan. Sebuah tulisan bisa berangkat dari pertanyaan, kasus, atau emosi tertentu, misalnya kemarahan, kesedihan, kebingungan, kekecewaan, dll. Dari situ, dilakukan riset mengenai topik tersebut. Data dan fakta dapat menjadi penguat argumen atau opini kita. Riset menjadi kunci. Ketika sebuah tulisan itu dimuat, tulisan itu menjadi milik publik sehingga pembaca dapat mempercayai ataupun mengkritisi tulisan tersebut. Riset, data, dan fakta juga membuat tulisan opini menjadi lebih objektif. Selain itu, ketika kita membuat tulisan, kita perlu memikirkan apa pesan yang ingin disampaikan dari tulisan itu, kepada siapa pesan itu ditujukan, dan apa harapan kita terhadap pembaca, apakah ingin meningkatkan kesadaran, atau mengajak orang ikut mendukung, atau hal lain. 

Dalam menulis, kita juga bisa menyiapkan outline atau kerangka tulisan, namun bisa juga mengalir sesuai dengan apa yang ingin kita ungkapan. Akan tetapi, tulisan sebaiknya terdiri dari empat bagian ini: judul, pembuka, tubuh tulisan, dan penutup. Judul sebaiknya dibuat singkat dan menarik, maksimal 8 kata. Bagian pembuka biasanya terdiri dari tiga paragraf awal. Bagian pembuka ini menjadi penting bagi penulis untuk menarik perhatian pembaca agar pembaca mau terus bertahan hingga akhir tulisan, maka bagian pembuka dapat diisi dengan kasus, syair, konteks masalah atau pertanyaan. Selanjutnya, pada bagian tubuh tulisan, penulus mengungkapkan gagasan atau pesan utama dari tulisan. Data dan fakta yang mendukung argumen dapat disampaikan pada bagian ini. Dua alinea terakhir adalah bagian penutup, di mana penulis dapat menegaskan kembali pesan yang ingin disampaikan dari tulisan. Penutup dapat berapa kesimpulan, pertanyaan, maupun persuasi, tergantung apa yang ingin penulis ajak pada pembaca.

Pada kesempatan itu, didiskusikan juga lewat media apa tulisan dapat dipublikasikan atau disebarluaskan. Tulisan kita adalah sarana untuk menyampaikan pemikiran, ide, atau pendapat kita mengenai suatu hal. Menulis juga adalah sebuah bentuk pergerakan. Jadi, yuk menulis!




(Stella Vania)

Jumat, 06 Maret 2020

Soal Pemberdayaan Kaum Muda di Cafe Philosophique

Pada hari Rabu, 4 Maret 2020 pukul 17.00 di Apero Cafe, koordinator Program Sekolah Damai Indonesia Bandung, Fanny S. Alam menjadi narasumber untuk kegiatan Cafe Philosophique #46 yang bertema Pemberdayaan Kaum Muda. Diskusi ini dimoderatori oleh Risdo Simangunsong. Kegiatan ini dihadiri oleh sekitar 20 orang.

Berbicara soal kaum muda dan isu sosial, pertanyaan disampaikan terlebih dahulu "apa mereka tertarik?"

Memberdayakan teman-teman muda dengan menciptakan ruang dialog dan diskusi. Kadang kita suka meremehkan mereka.

Ada ruang alternatif yang digunakan oleh teman-teman muda yang mengarahkan mereka supaya tertarik pada diskusi. Evaluasi kegiatan Sekodi dari partisipasi, keterlibatan dan tulisan. Menulis sebagai olahan pikiran.

Salah satu pembahasan di Sekodi adalah isu agama. Teman-teman muda diajak untuk melihat situasi dan kondisinya secara langsung, memperhatikan tindakan pemerintah. Diadakan melalui pertemuan. Bermanfaat untuk membentuk kapasitas berpikir mereka.

Risdo menanggapi bahwa di Eropa, ruang masyarakat dimulai dari kafe. 

Apakah kegiatan Sekolah Damai Indonesia diikuti banyak anak muda karena asumsi bahwa kegiatannya keren atau karena mereka bisa bertarung dengan ide?

Fanny menjawab bahwa peserta di Sekolah Damai Indonesia berbeda-beda. Ada yang bekerja, siswa di SMA, dan lainnya. Namun sama-sama saling cair ketika berdiskusi.

Anak-anak belum tentu paham dengan isu sosial. Anak-anak langsung dihadapkan pada isu dan melakukan konfirmasi.

Apakah mempengaruhi prasangka?
Anak-anak dapat insight.

Diseminasi informasi itu penting melalui jaringan media sosial yang sangat banyak. Kaum muda punya tingkat kesadaran tertentu untuk membagikan informasi. Teman-teman muda punya cara sendiri untuk berekspresi. Anak-anak SMA di Amerika berbagi informasi politik dan sosial melalui tiktok.

Risdo mengajukan pertanyaan berikut:

Apakah pemberdayaan kaum muda itu mungkin?

Bagaimana cara memberdayakan kaum muda?

Bagaimana anak muda menangkap isu?

Nino dari Fakultas Filsafat Unpar menanggapi bahwa ada beberapa kelompok kaum muda yang bergerak ke humanisme. Mereka berasal dari kelas sosial menengah ke atas. Ada fenomena echo chamber bahwa gerakan yang mereka suarakan mantul ke diri mereka sendiri.

Ada kekhawatiran tentang hal yang mereka lakukan. Apa kaum muda memiliki landasan pemikiran yang tepat?
Semangatnya memang ada tapi bagaimana untuk mengarahkan semangat kaum muda ini?

Sarah menanggapi bahwa Proses kaum muda di Prancis cukup mirip dengan yang terjadi di Indonesia. Salah satu peristiwa yang diingat adalah musim semi 68. Perhatian pada orang yang memegang posisi penting di perusahaan.

Kaum muda itu siapa?
Setiap remaja mengalami musim idealismenya. Semua merasa ideal dan ingin revolusi. Itu difasilitasi dengan adanya mata pelajaran filsafat. Idealisme itu ada dan diarahkan pada isu tertentu.

Fani menanggapi bahwa Semua menjadi relatif. Kita hanya sebagai penyedia. Kita tidak pernah mengarahkan, yang dilakukan adalah memperkenalkan teman-teman muda dengan isu yang ada di sekitar kita. Kami berada di proses supaya program kami bisa menjangkau semua kalangan masyarakat.

Ruang-ruang yang terbentuk dijembatani oleh Sekodi. Bahasa yang disampaikan perlu disesuaikan supaya dapat dimengerti semua orang. Misalkan bahasan tentang Gender maka kami undang orang muda yang mengerti gender.

Pertemuan tersebut memicu ketertarikan mereka. Namun tidak menutup kemungkinan kalau kaum muda tidak paham. Kami jembatani resiko itu dengan diskusi lanjutan melalui grup WhatsApp.

Hasil pribadi adalah tanggung jawab pribadi mereka. Mereka datang ke kami dan kita sama-sama memediasi. Yang kita jembatani adalah sesuatu yang sebetulnya mereka cari dan yang mereka butuhkan.

Erika menanggapi Sarah dan Nino bahwa yang mengatur adalah sistem pemerintahan, muncul idealisme. Kaum muda terhambat karena ada otoritas.

Sistem mulai mendengarkan. Ditemukan kesadaran kolektif bahwa ada otoritas yang diikuti oleh kaum muda. Ada pepatah "kaum muda mesti mengikuti orang tua." Ini menunjukan bahwa kita, kaum muda, sedang menghadapi otoritas.

Sarah menanggapi bahwa pendidikan di Prancis lebih kritis. Seseorang mampu melihat, menilai, dan memilih sejak kecil. Jika mau bergerak sampai akhir, lakukan terus sampai akhir. Di sisi lain, otoritas tidak siap untuk memberikan kewenangan.

Iqbal menanggapi bahwa terdapat pendekatan pedagogi dan andragogi untuk melihat usia mental. Pernah pada suatu hari seorang anak yang cenderung melakukan bunuh diri datang ke saya,  yang bawa senjata ke sekolah, dan sebagainya. Diskusi kelompok terarah sudah dilakukan untuk mengetahui situasi remaja. Secara fisik, seseorang menua dan hubungan… secara mental, kreativitas, posisi.

Kaum muda terjebak dengan keinginan. Anak di kelas akselerasi dalam marabahaya besar secara jiwa dan mental. Misalkan ketika anak SMP memulai untuk ikut olimpiade maka si anak itu mulai sendiri. Anak butuh teman bicara.

Vania menanggapi bahwa Sekodi adalah sarana yang baik dan langsung dari sumbernya. Makin banyak teman muda yang tertarik untuk bergabung. Awalnya sekodi diikuti oleh akademisi kemudian menjadi semakin beragam.

Anggota dibekali beberapa skill. Menulis menjadi salah satu senjata untuk menyampaikan pemikiran. Ada momen perjumpaan dengan orang-orang yang berbeda. Orang-orang ikut sekodi karena topiknya menarik, bisa ketemu orang-orang baru, dan ada pula yang awalnya karena disuruh dosen.

Ada orang yang perspektifnya berubah setelah ikut Sekodi. Ia dulu mendiskriminasi dan menyebut orang lain sebagai kafir. Kemudian kini ia menjadi lebih terbuka pada orang lain.

Bagaimana kita membagikan ini kepada semua orang?
Gerakan ini kecil dan sederhana. Semangat Sekodi bisa disebarkan buat semua orang.

Eko menanggapi bahwa Anak muda sekarang sangat kritis dengan dunianya. Banyak keyboard warrior yang berani mengkritik namun tidak mampu mempertanggungjawabkan kontennya.

Fanny menanggapi bahwa Sistem dari pemerintah adalah tantangan yang besar. Respon dan tanggapan dari setiap pihak berbeda-beda.

Bagaimana cara melihat fenomena sebetulnya?
Pertama, lihat apa yang terjadi. Legislator muda bertanya soal isu di sekitar misalnya konflik agama, Taman Sari, Ahmadiyah, Syiah, dan sebagainya.

Teman-teman muda ini bersuara dan apakah akan didengar oleh parlemen? Kita perlu gerbang pembuka supaya orang muda didengarkan dan membentuk sistem yang lebih terbuka pada orang muda.

Teknologi membuat orang jadi individualis. Orang punya pilihan untuk tetap dalam fenomena atau mengubah perspektif. Kita punya media sendiri untuk menuliskan ini. Yang terpenting adalah saya menyuarakan dahulu.

Berkomentar berarti menyuarakan. Caranya kembali pada pribadi dan lingkungan mereka. Sekarang orang bisa menyuarakan apapun.

Risdo menanggapi dibutuhkan atraksi untuk menarik perhatian anak muda. Bagaimana strategi untuk melibatkan anak muda? Bagaimana dengan wacana humanisme pada anak muda?

Refleksi
Saya pribadi mengikuti kegiatan Sekolah Damai Indonesia sebagai Playground untuk melatih kemampuan sosial dan keterlibatan dengan masyarakat. Selama prosesnya kaum muda menemukan titik temu dalam pergerakan mereka yang artinya mereka menemukan tujuan mereka sendiri tanpa perlu diarahkan. Persahabatan yang terbentuk di sini membentuk jejaring yang akan lebih memudahkan kaum muda ke depannya jika mereka terlibat dalam sistem pemerintahan, pendidikan atau masyarakat sehingga perubah sistem menuju lebih baik adalah mungkin.

(Rhaka Katresna)

Jumat, 21 Februari 2020

Negara dan Aturan Mengenai Keluarga

Akhir-akhir ini di media sosial sedang ramai dibicarakan mengenai beberapa isu yang berkaitan dengan keluarga, yakni RUU Ketahanan Keluarga dan pernyataan seorang menteri tentang anjuran "kawin silang" --maksudnya, orang kaya menikah dengan orang miskin. Kedua topik ini menjadi buah bibir karena beberapa hal dianggap tidak masuk akal. Negara juga dianggap terlalu mencampuri ranah privat dari penduduknya.

Secara khusus, jika kita bicara mengenai RUU Ketahanan Keluarga, terdapat berbagai isu yang dibahas sehingga RUU ini tampak mengurusi terlalu banyak hal yang tidak esensial. Definisi ketahanan keluarga yang dicantumkan dalam RUU tersebut adalah "kondisi dinamik keluarga dalam mengelola sumber daya fisik maupun non-fisik dan mengelola masalah yang dihadapi, untuk mencapai tujuan yaitu keluarga berkualitas dan tangguh sebagai pondasi utama dalam mewujudkan Ketahanan Nasional."

Dari definisi itu, saya menggarisbawahi tiga kata kunci: "sumber daya fisik", "sumber daya non-fisik", "masalah yang dihadapi".

Sumber daya fisik yang dimaksudkan dalam definisi, sepenangkapan saya, diterjemahkan menjadi beberapa pasal yang mengatur mengenai donor sperma, donor ovum, dan surogasi. Dikatakan bahwa setiap warga negara dilarang menjualbelikan sperma atau ovum, memberikan atau menerima donor sperma atau ovum secara sukarela, serta dilarang melakukan surogasi untuk memperoleh keturunan (Pasal 31 dan Pasal 32).

Apa urusan negara dengan pinjam-meminjam rahim? Apa korelasinya antara hal ini dengan ketahanan negara yang menjadi tujuan akhir dari ketahanan keluarga? Apakah penyusun RUU ini memikirkan risiko kesehatan yang seringkali menjadi alasan orang melakukan donor sperma, donor ovum, dan surogasi?

Kata kunci berikutnya adalah sumber daya non-fisik, yang tampaknya justru diterjemahkan sangat luas, namun operasionalisasinya sangat sulit. Dalam Pasal 24 ayat 2, disebutkan bahwa suami-istri adalah pasangan yang terikat sah dalam pernikahan wajib saling mencintai, menghormati, menjaga kehormatan, setia, serta memberi bantuan lahir dan batin yang satu kepada yang lain.

Sejak kapan negara punya kewenangan untuk mengatur tentang perasaan seseorang? Bukankah perasaan (cinta) itu adalah tanggung jawab dan urusan masing-masing individu? Pasal lain yang ramai dibahas adalah Pasal 25 mengenai kewajiban suami dan istri. Terdapat ketidakseimbangan kewajiban antara suami dan istri yang ditulis dalam RUU tersebut, misalnya bahwa istri harus mengurus rumah tangga, sedangkan suami mencari nafkah.

Pembagian peran secara tradisional yang mendiskreditkan perempuan ini sebenarnya sudah cukup usang, dibandingkan dengan semangat kolaborasi dalam rumah tangga dan kesetaraan gender sedang gencar dipromosikan berbagai pihak. Lantas bagaimana dengan pasangan yang istrinya harus bekerja, misalnya karena suami mengalami disabilitas tertentu, atau istri menjadi TKW di luar negeri?

Dalam pasal ini juga terkesan suami dan istri adalah dua pihak yang memiliki kewajiban berbeda dalam keluarga, tidak ada kesan bahwa rumah tangga adalah kerja sama di antara suami dan istri. Jika RUU ini disahkan, relasi antara suami dan istri justru bisa menjadi sangat mekanistis karena mereka memiliki beberapa kewajiban yang harus dipenuhi.

Penjabaran mengenai apa yang dimaksud dengan masalah dalam definisi ketahanan keluarga juga ada yang kurang masuk akal. Meski ada beberapa aspek yang tepat, misalnya perceraian, kemiskinan, dan pengangguran, namun ada beberapa aspek lain yang kurang sesuai, misalnya yang termasuk ancaman non-fisik dan masalah dalam keluarga adalah individualisme, sekularisme, propaganda pergaulan dan seks bebas, propaganda LGBT (Pasal 50), serta penyimpangan seksual (Pasal 74) yang mencakup sadisme, masokisme, homoseks, dan inses.

Saya ingin memberi alternatif acuan tentang krisis keluarga dari Foster (1957) yang menyebutkan bahwa krisis keluarga terbagi atas dua tipe. Pertama, kehilangan dukungan ekonomi, kematian, penyakit parah, kecelakaan, dan sebagainya. Kedua, krisis yang mencakup stigma sosial seperti perang, inflasi ekonomi, masalah kesehatan mental dan gangguan fisik, dan sebagainya.

Dengan demikian, isu-isu yang rasanya lebih tepat dibahas berkaitan dengan krisis keluarga adalah bagaimana aturannya jika terjadi PHK pada pekerja, bagaimana layanan asuransi kesehatan maupun asuransi jiwa, bagaimana layanan yang diberikan negara untuk keluarga yang memiliki anggota keluarga dengan disabilitas tertentu, atau bagaimana pemberdayaan keluarga prasejahtera.

Saya melihat dalam RUU ini penyusun kurang melihat fenomena yang terjadi dalam keluarga secara komprehensif, sehingga beberapa poin yang dihasilkan terkesan bertolak belakang. Contohnya, salah satu krisis keluarga adalah kemiskinan, namun pada Pasal 33 ayat 2 diatur mengenai pemisahan kamar yang berbeda antara anak laki-laki dan anak perempuan. Bagaimana dengan keluarga prasejahtera yang hanya tinggal di rumah petak dengan satu ruangan untuk semua kegiatan?

Pertanyaan lebih lanjutnya, jika negara memiliki standar rumah layak huni, bagaimana upaya negara untuk menyediakan rumah dengan standar seperti itu bagi seluruh warga negara?

Selain itu, terdapat masalah-masalah lain yang sesungguhnya lebih penting dan mendesak terkait dengan keluarga, yang belum diwadahi dalam RUU ini, di antaranya masalah kemiskinan, masalah kesehatan termasuk kesehatan reproduksi, masalah pengasuhan termasuk jika terdapat anggota keluarga dengan disabilitas, pendidikan, dan masih banyak lagi.

Contoh kasus yang sedang marak akhir-akhir ini adalah penculikan dan pelecehan seksual pada anak. Salah satu faktor yang menyebabkan hal ini adalah kurangnya pengetahuan dan keterampilan anak tentang proteksi diri. Mereka tidak tahu seperti apa sentuhan yang layak dan tidak layak, serta bagaimana harus menolak atau meminta bantuan pada orang lain jika mereka mengalami hal yang kurang menyenangkan.

Menanggapi hal ini, keluarga-keluarga dapat diberikan pelatihan mengenai cara mengajarkan pada anak tentang proteksi diri.

Selain itu, isu lain yang sering terjadi di Indonesia adalah perlakuan yang kurang tepat pada anggota keluarga yang mengalami disabilitas tertentu, baik fisik maupun mental. Kisah yang sering kita dengar mengenai beberapa keluarga yang mengurung atau memasung anggota keluarga yang mengalami disabilitas adalah contoh nyata betapa keluarga-keluarga kurang memiliki kapasitas untuk merawat anggota keluarga dengan disabilitas, sehingga mereka melakukan penelantaran.

Fenomena ini menjadi peluang bagi pemerintah jika ingin mengadakan program untuk meningkatkan sumber daya non-fisik yang dimiliki keluarga sehingga dapat berfungsi dengan lebih optimal.

RUU Ketahanan Keluarga memberikan batasan dan aturan yang berisiko membuat ruang privat menjadi makin sempit. Alih-alih memberi sanksi, negara sebaiknya memberikan pemberdayaan dan penguatan sehingga keluarga-keluarga bisa semakin berdaya.


(ditulis oleh Stella Vania, kawan Sekodi Bandung. tulisan serupa juga dimuat di Detik.com