Kamis, 05 Desember 2019

Penerapan Praktis dari Sekolah Damai Indonesia

Tulisan dari Rhaka Katresna, teman Sekodi Bandung. 

Sudah tiga bulan lebih lamanya saya mengikuti kegiatan Sekolah Damai Indonesia Bandung. Di sini, saya belajar sesuatu yang penting untuk diterapkan dalam kegiatan sehari-hari yaitu toleransi, penerimaan, dan keterlibatan. Untuk mewujudkan Kedamaian artinya seseorang berkoeksistensi bersama manusia yang lainnya terlepas dari identitas yang dimilikinya.

Saya mencoba menerapkan prinsip tersebut untuk menyelesaikan sebuah masalah praktis di sebuah komunitas seni berbasis sekolah di kabupaten Garut. Masalahnya begini, seseorang dari komunitas tersebut terlibat dalam sebuah proyek tari modern kemudian ia tiba-tiba melepaskan kelompok seni tersebut dan mengafiliasikan kelompok tersebut dengan komunitas luar sekolah. Ketika saya tanya dia jawab, "Saya lupa," begitu. Kemudian setelah peristiwa itu saya jadi berkonflik dengan komunitas luar sekolah tersebut, menutup program seni yang berhubungan dengan genre tari yang mereka dalami, dan menemukan bahwa mereka berusaha merekrut calon anggota lewat komunitas sekolah. 

Bagi saya pribadi ini sudah melewati batas sehingga saya membatasi gerak si X dalam komunitas sekolah (dia masih terlibat dalam komunitas sekolah sekaligus komunitas yang membawa kelompok tari yang awalnya milik sekolah) dengan tidak mengizinkan anak buahnya masuk. Hingga pada puncaknya, anak itu dikeluarkan oleh pengurus yang lainnya.

Bagaimana proses kedamaian terjadi pada kasus ini?
Saya berusaha untuk menjalin komunikasi dengan ketua komunitas luar sekolah tersebut. Dari situlah ditemukan bahwa si X itu melepaskan afiliasi sekehendak dirinya bukan atas kemauan si ketua komunitas. Kemudian diketahui pada saat itu bahwa si komunitas luar itu sedang menghadapi konflik dengan si X karena ternyata dia membentuk manajemen sendiri terlepas dari komunitas luar sekolah tersebut. Dari situ kami menyadari masalahnya sehingga masing-masing kami mengeluarkan si X Dan kawanannya dari komunitas.

Ketika suatu kelompok punya tujuan sendiri yang hanya menguntungkan dirinya maka ia akan melakukan berbagai manipulasi supaya orang mengikuti tujuannya. Dalam kasus ini kelompok si X telah merugikan saya maupun komunitas luar sekolah tersebut.

Keterlibatan demikian saya latih untuk menyelesaikan konflik-konflik yang terjadi pada komunitas tersebut. Makin ke sini, saya semakin sadar bahwa adanya konflik mengarah pada diketahuinya kegagalan teknis yang terjadi pada organisasi sehingga berujung pada kegagalan manajemen organisasi. Sehingga strategi pengembangan organisasinya dapat lebih dalam dan terstruktur. Terbenturnya kepentingan, saya temukan, menjadi akar permasalahan dari hampir semua konflik yang saya hadapi di komunitas saya di Garut. Dari situ seseorang melupakan tanggung jawab yang sebenarnya bisa dikelola untuk mencapai kepentingan tersebut.


Selasa, 03 Desember 2019

Fahdi Hasan, Pengajar Pertunjukan Seni Buat Anak-anak Spesial

Bandung - TemanBaik pernah terbayang enggak bagaimana sih rasanya jadi seorang pelatih atau pengajar anak-anak berkebutuhan khusus? BeritaBaik berkesempatan berjumpa dan berbincang dengan seorang pelatih bagi anak-anak spesial nih, namanya Fahdi Hasan atau yang akrab disapa Kak Adi.

Tidak hanya sekadar menjadi pelatih loh. Kak Adi juga hadir sebagai teman bagi sahabat-sahabat-sahabat spesial ini bermain. Sindromnya pun beragam, ada celebral palsy, ADHD, low/high function hingga hyperactive. Bagaimana ya cara bermain dan berlatih ala Kak Adi?

Kak Adi

kunjungan teman-teman Sekodi Bandung ke KPAS 
salah satu orang tua dalam KPAS menunjukkan hasil karya anaknya



Kak Adi menjelaskan kalau dalam mengajar dan melatih anak-anak spesial ini diperlukan metode khusus dan kreatifitas. "Metodenya pakai komunikasi audio, visual, dan gerak. Misalnya merespons ruang dengan memainkan jimbe atau piano lalu membentuk pola-pola yang diinginkan," jelas Kak Adi kepada BeritaBaik, Minggu (20/10/2019).

Pria yang mengajar kelas Seni Pertunjukan di Komunitas Anak Spesial (KPAS) ini juga memberikan kebebasan kepada anak-anak dalam berekspresi. "Memberi kebebasan mereka dalam berekspresi dan juga difasilitasi," ujar pria kelahiran Susupu, Halmahera Barat, 21 April 1983 ini.

Selama mengajar, Kak Adi juga pernah tidak sependapat dengan orangtua anak-anak yang ia ajar loh. Tapi, tenang semua itu didiskusikan atas dasar kekeluargaan.

"Suka berantem dengan orangtua hahaha. Tapi barentem gagasan, ide yang dilakukan atas dasar kekeluargaan dan itu menurut saya romantis yang humanis," papar pria yang sudah mengajar sejak tahun 2013 ini.

Kak Adi juga bercerita tantangan terbesarnya dalam mengajar. Menurutnya, paling sulit adalah menghadapi stigma masyarakat soal keterbelakangan fisik.
"Kesulitan terbesar yang dihadapi adalah menghadapi para akademisi, orangtua dan pemerhati anak yang masih menganggap mereka adalah orang yang tidak mampu, atau keterbelakangan fisik dan lain-lain. Pehamanan dasar soal mereka terlalu ambigu, akhirnya menetapkan anak-anak autis sebagai disabilitas," jelas pria lulusan Musik Bambu di Institute Seni Budaya Indonesia ini.

Kak Adi berharap, kita semua dapat menerima dan tidak mendiskriminasikan anak-anak spesial (berkebutuhan khusus). "Saya berdoa agar kita semua 'cepat sembuh' untuk tidak lagi mendeskriminasi mereka, karena jika anda menyebut mereka orang gila berarti anda bagian dari kegilaan itu," pungkasnya.


(ditulis oleh Nita Hidayati. tulisan serupa juga dimuat di BeritaBaik)

Senin, 02 Desember 2019

Mengunjungi Panti Sosial Tresna Werdha Senjarawi

Pada tanggal 26 Oktober 2019, SEKODI Bandung mengadakan refleksi dengan mengunjungi panti sosial Tresna Werdha Senjarawi yang beralamatkan di Jalan Jeruk, Cihapit, Bandung. Dalam refleksi ini kami mendapatkan banyak sekali hikmah yang kami dapatkan dengan melihat dan mendengar serta berbicara langsung dengan para penghuni panti. Di panti sosial ini terdapat 58 Lansia yang dirawat dan dijaga dengan penuh kasih oleh para suster. Selama ini stigma negatif mengenai panti sosial atau panti jompo dalam benak kita tidak dapat dihindari, seperti halnya yang diungkapkan Ferey Herman dalam jurnalnya, kesan muram dan kusam sampai anggapan membuang orang tua bagi anak yang menitipkan orangtuanya biasa terjadi. Stigma itu pula yang saya bawa sebelum memasuki panti sosial tresna werdha.

Namun kenyataannya setelah berkunjung ke sana dan bertemu langsung bersama para penghuni panti, stigma yang sebelumnya melekat dalam benak saya hilang begitu saja. Pandangan baru tentang panti sosial atau panti jompo menjadi lebih terbuka, mengapa demikian? Setelah berbincang bersama mereka, jelas bahwa stigma itu tidak “selamanya benar”. Nyatanya panti jompo malah menjadi solusi bagi sebagian orang untuk memberikan perawatan terbaik bagi para lansia. Sebab di sana mereka memiliki banyak kawan untuk berinteraksi dan meluapkan kekesalannya dengan bercengkrama bersama. Di usia tua, tubuh kita sudah tidak memiliki kekuatan seperti layaknya di usia muda dulu sehingga kegiatan atau aktivitas yang biasa dilakukan menjadi terhambat dan mereka cenderung lebih banyak berdiam diri, beristirahat karena sudah tidak bisa untuk melakukan banyak atau aktivitas yang berlebihan. Hal itulah yang membuat para lansia memerlukan teman untuk mengisi waktu luangnya.

Kenyataannya kita terkadang melupakan bahwa para lansia tersebut hanya butuh “didengar” namun kebanyakan dari kita tidak menyadari itu, bahkan sulit meluangkan waktu bersama para lansia di sekitar kita akibat kesibukan-kesibukan dalam keseharian kita sendiri. Padahal mereka sangat membutuhkan uluran tangan kita dan menyediakan telinga kita untuk mendengarkan keluh kesahnya. Hal itu juga yang saya dapatkan ketika mencoba untuk mendengarkan mereka, saya jadi banyak mendapat nilai-nilai kehidupan melalui perbincangan bersama oma opa, di mana kisah perjalanan hidup mereka menjadi pembelajaran yang berharga juga untuk kita, dan dengan adanya kita bersama mereka memberikan aura positif, adanya kita membuat mereka bahagia karena merasa mendapat wadah untuk menuangkan kisahnya, dan bertemunya bersama oma opa mengajarkan nilai-nilai kehidupan kepada kita.












Melihat mereka membuat kita sadar bahwa kelak kitapun akan menua dan terus menua, namun hal itu seharusnya menjadi cambukan kepada kita untuk tetap sadar dan terus berjuang melakukan yang terbaik dalam masa muda kita sehingga kita dapat memberikan kontribusi dalam kehidupan ini dengan sebaik-baiknya. Melihat mereka menyadarkan kita juga untuk senantiasa menghormati dan mengasihi serta menyayangi orang-orang lanjut usia di sekitar kita. Intinya kita harus selalu memaknai kehidupan kita dan terus mencoba untuk lebih peduli terhadap hal-hal yang ada di sekitar kita.

(ditulis oleh Rizkiyah Fitri Awaliyah)

Senin, 18 November 2019

Bandung School of Peace Indonesia collaboration with Global Interfaith Network

Fanny S. Alam, city coordinator for Bandung School of Peace Indonesia has been chosen to be a scholar for the General Meeting of Global Interfaith Network in Columbia. Unfortunately, he could not come to the conference due to some technical issues. With respect to collaborate with Global Interfaith Network, who cares about gender identity and sexual orientation, this video explains Bandung School of Peace Indonesia's movement related to gender identity and sexual orientation issues. This video represents Bandung School of Peace Indonesia at that conference.



Minggu, 03 November 2019

Mengenal Agama Hindu

Sabtu, 28 September 2019, Sekodi Bandung kembali berkumpul dan berdiskusi. Hari itu, kami berkunjung ke Pura Vira Chandra Dharma di dalam kompleks Secapa AD untuk mengenal lebih dalam tentang agama Hindu. Kami disambut oleh Bapak Ketut Wiguna selaku ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia - Kota Bandung, bersama dengan teman-teman muda. Pak Ketut memberikan penjelasan tentang agama Hindu, sekaligus menjawab beberapa mitos dan pertanyaan yang disampaikan oleh teman-teman Sekodi. 

Selama ini beredar anggapan bahwa dalam ajaran Hindu dikenal ada banyak Tuhan, sebenarnya hal ini keliru. Ajaran Hindu hanha mengenal satu Tuhan, yang disebut sebagai Brahman dan memiliki tiga sifat dasar yakni keindahan, kesucian, dan keindahan. Karena kemahaan Tuhan dan karena terbatasnya pengetahuan dan kemampuan manusia untuk memahami-Nya, maka manusia berusaha menggunakan berbagai cara untuk menyembah Tuhan, salah satunya dengan perantaraan para dewa, dan dengan menggunakan benda-benda di sekitar mereka. Pada praktiknya, ritual dan ibadah agama Hindu banyak dipengaruhi dan disesuaikan dengan budaya setempat. Seni dan budaya memberi bentuk pada agama, sehingga setiap simbol yang digunakan sebenarnya memiliki makna mendalam yang membantu kita untuk bertemu dengan Tuhan sendiri.

Perjumpaan dengan Pak Ketut dan teman-teman Hindu hari itu membuat hati saya tergetar karena tersadar bahwa setiap agama memiliki ajaran yang baik dan indah. Esensi dari ajaran tiap agama itu sama, yakni untuk memuji dan memuliakan Tuhan, hanya caranya yang beragam. Ketidaktahuan kita akan cara yang digunakan orang lain seringkali menimbulkan asumsi dan stigma. Dibutuhkan kerendahan hati untuk membuka diri mengenal mereka yang berbeda, dan menemukan kebenaran, kesucian, serta keindahan dari sudut pandang mereka.




(Stella Vania Puspitasari)

Senin, 07 Oktober 2019

Gender dan Seksualitas: Sebagai Spektrum Dinamis dan Continuum Statis

Membahas isu gender dan seksualitas masih menjadi suatu hal yang tabu di Indonesia. Gender dan seks (jenis kelamin) sering diinterpretasi sebagai suatu kondisi yang sama, sehingga muncul stereotipe maupun stigma terhadap individu dan dianggap melanggar norma sosial, sedangkan secara teori dua kondisi tersebut mempunyai penjelasan yang berbeda.

Gender merupakan kondisi laki-laki, perempuan, maupun spektrum lain yang muncul karena proses identifikasi oleh diri sendiri, lingkungan sosial, budaya, atau adat yang berlaku. Seks atau jenis kelamin merupakan keadaan biologis pada manusia seperti laki-laki mempunyai penis, hormon testosteron, mengeluarkan sperma, mempunyai kromosom XY, sedangkan perempuan mempunyai vagina, hormon estrogen, mempunyai rahim, dan mempunyai kromosom XX.

Di sisi lain, masih terdapat pro dan kontra terhadap identifikasi gender laki-laki maupun perempuan karena memang gender adalah spektrum yang hanya dapat dirasakan oleh individu itu sendiri. Individu mempunyai hak atas identitas gender yang telah dipilih, meskipun norma budaya sosial di Indonesia memegang heteronormatif atau norma bahwa laki-laki memiliki penis dan maskulin serta perempuan memiliki vagina dan feminin.

Bahasan gender dan seksualitas mempunyai ruang lingkup yang luas dan mempunyai definisi yang beragam, tetapi terdapat empat bahasan menarik sebagai dasar pengetahuan topik gender dan seksualitas yang dijelaskan oleh Teh Hani Yulindrasari, M. Gendst., PhD., yaitu identitas gender, orientasi seksual, ekspresi gender, dan perilaku seksual.

Identitas gender merupakan kondisi individu secara sadar bahwa dia memilih sebagai laki-laki atau perempuan atau spektrum gender lainnya. Identitas gender terbagi atas pemberian label laki-laki, perempuan, atau spektrum gender lainnya oleh diri sendiri serta pemberian label oleh masyarakat. Identitas gender tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin biologis, apabila individu mempunyai penis tapi merasa bahwa dia perempuan, hal tersebut merupakan identitas gender yang dirasa oleh individu itu sendiri tanpa ada pengaruh dari masyarakat. Pemberian label laki-laki dan perempuan oleh masyarakat memang tidak terlepas dari norma sosial yang dianut. Norma di Indonesia menekankan bahwa individu dengan penis pasti memiliki identitas gender laki-laki dan vagina pasti perempuan, sedangkan pada beberapa orang ada yang merasa tidak nyaman dengan jenis kelamin mereka karena tidak sesuai dengan identitas gender. Tuntutan norma yang berlaku dapat menekan individu yang mempunyai identitas gender berbeda dengan jenis kelamin sehingga menimbulkan frustrasi atas dirinya sendiri. 

Identitas gender individu ditunjukkan lewat ekspresi gender, ekspresi gender merupakan perilaku untuk mengekspresikan diri dari cara berpakaian, berjalan, berbicara, dan berbagai macam hal lainnya yang menunjukkan ekspresi maskulin, feminin, maupun androgini (diantara maskulin maupun feminin). Ekspresi ini mempunyai norma yang berbeda-beda, ekspresi maskulin sering ditunjukkan sebagai suatu sifat gagah, baku, statis, sedangkan feminin merupakan sifat yang lemah lembut dan dinamis. Individu yang mempunyai penis dengan identitas gender laki-laki serta ekspresi gender maskulin serta individu yang mempunyai vagina dengan identitas gender perempuan serta ekspresi gender feminin merupakan norma yang sangat terpatri di Indonesia yang memang heteronormatif. Sayangnya ekspresi gender hanya menampilkan apa yang ingin dilihat orang tanpa menjadi dirinya sendiri. Apabila sedikit saja ada ekspresi gender yang berbeda dengan norma, pasti dikaitkan dengan perilaku menyimpang. Laki-laki yang menunjukkan ekspresi gender ‘melambai’ layaknya perempuan pasti mendapat label bahwa laki-laki tersebut mempunyai orientasi seksual sejenis. Perempuan yang memotong rambutnya hingga pendek dan memakai pakaian tomboy layaknya pria mendapat label lesbian. 

Padahal, orientasi seksual seseorang tidak bisa ditafsirkan hanya dengan melihat pakaian yang dipakai, cara orang berjalan, warna kesukaan, intonasi suara, dan berbagai macam aspek ekspresi gender lainnya. Individu bebas menentukan kondisi nyaman terhadap orientasi seksual yang dipilihnya, baik heteroseksual (beda jenis) maupun homoseksual (sama jenis).

Pertanyaan yang paling sering muncul adalah, “Apakah orientasi seksual lesbian, gay, biseksual merupakan penyakit?”. Jawabannya: sama sekali bukan, bahkan Asosiasi Psikiatrik Amerika telah menghapus homoseksual dari DSM-V (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder) sebagai gangguan jiwa. Pedoman Penggolongan Gangguan Jiwa – III yang dipakai untuk mendiagnosa gangguan jiwa di Indonesia menunjukkan bahwa orientasi seksual yang berbeda (baik heteroseksual maupun homoseksual) dapat disebut gangguan karena individu tidak nyaman dengan orientasi yang dia pilih, bahkan individu dengan orientasi heteroseksual dapat terkena gangguan apabila dia tidak nyaman saat menyukai beda jenis kelamin.

Muncul stigma bahwa mempunyai orientasi seksual minoritas di Indonesia seringkali dicap sebagai ‘predator sex’ seperti individu dengan orientasi seksual gay. Padahal dalam kenyataan banyak sekali pasangan homoseks yang sulit mencari pasangan dan merasakan patah hati sama halnya dengan pasangan heteroseksual. Perlu digarisbawahi bahwa menjadi homoseksual bukan berarti mereka melakukan hubungan seksual secara terus menerus. Individu homoseksual dapat melakukan aktivitas seksual maupun perilaku seksual pada beda jenis, begitupun sebaliknya. Perilaku seksual dapat dilakukan pada setiap orang tanpa memandang orientasi seksual. Perilaku seksual yang paling sering ditemui adalah menggandeng tangan, mencium kening, memeluk, dan membelai rambut. Perilaku yang ditunjukkan tidak merujuk pada orientasi seksual manapun, perempuan dapat menggandeng tangan perempuan lainnya tanpa stigma, tapi ketika laki-laki menggandeng tangan laki-laki lain akan muncul stigma bahwa pasti mereka merupakan pasangan gay, padahal bisa saja kedua laki-laki itu merupakan adik kakak.

Pengetahuan mengenai gender dan seksualitas sangat beragam, sehingga tidak bisa kita membuat simpulan yang sama. Seperti yang telah dipaparkan bahwa identitas gender, ekspresi gender, orientasi seksual, dan perilaku seksual tidak ada yang berhubungan satu sama lain. Identitas gender perempuan dengan ekspresi anggun bukan berarti heteroseksual, laki-laki yang senang dandan bukan berarti dia homoseksual atau transgender.

Memahami gender dan seksualitas memang tidak mudah, tapi setidaknya kita belajar bahwa setiap individu itu unik dan mempunyai keberagaman masing-masing. Kita tidak mempunyai hak untuk melakukan diskriminasi maupun merugikan orang lain, hidup kita berharga ketika kita tidak menghakimi orang lain. Salam damai!

Hobie Fauzan

Kamis, 03 Oktober 2019

Transwomen Gap in a Formal Work Attainment as a Constrain of Indonesia's SDGS Accomplishment. An Executive Summary for a Panel of Rhethoric Gender in Indonesia


 
By Fanny S Alam 
Bandung School of Peace Indonesia for Euroseas Conference 2019 
Humboltd University, Berlin 

Thank you for your time and attention to our panel. Thank the Euroseas Committee who have already accepted my paper. Therefore, I am open for any objective and constructive criticism both from you and the audience. I would like to introduce myself, my name is Fanny S Alam, working as City Coordinator in Bandung School of Peace which is in line with School of Peace Indonesia National. We organize weekly programs to introduce human rights and social issues for the youth in the city. We set them thematically, starting from religions and beliefs, gender diversity and sexuality, and other minorities as well as politics and environment in purpose to develop the youth's emphaty and willingness to engage with minorities in the city. Discussing about minorities, one of which becomes the highlight in my paper, is about transwomen and their issues, mostly about how to attain formal work. It is definitely a hard issue to talk, mostly due to stigma and discrimination not only from societies but also from the government apparatus. Attaining formal work is important for anybody to secure their daily needs as well as their future saving. It is very common to see people search for a job. It is the world with competition, though. However, when coming to transwomen for their work, it is barely seen that they could work openly in formal sectors. As known that Indonesia has committed to signing platform of SDGs which has inclusion principles. It means this platform secures no one left behind, ensuring that all development interests must cover anyone without exceptions (stated by U.N. statement). It includes vulnerable or marginalized groups including LGBTI. The country has ratified U.N. covenant about human rights to Law of Republic of Indonesia no 12/2005 with Act 1 securing Indonesia human rights regardless the positions of sex, ethnicity, race, religion, and sexual orientation. However, its implementation faces some issues, particularly about transwomen positions. The norms of religion and heteronormative values are adopted in this country, therefore it makes their position harder to be recognized officially. From one of interview sessions with a transwomen activist from Srikandi Pasundan, she underlines how the societies and government apparatus label them social diseases, being arrested by public orders enforcers on the streets to be put in a short term day rehabilitation. Most of their transwomen partners work in informal sectors, such as waitress, spa therapist, hairstylist, and cook in several caterings. On the other side, another transwoman, name Abi says that she used to apply for some formal jobs. She is a university graduate in communication major and she faces some uncomfortable situations mainly in final interviews after revealing her true gender identity and soon after that most of the companies she applied never contact her. The above experiences leave us some questions, particularly about how the country shows their partiality to support anyone as they ratified through the national law. Why it seems difficult for them to appreciate and to recognize transwomen position as humans the same as others. If the government do not respect their rights, one of which is to secure their right for attaining formal work, then their commitment in SDGs is questionable and becomes another constrain because it seems to be reluctant for the country to stand for their rights fully. It might be challenging for the Indonesian government to be open minded to recognize their existence, while it is certain that the societies here will do so. With the rise of more conservatism in religion in Indonesia, it is still a long way to go for transwomen to be secured for their rights, especially for their formal work attainment. They are still struggling while the government has already been attached with some certain human rights ratifications which also address their rights in this country.