Selasa, 18 Juni 2019

After Ramadhan Meet Up



Halo, teman sekodi Bandung. Apalah artinya Hari Raya Idul Fitri tanpa adanya Halal Bihalal? Nah, tanggal 15 Juni 2019 pukul 11 siang, tentu Sekodi Bandung tidak mau ketinggalan. Bekerja sama dengan Peacegen Indonesia yang turut berkontribusi dalam penyediaan tempat bertemu, maka acara After Ramadhan Meet Up dapat terlaksana. Sengaja dibuat seperti botram, makan siang bareng sambil icip sana sini. Tidak lupa, di acara ini kami mengundang mitra-mitra Sekodi Bandung yang sudah turut serta memperlancar program kerja Sekodi Bandung yang pastinya akan selalu berkelanjutan. Ada Lindawati yang mewakili Peacegen, Srikandi Pasundan diwakili oleh Riri Wirayadi, lalu Risdo dan Fransisca dari Jakatarub atau Jaringan Kerja Antar Umat Beragama, Mas Nursasongko dari komunitas anti bullying, dan kami dari Sekodi Bandung merupakan bagian dari komunitas-komunitas yang peduli akan isu sosial dan hak asasi manusia. Kami bercerita mengenai setiap program yang dijalankan lalu berkehendak untuk saling mendukung satu sama lain.  Atas jasa mitra-mitra strategis Sekodi Bandung maka program kerja kami untuk menyentuh empati teman-teman muda Bandung bisa memberikan dampak dan pengetahuan baru. Kami berharap program kerja kami dapat terus berkelanjutan karena kami sadar teman-teman muda Bandung memiliki potensi besar sebagai agen perubahan sosial. Tentu bermula dari hal kecil hingga yang besar di kemudian hari. Terima kasih, teman-teman Sekodi Bandung bersama mitra-mitra kerja kami. Nantikan program kami di Juli 2019 mendatang. Salam damai.

Sabtu, 08 Juni 2019

Selamat Merayakan Idul Fitri

Keluarga Besar Sekolah Damai Indonesia Bandung mengucapkan selamat merayakan idul fitri mohon maaf lahir batin. Sampai jumpa pada acara halal bihalal ala Sekodi Bandung minggu depan tanggal 15 Juni 2019 pukul 11 siang.

Minggu, 26 Mei 2019

Closing Program of Sekodi Bandung in collaboration with Peacegen

The closing of our collaborating activity between Sekolah Damai Indonesia Bandung or Sekodi Bandung and Peacegen discussed two of our members' writings published together on Pikiran Rakyat on last 22 May 2019, about People Power 2019, for who would that be? by me and Urgency of Political Education in Schools by Jiva Agung. We conducted Indonesian-English translation for the articles by speaking. It was fun actually. Then, we think that this English Day should be continued in following time. See you all in our next programs in June 2019.

Kamis, 23 Mei 2019

Urgensi Pendidikan Politik di Indonesia



Tulisan oleh Jiva Agung, guru agama Islam di SMP Negeri 12 Bandung, anggota Sekolah Damai Indonesia Bandung atau Sekodi Bandung dan YIPC. Tulisan dimuat di Forum Guru, harian umum Pikiran Rakyat tanggal 22 Mei 2019. 

Selasa dini hari (21/05/2019) Komisi Pemilihan Umum (KPU) akhirnya mengumumkan hasil real count rekapitulasi Pilpres. Dari data tersebut, terpapar bahwa pasangan calon urut nomor satu, Joko Widodo-Ma’ruf Amin menang atas lawannya, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, dengan perolehan suara sebanyak 85.607.372 atau 55.50%. Jauh mengungguli pasangan calon nomor dua yang hanya memperoleh sebanyak 68.650.239 suara, atau setara dengan 44.50%. Jika tidak ada perubahan, hasil perhitungan ini secara otomatis membuat Jokowi-Ma’ruf akan memimpin Indonesia hingga tahun 2024 nanti. Tetapi, seperti yang diketahui bersama, momentum Pilpres ini telah membuat masyarakat akar rumput begitu terpolarisasi, dengan kefanatikannya terhadap jagoannya masing-masing. Menurut penulis barangkali ini merupakan salah satu dari akibat lemahnya pendidikan politik di Indonesia, baik bagi mereka yang mencalonkan diri maupun si pemilih. Di dunia pendidikan, ilmu tentang kenegaraan dan politik diperkenalkan, sekadar pengantar, di dalam mata pelajaran PKn dan kebanyakan dari kita baru belajar politik secara serius di perguruan tinggi. Padahal masyarakat Indonesia telah memiliki hak suara sejak umur tujuh belas tahun, kira-kira ketika mereka masih berada di bangku kelas dua SMA. Untuk membendung sikap apatis, atau malah sebaliknya (fanatisme yang tidak kritis), sebagaimana yang terlihat dalam fenomena belakangan ini, penulis kira sudah saatnya lembaga pendidikan, khususnya sekolah, memberikan perhatian yang serius terhadap persoalan politik, baik dari segi keilmuwan maupun keterampilannya. Sebenarnya hampir semua mata pelajaran bisa membelajarkan peserta didik mengenai perpolitikan—yang tidak harus selalu berkenaan dengan politik praktis. Dari segi teoretis misalnya, meski PKn sepertinya masih perlu menjadi pusatnya (core) tetapi aspek moralitas politik bisa ditekankan dari ajaran-ajaran agama. Banyaknya tindakan koruptif, menyelewenangan, KKN, dan semacamnya diduga kuat karena kurangnya penerapan dan pengaktualan moralitas dalam berpolitik sehingga merasa berhak melakukan apa pun demi mencapai tujuan. Atau misalnya dalam soal pemilihan ketua, perlu disadarkan bahwa, dalam realita bangsa Indonesia yang multikultural, kita tidak boleh lagi memilih hanya berdasarkan kecenderungan kesukuan, jenis kelamin, agama, apalagi sekadar wajah, tetapi harus bisa memilih karena murni keahlian yang dimilikinya, karena sungguh sesuatu yang dilakukan bukan oleh ahlinya maka akan menghasilkan kebinasaan dan kemudaratan saja. Jika dalam mata pelajaran PKn dan Agama lebih banyak menanamkan nilai-nilai, maka mata pelajaran lain lebih cocok sebagai pengimplementasiannya yang sebenarnya sangat bisa diselaraskan dengan keterampilan yang perlu dimiliki di era abad ke-21, yakni creativity (kreativitas), critical thinking (pemikiran kritis), collaboration (kerjasama), dan communication (komunikasi). Para guru di bidang ini cukup membuat proses pembelajaran yang bisa memberi rangsangan sehingga siswa dapat bertindak tak lepas dari 4C itu. Melempar suatu kasus atau peristiwa yang sedang aktual dengan membagi mereka menjadi dua buah kubu (pro dan konta) tentu akan sangat efisien untuk membentuk keterampilan ini, karena baik secara langsung maupun tidak mereka sebenarnya sedang melakukan tindakan politis. Bahkan bukan hanya kegiatan pembelajaran di dalam kelas, pendidikan tentang politik dan terapan-terapannya perlu disemarakkan di dalam bentuk kegiatan-kegiatan (event) sekolah di mana para siswa diberi tanggung jawab untuk mengatur dan melaksanakan kegiatan tersebut sedangkan guru hanya sebagai pemantaunya saja.

People Power 2019, Untuk Siapa?

 

Tulisan koordinator kota Sekolah Damai Indonesia Bandung atau Sekodi Bandung, Fanny S Alam,  diterbitkan harian umum Pikiran Rakyat tanggal 22 Mei 2019 di kolom Opini.

Tanpa ada angin atau pertanda lainnya, tiba-tiba Indonesia terkena sindrom people power. Kata ini hampir ada di pikiran pemirsa atau warga net yang rajin membaca berita melalui media sosial. Tanggal 22 Mei 2019 merupakan rencana tonggak pecahnya people power. Sontak, hal ini membawa dampak bagi beberapa negara, seperti Amerika, Belanda, bahkan Singapura dan Malaysia untuk merilis travel advisory ke Indonesia untuk lebih waspada di tempat-tempat keramaian di Jakarta. Mereka tidak sembarangan mengeluarkan peringatan tersebut karena adanya rilis Pejabat Kepolisian Republik Indonesia yang menggarisbawahi resiko perilaku terorisme berhubungan dengan finalisasi hasil pemilihan umum presiden 2019. Rencana pelaksanaan People Power di Indonesia pada tanggal di atas sudah tentu menimbulkan keheranan tertentu. Segenting apa kondisi yang ada di indonesia mengenai finalisasi hasil pemilu sehingga sampai perlu ada wacana people power? Sebenarnya People power untuk apa tujuannya dan dalam keadaan apa digunakannya? People Power, Ideal dan "Ala-ala" Istilah People Power sebenarnya pernah menggema pada masa 21-22 Mei 1998 dimana kekuatan suara masyarakat yang direpresentasikan kekuatan mahasiswa yang menduduki gedung DPR MPR sebagai bagian menggulingkan kekuasaan otoriter Presiden Soeharto yang kala itu sudah berlangsung selama 32 tahun. Ditandai dengan krisis ekonomi Asia yang pada akhirnya menyerang Indonesia berkepanjangan, membuka borok kesempurnaan pemerintah pada saat itu. People power saat itu juga dipicu karena tragedi Trisakti yang merenggut korban mahasiswa serta semakin memperburuk kondisi dengan kerusuhan Mei 1998 yang berimbas pada segregasi penggunaan politik identitas dan serangkaian kasus kekerasan dan perkosaan terhadap etnis tertentu. Situasi genting itu memaksa People Power bergerak untuk turut menyelamatkan kondisi carut marut tersebut. Howard Clark, akademisi dan aktivis dalam bukunya People Power: Unarmed Resistance and Global Solidarity, menyatakan bahwa people power dapat direngkuh dengan solidaritas tak bersenjata dengan memperkuat kekuatan akar rumput untuk memperkokoh basis isu yang akan dilawan. Akan tetapi, ia juga menggarisbawahi betapa people power dapat digerakkan dalam bentuk aksi besar yang banyak diidentifikasi sebagai gerakan untuk melengserkan penguasa yang dianggap sudah korup atau banyak melakukan pelanggaran kepada negara dan warganya. Sementara itu, jika kita melihat terminologi demokrasi, melihat bahwa demokrasi merupakan bentuk pemerintahan dari rakyat untuk rakyat, maka terdapat relasi people power yang ada secara krusial dalam jalannya roda pemerintahan berbasis demokrasi. People power melihat keinginan rakyat yang idealnya direpresentasikan oleh para wakil rakyat dalam forum lembaga perwakilan rakyat dan diterjemahkan dalam serangkaian peraturan dan undang-undang yang mengakomodir kepentingan bersama rakyat dan negara. Ketika media sosial diramaikan dengan wacana People Power akhir-akhir ini, dan ternyata menurut aparat polda metro jaya bahwa yang mengucapkan dua kata di atas adalah Amien Rais yang juga turut berkata tidak mau diintimidasi dengan kekuatan militer pemerintah dan menyerukan people power untuk memprotes hasil pemilu presiden 2019 serta pelanggarannya. Setidaknya pernyataan ini membuat adanya dukungan dari kelompok-kelompok politik tertentu untuk bergerak menyuarakan ini dan dilakukan tanggal 22, tepat saat kejatuhan rejim pemerintah Soeharto pada 1998 silam. Simpang siur tentang rencana people power ini setidaknya berhasil membuat aparat sibuk, menjadi lebih waspada dengan beberapa penangkapan orang-orang tidak bertanggung jawab dengan serangkaian rancangan teror dan sayangnya berimbas terhadap pandangan dunia internasional terhadap negara kita. Itukah yang dimaksud dengan People Power di Indonesia 2019? Refleksi Tentang People Power Melihat rencana People Power yang dilaksanakan tanggal 22 Mei 2019 untuk mengusung protes akan hasil final pemilu presiden 2019, sebenarnya inilah bentuk reformasi demokrasi. Bahwa kebebasan berekspresi merupakan hak siapa pun karena itulah bagian hak asasi manusia sebenarnya. Pembatasan terhadapnya merupakan bentuk pelanggaran, walaupun pada prosesnya hal ini menimbulkan banyak kekhawatiran dan gejolak yang tidak perlu terjadi di dalam dan sampai ke luar negeri. Sebenarnya, untuk siapakah people power 2019 itu? Apakah dampaknya bagi rakyat secara keseluruhan? Elemen rakyat siapa saja yang terlibat di sana? Kepentingan siapa yang akan diperjuangkan? Apakah sudah dianggap kuorum memperjuangkan kepentingan rakyat dalam skala luas atau hanya kepentingan politik kelompok tertentu saja yang merasa dirugikan dari hasil akhir pemilu? Jika melihat terminologi People Power di atas, mungkin atas nama kebebasan berekspresi bisa saja ketidakpuasan tersebut mendompleng People Power karena dalam kenyataannya ada elemen rakyat di sana, akan tetapi tetap harus dipikirkan konsekuensi ke depannya bagaimana. Apakah perlu protes mendompleng People Power pada akhirnya menebar kekhawatiran rakyat keseluruhan hingga menghilangkan kepercayaan dunia internasional kepada Indonesia serta kembali memecah belah persatuan rakyat di sini hanya untuk memuaskan nafsu politik sesaat? Pikirkanlah.

Minggu, 12 Mei 2019

Sekodi Bandung bersama Panitia Buka Puasa Lintas Iman dan Sahur Bersama Ibu Shinta Nuriyah Wahid 2019


 

Hari Jumat lalu tanggal 10 Mei 2019, kami dari Sekodi Bandung diwakili Fanny S Alam, Agus Nugraha, dan Ary Maulana bergabung dalam panitia bersama acara buka puasa dan sahur bersama keliling dengan Ibu Shinta Nuriyah Wahid di satu pesantren di daerah Batujajar, Kabupaten Bandung Barat. Kegiatan ini merupakan kegiatan rutin ibu Shinta ke setiap daerah setiap bulan puasa. Tahun ini bertemakan Dengan Berpuasa Kita Padamkan Kobaran Api Kebencian dan Hoax. Tema yang berhubungan dengan gaduhnya ucapan kebencian dan publikasi hoaks atau kabar bohong di banyak media demi memenangkan kepentingan politik tertentu, sehingga konflik pun tak terhindarkan baik secara fisik maupun di media sosial. Puasa ini dianggap momentum tepat untuk menahan diri serta merefleksi diri sendiri agar menjadi pribadi yang lebih baik, dapat respek terhadap perbedaan dan keberagaman karena kita semua adalah saudara walau berbeda iman dan Indonesia adalah rumah tinggal kita semua. Itulah pesan yang diangkat pada acara buka dan sahur bersama keliling bersama Ibu Shinta Nuriyah Wahid. Semoga di lain kesempatan kita semua dapat turut bersama menyebarkan perdamaian ke daerah-daerah lainnya. Salam damai.

Sekodi dalam Halaqah Damai tanggal 8 Mei 2019

 
8 Mei 2019 lalu di Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan, dua penggiat sekodi Bandung, Fanny S Alam dan Ary Maulana berkolaborasi membawakan topik Dom Helder Camara dan Spiral Kekerasan. Camara, seorang uskup sekaligus tokoh kemanusiaan di Brazil, mengurai simpul kekerasan yang terjadi di negaranya. Kekerasan yang muncul karena dibentuk secara struktural dan selalu biasanya negara ada di sana dalam bentukan peraturan "demi menjaga ketertiban dan keamanan". Tidak mudah mengurai simpul kekerasan tersebut karena dalam pengalaman Camara, negara juga melibatkan institusi agama, yaitu gereja, dalam melanggengkan proses kekerasan terstruktur tersebut. Memang tidak langsung terlihat akan tetapi keberpihakan yang terjadi antara keduanya memperlihatkan hegemoni untuk melakukan represi terhadap kelompok-kelompok yang dianggap dapat membahayakan keberlangsungan kekuasaan. Di sini rakyat juga menjadi korbannya. Inisiasi AJP atau Action for Justice and Peace dimulai Camara sebagai langkah nyata mereduksi kekerasan yang muncul karena ketidakadilan yang tercipta hanya karena melanggengkan pihak yang berkuasa. Di sini, kedua narasumber dari sekodi mempertajam relasi yang dilakukan Camara dengan apa yang terjadi di Indonesia, di mana spektrum kekerasan di sini melibatkan aktor aparat negara serta kuatnya politik identitas, terutama agama, untuk melegalkan kekerasan terjadi.