Selasa, 07 Mei 2019

Spektrum Kekerasan Kita



Oleh Fanny S Alam
Sekolah Damai Indonesia Bandung

Kata kekerasan seakan telah menjadi akrab dengan ingatan kita. Kata tersebut telah menjadi tindakan yang menjelma secara nyata dan dialami oleh seluruh lapisan masyarakat, terutama masyarakat yang dianggap kelas bawah dari strata sosial. Johan Galtung menggarisbawahi kekerasan terjadi bila manusia dipengaruhi sedemikian rupa sehingga realisasi jasmani dan mental aktualnya berada di bawah realisasi potensialnya. Soyomukti Nurani menjelaskan kekerasan merupakan tindakan yang dilakukan individu terhadap yang lainnya sehingga berpotensi menyebabkan gangguan fisik dan mental. Penjabaran istilah yang lebih komprehensif dikemukakan Henry Campbell Black (1951) yaitu bahwa kekerasan adalah penggunaan kekuatan yang tidak adil, tidak dibenarkan biasanya disalahgunakan terhadap hak umum serta pelanggaaran terhadap aturan hukum dan kebebasan umum.   
Struktur kekerasan yang paling mudah terlihat di Indonesia adalah kekerasan yang berbasis politik identitas, yaitu perilaku diskriminasi dan intoleransi terhadap kelompok agama dan ras atau etnis yang dianggap minoritas hingga orientasi seksual berbeda. Terlebih, jika dikaitkan dengan kondisi jelang pemilu. Maka tak pelak kekerasan dengan struktur tadi menjadi lebih dominan terjadi. Sebut saja kejadian provokasi pihak luar desa yang akhirnya membuat Roni Dwi Nugroho yang akhirnya membuatnya memindahkan makam orang tuanya, Nunuk di Pemakaman Islam Ngaresngidul, Mojekerto yang awalnya justru sudah disepakati boleh. Kutipan dari kumparan juga menyatakan yang dialami oleh Sukma Dewi Nawang Wulan, perwakilan dari penghayat keercayaan wedal urip yang mengeluhkan komitmen Pemerintah Kabupaten Brebes lamban dalam merespon aspirasi dari para penghayat kepercayaan karena hingga saat ini para penghayat kepercayaan masih terkendala terkait pemakaman yang bahkan masih mendapat penolakan dari pihak tertentu. Masih ingat juga hampir setiap tahunnya teman-teman Syiah di Bandung yang ingin merayakan Asyura selalu mengalami penolakan hingga pembubaran walaupun sebenarnya sudah ada aparat kepolisian. Dari periode 2013 hingga 2018 tirto.id melansir terjadi penutupan 5 masjid ahmadiyah dan 32 gereja. Jangan lupakan juga vonis 1, 5 tahun yang didapat oleh Meliana, yang dihukum karena dianggap melakukan penistaan agama karena meminta volume pengeras suara adzan diturunkan, namun kembali merefleksi kasus yang sama di Aceh tahun 2013 ketika seorang warga bernama Sayed Hassan mengajukan tuntutan ke pengadilan Banda Aceh karena merasa terganggu dengan suara rekaman pembacaan Quran yang berlarut-larut dari pengeras suara, ia menghadapi protes keras dari masyarakat. Namun, setelah dia mencabut tuntutannya, justru volume diturunkan dan tidak mendapat sanksi apa pun (S. Alam, Fanny, 2018). 
Terlebih lagi, jangan tanya bentuk-bentuk kekerasan yang dialami oleh teman-teman dengan orientasi seksual berbeda. Masih teringat bahwa dua universitas negeri di padang dan bahkan bandung pernah menerbitkan surat edaran pelarangan pendaftaran ulang mahasiswa baru bagi yang terindikasi terlibat perilaku LGBT (S. Alam, Fanny, 2017).  Apa yang perlu dicermati sebenarnya dari struktur kekerasan yang demikian? Bagaimana sebenarnya kekerasan tersebut bisa bermula? 

Spiral Kekerasan Menurut Camara  
Ancaman terhadap kemanusiaan yang dicermati pada dasarnya bermula dari sistem pembagian kelas yang justru dimulai dari negara. Kita tentu mengenal kelas negara dunia pertama, kedua, dan ketiga, istilah yang pada akhirnya "diperhalus" menjadi negara maju, berkembang (arah maju), dan ekonomi berkembang (kurang maju) (IMF dan PBB). Ketimpangan yang dialami oleh negara dunia ketiga (negara berkembang, bisa jadi kurang maju) beserta relasinya dengan negara maju terletak dalam masalah ketidakadilan. Ketidakadilan dalam perumusan kebijakan hubungan dagang yang misalnya lebih menguntungkan pihak negara maju serasa pendiktean terselubung. Atau pun, bentuk-bentuk ketidakadilan yang berasal dari sistem pemerintahan yang lebih berpihak kepada kelompok priviledged (hak istimewa) sehingga menggiring masyarakat yang secara ekonomi tidak berdaya kedalam ketidakpastian dan hilang harapan bahkan. Hal inilah yang ditekankan oleh Dom Helder Camara, seorang tokoh gereja, sekaligus pekerja sosial, dan pejuang perdamaian. Bermula dari seminari hingga keuskupan agung Olinda dan Recife di Brazil, menjadi sekjen sidang kepala-kepala gereja selama 12 tahun dan CELAM, konsili Uskup Amerika Latin, dimana dia menjalani perjuangannya meretas ketidakadilan terhadap masyarakat secara sendirian lewat jalur gereja. Ini dilakukan agar gereja mampu membuka mata atas realita masalah dalam masyarakat dan negerinya serta dapat bertindak sebagai satu kesatuan. Posisi strategisnya membuat keberpihakan kepada para petani yang rata-rata buta huruf yang diperbudak oleh tuan tanah semakin kuat ditambah komitmen untuk menuntaskan masalah sosial bersama dengan tokoh-tokoh politik kiri sekuler. Dialog dimulai dan berjalan semakin intens. Pergerakan Camara menjadi lebih dianggap berbahaya sehingga akhirnya Presiden Brazil baru, Jenderal Garrastazu Medici, mengambil alih hak meralat mandat tanpa perwakilan di parlemen tanpa pengadilan serta mencabut hak politik warga negara. Legislasi ini menyebabkan Gereja sebagai otoritas lembaga keagamaan turut disetir kebijakannya oleh pemerintah. Ini terjadi tahun 1970, dimana pemerintah secara struktural melakukan tindak penyiksaan sebagai bagian instrumen kebijakan bagi siapapun yang tertangkap menentang presiden serta kekuasaannya. Spiral kekerasan yang dicoba retas oleh Camara berasal dari titik ketidakadilan yang berasal dari kelas, bisa kelas relasi antar negara yang menekankan privelese kepada negara maju ketimbang memberlakukan perlakuan setara kepada negara dibawahnya, lalu bagaimana represi dilakukan oleh negara ketika terjadi pertentangan terhadap rezim yang dianggap tidak berpihak kepada warga negara, serta bagaimana legalisasi kekerasan dilakukan oleh institusi keagamaan yang menjadi kepanjangan tangan pemerintah. 

Camara, Kekerasan Kita, dan Resolusi 
Jika dalam paragraf pembuka disebutkan bahwa struktur kekerasan yang paling mudah ditemukan di Indonesia akhir-akhir ini adalah yang berbasis politik identitas dan berkenaan dengan relasi pelembagaan kekerasan lewat legitimasi agama, maka berdasarkan uraian Camara mengenai adanya jaminan privelese dari negara di Indonesia ini terjadi modelnya seperti yang diungkap oleh Coen Husain Pontoh mengenai bagaimana negara pada permulaan orde baru memelihara ini dengan mendirikan lembaga-lembaga kekerasan fisik langsung, mulai dari ABRI, lembaga intelejen yang ada di berbagai departemen, serta organisasi seperti pemuda pancasila, pemuda panca marga. Camara menekankan ketidakadilan yang lebih menguntungkan kelompok-kelompok privilese yang dijamin negara telah memiskinkan masyarakat karena akses ekonomi yang akhirnya dikuasai kelompok-kelompok tersebut dan masyarakat hanya menjadi budak pekerja mereka. Rezim pada orde baru di Indonesia dengan menggabungkan kekuatan rezim dan korporasi permodalan dilakukan untuk menghancurkan keadilan akses melalui proses kekerasan, terutama kekerasan langsung yang berfungsi mendisiplinkan tenaga kerja di sektor industri dan menghancurkan gerakan tani melalui penerapan sistem pertanian modern, seperti yang dikemukakan oleh Pontoh. Action For Justice and Peace, selanjutnya disebut AJP atau aksi untuk keadilan dan perdamaian akhirnya digagas Camara untuk bertindak menegakkan keadilan sebagai prasyarat untuk mencapai perdamaian. Aksi yang tidak melulu teori, spekulasi, serta kontemplasi melainkan tindak nyata yang berani. Target AJP ini adalah berfokus kepada masyarakat tertindas dari negara kurang berkembang dan masyarakat dari lapisan terbelakang negara maju. Tidak mudah ketika kita sebagai masyarakat melakukan upaya-upaya mengentaskan ketidakadilan sebagai bagian warisan orde terdahulu yang masih ada hingga sekarang karena tekanan politik yang besar dan banyaknya kepentingan-kepentingan yang dijaga oleh negara sebagai pemegang struktur kekuasaan. Akan tetapi, Camara dapat menjadi model bagaimana seharusnya tokoh-tokoh agama di Indonesia bergerak secara progresif melihat bahwa masalah di negara kita bukan semata-mata masalah moral memperbaiki diri lalu dibawa secara komunal, namun bagaimana berkontribusi secara luas melihat masalah yang dialami negara dan masyarakat yang berkaitan dengan ketidakadilan yang dapat memiskinkan dan membentuk bentuk kekerasan baru. Kerja sama bersama pihak pemerintah dapat berbuah kontribusi strategis untuk mengurangi ketidakadilan secara umum bagi masyarakat.  

"Apapun agamamu cobalah berusaha agar agama membantu menyatukan umat manusia, bukan untuk memecah belah" (Camara)

Senin, 08 April 2019

Langkah Kita di Tengah Terorisme


 

Beberapa waktu lalu, dunia diguncangkan oleh peristiwa penembakan di Masjid Christchurch, Selandia Baru. ‘Label’ teroris yang selama ini disematkan orang kulit putih kepada kaum Muslim seakan-akan dibuktikan ketidakbenarannya, karena pada peristiwa itu, justru kawan-kawan Muslim yang menjadi korban dan orang kulit putih yang menjadi pelaku. Dunia menjadi bingung dan was-was. Apalagi beberapa waktu kemudian terjadi lagi penembakan di Utrecht, Belanda. 

Untuk membahas fenomena terorisme ini, pada hari Sabtu, 23 Maret 2019, Sekolah Damai Indonesia – Bandung mengadakan diskusi dengan Ibu Dina Sulaeman, penulis buku dan peneliti Timur Tengah. Dalam paparannya, Ibu Dina menjelaskan bahwa ada tiga hal yang memunculkan terorisme, yakni ideologi, ketidakadilan dan politik. Ketiga hal ini berkelindan membentuk sebuah sistem yang kompleks. Konsekuensinya, membasmi terorisme tidak bisa hanya berfokus pada satu hal saja, seperti yang selama ini terjadi yakni berfokus pada ideologi saja. Akan tetapi, ketika aspek ketiga yakni politik itu dibahas, resistensi bahkan perlawanan muncul dari pihak-pihak yang berkepentingan. Menurut Ibu Dina, hal semacam inilah yang membuat terorisme menjadi sulit diatasi, karena sesungguhnya terorisme terjadi ketika seseorang terlalu memaksakan kehendaknya. 

Meski demikian, ada hal yang bisa kita lakukan untuk mencegah terorisme. Dari diri kita sendiri, caranya adalah dengan menghindari menyematkan label secara otomatis pada kelompok tertentu yang sangat besar. Dalam sebuah kelompok yang memiliki satu ciri identitas yang sama, misalnya agama atau suku tertentu, ada keunikan individual di sana, sehingga ciri identitas itu tidak bisa digeneralisir pada semua orang. Perlu ada keterbukaan dari diri kita sendiri untuk mau mengenal kelompok lain lebih mendalam, karena sesungguhnya bukan perbedaan yang memecah belah, namun anggapan bahwa orang lain adalah liyan yang membuat keberagaman menjadi alasan manusia terkotak-kotak dan terpisah-pisah. 


(Stella Vania Puspitasari)

Kamis, 21 Maret 2019

Gender, Feminisme, dan Berbagai Kaitan Dengan Konstruksi Sosial Bentukan di Masyarakat



 
 “If you want to change the world, pick up your pen and write” – Martin Luther. 

Sebuah tulisan dapat membawa dampak dan perubahan yang besar. Hal ini juga yang terjadi pada Sekolah Damai Indonesia – Bandung. Beberapa hari lalu, bertepatan dengan hari perempuan sedunia, seorang teman Sekodi, membagikan tulisan karyanya yang dimuat di salah satu situs. Ternyata, tulisan itu menimbulkan berbagai interpretasi dan memantik diskusi yang cukup seru di grup WhatsApp, ada pro dan kontra, ada kritik dan saran, ada pujian dan kegelisahan. Akan tetapi karena dirasa diskusi digital kurang memuaskan, maka diputuskan untuk berdiskusi lebih lanjut secara tatap muka, bersama dengan narasumber yakni Dr. Aquarini Priyatna, dosen FIB Unpad, seorang feminis yang sudah sangat ahli dalam isu gender, sosial dan budaya. 

Diskusi diawali dengan pemaparan dari penulis artikel tersebut mengenai maksud dari tulisannya, tujuan ia menulis artikel, serta pemikir-pemikir yang dikutip dan menjadi inspirasi dari tulisan tersebut. Kemudian Bu Aquarini menanggapi artikel yang disampaikan. Secara umum, Bu Aquarini memberi penjelasan mengenai pembuatan sebuah tulisan yang baik, yakni dengan berfokus pada satu topik tertentu, disusun secara runtut untuk membangun argumen yang kuat. Jika tulisan mengacu pada satu atau dua buku atau artikel lain, perlu diberi penjelasan sehingga tidak dianggap sebagai plagiasi. 

Bu Aquarini lalu menjelaskan lebih lanjut tentang maskulinitas dan feminitas. Maskulin dan feminin adalah konstruksi sosial mengenai hal-hal yang dianggap lebih memiliki sifat laki-laki atau perempuan. Maskulin dan feminin adalah sebuah kontinum, dan kita selalu punya sifat-sifat maskulin dan feminin dalam diri kita, dengan level dan kombinasi yang berbeda-beda. Sayangnya, konstruksi feminin dan maskulin ini seringkali diidentikkan dengan jenis kelamin tertentu, menjadi semacam ‘label’ yang tidak bisa dihilangkan. Hal ini pun membawa pengaruh sangat besar dalam kehidupan, disadari atau tidak, disukai atau tidak. Kita terbiasa dengan standar perilaku dan sifat perempuan maupun laki-laki dalam kepala kita, sehingga cara kita mendidik anak, memperlakukan orang lain, serta keputusan-keputusan yang dibuat, bahkan ruang atau bangunan yang dibuat seringkali secara otomatis mengacu pada konstruksi itu. Akan tetapi seiring berjalannya waktu, perempuan dan laki-laki harus menyadari bahwa konstruksi tradisional itu tidak lagi relevan dan laki-laki maupun perempuan harus sama-sama belajar untuk saling melengkapi satu sama lain, misalnya perempuan juga harus belajar untuk berani berkompetisi dan mengambil keputusan, laki-laki perlu cukup berani untuk menampilkan kerentanannya, perempuan juga perlu memperjuangkan pendidikan tinggi dan jenjang karir yang baik, laki-laki juga harus terlibat dalam pengasuhan anak, dan lain sebagainya. Perempuan dan laki-laki itu setara, maka kita adalah partner untuk saling belajar satu sama lain. 

Diskusi dilanjutkan dengan tanya jawab. Cukup banyak teman Sekolah Damai Indonesia – Bandung yang sangat antusias untuk bertanya dan berdiskusi lebih lanjut, misalnya mengaitkan topik gender ini dengan tafsir ajaran agama tertentu, serta dengan kebijakan politik tertentu. Bu Aquarini mengingatkan bahwa agama itu adalah juga konstruksi sosial budaya. Agama turun dalam bentuk teks dan dapat ditafsirkan dengan cara yang berbeda-beda. Ketika kita berbicara tentang peran gender, dikaitkan dengan agama dan politik, yang perlu disadari adalah bahwa perempuan maupun laki-laki memang memiliki potensi tertentu secara biologis, namun secara sosial, perempuan maupun laki-laki dapat saling belajar dan bekerja sama. Diskusi ini menjadi menarik karena berangkat dari suatu artikel yang memancing beragam interpretasi. Dari sisi pembaca, kita perlu kritis ketika membaca, jangan terlalu cepat percaya pada apa yang tertulis, namun pertanyakan kembali apa yang tertulis itu. Sebaliknya, dari sisi penulis artikel, penulis perlu sangat hati-hati dalam menyusun artikel, perlu referensi yang cukup, logika berpikir dan logika menulis yang runtut serta argumen yang jelas, sehingga meminimalisir munculnya interpretasi yang kurang sesuai dengan maksud tulisan itu sendiri.

* Foto-foto diambil di pertemuan sekodi Bandung, tanggal 16 Maret 2018 hari Sabtu, dimoderasi oleh Hani Yulindrasari dan narasumber Aquarini Priyatna. Tulisan oleh Stella Vania Puspitasari 

Selasa, 12 Maret 2019

Sekelumit Tantangan Teman teman Berkebutuhan Khusus


 

Sabtu 9 Maret 2019, Sekolah Damai Indonesia (Sekodi) Bandung berkunjung ke Pusat Terapi Tumbuh Kembang Anak Dan Remaja berkebutuhan khusus Our Dream Indonesia, yang terletak di Jl Sinom, Turangga, Bandung. Kunjungan kali ini dalam rangka diskusi mingguan yang bertema Permasahan kaum difabel dan fasilitas publik serta penerimaan masyarakat baik dalam dunia pendidikan, pekerjaan dan sosial. Dalam diskusi dengan pemimpin Our Dream Indonesia, Bapak Hendra Rades Puluma, kami menyimak dan mendapat beberapa wawasan, pengetahuan praktis juga berkenalan dengan beberapa teman berkebutuhan khusus yang kebetulan sedang tinggal di Asrama Our Dream Indonesia. Salah satu wawasan baru yang kami dapat adalah tantangan untuk teman teman Berkebutuhan Khusus yang Tuna Grahita (gangguan mental) seperti Autism, dalam menghadapi kehidupan. Autism adalah gangguan mental yang disebabkan oleh kerusakan otak. Berbeda dengan teman berkebutuhan khusus lainnya yang fungsi otaknya masih berjalan normal. Namun beberapa penyandang Autism jika diarahkan dengan baik dan terarah mempunyai bakat jenius di berbagai bidang, yang jika diasah dengan baik akan membantu mereka untuk hidup mandiri hingga usia tua dengan keahlian mereka. Yang menjadi tantangan untuk penyandang Tuna Grahita khususnya Autism, Ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan untuk mencapai tujuan kehidupan mandiri mereka kelak. Yang pertama adalah perlunya sistim pendidikan yang tepat untuk menangani keunikan mereka. Meski kini sudah digaungkan Sekolah Inklusi, yaitu Sekolah Umum yang menerima murid murid berkebutuhan khusus, namun di lapangan masih banyak tenaga pengajar yg awam dalam menangani mereka, sehingga belum tercapai mengoptimalkan potensi mereka di sekolah umum. Yang kedua meski bisa disiasati dengan mendidik anak ke Pusat latihan, pendidikan dan terapi, namun sering belum ada konsistensi kerjasama antara lembaga pendidikan dengan orangtua. Sejatinya apa yang diajarkan terapis atau guru diterapkan pula dirumah oleh orangtua Dan keluarganya. Masalah ketiga, mendidik masyarakat untuk terbiasa dan menerima keunikan perilaku mereka, dan bisa menghargai potensi mereka dengan penyediaan lapangan kerja dan penerimaan yang wajar di masyarakat (No Bullying) Mereka adalah bagian dari kita. Bisa dibayangkan, apa jadinya jika penyandang Autism yang belum menata hidupnya kelak hidup di masa tua nya. Karena mereka kelak ditinggalkan orangtua yg sudah meninggal dan tidak bisa mengandalkan saudara saudaranya sepenuhnya. Perlu penerimaan dari masyarakat, pengoptimalan sistem pendidikan dan konsistensi untuk menyiapkan hidup mereka mandiri dan tidak terpinggirkan. Tugas kita bersama.


 Oleh Nursasongko Soegijatno. S 

Rabu, 06 Maret 2019

Hak Politik Masyarakat Pra dan Paska Pemilu

 
Ada apa ya dengan tahun politik? 2019 kita akan memilih presiden dan wakilnya sekaligus wakil rakyat. 'Kompetisi' telah dimulai, 'perseteruan' di berbagai media telah menarik banyak perhatian publik. Belakangan, debat terbuka antar kedua kandidat capres cawapres sudah dilakukan. Lalu, dimanakah posisi kita sebagai warga negara melihat ramainya persaingan ini? Kita diramaikan dengan hingar bingar berita politik yang mungkin dianggap sebagai bagian dari demokrasi terbuka, namun tidak sedikit yang menganggap hal tersebut memuakkan karena tidak sedikit penyebaran hoaks serta hal-hal yang dapat mencederai tahapan menuju pemilu tersebut viral sedemikian rupa. Tentunya, hak masyarakat sebagai warga negara untuk memilih siapa pun yang dianggap kredibel sudah dijamin oleh negara. Pendataan dilakukan untuk menjamin identitas pemilih hingga waktunya. Akan tetapi, jauh selain itu apakah hak kita selaku warga negara setelah pemilu? Sudah nyoblos lalu pulang begitu saja? Dimoderasi oleh Fanny S Alam selaku koordinator kota Sekodi Bandung, pertemuan pada tanggal 24 Februari 2019 berlokasi di Taman Balaikota mempertemukan narasumber, seorang peneliti SDGs Research Universitas Padjadjaran, Ben Satriatna dengan anggota Sekodi membahas bagaimana kita sebagai warga negara seharusnya tidak abai untuk mengawal hasil pemilu yang akan datang dengan cara berpartisipasi mengawasi kebijakan publik serta mengkritisi pelaksanaan kebijakan tersebut ketika ada satu atau beberapa hal yang tampak janggal dalam aplikasinya. Peran aktif ini yang seharusnya lebih tampil karena signifikansinya jelas untuk kepentingan masyarakat serta menjadi alat kontrol bagi pemerintah dan wakil rakyat yang sudah terpilih nantinya.

Selasa, 05 Maret 2019

LGBT dan Pusaran Diskriminasi di Tahun Politik 2019



 
Tahun politik 2019 yang selalu disebut tahun panas, terutama karena semua mata tertuju krpada dua kandidat presiden dan calon wakilnya. Keduanya saling mempromosikan indonesia yang lebih baik, lebih bermartabat, lebih dapat menyejahterakan warganya. Tahun politik ini juga sebenarnya merupakan kampanye tidak langsung bagaimana calon presiden mampu memetakan suara masyarakat pada masa-masa awal kampanye sekarang ini. Dukungan kelompok politik tertentu hingga kelompok agama merupakan hal signifikan bagi kedua kandidat. Dibantu oleh tim ahli dan tim sukses, kedua kandidat diharapkan mampu memetakan masalah masyarakat hingga tatanan ideal sosial politik ekonomi budaya masyarakat. Tidak dapat dipungkiri bahwa demi kepentingan politik yang bersifat menarik suara dari masyarakat, maka sangat penting bagi kedua kandidat memperhatikan aspirasi dari masyarakat dan tokoh-tokoh penting serta tim ahli. Salah satunya adalah ketika bagaimana tiap kandidat memperlihatkan keberpihakan terhadap kelompok masyarakat rentan,salah satunya LGBT. 16 Februari 2019 minggu ke 3 pertemuan sekodi Bandung dimoderasi oleh salah satu fasilitatornya, Nailil Muna, mahasisiwi UIN, kami membahas bagaimana LGBT mungkin dapat terjebak dalam pusaran diskriminasi akibat panasnya tahun politik 2019 ini. Bagaimana teman-teman LGBT dapat melalui pusaran ini di Indonesia semenjak ramai-ramai banyak kelompok politik menyatakan penolakannya,bahkan dalam ranah praktek politik sudah terdapat pengesahan perda anti LGBT dan penangannya, seperti di sumatera barat yang akan memberlakukan praktek rukyah terhadap siapapun yang terindikasi terlibat dalam 'praktik' LGBT. Pemilu 2019 untuk memilih presiden, wakil presiden, serta wakil rakyat memperlihatkan bagaimana setiap warga negara dapat terwakilkan suaranya, termasuk suara-suara kelompok rentan, salah satunya LGBT agar dapat terhindar dari diskriminasi mereka sebagai warga negara indonesia yang hak dan kewajibannya sama saja dengan warga negara Indonesia lainnya.

Selasa, 12 Februari 2019

Mengenal Ajaran Kepercayaan

Dalam rangka menyemarakkan World Intefaith Harmony Week (WIHW) yang biasa diperingati sepanjang pekan pertama bulan Februari, Sekolah Damai Bandung (Sekodi) mengundang Kang Asep, Teh Rela, dan Kang Dian, yang tiada lain adalah para penganut ajaran Kepercayaan. Bertempat di sekitar Balai Kota Bandung, kegiatan dilakukan dengan cara tadarus teks yang isinya berupa tanya-jawab seputar ajaran Kepercayaan. Ada sekitar tujuh buah pertanyaan yang dibahas, di antara ialah mengenai Tuhan. Sama halnya dengan agama-agama besar lainnya, mereka meyakini adanya Tuhan Yang Maha Esa yang telah menciptakan bumi, langit, beserta isinya. Hanya saja untuk penamaan, mereka mengembalikan penyebutan Tuhan sesuai dengan bahasa dan kultur masing-masing penghayat, sebab perbedaan dalam menyebut nama Tuhan sama sekali tidak berpengaruh terhadap inti dari Tuhan itu sendiri. Tetapi mengenai kitab suci, berbeda dengan agama-agama arus utama, para penghayat kepercayaan tidak memiliki kitab suci yang diyakini berupa firman Tuhan, yang ada hanyalah tulisan-tulisan karangan manusia yang berisi tentang tuntunan hidup menuju jalan keselarasan dan keselamatan. Ini karena bagi mereka apa yang disebut dengan pedoman Tuhan sebenarnya telah ada secara jelas, baik dari alam maupun dalam diri manusia itu sendiri. Semua elemen ini jika dikaji dan dihayati secara serius, menurutnya, dapat dijadikan pegangan pedoman umat manusia di dunia. Tidak adanya kitab suci berarti juga tidak ada konsep mengenai seseorang yang diutus oleh Tuhan sebagai penyebar agama (nabi). Mengenai moral, para penghayat kepercayaan tidak memiliki konsep yang muluk-muluk, cukup dengan pepatah “barangsiapa yang menanam maka dia akan memetik hasilnya”. Betapapun fleksibelnya, menurut Kang Asep biasanya setiap organisasi ajaran Kepercayaan memiliki semacam pedoman moral, misalnya mengenai tujuh perbuatan yang terlarang. Uniknya, mereka juga tidak terlalu memiliki fokus pada hal-hal eskatologis, oleh karenanya tidak memiliki konsep dosa-pahala sehingga juga tidak ada konsep surga-neraka. Bagi mereka manusia yang telah meninggal maka jasmaninya akan kembali ke saripati bumi (tanah, air, udara, dan api) sedang inti dari diri akan kembali ke sisi Tuhan. Kang Asep juga membahas persoalan yang sering disalahpahami oleh masyarakat umum yang mengidentikkan ajaran kepercayaan dengan hal-hal yang berbau mistis atau klenik. Ini salah, meskipun tidak menutup kemungkinan akan selalu ada orang yang memiliki kemampuan supranatural sebagaimana yang terjadi pula pada sebagian penganut agama-agama lain. Bagi Kang Asep, ini dikarenakan orang tersebut gemar melakukan penyucian batin sehingga Tuhan memberikan semacam hadiah kepadanya untuk memiliki daya sensitivitas yang lebih tinggi dibanding manusia pada umumnya. Persoalan lain yang juga kerap disalahpahami ialah mengenai upacara sesajen. Berasal dari kata ajen yang berarti penghormatan atau penghargaan, upacara sesajen secara substansi ialah sebuah bentuk penghormatan yang dilakukan oleh para penghayat terhadap alam. Bukan hanya karena alam adalah rekan yang perlu dihormati tetapi juga sangat ampuh dijadikan sebagai sarana untuk merasakan kehadiran Tuhan. Adapun pernak-pernik yang sering hadir seperti kembang tujuh rupa dan yang lainnya, semuanya sebenanya hanyalah simbol-simbol yang memiliki nilai filosofis untuk menggambarkan keseluruhan alam.[]


Jiva Agung W